Merupakan suatu perkara yang tidak bisa
disangkal, bahwa alam semesta ini pasti ada yang menciptakan. Yang
mengingkari hal tersebut hanyalah segelintir orang. Itu pun karena
mereka tidak menggunakan akal sesuai dengan fungsinya. Sebab akal yang
sehat akan mengetahui bahwa setiap yang tampak di alam ini pasti ada
yang mewujudkan. Alam yang demikian teratur dengan sangat rapi tentu
memiliki pencipta, penguasa, dan pengatur. Tidak ada yang mengingkari
perkara ini kecuali orang yang tidak berakal atau sombong dan tidak mau
menggunakan pikiran sehat. Mereka tidaklah bisa dijadikan tempat
berpijak dalam menilai.
Dzat yang menciptakan, menguasai, dan
mengatur alam semesta ini adalah Allah subhanahu wa ta`ala. Inilah yang
disebut dengan rububiyyah Allah. Tauhid rububiyyah adalah sebuah
keyakinan yang diakui bahkan oleh kaum musyrikin. Allah subhanahu wa
ta`ala berfirman:
“Katakanlah:
Siapakah yang memberi rezeki kepadamu dari langit dan bumi, atau
siapakah yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan
siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan
yang mati dari yang hidup, dan siapakah yang mengatur segala urusan?
Maka mereka akan menjawab: “Allah”. Maka katakanlah: Mengapa kamu tidak
bertakwa (kepada-Nya)?” (Yunus:31)
Oleh sebab itu, selayaknya manusia
hanya menyembah kepada Allah subhanahu wa ta`ala saja. Allah subhanahu
wa ta`ala telah menciptakan untuk manusia berbagai prasarana berupa
alam semesta ini. Semua itu untuk mewujudkan peribadatan kepada-Nya.
Allah subhanahu wa ta`ala juga membantu mereka untuk mewujudkan
peribadahan tersebut dengan limpahan rezeki. Sedangkan Allah tidak
membutuhkan imbalan apa pun dari para makhluk-Nya. Allah subhanahu wa
ta`ala berfirman:
“Dan
Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka
menyembah-Ku. Aku tidak menghendaki rezeki sedikit pun dari mereka dan
Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi Aku makan. Sesungguhnya
Allah Dialah Maha Pemberi rezeki Yang Mempunyai Kekuatan lagi Sangat
Kokoh.” (Adz-Dzaariyaat:56-58)
Sesungguhnya tauhid tertanam pada jiwa
manusia secara fitroh. Namun asal fitroh ini dirusak oleh bujuk rayu
syaithan yang memalingkan dari tauhid dan menjerumuskan ke dalam
syirik. Para syaithan baik dari kalangan jin dan manusia bahu-membahu
untuk menyesatkan umat dengan ucapan-ucapan yang indah. Allah subhanahu
wa ta’ala berfirman,
“Dan
demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu
syaithan-syaithan (dari jenis) manusia dan (dari jenis) jin, sebahagian
mereka membisikkan kepada sebahagian yang lain perkataan-pekataan yang
indah-indah untuk menipu manusia” (Al-An’aam:112)
Tauhid adalah asal yang terdapat pada
fitroh manusia sejak dilahirkan. Sedangkan kesyirikan adalah sesuatu
yang mendatang dan merasuk ke dalam pikiran manusia. Allah subhanahu wa
ta`ala berfirman:
“Maka
hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah di
atas) fitroh Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitroh itu.
Tidak ada perubahan pada fitroh Allah.” (Ar-Ruum:30)
Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam bersabda,
“Setiap
anak yang lahir, dilahirkan atas fitroh, maka kedua orang tuanya yang
menjadikannya Yahudi, Nashroni, atau Majusi” (HR.Al-Bukhari)
Berarti asal yang tertanam pada diri manusia secara fitroh adalah bertauhid kepada Allah subhanahu wa ta`ala.
Kesyirikan adalah Sebab Perselisihan Manusia
Mulai masa Nabi Adam `alaihis-salam
sampai kurun waktu yang cukup panjang setelahnya, manusia senantiasa
berada di atas Islam sebagai agama tauhid. Allah subhanahu wa ta`ala
berfirman:
“Dahulu
manusia itu adalah ummat yang satu. maka Allah mengutus para nabi
sebagai pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan.” (Al-Baqarah: 213)
Kesyirikan berawal pada masa kaum Nabi
Nuh `alaihis-salam. Maka Allah mengutus Nabi Nuh `alaihis-salam sebagai
rasul yang pertama. Allah ta`ala berfirman,
“Sesungguhnya
Kami telah memberikan wahyu kepadamu sebagaimana Kami telah memberikan
wahyu kepada Nuh dan nabi-nabi yang kemudiannya.” (An-Nisaa`: 163)
Jarak antara Nabi Adam dan Nabi Nuh
`alaihimas-salam adalah sepuluh generasi yang seluruhnya berada di atas
Islam. Sebagaimana penjelasan Ibnu `Abbas radhiyallahu ta`ala `anhu.
Menurut Ibnul Qayyim rahimahullah bahwa ini merupakan pendapat yang benar. (Al-MuntaQao min Ighootsatil Lahafaan hal. 440)
Ubay bin Ka`ab rodiyallahu ‘anhu membaca firman Allah ta`ala dalam surat Al-Baqarah ayat ke-213 dengan bacaan sebagai berikut,
“Dahulu
manusia itu adalah ummat yang satu, lalu mereka berselisih, maka Allah
mengutus para nabi sebagai pemberi kabar gembira dan pemberi
peringatan.”
Bacaan Ubay bin Ka`ab di atas dikuatkan oleh firman Allah ta`ala:
“Dahulu manusia hanyalah ummat yang satu, kemudian mereka berselisih.” (Yuunus: 19)
Maksud pernyataan Ibnul Qayyim yang
terdahulu bahwa para nabi diutus karena perselisihan manusia. Mereka
telah keluar dari agama yang benar sebagaimana yang mereka pegangi
sebelumnya.
Dahulu bangsa Arab juga berada di atas agama Nabi Ibrahim `alaihis salam yaitu at-tauhid. hingga datang `Amr bin Luhai Al-Khuza`i lalu merubah agama Nabi Ibrahim `alaihis-salam. Melalui orang ini tersebar penyembahan terhadap berhala di bumi Arab, terlebih khusus wilayah Hijaz. Maka Allah subhanahu wa ta`ala mengutus Nabi kita Muhammad shallallohu `alaihi wa sallam menjadi nabi yang terakhir.
Dahulu bangsa Arab juga berada di atas agama Nabi Ibrahim `alaihis salam yaitu at-tauhid. hingga datang `Amr bin Luhai Al-Khuza`i lalu merubah agama Nabi Ibrahim `alaihis-salam. Melalui orang ini tersebar penyembahan terhadap berhala di bumi Arab, terlebih khusus wilayah Hijaz. Maka Allah subhanahu wa ta`ala mengutus Nabi kita Muhammad shallallohu `alaihi wa sallam menjadi nabi yang terakhir.
Rasulullah shallallohu `alaihi wa
sallam menyeru manusia kepada agama tauhid dan mengikuti ajaran Nabi
Ibrahim `alaihis-salam. Beliau berjihad di jalan Allah dengan
sebenar-benarnya. Sampai tegak kembali agama tauhid dan runtuh segala
penyembahan terhadap berhala. Saat itulah Allah menyempurnakan agama
dan nikmat-Nya bagi alam semesta.
Selanjutnya generasi yang terbaik dari
umat ini berjalan di atas ajaran tauhid. Namun setelah masa mereka
berlalu umat ini kembali didominasi oleh berbagai kebodohan. Mereka
terkungkung dengan berbagai pemikiran baru yang mengembalikan kepada
syirik. Bahkan pengaruh dari agama-agama lain cukup kuat mewarnai
semangat keagamaan yang mereka miliki.
