Oleh : Ustadz Abu Minhâl
Sebagian kalangan tarikat Sufiyah membagi Islam menjadi dua bagian, yaitu syariat dan hakikat. Atau zhahir dan batin.
Ibnul-Jauzi rahimahullah menjelaskan: “Banyak kalangan Sufi yang membedakan (agama) menjadi hakikat dan syariat”.[1]
Yang dimaksudkan dengan syariat –menurut kaum Sufi- yaitu perkara apa saja yang diwahyukan Allah kepada Rasul-Nya tanpa memerlukan adanya pentakwilan. Mereka menyebutnya dengan nama ilmu zhahir atau ilmu syariah. Menurut kalangan Sufi, golongan yang mengimani nash-nash syariat tanpa menggunakan takwil ini, masuk ke dalam kategori kelompok awam. Yang termasuk dalam klasifikasi ini -menurut kaca mata mereka- yaitu para imam empat, seluruh ulama fiqih (fuqaha), dan ulama hadits.
Adapun pengertian al-haqiqah (hakikat), yaitu bisikan-bisikan hati dan mimpi-mimpi kaum Sufi, yang mereka yakini sebagai takwil (penafsiran) ilmu syariat. Ilmu ini dikenal dengan istilah ilmu bathin, dan para pemiliknya pun disebut ahlul-bâthin. Mereka inilah –menurut kalangan Sufi- yang dikategorikan sebagai manusia-manusia khâsh, yang menyandarkan cara pengamalan agama pada penakwilan nash-nash syariat. Bahkan kata mereka, ilmu bathin tersebut lebih tinggi daripada ilmu syariah.
Mereka melabeli para ulama syariah dengan sebutan yang merendahkan. Seperti ‘al-’awwaam’ (orang-orang awam), ahlu zhahir, al mahjubun (kaum yang terhalangi dari ilmu). Bahkan, kata ahlu syubuhat dan hawa nafsu pun mereka lekatkan pada ulama syariah.
Asy Syaranimenukil riwayat dari seorang tokoh Sufi, Nashr bin Ahmad ad Daqqaq, ia berkata : “Kesalahan seorang murid ada tiga : menikah, menulis hadits dan bergaul dengan ulama syariah”.
Lain lagi dengan Syaikh Hamd an Nahlan at Turabi. Sebelumnya ia menyibukkan diri dengan mengajar ilmu fiqh. Akan tetapi, pasca mengenal tarikat,menghabiskan waktunya selama 32 bulan untuk berkholwat. Murid-muridna pun memintanya untuk kembali mengajar. Akan tetapi ia menjawab : “Saya dan al Khalil (nama seorang ulama fiqih besar) terlah berpisah sampai hari Kiamat” [2]
HAKIKAT “ILMU HAKIKAT” SUFIYAH
Menurut seorang tokoh Sufi yang bernama Ibnu ‘Ajîbah [3], bahwa orang yang membagi agama menjadi hakikat dan syariat ialah Nabi. Menurut Ibnu ‘Ajîbah, Allah mengajarkannya kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam melalui wahyu dan ilham. Malaikat Jibril datang pertama kali membawa “syariat”. Dan tatkala “syariat” sudah mengakar, maka Malaikat Jabril turun untuk kedua kalinya dengan membawa “haqiqat”. Tetapi hanya sebagian orang yang memperolehnya. Dan orang yang pertama kali memunculkannya ialah Sayyiduna ‘Ali.[4]
Anggapan dan keyakinan seperti ini, tentu merupakan pemikiran bid’ah model baru. Karena sejak awal, kaum Muslimin tidak pernah mengenal pembagian ini. Kaum Muslimin tidak pernah memikirkannya, apalagi sampai mengakuinya. Benih pembagian agama menjadi “hakikat” dan “syariat” ini sebenarnya tumbuh dari sekte Syi`ah yang mengatakan bahwa setiap segala sesuatu memiliki sisi zhahir dan batin. Sehingga –menurut kaum Sufi- demikian pula dengan Al-Qur`an, ia mempunyai sisi zhahir dan batin. Setiap ayat dan kata-katanya memuat pengertian zhahir dan batin. Sisi batin itu tidak terdeteksi kecuali oleh kalangan hamba Allah yang khusus (kaum khawâsh), yang –konon- Allah mengistimewakannya dengan karunia ini, bukan kepada orang selain mereka.[5]
Oleh karena itu, kalangan Sufi yang memegangi bid’ah ini, mereka telah mengikuti jalan ta`wil, sehingga “terpaksa” banyak menggunakan bahasa-bahasa dan istilah yang biasa dipakai orang-orang Syi`ah.
