-->

27 Agustus 2012

Kewajiban Untuk Bertauhid


Oleh: Abu Muhammad Abdul Mu’thi Al-Maidani
 
Merupakan suatu perkara yang tidak bisa disangkal, bahwa alam semesta ini pasti ada yang menciptakan. Yang mengingkari hal tersebut hanyalah segelintir orang. Itu pun karena mereka tidak menggunakan akal sesuai dengan fungsinya. Sebab akal yang sehat akan mengetahui bahwa setiap yang tampak di alam ini pasti ada yang mewujudkan. Alam yang demikian teratur dengan sangat rapi tentu memiliki pencipta, penguasa, dan pengatur. Tidak ada yang mengingkari perkara ini kecuali orang yang tidak berakal atau sombong dan tidak mau menggunakan pikiran sehat. Mereka tidaklah bisa dijadikan tempat berpijak dalam menilai.

Dzat yang menciptakan, menguasai, dan mengatur alam semesta ini adalah Allah subhanahu wa ta`ala. Inilah yang disebut dengan rububiyyah Allah. Tauhid rububiyyah adalah sebuah keyakinan yang diakui bahkan oleh kaum musyrikin. Allah subhanahu wa ta`ala berfirman:
“Katakanlah: Siapakah yang memberi rezeki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup, dan siapakah yang mengatur segala urusan? Maka mereka akan menjawab: “Allah”. Maka katakanlah: Mengapa kamu tidak bertakwa (kepada-Nya)?” (Yunus:31)

Oleh sebab itu, selayaknya manusia hanya menyembah kepada Allah subhanahu wa ta`ala saja. Allah subhanahu wa ta`ala telah menciptakan untuk manusia berbagai prasarana berupa alam semesta ini. Semua itu untuk mewujudkan peribadatan kepada-Nya. Allah subhanahu wa ta`ala juga membantu mereka untuk mewujudkan peribadahan tersebut dengan limpahan rezeki. Sedangkan Allah tidak membutuhkan imbalan apa pun dari para makhluk-Nya. Allah subhanahu wa ta`ala berfirman:
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku. Aku tidak menghendaki rezeki sedikit pun dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi Aku makan. Sesungguhnya Allah Dialah Maha Pemberi rezeki Yang Mempunyai Kekuatan lagi Sangat Kokoh.” (Adz-Dzaariyaat:56-58)

Sesungguhnya tauhid tertanam pada jiwa manusia secara fitroh. Namun asal fitroh ini dirusak oleh bujuk rayu syaithan yang memalingkan dari tauhid dan menjerumuskan ke dalam syirik. Para syaithan baik dari kalangan jin dan manusia bahu-membahu untuk menyesatkan umat dengan ucapan-ucapan yang indah. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu syaithan-syaithan (dari jenis) manusia dan (dari jenis) jin, sebahagian mereka membisikkan kepada sebahagian yang lain perkataan-pekataan yang indah-indah untuk menipu manusia” (Al-An’aam:112)

Tauhid adalah asal yang terdapat pada fitroh manusia sejak dilahirkan. Sedangkan kesyirikan adalah sesuatu yang mendatang dan merasuk ke dalam pikiran manusia. Allah subhanahu wa ta`ala berfirman:
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah di atas) fitroh Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitroh itu. Tidak ada perubahan pada fitroh Allah.” (Ar-Ruum:30)

Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam bersabda,
“Setiap anak yang lahir, dilahirkan atas fitroh, maka kedua orang tuanya yang menjadikannya Yahudi, Nashroni, atau Majusi” (HR.Al-Bukhari)

Berarti asal yang tertanam pada diri manusia secara fitroh adalah bertauhid kepada Allah subhanahu wa ta`ala.  

Kesyirikan adalah Sebab Perselisihan Manusia
Mulai masa Nabi Adam `alaihis-salam sampai kurun waktu yang cukup panjang setelahnya, manusia senantiasa berada di atas Islam sebagai agama tauhid. Allah subhanahu wa ta`ala berfirman:
“Dahulu manusia itu adalah ummat yang satu. maka Allah mengutus para nabi sebagai pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan.” (Al-Baqarah: 213)

Kesyirikan berawal pada masa kaum Nabi Nuh `alaihis-salam. Maka Allah mengutus Nabi Nuh `alaihis-salam sebagai rasul yang pertama. Allah ta`ala berfirman,
“Sesungguhnya Kami telah memberikan wahyu kepadamu sebagaimana Kami telah memberikan wahyu kepada Nuh dan nabi-nabi yang kemudiannya.” (An-Nisaa`: 163)

Jarak antara Nabi Adam dan Nabi Nuh `alaihimas-salam adalah sepuluh generasi yang seluruhnya berada di atas Islam. Sebagaimana penjelasan Ibnu `Abbas radhiyallahu ta`ala `anhu. 