Sejarah penyebaran syirik terulang pada
umat ini disebabkan para penyeru kesesatan. Sebab lain yang tak kalah
penting adalah pembangunan kuburan-kuburan dalam rangka pengagungan
terhadap para wali dan orang-orang shalih secara berlebihan.
Dengan demikian maka kuburan menjadi
tempat pengagungan lantas menjadi berhala yang disembah selain Allah.
Berbagai amalan diperuntukkan bagi kuburan baik berupa doa,
penyembelihan, nadzar dan yang selainnya. (lihat Kitabut-tauhid karya
DR.As- Syaikh Shalih Al-Fauzan hal. 6-7)
Itulah fenomena sejarah perjalanan
agama umat manusia sampai zaman ini. Hari-hari belakangan kesyirikan
telah sedemikian dahsyat melanda kaum muslimin. Sedikit sekali di
antara mereka orang yang mengerti tentang tauhid dan bersih dari
syirik. As-Syaikh Abdurrohman bin Hasan Alu As-Syaikh pernah berkata:
“Di awal umat ini jumlah orang yang bertauhid cukup banyak sedangkan di masa belakangan jumlah mereka sedikit”. (Qurratul-`Uyuun hal.24)
“Di awal umat ini jumlah orang yang bertauhid cukup banyak sedangkan di masa belakangan jumlah mereka sedikit”. (Qurratul-`Uyuun hal.24)
Kita mendapatkan perkara tauhid sebagai
barang langka di kehidupan sebagian masyarakat muslimin. Tidak dengan
mudah kita menemuinya walaupun mereka mengaku sebagai muslimin. Maka
perlu untuk membangkitkan kembali semangat bertauhid di tengah umat
ini. Karena tauhid adalah hak Allah yang paling wajib untuk ditunaikan
oleh manusia.
Tauhid, Hak Allah atas Segenap Manusia
Sesungguhnya tauhid adalah hak Allah
yang paling wajib untuk ditunaikan oleh manusia. Allah tidaklah
menciptakan manusia kecuali untuk bertauhid. Allah subhanahu wa ta`ala
berfirman:
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku” (Ad-Dzaariyaat: 56)
Sebagian ulama menafsirkan kalimat:
“supaya menyembah-Ku”
dengan makna:
“supaya mentauhidkan-Ku”
(Lihat Al-Qaulul Mufiid karya Syaikh Ibnu `Utsaimin jilid 1 hal. 20)
Jika peribadahan kepada Allah tidak
disertai dengan bertauhid maka tidak akan bermanfaat. Amalan mana pun
akan tertolak dan batal bila dicampuri oleh syirik. Bahkan bisa
menggugurkan seluruh amalan yang lain bila perbuatan syirik yang
dilakukan dalam kategori syirik besar. Allah subhanahu wa ta`ala
berfirman:
“Seandainya mereka mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan”. (Al-An`aam:88)
“Seandainya mereka mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan”. (Al-An`aam:88)
“Jika
kamu mempersekutukan (Allah), niscaya akan hapuslah amalmu dan
tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi.” (Az-Zumar: 65)
Dua ayat ini merupakan peringatan Allah
ta`ala kepada para nabi-Nya. Lalu bagaimana dengan yang selain mereka?
Tentu setiap amalan yang mereka lakukan adalah sia-sia bila tanpa
tauhid dan bersih dari syirik.
Tauhid adalah hak Allah subhanahu wa
ta`ala sebagai Pencipta, Pemilik dan Pengatur alam semesta ini. Langit
dan bumi serta segala sesuatu yang ada di dalam keduanya terwujud
karena penciptaan Allah subhanahu wa ta`ala.
Allah menciptakan seluruhnya dengan
hikmah yang sangat besar dan keadilan. Maka layak bagi Allah subhanahu
wa ta`ala untuk mendapatkan hak peribadahan dari para makhluk-Nya tanpa
disekutukan dengan sesuatu apa pun.
Allah telah menciptakan manusia setelah
sebelumnya mereka bukan sesuatu yang dapat disebut. Keberadaan mereka
di alam ini merupakan kekuasaan Allah yang disertai dengan berbagai
curahan nikmat dan karunia-Nya.
Allah telah melimpahkan sekian
kenikmatan sejak manusia masih berada di dalam perut ibunya, melewati
proses kehidupan di dalam tiga kegelapan. Pada fase ini tidak ada
seorang pun yang bisa menyampaikan makanan serta menjaga kehidupannya
melainkan Allah subhanahu wa ta`ala. Ibunya sebagai penghubung untuk
mendapatkan rezeki dari Allah ta`ala. Tatkala lahir ke dunia, Allah
ta`ala telah mentakdirkan baginya kedua orang tua yang mengasuhnya
sampai dewasa dengan penuh kasih sayang dan tanggung jawab.
Itu semua adalah rahmat dan keutamaan
Allah ta`ala terhadap segenap makhluk yang dikenal dengan nama manusia.
Jika seorang anak manusia lepas dari rahmat dan keutamaan Allah
walaupun sekejap maka dia akan binasa. Demikian pula jika Allah ta`ala
mencegah rahmat dan keutamaan-Nya dari manusia walaupun sedetik,
niscaya mereka tidak akan bisa hidup di dunia ini. Rahmat dan
keutamaan Allah yang sedemikian rupa menuntut kita untuk mewujudkan hak
Allah yang paling besar yaitu beribadah kepada-Nya. Allah subhanahu wa
ta`ala tidak pernah meminta dari kita balasan apa pun kecuali hanya
beribadah kepada-Nya semata.
Peribadahan kepada Allah bukanlah
sebagai balasan setimpal atas segala limpahan rahmat dan keutamaan
Allah bagi kita. Sebab perbandingannya tidak seimbang. Dalam setiap
hitungan nafas yang kita hembuskan maka di sana ada sekian rahmat dan
keutamaan Allah yang tak terhingga dan ternilai.
Oleh karenanya nilai ibadah yang kita lakukan kepada Allah tenggelam tanpa meninggalkan bilangan di dalam lautan rahmat dan keutamaan-Nya yang tak terkejar oleh hitungan angka. Allah subhanahu wa ta`ala berfirman:
Oleh karenanya nilai ibadah yang kita lakukan kepada Allah tenggelam tanpa meninggalkan bilangan di dalam lautan rahmat dan keutamaan-Nya yang tak terkejar oleh hitungan angka. Allah subhanahu wa ta`ala berfirman:
“Kami
tidak meminta rezeki kepadamu, Kamilah yang memberi rezeki kepadamu.
Dan kesudahan (yang baik) itu adalah bagi orang yang bertakwa.” (Thaha:
132)
Ketika manusia beribadah kepada Allah
tanpa berbuat syirik maka kemaslahatannya kembali kepada dirinya
sendiri. Allah akan membalas seluruh amal kebaikan manusia dengan
kebaikan yang berlipat ganda dan seluruh amal keburukan mereka dengan
yang setimpal. Peribadahan manusia tidaklah akan menguntungkan Allah dan
bila mereka tidak beribadah tidak pula akan merugikan-Nya.
Manusia yang sadar tentang kemaslahatan
dirinya akan beribadah kepada Allah tanpa menyekutukan-Nya dengan
sesuatu apa pun. Itulah tauhid yang harus dibersihkan dari berbagai
noda syirik. Kesyirikan hanya menjanjikan kesengsaraan hidup di alam
akhirat. Allah subhanahu wa ta`ala berfirman:
“Sesungguhnya
orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah
mengharamkan kepadanya surga, dan tempat kembalinya ialah neraka,
tidaklah ada bagi orang-orang dzolim itu seorang penolong pun.”