KONSEKUENSI ADANYA “HAKIKAT” DAN “SYARIAT”
Keyakinan yang telah mengakar pada sebagian penganut Sufi ini, memunculkan banyak konsekuensi buruk. Mulai dari berdusta terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala, berdusta atas nama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam dan juga kebohongan terhadap para sahabat, terutama sahabat Abu Bakr, ‘Umar, dan Utsman Radhiyallahu ‘anhum. Beberapa konsekuensi ini mungkin saja tidak mereka sadari, atau bahkan mereka tolak, akan tetapi, demikianlah adanya.
Misalnya tentang kedustaan terhadap Allah Ta’ala,. Yaitu, mereka melakukan pembagian agama menjadi “hakikat” dan “syariat” itu turun dari Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada Rasul-Nya dengan perantaraan Malaikat Jibril Alaihissalam. Sedangkan kedustaan terhadap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa adanya pembagian ini telah menyiratkan tuduhan terhadap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, jika beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melakukan kitmânul-’ilmi (menyembunyikan sebagian ilmu) dan tidak menjalankan amanah tabligh secara penuh. Padahal, terdapat ancaman Allah Subhanahu wa Ta’ala atas orang-orang yang menyembunyikan ilmu.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami menerangkannya kepada manusia dalam Al-Kitab, mereka itu dilaknati Allah dan dilaknati (pula) oleh semua (makhluk) yang dapat melaknati”. [al- Baqarah/2:159].
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
مَنْ سُئِلَ عَنْ عِلْمٍ فَكَتَمَهُ أَلْجَمَهُ اللَّهُ بِلِجَامٍ مِنْ نَارٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Barang siapa yang ditanya ilmu, kemudian ia menyembunyikannya, niscaya Allah Subhanahu wa Ta’ala akan membelenggu mulutnya dengan tali kekang dari neraka pada hari Kiamat kelak” [HR Abu Dawud].
Sehingga tidak mungkin Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyembunyikan sebagian ilmu. Anggapan itu, nyata merupakan pendapat yang mengada-ada. Ilmu apakah yang beliau sembunyikan? Padahal saat haji Wada`, beliau n telah mempersaksikan tentang tugasnya yang sudah disampaikannya secara utuh. Allah Subhanahu wa Ta’ala pun telah menegaskan kesempurnaan Islam dalam Al-Qur`ânul-Karim.
Adapun lontaran kebohongan terhadap para sahabat, yaitu anggapan bahwa para sahabat Radhiyallahu ‘anhum adalah orang-orang sesat, bodoh, dan tidak mengenal ilmu hakikat yang dapat mendekatkan manusia kepada mahabatullah. Lontaran ini tentu merupakan kedustaan. Sebab mengandung hujatan yang meminggirkan peran para sahabat Radhiyallahu ‘anhum, dan hanya menempatkan Sahabat ‘Ali sajalah yang telah berperan dalam masalah ini, meskipun hakikatnya mereka pun berdusta atas nama Sahabat ‘Ali Radhiyallahu ‘anhu.
Secara khusus, kedustaan ini memuat dua permasalahan.
Pertama : Yakni semakin menguatkan adanya benang merah antara Sufi dan Syi’ah.
Kedua : Kedustaan ini merupakan petunjuk adanya hasad terpendam terhadap agama Islam. Karena pembagian agama dalam dua kutub “syariat” dan “hakikat”, di dalamnya mengandung usaha untuk menjauhkan umat Islam dari generasi terbaiknya, yaitu para sahabat Radhiyallahu ‘anhum yang mulia.
Semoga Allah memberikan taufik kepada kaum Muslimin untuk memahami agama Islam dengan cara yang benar.
Marâji`:
- Hâdzihi Hiyash Shûfiyah, Syaikh ‘Abdur-Rahmân al-Wakîl.
- Ijtimâ Juyûsyil-Islâmiyyah lil-Imam Ibnil-Qayyim ma’a Mauqifihi min Ba’dhil-Firaq, Dr. ‘Awwâd bin ‘Abdullah al-Mu’tiq, Maktabah Rusyd, Cetakan III, Tahun 1419 H – 1999 M.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun X/1427H/2006M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
________
Footnote
[1]. Naqdul-‘Ilmi wal-‘Ulama, hlm. 246-247.
[2]. Târîkh Baghdâd (2/331)
[3]. Ahmad bin Muhammad bin al Mahdi bin Ajîbah, dia adalah seorang tokoh Sufi, meninggal pada tahun 122H. Dia menulis sebuah kitab berjudul Iqâzhul-Himami fi Syarhil-Hikam.
[4]. Iqâzhul-Himami fi Syarhil-Hikam (1/5). Dikutip dari halaman 149 Ijtimâ’ Juyûsyil-Islâmiyyah lil- Imam Ibnil-Qayyim ma’a Mauqifihi min Ba’dhil-Firaq, Dr. ‘Awwâd bin ‘Abdullah al-Mu’tiq
[5]. Mengenai aliran Bathiniyah, lihat kupasannya di Majalah As-Sunnah, Edisi 01/Tahun X/1427 H/2006 M, hlm. 54-57.
0 komentar:
Posting Komentar