Kaidah-Kaidah Penting untuk Memahami Nama dan Sifat Allah (1)
Kaidah-kaidah ini pada awalnya
ditulis oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin, dan beliau
menempatkannya di bagian awal kitab Syarah Lum’atul I’tiqaad. Adapun Syaikh Abdur Razzaaq adalah salah seorang pengajar yang menyertai dakwah Syaikh Muqbil bin Hadi Al Wadi’i rahimahullah di Daarul Hadits As Salafiyah Yaman. Beliau menjelaskan kaidah-kaidah ini sebagai pengantar Syarah Lum’atul I’tiqaad dengan merujuk kepada penjelasan Syaikh ‘Utsaimin dalam Al Qawaa’idul Mutsla
serta keterangan dari ulama’ lain yang juga sangat bermanfaat seperti
Imam Ibnul Qayyim dan Ibnu Hajar -semoga Allah merahmati mereka semua-.
KAIDAH
PERTAMA: Sikap yang wajib kita lakukan terhadap nash-nash Al Kitab dan
As Sunnah yang berbicara tentang Nama dan Sifat Allah.
Dalam menyikapi nash-nash Al
Kitab dan As Sunnah kita wajib membiarkan penunjukannya sebagaimana
zhahir nash tanpa perlu menyimpangkan maksudnya. Ini adalah kaidah yang
sangat penting. Penetapan Nama-Nama dan Sifat-Sifat Allah termasuk
perkara ghaib sehingga hal itu tidak bisa dijangkau dengan akal dan
rasio semata.
Makna zhahir dari Nama dan Sifat
tersebut hanya bisa dipahami melalui bahasa Arab, karena Al Qur’an
turun dengan bahasa ini. Begitu pula Rasul yang kepada beliau diturunkan
Al Qur’an adalah orang yang berbahasa Arab. Orang-orang yang diajak
bicara oleh beliau di masa itu juga orang-orang yang berbahasa Arab.
Mereka bisa memahami Al Qur’an dengan bahasa tersebut.
Allah Ta’ala berfirman, “Dia
(Al Qur’an) dibawa turun oleh Ar Ruh Al Amin (Jibril) ke dalam hatimu
(Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang
memberi peringatan dengan bahasa Arab yang jelas.” (QS. Asy Syu’araa’: 193-195)
Allah Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya Kami menjadikan Al Qur’an dalam bahasa Arab supaya kamu memahami(nya).” (QS. Az Zukhruf: 3)
Maka setiap muslim wajib
memahami nash-nash sesuai dengan makna zhahirnya yaitu menurut bahasa
Arab selama tidak ada dalil dari syar’i yang menghalanginya.
Yang
dimaksud dengan makna zhahir dari pembicaraan adalah makna yang bisa
langsung tergambar di dalam benak pikiran ketika mendengarnya. Dengan
demikian makna zhahir itu bisa berbeda-beda tergantung kepada susunan
kalimat dan menyesuaikan konteks pembicaraan serta kepada siapa ucapan
tersebut disandarkan.
Contoh penerapannya adalah dalam firman Allah Ta’ala, “Tak ada suatu negeripun/qoryah (yang durhaka penduduknya), melainkan Kami membinasakannya…” (QS. Al Israa’: 58)
Bandingkan dengan firman Allah yang berikut ini, “Sesungguhnya Kami akan menghancurkan penduduk (Sodom)/ahlul qoryah ini.” (QS. Al Ankabuut: 31). Di dalam kedua ayat ini kata ‘qoryah’ memiliki perbedaan maksud.
Begitu pula firman Allah Ta’ala, “Dan supaya kamu (Musa) diasuh di bawah pengawasan-Ku (‘alaa ‘ainy).”
(QS. Thahaa: 39). Orang yang berakal tentu tidak akan mengatakan bahwa
makna zhahir yang bisa langsung ditangkap dari ayat ini adalah Nabi Musa
diciptakan di atas Mata Allah Ta’ala, tetapi makna zhahir yang pasti
benar adalah Musa ‘alaihi salam dipelihara dan diciptakan Allah sementara Mata Allah senantiasa mengawasi dan melindunginya.
