-->

17 Agustus 2012

Hukum Mencium Tangan Kedua Orang Tua



رقم الفتوى
8577
تاريخ الفتوى
27/9/1425 هـ — 2004-11-10
No Fatwa: 8577
Fatwa ini disampaikan pada tanggal 27 Ramadhan 1425 H atau 10 November 2004M
السؤال
هل يجوز تقبل أيادي الوالدين؟ ففي تقبيل يد الوالد أو الوالدة ما يؤدي إلى الانحناء والخضوع, ولا انحناء ولا خضوع إلا الله سبحانه وتعالى. فهل هذا حلال أم حرام؟ أفيدونا وجزاكم الله خيرًا.
Tanya: Apakah diperbolehkan mencium tangan kedua orang tua padahal untuk mencium tangan ayah atau ibu mengharuskan kita untuk membungkukkan badan (baca: ruku) dan menunjukkan sikap ketundukkan (khudhu’) padahal tidak boleh membungkukkan badan dan kutundukkan hati kecuali hanya kepada Allah. Apakah cium tangan semacam ini boleh ataukah haram?
الإجابة
تقبيل يد الوالد أو الوالدة, أباحه بعض العلماء ومنعه آخرون. وهذا لا يسمى خضوعًا ولا انحناءً لغير الله؛ لأنه لم يقصد الانحناء لغير الله, ولكن الأولى أن يقبل رأسيهما.
Jawaban:
“Mencium tangan ayah atau ibu itu dibolehkan oleh sebagian ulama dan dilarang oleh sebagian ulama yang lain. Merundukkan badan yang terjadi saat mencium tangan ortu itu tidak bisa disebut sebagai merendahkan diri dan membungkuk (baca: ruku) kepada selain Allah karena pelakunya tidak meniatkan dengan hal tersebut sebagai ruku kepada selain Allah. Namun yang lebih baik adalah mencium dahi ortu.

فالإمام مالك يقول: إن تقبيل اليد هو السجدة الصغرى. والإمام الشافعي يمنع ذلك. وأباح بعض أهل العلم أيضًا تقبيل يد الوالدين, أو يد العالم. لكن الأولى ترك ذلك لله, فتقبيل رأس أمك أو رأس أبيك أفضل, ولا بأس. والله أعلم.


Imam Malik mengatakan, “Sesungguhnya cium tangan itu adalah sujud kecil-kecilan”. Imam Syafii juga melarang cium tangan. Namun sebagian ulama membolehkan cium tangan ortu atau cium tangan ulama. Namun yang lebih baik adalah meninggalkan hal tersebut karena Allah. Cium dahi ibu atau ayah (sebagai bentuk penghormatan) itulah yang lebih afdhol dan tidak mengapa untuk dilakukan”.


مصدر الفتوى: فتاوى سماحة الشيخ عبد الله بن حميد ص256 رقم الفتوى في مصدرها: 272


Fatwa ini dikutip dari buku Fatawa Samahatus Syeikh Abdullah bin Humaid hal 256 dengan nomor fatwa di buku tersebut 272.


Sumber:
http://www.islamlight.net/alhomaid/index.php?option=com_ftawa&task=view&id=8577&Itemid=31

Artikel
www.ustadzaris.com

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.