(Al-Maaidah: 72)
Sementara mentauhidkan Allah dalam
beribadah menghantarkan kepada keutamaan yang besar di dunia dan
akhirat. Allah subhanahu wa ta`ala berfirman:
“Orang-orang
yang beriman dan tidak mencampuri keimanan mereka dengan kedzoliman,
bagi mereka keamanan dan mereka mendapatkan petunjuk.” (Al-An`aam: 82)
Kedzoliman yang dimaksud dalam ayat ini
ialah kesyirikan sebagaimana yang ditafsirkan oleh Rasulullah
shallallahu `alaihi wa sallam dalam hadits Ibnu Mas`ud. (HR. Bukhari)
Sebagai penutup kami mengajak kepada
segenap kaum muslimin untuk beramai-ramai menyambut keberuntungan ini.
Jangan kita lalai sehingga jatuh ke dalam lubang kebinasaan yang
mendatangkan penyesalan di kemudian hari. Allah subhanahu wa taala
berfirman:
“Katakanlah:
“Sesungguhnya orang-orang yang rugi ialah orang-orang yang merugikan
diri mereka sendiri dan keluarganya pada hari kiamat”. Ingatlah yang
demikian itu adalah kerugian yang nyata.” (Az-Zumar: 15)
Wallohu a`lam bish-shawaab.
Menggapai Keutamaan Tauhid
Dalam tulisan yang lalu telah
dijelaskan tentang keharusan manusia untuk beribadah kepada Allah
semata tanpa berbuat syirik sedikit pun. Itulah yang disebut dengan
tauhid uluhiyyah. Seorang muslim adalah yang mengamalkan tauhid
uluhiyyah setelah mengakui tauhid rububiyyah. Sehingga tauhid ini
menjadi tema pembahasan kita.
Tauhid adalah ajaran keselamatan yang
dibawa oleh para nabi. Tak seorang nabi pun melainkan menyeru umatnya
kepada tauhid. Sebab tauhid merupakan inti ajaran agama samawi. Allah
subhanahu wa ta`ala berfirman:
“Dan
sungguh Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk
menyerukan): “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah thaghut.” (An-Nahl:
36)
“Dan Kami tidak mengutus seorang rasul
pun sebelum kamu melainkan Kami wahyukan kepadanya: ‘Bahwasannya tiada
ilah (yang berhak disembah) melainkan Aku, maka beribadahlah kamu
sekalian kepadaku.” (Al-Anbiyaa`: 25)
Para nabi menyeru umatnya kepada tauhid
karena memiliki keutamaan yang sangat besar. Nasib baik umat manusia
di dunia dan akhirat bergantung kepada perealisasian tauhid. Demikian
pula keselamatan hanya bisa diraih dengan bertauhid. Allah telah
menjanjikan kepada orang-orang yang bertauhid berbagai keutamaan. Semua
itu sebagai pelecut bagi kaum muslimin untuk menggapai keutamaan
tauhid tersebut.
Rasa Aman dan Petunjuk bagi Penganut Tauhid
Setiap penganut tauhid akan mendapatkan
jaminan keselamatan dari Allah berupa rasa aman dan petunjuk. Hal ini
membuktikan betapa penting bagi sekalian manusia untuk memiliki tauhid.
Allah subhanahu wa ta`ala berfirman:
“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampur adukkan keimanan mereka
dengan kedzoliman, mereka itulah orang-orang yang mendapatkan keamanan
dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapatkan petunjuk.”
(Al-An`aam: 82)
Yang dimaksud dengan kedzoliman di sini adalah syirik besar. Karena Ibnu Mas`ud radhiyallahu `anhu pernah berkata:
“Tatkala
ayat ini turun, mereka bertanya: Siapa diantara kami yang tidak
mendzolimi dirinya? Maka Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam
menjawab: (Ayat ini) bukan seperti yang kalian fahami. Tidakkah kalian
mendengar ucapan Luqman: Sesungguhnya syirik adalah kedzoliman yang
besar.” (HR. Bukhari).
Dengan demikian berarti seorang yang
tidak menjauhi syirik besar akan nihil perolehan rasa aman dan petunjuk
secara mutlak. Sebaliknya seorang yang bersih dari syirik besar akan
mendulang rasa aman dan petunjuk sesuai dengan tingkat keislaman dan
keimanan yang tertanam pada dirinya. Maka rasa aman dan petunjuk yang
sempurna hanya akan diraih oleh seorang yang bertauhid dan bertemu
dengan Allah tanpa membawa dosa besar yang dilakukan secara
terus-menerus.
Seorang yang bertauhid akan menggapai
rasa aman dan petunjuk sesuai dengan nilai tauhid dan akan hilang
sesuai dengan kadar maksiat. Ini apabila dia memiliki dosa-dosa dan
tidak bertaubat darinya.
Allah subhanahu wa ta`ala berfirman:
“Kemudian
kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih diantara
hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang mendzolimi dirinya
sendiri, dan di antara mereka ada yang pertengahan, dan di antara mereka
ada yang bersegera berbuat kebaikan dengan seizin Allah. Yang demikian
itu adalah karunia yang amat besar.” (Faathir: 32)
Orang yang mendzolimi dirinya adalah
orang yang mencampur adukkan amalan baik dengan amalan buruk. Golongan
ini berada di bawah kehendak Allah. Jika Allah berkehendak maka
diampuni dosanya. Bila tidak maka Allah akan menyiksanya akibat dosanya
pula. Namun Allah selamatkan dari kekekalan dalam api neraka sebab dia
memiliki tauhid. Sedangkan golongan yang pertengahan adalah orang yang
hanya mengamalkan kewajiban dan meninggalkan perkara yang haram. Ini
adalah keadaan Al-Abror (orang-orang yang berbuat kebaikan). Adapun
golongan yang bersegera kepada kebaikan adalah orang yang memiliki
kesempurnaan iman dengan mengerahkan seluruh kemampuannya untuk taat
kepada Allah, baik dalam berilmu maupun beramal.
Dua golongan yang terakhir akan
memperoleh keamanan dan petunjuk yang sempurna di dunia dan akhirat.
Karena sebuah kesempurnaan akan memperoleh kesempurnaan pula. Dan
sebuah kekurangan akan memperoleh kekurangan pula. Oleh sebab itu
kesempurnaan iman akan mencegah pemiliknya dari berbagai maksiat dan
siksanya. Hingga dia berjumpa dengan Rabbnya tanpa membawa satu dosa
pun yang bisa mengundang siksa. Sebagaimana Allah ta`ala berfirman:
“Mengapa Allah akan mengadzab kalian, jika kalian bersyukur dan beriman?” (An-Nisaa`: 147)
Penjelasan di atas adalah pendapat
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah rahimahullah
dan juga merupakan pendapat Ahlus-sunnah wal Jama`ah. (lihat Qurratul
`Uyuun karya Syaikh Abdurrohman bin Hasan Alus- Syaikh hal. 12-13,
dinukil dengan sedikit perubahan)
Rasa aman dan petunjuk yang dimaksud
dalam pembahasan ini adalah rasa aman dan petunjuk di dunia dan
akhirat. Ini pendapat yang benar menurut Syaikh Muhammad bin Shalih
Al-`Utsaimin. (lihat Al-Qaulul Mufiid jilid 1 hal. 58)
Allah telah menjanjikan bagi
orang-orang yang bertauhid rasa aman yang langgeng di dalam mengarungi
kehidupan dunia. Allah subhanahu wa ta`ala berfirman:
“Dan
Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu
dan mengerjakan amal shalih bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan
mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang
yang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi
mereka agama yang telah di ridhoi-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar
akan menukar (keadaan mereka), sesudah mereka berada dalam ketakutan
menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada
mempersekutukan Aku dengan sesuatu apa pun. Dan barangsiapa yang (tetap)
kafir sesudah (janji) itu, maka itulah orang-orang yang fasik.”