Begitu pula apabila ada orang yang berkata, ‘Si Fulan ‘alaa ‘ainy (di mataku)’ atau mengatakan ‘Dia tahta ‘ainy
(di bawah penglihatanku)’. Maka tidak pernah anda dapatkan ada orang
yang memahaminya dengan arti si fulan itu masuk di dalam matanya atau
dibawah bola matanya.
Orang-orang yang mensikapi kaidah ini terbagi menjadi beberapa golongan:
Golongan pertama
Ahlu Sunnah wal Jama’ah As Salafiyyuun (pengikut Salaf). Mereka bersikap sebagaimana kaidah yang telah diterangkan.
Golongan kedua
Orang-orang yang memahami makna nash-nash Nama dan Sifat Allah mengarah kepada tamtsil (penyerupaan Allah dengan makhluk-pent). Sehingga apabila dia membaca firman Allah Ta’ala, “Bahkan kedua Tangan Allah terbentang.” (QS. Al Maa’idah: 64). Maka dia akan berkata, “Saya
tidak memahami makna ‘Tangan’ kecuali dengan bentuk sebagaimana tangan
saya ini, karena yang dinamai sama” (yaitu tangan-pent). Namun alasan
ini terbantahkan oleh firman Allah Ta’ala, “Tidak ada sesuatupun yang
serupa dengan Dia.” (QS. Asy Syuura: 11)
Sebagaimana diketahui bahwa terkadang sesuatu yang namanya sama akan tetapi bentuk/kaifiyah-nya
bisa jadi berbeda-beda. Seperti contohnya apabila anda menyebut ‘tangan
manusia, tangan tikus, tangan gajah dan lain sebagainya…’ bukankah
sesuatu yang dinamai sama (yaitu tangan-pent) sedangkan kaifiyahnya
jelas berbeda-beda, sebagaimana hal itu bisa kita saksikan. Perbedaan
semacam ini amat jelas terbukti ada pada sesama makhluk, lalu bagaimana
pula dengan perbedaan yang ada antara Al Khaaliq (Pencipta) dengan makhluk?
Oleh karena itu Imam Ibnul Qayyim bersya’ir tentang permasalahan ini,
Kami (Ahlu Sunnah) tidaklah menyerupakanantara sifat Allah dan sifat ciptaan
Adapun orang yang menyerupakan
sebenarnya merekalah penyembah berhala pujaan
Golongan ketiga
Orang-orang yang memahami makna nash-nash Nama dan Sifat Allah merupakan bentuk penyerupaan/tamtsil. Pemahaman seperti ini mendorong mereka untuk melakukan penolakan/ta’thil.
Kemudian mereka berusaha menentukan makna lain yang bisa diterima oleh
akal mereka, dan mereka pun berselisih dalam menentukannya. Mereka
menyebut tindakan ini sebagai ta’wil/tafsir, padahal sesungguhnya mereka telah melakukan tahrif/penyimpangan.
Alangkah benar ungkapan orang yang mengomentari tingkah mereka ini:
Mereka itu bukan menolong Islam, tapi menghancurkan filsafat juga tidak.
Golongan ketiga ini telah
mensifati Allah dengan sifat-sifat yang Dia sendiri tidak mensifati
Diri-Nya dengannya, mereka juga mensifati Allah dengan sifat-sifat yang
maknanya sama sekali tidak ditunjukkan oleh bahasa Arab. Ambil contoh
firman Allah Ta’ala, “(yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah yang bersemayam/istiwa’ di atas ‘arsy.” (QS. Thahaa: 5). Orang-orang yang melakukan ta’thil itu mengatakan, “Istiwa itu maksudnya istaula.” (berkuasa setelah berhasil menaklukkan lawan-pent). Mereka menolak makna yang benar dari lafazh istiwa’ yaitu: tinggi dan menetap dan inilah sifat yang pantas bagi Allah Ta’ala
kemudian mereka justru menetapkan makna baru yang tidak benar
dinisbatkan kepada Allah Ta’ala. Ini termasuk perkataan tentang Allah
tanpa ilmu. Padahal Allah Ta’ala telah berfirman, “Dan janganlah kamu
mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya.
Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan
diminta pertanggungjawabnya.” (QS. Al Israa’: 36). Allah Ta’ala juga berfirman, “Apakah kamu yang lebih mengetahui ataukah Allah?” (QS. Al Baqarah 140)
Golongan keempat
Orang-orang yang menyatakan dirinya jahil/tidak mengetahui keinginan Allah dan Rasul-Nya shallallaahu ‘alaihi wa sallam pada lafazh, makna maupun kaifiyah Nama dan Sifat Allah. Mereka mengatakan, “Saya menyerahkan itu semua kepada Allah Ta’ala.” Mereka ini adalah golongan terjelek.
Konsekuensi dari pendapat mereka
ini adalah para Sahabat tidak bisa memahami nash-nash yang ditujukan
kepada mereka, sehingga Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah
mengajak bicara mereka dengan sesuatu yang tidak mereka pahami, bahkan
ini juga berarti sesuatu itupun tidak dipahami oleh beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam, padahal beliau jauh sekali dari tuduhan semacam ini!
Kalau kita mau merujuk kepada
Kitabullah niscaya kita jumpai bahwa Allah senantiasa memerintahkan kita
untuk memikirkan, merenungkan dan memahami Al Qur’an. Allah juga telah
memerintahkan Nabi-Nya shallallaahu ‘alaihi wa sallam untuk menjelaskan Al Qur’an. Allah Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al Qur’an dengan berbahasa Arab agar kamu memahaminya.” (QS. Yusuf: 2). Allah Ta’ala juga berfirman, “Dan
Kami turunkan kepadamu Al Qur’an agar kamu menerangkan kepada umat
manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka, dan supaya mereka
memikirkan.” (QS. An Nahl: 44). Madzhab golongan ini merupakan
madzhab yang batil, yang membuka celah yang lebar bagi munculnya berbagi
macam kesesatan dan penyimpangan. Bacalah kitab Dar’u Ta’aarudhil ‘Aql wa Naql
(Menepis dakwaan pertentangan antara akal dan dalil naql) karya
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, di dalamnya beliau telah membongkar
kebatilan golongan ini.
Bagaimanapun juga, tidak mengikuti madzhab salaf radhiyallahu ‘anhum termasuk dalam kategori penyimpangan/tahrif
terhadap Kalam Allah ‘Azza wa Jalla dari maksud yang sebenarnya.
Orang-orang yang melakukan tahrif ini sangat tercela, sebagaimana Allah
Ta’ala telah mencela orang-orang Yahudi karena mereka
mengubah-ubah/melakukan tahrif terhadap firman Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman, “Apakah
kamu masih mengharapkan mereka (Yahudi) percaya kepadamu (Muhammad),
padahal segolongan dari mereka mendengar Firman Allah, lalu mereka
mengubahnya setelah mereka memahaminya, sedang mereka mengetahui.” (QS. Al Baqarah: 75)
***
Diterjemahkan dari Al Is’aad fii Syarhi Lum’atil I’tiqaad karya Syaikh Abdur Razzaaq bin Musa Al Jazaa’iri, oleh Abu Muslih Ari Wahyudi
Dipublikasikan oleh www.muslim.or.id
1. Seluruh Asmaa’ Allah pasti husna.
Asmaa’ adalah bentuk jamak dari kata ‘ism’
yang berarti nama dari dzat yang memiliki nama dan sifat. Nama-Nama
Allah adalah nama-nama yang paling mulia, yang Allah menamai Diri-Nya
dengan nama-nama tersebut atau nama yang ditetapkan oleh Nabi-Nya shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Husna adalah bentuk mu’annats (lafazh berjenis wanita) dari kata ‘ahsan’ (paling bagus) bukan bentuk mu’annats dari kata ‘hasan’. Sepadan dengan ‘kubro’ (bentuk mu’annats dari ‘akbar’) dan ‘mutsla’ (bentuk mu’annats dari ‘amtsal’). Nama-Nama Allah adalah husna artinya mencapai puncak kesempurnaan dan keindahan. Allah Ta’ala berfirman, “Hanya milik Allah Asmaa’ul Husna/Nama-Nama yang paling indah…”
(QS. Al A’raaf: 180). Hal itu dikarenakan Nama-Nama Allah mengandung
sifat-sifat kesempurnaan yang tidak terdapat sedikitpun kekurangan
padanya dari sisi manapun, baik dari sisi ihtimal (kemungkinan asal makna lafazh) atau dari sisi taqdir (penetapan makna pelengkap yang muncul dari hasil terkaan dalam pikiran pendengar).
Semua Nama Allah menunjukkan
sanjungan dan pujian bukan sekedar label/merek. Akan tetapi Nama Allah
berlaku sebagai nama yang sekaligus mengandung sifat. Allah yang Maha
Suci lagi Maha Tinggi telah memerintahkan hamba-hamba-Nya supaya mereka
berdo’a kepada-Nya dengan perantara menyebut Nama-Nama-Nya.
Diantara keindahan yang ditunjukkan oleh Asmaa’ Allah
adalah setiap Nama dari Nama-Nama-Nya mengandung sifat yang mencakup
seluruh maknanya yang muncul dari nama tersebut. Contohnya adalah Nama
Allah Al ‘Aliim (yang Maha Mengetahui) sebagaimana terdapat dalam firman Allah Ta’ala, “Sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui/’aliim lagi Maha Bijaksana/hakiim.” (QS. Al Insaan: 30). Maka dari ayat ini diketahui bahwa Al ‘Aliim
merupakan salah satu Nama Allah Ta’ala, yang mengandung makna ilmu yang
sempurna; ilmu yang meliputi segala sesuatu secara global dan
terperinci, ilmu yang tidak diawali dengan kebodohan, ilmu yang tidak
ditimpa kelupaan. Sehingga tidak ada makhluk sekecil apapun di bumi
maupun di langit yang tidak diketahui-Nya.
Faidah:
Dengan
memahami kaidah ini kita bisa mengetahui letak kekeliruan Imam Ibnu
Hazm dan orang-orang berpemahaman zhahiriyah/tekstualis yang sejalan
dengan beliau ketika mereka menetapkan Ad Dahr (artinya ‘masa’) sebagai salah satu Nama Allah Ta’ala. Sebab Ad Dahr adalah ism jamid/kata beku (bukan musytaq/pecahan) yang tidak mengandung sifat sama sekali. Ad Dahr hanya sebuah nama yang tidak ada keindahan sama sekali di dalamnya. Adapun hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu yang terdapat di dalam Ash Shahihain (Shahih Bukhari dan Muslim) yang memberitakan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Anak
Adam telah menyakiti-Ku karena dia mencaci masa (Ad Dahr). Padahal Aku
adalah Ad Dahr; semua urusan ada di Tangan-Ku, Akulah yang
membolak-balikkan waktu siang dan malam.” Hadits ini tidaklah menunjukkan penetapan Ad Dahr sebagai salah satu Nama Allah Ta’ala, ini didukung dengan alasan kuat yang bisa diketahui dari dua sisi argumentasi:
1. Firman Allah Ta’ala yang menyebutkan, “Padahal Aku adalah Ad Dahr” telah dijelaskan maksudnya oleh firman-Nya, “Semua urusan ada di Tangan-Ku, Akulah yang membolak-balikkan waktu siang dan malam.”
Allah Subhanahu wa Ta’ala menerangkan bahwa semua urusan ditangan-Nya,
Dia-lah yang mengatur silih bergantinya waktu siang dan malam. Sedangkan
pergantian siang dan malam itulah yang disebut dengan Ad Dahr/masa. Karena kalau tidak dipahami demikian pastilah perkataan kaum Dahriyyiin dibenarkan oleh Allah, mereka berkata,
“Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia saja, kita dan
kita hidup dan tidak ada yang membinasakan kita selain Ad Dahr/masa.” (QS. Al Jaatsiyah: 24). Akan tetapi ternyata Allah mendustakan perkataan mereka. Allah berfirman, “Mereka tidaklah memiliki ilmu tentang apa yang mereka ucapkan, hanyasanya mereka berprasangka (yang tidak ada buktinya-pent).”