(An-Nuur:55)
Dalam kehidupan akhirat seseorang yang
bertauhid dengan sempurna akan menikmati rasa aman dari kekalan dalam
api neraka dan ancaman adzab. Sementara orang yang tidak menyempurnakan
tauhid karena melakukan dosa besar tanpa bertaubat akan mengecap rasa
aman dari kekalan dalam api neraka tetapi tidak merasa aman dari
ancaman adzab. Nasibnya tergantung pada kehendak Allah. Apakah Allah
mau mengampuninya atau justru mengadzabnya. Allah ta`ala berfirman:
“Sesungguhnya
Allah tidaklah mengampuni dosa syirik terhadap-Nya dan akan mengampuni
yang lebih ringan dari itu bagi orang yang Dia kehendaki.” (An-Nisaa`:
116)
Seorang yang bertauhid akan menggapai
petunjuk kepada syari`at Allah, baik yang berupa ilmu maupun amal dalam
menapaki kehidupan dunia. Ketika di akhirat mereka akan memperoleh
petunjuk ke jalan menuju surga. Allah ta`ala berfirman:
“(kepada
malaikat diperintahkan): “Kumpulkanlah orang-orang yang dzolim beserta
teman sejawat mereka dan sesembahan-sesembahan yang selalu mereka
sembah, selain Allah; maka tunjukkanlah kepada mereka jalan ke neraka.”
(Ash-Shaaffaat: 22-23)
Ayat ini menerangkan bahwa orang-orang
yang dzolim beserta teman sejawat mereka akan digiring ke jalan menuju
neraka Al-Jahim di alam akhirat. Dipahami dari sini bahwa orang-orang
yang beriman (baca: bertauhid) akan diarahkan ke jalan menuju surga
An-Na`im. (lihat Al-Qaulul Mufiid jilid 1 hal. 57-58)
Bertauhid kepada Allah merupakan modal
pokok untuk menggapai segala keberuntungan di dunia dan akhirat. Itulah
rahmat Allah yang sangat luas bagi para pemeluk tauhid. Hak timbal
balik ini merupakan ketetapan Allah bukan paksaan dan kehendak seorang
pun. Allah membentangkan keutamaannya bagi siapa yang mau
merealisasikan tauhid.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bertanya kepada Mu’adz bin Jabal radhiyallahu’anhu,
“Wahai
Mu’adz! Tahukah engkau hak Allah atas hamba-Nya dan hak hamba-Nya atas
Allah?” Mu’adz menjawab: “Allah dan rasul- Nya yang lebih mengetahui.”
Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam kemudian bersabda, “Hak Allah
atas hamba-Nya adalah beribadah kepada-Nya tanpa menyekutukan-Nya
dengan sesuatu apapun, dan hak hamba-Nya atas Allah adalah tidak
menyiksa barangsiapa yang tidak menyekutukanNya dengan sesuatu apapun.”
(HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Hadits ini menjelaskan bahwa Allah
tidak menyiksa seorang yang beribadah kepada-Nya tanpa berbuat syirik.
Maka tidak berbuat syirik belum cukup untuk menghindarkan dari adzab
Allah. Akan tetapi harus disertai dengan peribadahan kepada Allah.
Allah akan menyiksa seorang yang tidak
mau beribadah kepada-Nya walaupun tidak berbuat syirik. Ini berarti
ibadah kepada Allah dan tidak syirik harus dilaksanakan oleh seorang
hamba secara berbarengan guna menggapai keutamaan ini. Sebab hak Allah
atas hamba-Nya adalah beribadah kepada-Nya dan terlepas dari berbagai
noda syirik. Demikian pula status sebagai hamba Allah tidak akan
melekat pada dirinya sampai dia mewujudkan peribadahan kepada Allah
semata.
(lihat Al-Qaulul Mufid karya As-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin 1/ 42-43)
Tentu setiap muslim berkeinginan masuk
surga disamping selamat dari adzab Allah. Masuk surga merupakan perkara
yang sangat mereka idamkan. Surga adalah tempat kesudahan yang baik
bagi mereka. Syarat memasukinya adalah dengan bertauhid kepada Allah
subhanahu wa ta’ala.
Tauhid sangat berpengaruh dalam
menentukan nasib seorang muslim guna menggapai keutamaan ini.
Pelaksanaan tauhid secara murni dan tidak berbuat syirik sama sekali
dapat memudahkan jalan menuju surga tanpa penghalang. Maka tingkat
keberhasilan ini diukur dengan nilai tauhid yang telah dicapai oleh
masing-masing personil dalam menjalaninya.
Namun siapapun orangnya selama dia
memiliki tauhid maka tempat perhentian terakhirnya adalah surga. Ini
perkara pasti yang bersifat mutlak. Walaupun sebagian mereka harus
terlebih dahulu melalui kenyataan pahit yaitu merasakan siksa neraka.
Yang demikian dikarenakan nilai
tauhidnya tidak sempurna akibat bercampur dengan perbuatan dosa besar
tanpa bertaubat kepada Allah. Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam
bersabda,
“Barangsiapa
yang bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi kecuali
Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya, dan Muhammad adalah hamba dan
rasul-Nya, ‘dan Isa adalah hambanya, rasul-Nya, kalimat yang
dianugrahkan-Nya kepada Maryam dan ruh dari sisinya, dan bersaksi bahwa
(perihal) surga dan neraka itu adalah benar, Allah memasukkannya
kedalam Surga walau bagaimana amalnya”. (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari
‘Ubadah bin Shamit radhiallahu ‘anhu)
Al-Hafidz ‘Ibnu Hajar rahimahullah menjelaskan,
“Makna
sabda Rasulullah (… walau bagaimana amalnya) yaitu (amalnya) yang baik
maupun yang buruk. Karena ahli tauhid mesti masuk surga. Mungkin pula
maknanya: penduduk surga memasukinya sesuai dengan amalan masing-masing
dari mereka dalam (menempati) tingkatan-tingkatannya.”
Sedangkan menurut Imam Al-Qadhi ‘Iyadh rahimahullah,
“Yang tertera dalam hadist ‘Ubadah khusus bagi seorang yang mengucapkan hal-hal yang disampaikan oleh Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam. Lalu menggandengkan dua kalimat syahadat dengan hakikat keimanan dan tauhid yang terlampir dalam haditsnya. Sehingga dia memperoleh pahala yang bisa memperingan timbangan dosa-dosanya, serta mengundang keampunan, rahmat dan masuk surga pada tahapan yang pertama”. (lihat Fathul Majid karya Asy-Syaikh Abdurrahman Alus Syaikh hal. 60)
“Yang tertera dalam hadist ‘Ubadah khusus bagi seorang yang mengucapkan hal-hal yang disampaikan oleh Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam. Lalu menggandengkan dua kalimat syahadat dengan hakikat keimanan dan tauhid yang terlampir dalam haditsnya. Sehingga dia memperoleh pahala yang bisa memperingan timbangan dosa-dosanya, serta mengundang keampunan, rahmat dan masuk surga pada tahapan yang pertama”. (lihat Fathul Majid karya Asy-Syaikh Abdurrahman Alus Syaikh hal. 60)
As-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah berkata,
“Masuk surga terbagi menjadi dua jenis:
Pertama, masuk yang sempurna. Tidak didahului dengan siksa bagi seorang yang menyempurnakan amalan.
Kedua, masuk yang kurang sempurna. Didahului dengan siksa bagi seorang yang kurang beramal.