2. Firman Allah Ta’ala, “Aku-lah yang membolak-balikkan waktu siang dan malam.” Di dalamnya terkandung penetapan objek yang dibolak-balikkan (muqallab-dengan fathah pada huruf lam) dan penetapan subjek yang membolak-balikkan (muqallib-dengan kasrah pada huruf lam). Mustahil kalau objek yang dibolak-balikkan (muqallab) itu juga sekaligus subjek yang membolak-balikkan (muqallib). Padahal siang dan malam adalah makna dari Ad Dahr sebagaimana disebutkan dalam surat Al Jaatsiyah di atas (ketika Allah mendustakan perkataan kaum Dahriyyin-pent).
2. Asmaa’ Allah tidak dibatasi oleh jumlah bilangan tertentu.
Hal
ini berdasarkan hadits shahih yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad di
dalam Musnad-nya dan dibawakan juga oleh imam ahli hadits selain beliau
dari jalur Ibnu Mas’ud. Di dalam hadits tersebut Nabi berdo’a, “Hamba
memohon kepada-Mu dengan perantara seluruh Nama yang Engkau namai
Diri-mu dengannya, Nama yang Engkau turunkan di dalam Kitab-Mu, Nama
yang Engkau ajarkan kepada salah satu diantara makhluk-Mu dan juga Nama
yang Engkau sembunyikan pengetahuannya dalam ilmu ghaib di sisi-Mu.”
Adapun Nama yang disembunyikan ilmunya oleh Allah di sisi-Nya maka
tidak ada seorangpun yang bisa mengetahuinya. Begitu pula Nama yang
diajarkan-Nya kepada sebagian golongan di antara makhluk-Nya, bisa jadi
golongan yang lain tidak mengetahuinya.
Inilah pemahaman yang dipegang oleh jumhur/mayoritas
ulama’ bahwa Nama Allah tidak dibatasi jumlah bilangan tertentu,
sebagaimana dinukil oleh Imam Ibnu Hajar di dalam kitabnya Fathul Baari.
Sebagian ulama’ diantaranya Imam Ibnu Hazm telah menyelisihi pemahaman
mereka. Beliau berpendapat adanya pembatasan jumlah Nama Allah beralasan
dengan hadits Abu Hurairah yang terdapat dalam Ash Shahihain. Di dalam hadits tersebut Nabi bersabda, “Sesungguhnya Allah memiliki 99 Nama -seratus kurang satu- yang apabila seseorang menjaganya niscaya dia masuk Surga.”
Ibnu Hazm -semoga Allah
mengampuni kesalahan beliau- beralasan, “Seandainya Allah memiliki Nama
selain 99 Nama sebagaimana dinyatakan dalam hadits ini maka perkataan
Nabi ’seratus kurang satu’ menjadi perkataan yang tidak ada
gunanya…” Sedangkan Jumhur ulama’ berpendapat tidak adanya pembatasan
jumlah Nama Allah. Mereka memahami pembatasan yang disebutkan dalam
hadits Abu Hurairah itu terkait erat dengan janji balasan yang akan
diperoleh orang yang menjaganya Nama-Nama tersebut, sehingga kalimat “apabila seseorang menjaganya” menjadi penyempurna yang erat kaitannya dengan kalimat sebelumnya.
Imam Nawawi -semoga Allah
merahmati beliau- menjelaskan, Hadits ini bukanlah dalil pembatasan
jumlah Nama Allah Ta’ala, hadits ini juga tidak menunjukkan bahwa Allah
tidak memiliki Nama selain Nama yang jumlahnya 99. Sesungguhnya maksud
dari hadits adalah barangsiapa menjaga 99 Nama ini niscaya dia masuk
Surga. Ini adalah kabar yang memberitakan bahwa orang yang menjaganya
(melakukan ihsho’) Nama-Nama itu akan mendapat balasan masuk surga, sehingga hadits tersebut bukan memberitakan pembatasan jumlah Nama.
Al ‘Allamah Al Utsaimin
memberikan sebuah ungkapan untuk menggambarkan maksud hadits ini dengan
kalimat yang hampir mirip. Beliau memberikan contoh, jika anda
mengatakan: “Saya punya uang 100 dirham yang saya persiapkan untuk shadaqah.” Dari kalimat ini, tidak menutup kemungkinan kalau anda masih mempunyai uang selain jumlah itu.
Kata-kata “apabila seseorang menjaganya” merupakan dalil yang menunjukkan bahwa Nama-Nama itu sesuatu yang diketahui. Sedangkan kata-kata “Nama yang Engkau sembunyikan ilmunya dalam ilmu ghaib di sisi-Mu”
merupakan dalil yang menunjukkan bahwa ada sebagian di antara Nama-Nama
Allah yang tidak bisa kita ketahui. Dengan dasar dua ungkapan hadits
ini disimpulkan bahwa jumlah Nama Allah lebih dari sembilan puluh
sembilan.
Faidah:
Sabda Nabi shallaahu ‘alaihi wa sallam, “apabila seseorang menjaganya”
merupakan dalil bahwa Nama-Nama tersebut bisa diketahui. Dan jika anda
telah mengerti bahwasanya tidak ada riwayat yang sah mengenai perincian
Nama-Nama yang dimaksud (sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Hajar di dalam
Fathul Baari), lalu bagaimana mungkin seseorang yang ingin
mendapatkan keutamaan tersebut dapat meraihnya sementara untuk
menjaganya Nama-Nama Allah tidak terdapat perincian Nama-Nama yang
dimaksud?
Para ulama’ memberikan 2 jawaban atas pertanyaan ini:
- Ketidaktahuan orang yang berdo’a terhadap rincian Nama-Nama Allah yang dimaksud dalam hadits akan mendorong dia untuk terus menerus berdo’a dengan menyertakan seluruh Nama Allah yang sah dalilnya dengan harapan bisa menepati Nama-Nama tertentu yang dikhususkan oleh hadits tersebut. Jawaban ini serupa dengan alasan mengapa Allah menyembunyikan waktu turunnya Lailatul Qadar.
- Alif lam ta’rif (pada kata al asmaa’) dalam firman Allah, “Dan hanya milik Allah Al Asmaa’ul Husna maka berdo’alah kalian dengan perantara menyebutkannya”, berfungsi untuk ‘ahd (menyebutkan makna yang sudah dipahami maksudnya oleh pendengar dan pembicara-pent). Dengan begitu pasti ada ma’huud-nya (objek yang dimaksud dalam konteks pembicaraan-pent) karena Allah memerintahkan kita untuk berdo’a dengan menyebutkan Nama-Nama itu. Sehingga Al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan, “Saya berpendapat Al Hawaalah (mencari Nama Allah yang ada dalam cakupan) Al Qur’an itulah yang lebih mendekati kebenaran.”
Al Hafizh Ibnu Hajar beserta beberapa ulama’ yang lain menerangkan maksud dari sabda Nabi tentang ihsho’/ menjaga Nama Allah dengan beragam penjelasan. Maka silakan anda merujuk kepada kitab Fathul Baari ketika Ibnu Hajar membahas syarah/keterangan hadits nomor 6410.
3. Nama-Nama Allah tidak boleh ditetapkan dengan akal akan tetapi harus dengan dalil syar’i.
Ini berarti Nama-Nama Allah adalah perkara tauqifi
(penetapannya membutuhkan dalil syar’i-pent) yang penetapannya
bersumber dari Al Kitab dan As Sunnah. Dalam memahami maksud penetapan
Nama ini terdapat perbedaan pendapat:
- Nama-Nama Allah adalah tauqifi, yang dibatasi dengan Nama-Nama yang tercantum dalam Al Kitab dan As Sunnah saja.
- Nama-Nama tersebut diambil dari dalil Al Kitab, As Sunnah dan Ijma’ sedangkan Qiyas tidak boleh digunakan.