Maka seorang mukmin bila dosa-dosanya
mengalahkan kebaikan-kebaikannya, Allah akan menyiksanya sesuai dengan
kadar perbuatannya dan bisa pula tidak menyiksanya jika berkehendak.
Allah ta’ala berfirman,
“Sesungguhnya
Allah tidak mengampuni perbuatan syirik kepada-Nya dan mengampuni yang
lebih ringan dari itu bagi orang yang dikehendaki-Nya”. (An-Nisa:
116)”
(lihat Al-Qaulul Mufid 1/ 72)
Demikian pula Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Sesungguhnya
Allah mengharomkan api neraka bagi orang yang mengucapkan ‘La ilaha
illallah’ (Tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi selain Allah),
dengan hal itu dia mencari wajah Allah.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari
Itban bin Malik radhiallahu ‘anhu)
Asy-Syaikh Abdurrohman bin Hasan Alu Syaikh menjelaskan hadits ini,
”Sabdanya, (..dengan hal itu dia mencari wajah Allah) merupakan hakikat makna yang ditunjukkan oleh kalimat La Ilaha Illallah. Yaitu berupa memurnikan peribadahan kepada Allah dan meninggalkan syirik.
Sikap jujur dalam mengucapkannya dan keikhlasan (memurnikan ibadah) adalah dua perkara yang saling terkait erat. Tidak didapati salah satu dari keduanya tanpa yang lain. Maka barangsiapa yang tidak ikhlas (memurnikan ibadah) berarti dia seorang musyrik. Dan barangsiapa yang tidak jujur dalam mengucapkannya berarti dia seorang munafik.
Orang yang ikhlas dalam mengucapkannya adalah yang memurnikan ibadah kepada Zat Yang Berhak yaitu Allah bukan kepada yang selain-Nya. Inilah yang disebut dengan tauhid dan merupakan pondasi Islam. (lihat Qurratul Uyun halaman 18)
”Sabdanya, (..dengan hal itu dia mencari wajah Allah) merupakan hakikat makna yang ditunjukkan oleh kalimat La Ilaha Illallah. Yaitu berupa memurnikan peribadahan kepada Allah dan meninggalkan syirik.
Sikap jujur dalam mengucapkannya dan keikhlasan (memurnikan ibadah) adalah dua perkara yang saling terkait erat. Tidak didapati salah satu dari keduanya tanpa yang lain. Maka barangsiapa yang tidak ikhlas (memurnikan ibadah) berarti dia seorang musyrik. Dan barangsiapa yang tidak jujur dalam mengucapkannya berarti dia seorang munafik.
Orang yang ikhlas dalam mengucapkannya adalah yang memurnikan ibadah kepada Zat Yang Berhak yaitu Allah bukan kepada yang selain-Nya. Inilah yang disebut dengan tauhid dan merupakan pondasi Islam. (lihat Qurratul Uyun halaman 18)
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih
Al-Utsaimin rahimahullah memaparkan, “Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
berkata, ‘Sesungguhnya seorang yang mencari wajah Allah harus
menyempurnakan sarana-sarana yang mendukung pencariannya. Apabila dia
menyempurnakannya maka neraka diharamkan atasnya secara mutlak.
Demikian pula jika dia melakukan kebaikan-kebaikan dengan sempurna maka neraka diharamkan atasnya secara mutlak. Namun jika dia kurang menyempurnakannya maka nilai pencariannya juga menjadi kurang. Sehingga kadar pengharoman neraka atasnya juga berkurang. Hanya saja tauhidnya mencegah dari kekekalan di dalam api neraka. Barangsiapa yang berzina, minum khomr atau mencuri, lalu dia mengucapkan persaksian bahwa tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi selain Allah, dalam rangka mencari wajah Allah, berarti dia berdusta dalam persaksiannya. Karena nabi shallallahu‘alaihi wasallam bersabda,“Tidaklah seseorang yang berzina sebagai mukmin ketika berzina”. (HR Bukhari-Muslim dari hadits Abu Huroiroh)
Demikian pula jika dia melakukan kebaikan-kebaikan dengan sempurna maka neraka diharamkan atasnya secara mutlak. Namun jika dia kurang menyempurnakannya maka nilai pencariannya juga menjadi kurang. Sehingga kadar pengharoman neraka atasnya juga berkurang. Hanya saja tauhidnya mencegah dari kekekalan di dalam api neraka. Barangsiapa yang berzina, minum khomr atau mencuri, lalu dia mengucapkan persaksian bahwa tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi selain Allah, dalam rangka mencari wajah Allah, berarti dia berdusta dalam persaksiannya. Karena nabi shallallahu‘alaihi wasallam bersabda,“Tidaklah seseorang yang berzina sebagai mukmin ketika berzina”. (HR Bukhari-Muslim dari hadits Abu Huroiroh)
Apalagi bila persaksiannya itu ingin dianggap dalam rangka mencari wajah Allah.” (lihat Al-Qaulul Mufid halaman 1/74).
Pengetahuan tentang keutamaan-keutamaan
tauhid bukan hanya sekedar sekilas info. Hendaknya berbagai keutamaan
tauhid ini mampu membangkitkan semangat kita untuk lebih tekun
mempelajari tauhid dan mengamalkannya. Merugilah orang-orang yang
ilmunya tidak membuahkan amal. Perumpamaannya ibarat sebuah pohon yang
tidak menghasilkan buah. Bahkan lebih dari pada itu, orang yang tidak
mewujudkan tauhid baik secara ilmu maupun amal niscaya akan sengsara di
dunia sebelum akhirat.
Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam
mengungkap keutamaan tauhid dengan tujuan untuk membangkitkan semangat
umatnya bertauhid secara benar dan sungguh-sungguh. Bukan dengan maksud
agar mereka berpangku tangan dan merasa puas terhadap kelemahan dan
kekurangan dalam bertauhid. Keutamaan tauhid merupakan anugerah besar
yang Allah curahkan bagi orang yang bisa menggapainya dengan segala
daya dan upaya mewujudkan tauhid.
Selain keutamaan tauhid yang telah kita
utarakan dalam pembahasan lalu masih terdapat keutamaan tauhid yang
lainnya. Untuk mengetahui lebih jauh, marilah kita menyimak
hadits-hadits berikut ini,
Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash radhiallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Bahwasanya
Nuh ‘alaihis salam pernah berkata kepada anaknya saat akan wafat ‘Aku
perintahkan engkau (berpegang) dengan laa ilaaha illallah. Karena
langit yang tujuh dan bumi yang tujuh jika diletakan pada satu anak
timbangan dan La ilaaha illallah pada satu anak timbangan yang lain,
niscaya La ilaha illallah lebih berat daripada yang lainnya. Dan jika
langit yang tujuh beserta bumi yang tujuh membentuk lingkaran yang tak
diketahui tempat sambungannya, niscaya Laa ilaaha illallah akan
memutuskannya’.” (HR.Ahmad dan Al-Hakim, beliau menshahihkannya dan
disepakati oleh Adz-Dzahabi. Asy-Syaikh Al-Albani menshahihkan sanadnya
dalam As-Shahihah 1 / 210. Lihat takhrij Fathul Majid karya Asy-syaikh
‘Ali Sinan hal. 68)
Dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu
bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Allah
ta’ala berfirman, ‘Wahai Anak Adam jika seandainya engkau mendatangiku
dengan sepenuh bumi kesalahan sedangakan engkau tidak berbuat syirik
sedikit pun niscaya aku akan mendatangaimu dengan sepenuh bumi
keampunan”. (HR. Turmudzi dan beliau menghasankannya, Imam Muslim
meriwayatkannya dari hadits Ibnu Abbas dan Imam Ahmad meriwayatkan dari
hadits Abu Dzar radhiallahu ‘anhuma).
Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash radhiallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Pada
hari kiamat nanti, seorang dari umatku dipanggil di hadapan para
makhluk. Lalu dibentangkan sembilan puluh sembilan gulungan miliknya.
Setiap gulungan sejauh mata memandang. Lalu dikatakan, ‘Adakah sesuatu
yang engkau ingkari dari gulungan-gulungan ini? Apakah para pencatatku
yang menjaga amalmu telah mendzolimimu?’ Dia menjawab, ‘Tidak ada wahai
Rabbku’ Lalu dikatakan, ‘Apakah engkau memiliki sebuah udzur atau
kebaikan?’ Maka orang ini merasa segan lantas menjawab, tidak ada. Lalu
dikatakan, ‘Benar, sesungguhnya engkau memiliki sebuah kebaikan dan
engkau tidak akan didzolimi pada hari ini.’ Kemudian dikeluarkan satu
kartu miliknya yang bertuliskan, Asyhadu an La ilaaha illallah wa anna
Muhammadan ‘abduhu wa rasuluh (Aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan
yang berhak diibadahi kecuali Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad
adalah hamba dan utusannya). Maka dia berkata, ‘Wahai Rabbku apa nilai
kartu ini dibanding gulungan-gulungan itu?’ Lalu dikatakan,
‘Sesungguhnya engkau tidak akan didzolimi.’ Kemudian diletakkan
gulungan-gulungan itu pada satu anak timbangan dan kartu ini pada anak
timbangan yang lain. Ternyata timbangan gulungan-gulungan itu ringan
dan timbangan kartu ini berat”. (HR. Turmudzi, Ibnu Majah, Ibnu Hibban
dan Al-Hakim, beliau berkata, shahih atas syarat Muslim dan disepakati
oleh Adz-Dzahabi. Syaikh Albani dalam As-Shahihah 1 / 213 berkata,
‘Hadits ini sebagaimana yang dikatakan oleh keduanya’. Lihat takhrij
Fathul Majid hal.69)
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata
ketika menerangkan hadits ini, “Amal-amal perbuatan tidaklah
berbeda-beda keutamaannya dikarenakan bentuk dan bilangannya. Hanya
saja keutamaannya berbeda-beda sebab perbedaan keyakinan dalam hati
sehingga dua amalan bisa memiliki bentuk yang satu namun nilai
perbedaan di antara keduanya sejauh antara langit dan bumi.”
Selanjutnya beliau berkata, “Perhatikan
hadits tentang sebuah kartu yang diletakkan pada satu anak timbangan
lalu diimbangi dengan timbangan sembilan puluh sembilan gulungan yang
masing-masingnya sejauh mata memandang ternyata timbangan kartu itu
berat dan timbangan gulungan-gulungan itu ringan. Maka pemiliknya tidak
diadzab. Merupakan perkara yang dimaklumi bahwa setiap orang yang
bertauhid memiliki kartu ini. Akan tetapi kebanyakan mereka masuk
nereka dengan sebab dosa-dosanya”. (Lihat Fathul Majid hal 69)
Asy-Syaikh ‘Abdurrohman bin Hasan Alus
Syaikh menjelaskan, “Dalam mengucapkan dua kalimat syahadat harus
memilki ilmu dan keyakinan tentang maknanya. Selanjutnya serta
mengamalkan kandungannya sebagaimana firman Allah ta’ala,
“Berilmulah engkau bahwa tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi melainkan Allah” (Muhammad:19).
“Kecuali orang yang bersaksi dengan kebenaran sedangkan mereka mengetahui (berilmu tentang yang dipersaksikan). (Az-Zukhruf:86)
Mengucapkan dua kalimat syahadat tanpa
mengerti maknanya atau tidak meyakininya maka hal itu tidak bermanfaat.
Begitu pula jika tidak mengamalkan kandungannya yaitu sikap berlepas
diri dari syirik dan memurnikan ucapan serta amalan untuk Allah. Maka
tidak bermanfaat baik ucapan hati maupun lisan demikian pula amalan
hati serta anggota badan. Hal yang dikemukakan di atas adalah
kesepakatan para ulama”. (Lihat Fathul Majid hal 51).
Kita tutup pembahasan ini dengan
menukilkan keterangan Asy-Syaikh Abdurrohman As-Sa’di dalam kitabnya
Al-Qaulus Sadid halaman 16-19. Di sini kita akan memaparkannya dengan
lengkap mengingat bahwa penjelasan beliau sangat gamblang dan rinci
tentang keutamaan-keutamaan tauhid.
Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah berkata, “Termasuk dari keutamaan tauhid adalah:
Dapat menghapuskan dosa-dosa.
Merupakan sebab yang paling besar untuk
melonggarkan kesusahan-kesusahan serta bisa menjadi penangkal dari
berbagai akibat buruk dalam kehidupan dunia dan akhirat.
Mencegah kekekalan dalam api neraka
meskipun dalam hatinya hanya tertanam sebesar biji sawi keimanan. Juga
mencegah masuk neraka secara mutlak bila dia menyempurnakannya dalam
hati. Ini termasuk keutamaan tauhid yang paling mulia.
Memberi petunjuk dan rasa aman yang sempurna di dunia dan akhirat kepada pemiliknya.
Merupakan sebab satu-satunya untuk
menggapai ridho Allah dan pahala-Nya. Orang yang paling bahagia yang
memperoleh syafaat Muhammad shallallahu alaihi wasallam adalah yang
mengucapkan La ilaha illallah dengan ikhlas dari hatinya.
Penerimaan seluruh amalan dan ucapan,
baik yang tampak dan yang tersembunyi tergantung kepada tauhid
seseorang. Demikian pula penyempurnaannya dan pemberian ganjarannya.
Perkara-perkara ini menjadi sempurna dan lengkap tatkala tauhid dan
keikhlasan kepada Allah menguat. Ini termasuk keutamaan tauhid yang
paling besar.
Memudahkan seorang hamba untuk
melakukan kebaikan- kebaikan dan meninggalkan kemungkaran-kemungkaran.
Serta menghiburnya tatkala menghadapi berbagai musibah. Seorang yang
ikhlas kepada Allah dalam beriman dan bertauhid merasa ringan untuk
melakukan ketaatan-ketaatan. karena dia mengharapkan pahala dan
keridhoan Rabbnya. Baginya terasa ringan meninggalkan hawa nafsu yang
berupa maksiat. karena dia takut terhadap kemurkaan dan siksa Rabbnya.
Bila tauhid sempurna dalam hati
seseorang, Allah menjadikan pemiliknya mencintai keimanan serta
menghiasinya dalam hatinya. Selanjutnya Allah menjadikan pemiliknya
membenci kekafiran, kefasikan dan kemaksiatan. Lalu Allah memasukkannya
ke dalam golongan orang-orang yang terbimbing.
Meringankan segala kesulitan dan rasa
sakit bagi seorang hamba. Semuanya itu sesuai dengan penyempurnaan
tauhid dan iman yang dilakukan oleh seorang hamba. Sesuai pula dengan
sikap seorang hamba saat menerima segala kesulitan dan rasa sakit
dengan hati yang lapang, jiwa yang tenang, pasrah dan ridho terhadap
ketentuan-ketentuan Allah yang menyakitkan.
Melepaskan seorang hamba dari
perbudakan, ketergantungan, rasa takut, pengharapan dan beramal untuk
makhluq. Inilah keagungan dan kemulian yang hakiki. Bersamaan dengan
itu dia hanya beribadah dan menghambakan diri kepada Allah. tidak
mengharap, takut dan kembali kecuali hanya kepada allah. Dengan
demikian sempurna keberuntungannya dan terbukti keberhasilannya. Ini
termasuk keutamaan tauhid yang paling besar.