- Penetapan Nama-Nama Allah adalah perkara tauqifi sedangkan penetapan Sifat-Nya tidak termasuk perkara tauqifi.
- Apabila akal menunjukkan suatu makna lafazh bisa ditetapkan ada pada Diri Allah maka Nama tersebut boleh disandarkan kepada Allah. Ini adalah pendapat kaum Mu’tazilah dan Karraamiyah.
Diantara beragam pendapat
tersebut pendapat pertamalah yang paling kuat. Sedangkan akal sekedar
berfungsi sebagai sarana untuk mengetahui layak atau tidaknya suatu Nama
disandarkan kepada Allah. Allah Ta’ala berfirman, “Dan janganlah
kamu mengikuti apa yang kamu tidak memiliki pengetahuan tentangnya.
Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati itu semua pasti dimintai
pertangungjawabnya.” (QS. Al Israa’: 36)
Nama-Nama Allah hanya bisa
diketahui melalui jalan mendengar (ayat atau hadits-pent) bukan dari
hasil pemikiran atau olah rasio. Di dalam hadits yang diriwayatkan oleh
Imam Muslim dari jalur ‘Aisyah Ibunda kaum mukminin radhiyallahu ta’ala ‘anha, Nabi shalallahu’alaihi wa sallam bersabda, “Maha
Suci Engkau (Ya Allah) hamba tidak mampu menyempurnakan ats
tsanaa’/sanjungan terhadap-Mu sebagaimana sanjungan yang Engkau tujukan
kepada Diri-Mu sendiri.” Sedangkan tasmiyah/penamaan (terhadap Allah-pent) termasuk dalam cakupan tsanaa’/sanjungan
(sehingga jumlah Nama Allah tidak terhitung sebagaimana Nabi
shalallahu’alaihi wa sallam tidak dapat menyempurnakan sanjungan
terhadap Allah-pent). Hal ini sebagaimana kita tidak diperbolehkan
memberi nama Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam menggunakan nama
yang bukan berasal dari pemberian nama oleh keluarga beliau, maka
terhadap Allah Rabbul ‘Izzah tentu tindakan menamai-Nya dengan nama yang
Dia sendiri tidak menamakan Diri-Nya dengannya lebih tidak pantas untuk
dilakukan.
Oleh karena itulah penetapan
Nama Allah tidak boleh berdasarkan akal semata. Kalau kita melakukan
penambahan nama selain Nama-Nama yang telah disebutkan-Nya bagi Diri-Nya
sendiri maka kita telah terjerumus dalam pembicaraan mengenai Allah
tanpa landasan ilmu. Dan apabila kita justru menyembunyikan Nama-Nama
yang sudah disebutkan-Nya maka hal ini termasuk tindakan penentangan dan
penolakan. Karena Allah berhak menamai Diri-Nya dengan nama apa saja
yang disukai-Nya. Sehingga tindakan menambah-nambahi atau menyembunyikan
Nama Allah tergolong tindakan yang sangat jelek.
Faidah:
Imam Ibnul Qayyim menjelaskan di dalam kitabnya Badaai’ul Fawaa’id: “Segala sesuatu yang disandarkan kepada Allah dalam permasalahan Asmaa’ dan Sifat adalah perkara tauqifi. Adapun penyandaran dalam bentuk berita tentang Allah bukan perkara tauqifi, contohnya memberitakan Allah sebagai Asy Syai’ (Sesuatu), Allah Maujud (ada), Qadiim (terdahulu), dan lain sebagainya. Kaidah inilah yang dikenal oleh ahli ilmu dengan ungkapan, “Cakupan penetapan berita lebih luas daripada penetapan Nama.”
Jika anda menetapkan Nama dari semua Sifat Allah yang tercantum di
dalam Al Kitab maupun As Sunnah sebagai pemberitaan tentang Nama-Nya
seperti Al Jaa’i (yang datang), Al Aakhidz (yang menyiksa), Al Mumsik (yang menahan), Al Muriid (yang berkehendak), An Naazil
(yang turun)… maka Allah Ta’ala tidak boleh dinamai dengan nama-nama
tersebut tetapi kita diperbolehkan memberitakan bahwa Allah memiliki
sifat-sifat tersebut.”