Bila tauhid sempurna dalam hati
seseorang dan terealisasi lengkap dengan keikhlasan yang sempurna,
amalnya yang sedikit berubah menjadi banyak. Segenap amal dan ucapannya
berlipat ganda tanpa batas dan hitungan. Kalimat ikhlas (Lailaha
illallah) menjadi berat dalam timbangan amal hamba-Nya ini sehingga tak
terimbangi oleh langit-langit dan bumi beserta seluruh makhluq
penghuninya. Perkara ini sebagaimana tertera dalam hadits Abi Sa’id dan
hadits tentang sebuah kartu yang bertuliskan La ilaha ilallah tapi
mampu mengalahkan berat timbangan sembilan puluh sembilan gulungan
catatan dosa dan setiap gulungan sejauh mata memandang.
Yang demikian karena keikhlasan orang
yang mengucapkannya. Berapa banyak orang yang mengucapkannya tetapi
tidak mencapai prestasi ini. Sebab di dalam hatinya tidak terdapat
tauhid dan keikhlasan yang sempurna seperti atau mendekati yang
terdapat dalam hati hamba-Nya ini. Ini termasuk keutamaan tauhid yang
tak bisa tertandingi oleh sesuatu apapun.
Allah menjamin kemenangan dan
pertolongan di dunia, keagungan, kemuliaan, petunjuk, kemudahan,
perbaikan kondisi dan situasi, serta pelurusan ucapan dan perbuatan
bagi pemilik tauhid.
Allah menghindarkan orang-orang yang
bertauhid dan beriman dari keburukan-keburukan dunia dan akherat. Allah
menganugerahkan atas mereka kehidupan yang baik, ketenangan kepada-Nya
dan kenyamanan dengan mengingat-Nya.
Cukup banyak dalil yang menguatkan keterangan-keterangan ini baik dari Al-Quran maupun As-sunnah. Wallahu a’lam”
Dengan demikian, rasanya cukup besar
dan banyak keutamaan yang Allah limpahkan bagi para hambanya yang
bertauhid. Sangat beruntung orang yang bisa menggapai seluruh
keutamaannya. Namun keberhasilan total hanya milik orang-orang yang
mampu menyempurnakan tauhid dengan sepenuhnya. Tentunya manusia
bertingkat-tingkat dalam mewujudkan tauhid kepada Allah ta’ala. Mereka
tidak berada pada satu level. Masing-masing menggapai keutamaan tauhid
sesuai dengan prestasinya dalam menerapkan tauhid. Allah berfirman:
“Itulah
keutamaan Allah, Dia berikan kepada orang yang dikehendakinya. Dan
Allah adalah dzat yang maha memliki keutamaan yang besar.”(Al-Jumuah:4)
Merealisasikan Tauhid
Pembahasan ini merupakan tema yang
cukup menarik bagi seseorang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya.
Tentunya orang yang beriman ingin membuktikan keimanannya. Dengan
demikian dia dinobatkan sebagai seorang mu’min sejati. Tidak ada jalan
untuk mewujudkan harapan yang mulia ini melainkan dengan merealisasikan
tauhid kepada Pencipta Langit dan Bumi, yakni Allah subhanahu wa
ta’ala.
Merealisasikan tauhid secara sempurna
adalah dengan membersihkan dan memurnikannya dari campuran syirik besar
maupun kecil, baik yang jelas atau tersembunyi. Peribadahan yang
dilakukan harus terbebas pula dari kebid’ahan dan dosa besar yang
dilakukan dengan terus menerus. Maka seorang yang berkemauan untuk
merealisasikan tauhid secara sempurna harus memenuhi kriteria
sebagaimana yang diutarakan tadi.
Merealisasikan tauhid artinya
menunaikan dua kalimat syahadat dengan sebaik-baiknya. Yang dimaksud
yaitu mentauhidkan Allah dalam perkara rububiyah, uluhiyyah, serta nama
dan sifat-Nya. Termasuk pula mentauhidkan Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam dalam perkara mengikutinya. Pengertiannya adalah dia
tidak mengikuti kecuali Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Inilah
yang disebut dengan tauhid mutaba’ah.
Seorang yang mengucapkan dua kalimat
syahadat hendaknya membersihkan tauhid dari berbagai jenis kesyirikan
dan dosa besar yang tidak disertai dengan bertaubat. Ini merupakan
bentuk realisasi ucapan tauhid La ilaha ilallah. Di samping itu dia
harus berlepas diri dari segala kebid’ahan (urusan agama yang tidak
diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam). Ini merupakan
bentuk realisasi ucapan tauhid Muhammadur Rasulullah. Maka demikianlah
makna merealisasikan tauhid secara sempurna.
Di samping terbebas dari berbagai jenis
syirik besar maupun kecil, baik yang jelas atau tersembunyi, seorang
yang bertauhid harus terlepas pula dari segala kebid’ahan dan dosa
besar yang diperbuat dengan terus menerus tanpa bertaubat. Karena
melaksanakan sebuah kebid’ahan berarti mempersekutukan Allah dengan
hawa nafsu. Demikian pula makna yang terkandung dalam memperbuat sebuah
dosa besar. (Penjelasan ini diterangkan oleh Asy-Syaikh Shalih bin
‘Abdul ‘Aziz Alus-Syaikh di kaset pelajaran Kitabut-Tauhid).
Tingkatan Merealisasikan Tauhid
Merealisasikan tauhid dapat dibagi menjadi dua tingkatan:
1. Tingkat yang Wajib
Yaitu seseorang merealisasikan tauhid
dengan membersihkan dan memurnikannya dari berbagai jenis kesyirikan,
kebid’ahan dan dosa besar yang dilakukan dengan terus-menerus. Ini
merupakan tingkat yang wajib bagi orang yang ingin merealisasikan
tauhid dengan sempurna.
2. Tingkat yang Mustahab
Tingkat ini digapai setelah menunaikan
tingkat yang pertama. Oleh sebab itu tingkat ini lebih tinggi
derajatnya dari tingkat yang pertama. Seorang yang ingin menduduki
tingkat ini harus melepaskan seluruh wujud penghambaan diri, keinginan,
dan tujuan yang menghadap kepada selain Allah. Sehingga dirinya tidak
menghadap, berkeinginan dan bertujuan untuk selain Allah sedikit pun
dan sekecil apapun. Maka hawa nafsu menjadi budaknya, sedangkan dirinya
menjadi hamba Allah secara total dan utuh.
Dengan demikian, seorang yang menempati
tingkat ini tidak hanya meninggalkan berbagai jenis kesyirikan,
kebid’ahan dan kemaksiatan. Namun dia juga meninggalkan perkara-perkara
yang makruh, bahkan sebagian perkara mubah yang dikhawatirkan
menggiring kepada perkara harom. Inilah yang diungkapkan oleh sebagian
ulama dengan pernyataan “Mereka meninggalkan perkara yang tidak
mengandung dosa karena khawatir terdapat dosa di dalamnya”.
Tingkatan kedua ini adalah wujud
maksimal untuk merealisasikan tauhid secara sempurna dalam meraih
derajat yang setingi-tingginya ketika masuk surga. Sedangkan tingkat
yang pertama adalah standar untuk masuk surga tanpa adzab dan
perhitungan amal.
Tentunya kedua tingkatan di atas
memiliki perbedaan pula dalam mengibadahi Allah subhanahu wat’ala. Jika
tingkat pertama hanya mengibadahi Allah dengan perkara-perkara yang
wajib saja.
Beda halnya dengan tingkat kedua. Pada
tingkat ini peribadahan kepada Allah tidak hanya sebatas dalam
perkara-perkara yang wajib saja tetapi juga dalam perkara-perkara yang
mustahab. Tingkat pertama disebut dengan Al-Muqtasid sedangkan
tingkatan kedua disebut dengan As-Saabiq bil Khairot. Wallahu a’lam.
Nabi Ibrahim ‘alaihis salam Profil Muwahhid Sejati
Allah berfirman dalam Al-Quranul Karim,
“Sesungguhnya
Ibrahim adalah seorang imam yang dapat dijadikan teladan lagi patuh
kepada Allah dan hanif. Dan sekali-kali bukanlah dia termasuk
orang-orang yang berbuat syirik.” (QS. An-Nahl: 120)
Di sini Allah memberitakan tentang
profil Nabi Ibrahim ‘alaihis salam yang merealisasikan tauhidnya secara
sempurna. Beliau adalah seorang pemimpin dan teladan dalam
kebaikan-kebaikan terutama perkara tauhid. Beliau adalah seorang yang
tunduk dan patuh kepada Allah dengan terus-menerus dalam seluruh
situasi, kondisi dan tempat.
Sifat lain yang beliau miliki yaitu
menghadapkan diri kepada Allah dengan sepenuhnya tanpa berpaling
sedikit pun kepada yang selain-Nya. Seluruh sifat beliau ini merupakan
hakikat penerapan tauhid yang sempurna kepada Allah subhanahu wa
ta’ala.
Pada ayat di atas diterangkan bahwa
Nabi Ibrahim ‘alaihis salam tidak termasuk dari golongan orang-orang
yang berbuat syirik (musyrikin). Kandungan ayat ini mencakup dua makna:
1.
Bahwa Nabi Ibrahim ‘alaihis salam tidak termasuk dari golongan
musyrikin secara fisik. Artinya beliau ‘alaihis salam berlepas diri,
tidak bergabung dan berkumpul bersama-sama kaum musyrikin dengan
jasadnya.
2.
Bahwa Nabi Ibrahim ‘alaihis salam tidak termasuk dari golongan
musyrikin secara sifat dan perilaku. Artinya beliau ‘alaihis salam
berlepas diri dan tidak melakukan kesyirikan sama sekali. Demikian pula
beliau ‘alaihis salam tidak mengikuti adat kebiasaan kaum musyrikin
yang bergelimang dengan kebid’ahan dan kemaksiatan di samping
kesyirikan.
(Seluruh keterangan yang lalu disampaikan oleh Asy-Syaikh ‘Abdul ‘Aziz Alus Syaikh di kaset Kitabut Tauhid).
Pada ayat di atas dinyatakan bahwa Nabi
Ibrahim ‘alaihis salam disebut sebagai satu umat padahal beliau
sendirian. Maksudnya agar orang-orang yang menempuh jalan tauhid tidak
merasa ngeri karena jumlah penganutnya sedikit.
Selanjutnya beliau ‘alaihis salam
dikukuhkan oleh Allah sebagai seorang yang tunduk dan patuh kepada-Nya.
Berarti beliau ‘alaihis salam bukan seorang yang tunduk kepada
penguasa atau orang kaya yang punya harta dan yang selain mereka. Maka
tidak ada yang selain mereka.
Maka tidak ada yang bisa menguasai
beliau ‘alaihis salam selain Allah, baik dari golongan para penguasa
maupun para orang kaya yang punya harta dan yang selain mereka. Beliau
‘alaihis salam tidak bisa dibelai dengan kekuasaan, harta atau yang
selainnya. Karena pendirian beliau ini Allah menyebutnya sebagai
seorang yang patuh dan tunduk kepada-Nya.
Berikutnya beliau ‘alaihis salam
disifatkan sebagai seorang yang hanif. Maksudnya beliau ‘alaihis salam
seorang yang hanya menghadap kepada Allah dan berpaling dari yang
selain-Nya tanpa menyimpang ke kanan dan ke kiri. Demikianlah
Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab menjelaskan tentang sifat-sifat
Nabi Ibrahim ‘alaihis salam sebagaimana pada ayat di atas.
Kriteria Orang-orang Yang Bertauhid
Allah berfirman dalam Al-Qur’anul Karim,
“Sesungguhnya orang-orang yang berhati-hati karena takut akan (adzab)
Rabb mereka, Dan orang-orang yang beriman dengan ayat-ayat Rabb mereka,
Dan orang-orang yang tidak mempersekutukan dengan Rabb mereka (sesuatu
apapun), Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka
berikan, dengan hati yang takut, (karena mereka tahu bahwa)
sesungguhnya mereka akan kembali kepada Rabb mereka, mereka itu
bersegera untuk mendapat kebaikan-kebaikan, dan merekalah orang-orang
yang segera memperolehnya. “(Al-Mu’minun:57-61)
Ayat-ayat di atas menyebutkan kriteria orang-orang yang beriman dan bertauhid dengan baik.
Tentang firman Allah, Sesungguhnya orang-orang yang berhati-hati karena takut akan (adzab) Rabb mereka
Ibnu Katsir rahimahullah berkata,
“Mereka berbuat baik dan beramal shalih karena takut terhadap Rabb
mereka dan khawatir ditimpa oleh sesuatu yang mereka tidak inginkan.
Inilah kondisi seorang mukmin, berbuat kebaikan karena takut kepada
Allah dan khawatir tidak memperoleh apa yang mereka inginkan”.
Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah
menyatakan, “Seorang mu’min mengumpulkan antara perbuatan baik dan rasa
takut kepada Allah. Sedangkan seorang munafik mengumpulkan antara
perbuatan jelek dan rasa aman dari siksa Allah.”
Tentang firman Allah, “Dan orang-orang yang beriman dengan ayat-ayat Rabb mereka”
Perlu diketahui bahwa beriman dengan ayat-ayat Allah mencakup dua hal:
Perlu diketahui bahwa beriman dengan ayat-ayat Allah mencakup dua hal:
1. Beriman dengan ayat Allah Al-Kauniyyah.
Maksudnya beriman bahwa segala yang terjadi di alam ini dengan taqdir dan ketentuan Allah.
2. Beriman dengan ayat Allah Asy-Syar’iyyah.
Maksudnya beriman kepada syariat yang Allah turunkan melalui Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam.
Ayat Allah Asy-Syar’iyyah mengandung tiga hal:
a. Perintah Allah yang disyariatkan. Ini adalah perkara yang dicintai Allah.
b. Larangan Allah yang disyari’atkan. Ini adalah perkara yang dibenci Allah.
c. Kabar yang diberitakan oleh Allah
dalam syari’at-Nya. Kabar ini adalah benar dan tidak mungkin dusta
sebab datangnya dari sisi Allah subhanahu wa ta’ala.
Tentang firman Allah, “Dan orang-orang yang tidak mempersekutukan dengan Rabb mereka (sesuatu apapun)”
Perlu diketahui bahwa tidak berbuat
syirik yang dimaksud dalam ayat ini adalah makna yang menyeluruh dan
mencakup semua jenisnya. Artinya tidak berbuat syirik besar maupun
kecil, baik yang jelas atau tersembunyi. Ini adalah sifat seorang yang
merealisasikan tauhid secara sempurna.
Jika dinyatakan “tidak berbuat syirik”
sedikit pun, berarti terlepas pula dari perbuatan bid’ah dan maksiat.
Sebab berbuat bid’ah dan maksiat merupakan realisasi menjadikan hawa
nafsu sebagai sesembahan selain Allah. Inilah yang disebut dengan
syirik. Coba perhatikan firman Allah ta’ala, “Apakah engkau tidak
melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai ilah
(sesembahan)-nya”. (Al-Jatsiyah:23)
Wallahu a’lam bishshawaab.
________________________
0 komentar:
Posting Komentar