4. Setiap Nama Allah pasti menunjukkan keberadaan Dzat Allah, Sifat yang terkandung dalam Nama tersebut, serta atsar/pengaruh yang timbul dari Nama tersebut apabila ia termasuk kata yang butuh objek/muta’addi.
Syaikh Salman menjelaskan di dalam Al Kawaasyif Al Jaaliyah:
Dalam mengimani Asmaa’ dan Sifat Allah harus terpenuhi 3 rukun:
- Beriman dengan Nama tersebut.
- Beriman dengan makna/sifat yang terkandung di dalamnya.
- Beriman dengan atsar yang timbul dari Nama tersebut.
Syaikh Al Utsaimin -semoga Allah
Ta’ala merahmati beliau- (memberikan ungkapan yang sedikit berbeda untuk
rukun yang ketiga-pent) di dalam kitabnya Al Qawaa’idul Mutsla beliau menggunakan ungkapan “Menetapkan hukum dan konsekuensi Nama-Nama Allah” sebagai pengganti ungkapan “atsar yang timbul”.
Akan tetapi perbedaan ini tidak perlu dipermasalahkan karena maksud
dari penetapan hukum (yang dikatakan oleh Syaikh Utsaimin -pent) sama
artinya dengan menyandarkan Sifat kepada sasaran-sasarannya dimana
tampaknya objek/sasaran itu merupakan konsekuensi logis dari penetapan
Sifat. Seperti menyandarkan ilmu terhadap objek yang diilmui -dimana
dengan sebab Sifat ilmu- segala sesuatu tersebut bisa diketahui (oleh
Allah-pent). Rukun ketiga ini berlaku apabila Nama itu menunjukkan
kepada sifat yang butuh objek/muta’addi.
Sedangkan apabila Nama tersebut tidak menunjukkan sifat yang muta’addi
maka kewajiban kita adalah mengimani Nama itu yang sekaligus
menunjukkan keberadaan Dzat Ilahiyah serta mengimani makna (sifat) yang
terkandung di dalamnya. Pada penjelasan di depan telah dipaparkan bahwa
Nama Allah bukan sekedar label/merek akan tetapi ia merupakan Nama yang
paling indah. Dan salah satu bentuk keindahan tersebut ialah bahwasanya
Nama Allah itu menjadi Nama sekaligus Sifat.
Contoh dari penjelasan ini:
- Nama Allah yang menunjukkan sifat muta’addi/butuh objek:Seperti Al Qayyuum, Ar Rahiim, Al Kariim, At Tawwaab, Al Qadiir dan Al ‘Aliim. Ar Rahiim (Yang Maha Penyayang) kita tetapkan sebagai Nama Allah ‘Azza wa Jalla yang menunjukkan keberadaan Dzat Allah dan kita juga menetapkan Sifat Rahmah/kasih sayang sebagai salah satu sifat yang dimiliki oleh Allah Ta’ala. Selain itu kita juga menetapkan bahwasanya Allah mencurahkan rahmat-Nya kepada siapapun yang dikehendaki-Nya, dan inilah yang disebut dengan atsar.
- Nama Allah yang menunjukkan sifat yang tidak muta’addi: Seperti Al Awwal, Al Aakhir, Azh Zhaahir, Ar Rahmaan, Al ‘Aali, Al Hayyu dan Al ‘Azhim. Al ‘Aali (Yang Maha Tinggi) kita tetapkan sebagai Nama Allah ‘Azza wa Jalla yang menunjukkan keberadaan Dzat Allah dan kita juga menetapkan Sifat Al ‘Uluww/Tinggi sebagai sifat bagi-Nya.
***
Diterjemahkan dari Al Is’aad fii Syarhi Lum’atil I’tiqaad karya Syaikh Abdur Razzaaq bin Musa Al Jazaa’iri, oleh Abu Muslih Ari Wahyudi
Dipublikasikan oleh www.muslim.or.id
0 komentar:
Posting Komentar