Menurut Ibnul Qayyim rahimahullah bahwa ini merupakan pendapat yang benar. (Al-MuntaQao min Ighootsatil Lahafaan hal. 440)

Ubay bin Ka`ab rodiyallahu ‘anhu membaca firman Allah ta`ala dalam surat Al-Baqarah ayat ke-213 dengan bacaan sebagai berikut,
“Dahulu manusia itu adalah ummat yang satu, lalu mereka berselisih, maka Allah mengutus para nabi sebagai pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan.”

Bacaan Ubay bin Ka`ab di atas dikuatkan oleh firman Allah ta`ala:
“Dahulu manusia hanyalah ummat yang satu, kemudian mereka berselisih.” (Yuunus: 19)

Maksud pernyataan Ibnul Qayyim yang terdahulu bahwa para nabi diutus karena perselisihan manusia. Mereka telah keluar dari agama yang benar sebagaimana yang mereka pegangi sebelumnya.

Dahulu bangsa Arab juga berada di atas agama Nabi Ibrahim `alaihis salam yaitu at-tauhid. hingga datang `Amr bin Luhai Al-Khuza`i lalu merubah agama Nabi Ibrahim `alaihis-salam. Melalui orang ini tersebar penyembahan terhadap berhala di bumi Arab, terlebih khusus wilayah Hijaz. Maka Allah subhanahu wa ta`ala mengutus Nabi kita Muhammad shallallohu `alaihi wa sallam menjadi nabi yang terakhir. 

Rasulullah shallallohu `alaihi wa sallam menyeru manusia kepada agama tauhid dan mengikuti ajaran Nabi Ibrahim `alaihis-salam. Beliau berjihad di jalan Allah dengan sebenar-benarnya. Sampai tegak kembali agama tauhid dan runtuh segala penyembahan terhadap berhala. Saat itulah Allah menyempurnakan agama dan nikmat-Nya bagi alam semesta.

Selanjutnya generasi yang terbaik dari umat ini berjalan di atas ajaran tauhid. Namun setelah masa mereka berlalu umat ini kembali didominasi oleh berbagai kebodohan. Mereka terkungkung dengan berbagai pemikiran baru yang mengembalikan kepada syirik. Bahkan pengaruh dari agama-agama lain cukup kuat mewarnai semangat keagamaan yang mereka miliki. 

Sejarah penyebaran syirik terulang pada umat ini disebabkan para penyeru kesesatan. Sebab lain yang tak kalah penting adalah pembangunan kuburan-kuburan dalam rangka pengagungan terhadap para wali dan orang-orang shalih secara berlebihan. 

Dengan demikian maka kuburan menjadi tempat pengagungan lantas menjadi berhala yang disembah selain Allah. Berbagai amalan diperuntukkan bagi kuburan baik berupa doa, penyembelihan, nadzar dan yang selainnya. (lihat Kitabut-tauhid karya DR.As- Syaikh Shalih Al-Fauzan hal. 6-7)

Itulah fenomena sejarah perjalanan agama umat manusia sampai zaman ini. Hari-hari belakangan kesyirikan telah sedemikian dahsyat melanda kaum muslimin. Sedikit sekali di antara mereka orang yang mengerti tentang tauhid dan bersih dari syirik. As-Syaikh Abdurrohman bin Hasan Alu As-Syaikh pernah berkata: 
“Di awal umat ini jumlah orang yang bertauhid cukup banyak sedangkan di masa belakangan jumlah mereka sedikit”. (Qurratul-`Uyuun hal.24) 

Kita mendapatkan perkara tauhid sebagai barang langka di kehidupan sebagian masyarakat muslimin. Tidak dengan mudah kita menemuinya walaupun mereka mengaku sebagai muslimin. Maka perlu untuk membangkitkan kembali semangat bertauhid di tengah umat ini. Karena tauhid adalah hak Allah yang paling wajib untuk ditunaikan oleh manusia.  

Tauhid, Hak Allah atas Segenap Manusia
Sesungguhnya tauhid adalah hak Allah yang paling wajib untuk ditunaikan oleh manusia. Allah tidaklah menciptakan manusia kecuali untuk bertauhid. Allah subhanahu wa ta`ala berfirman:
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku” (Ad-Dzaariyaat: 56)

Sebagian ulama menafsirkan kalimat:
“supaya menyembah-Ku”
dengan makna:
“supaya mentauhidkan-Ku”
(Lihat Al-Qaulul Mufiid karya Syaikh Ibnu `Utsaimin jilid 1 hal. 20)

Jika peribadahan kepada Allah tidak disertai dengan bertauhid maka tidak akan bermanfaat. Amalan mana pun akan tertolak dan batal bila dicampuri oleh syirik. Bahkan bisa menggugurkan seluruh amalan yang lain bila perbuatan syirik yang dilakukan dalam kategori syirik besar. Allah subhanahu wa ta`ala berfirman:

“Seandainya mereka mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan”. (Al-An`aam:88)

“Jika kamu mempersekutukan (Allah), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi.” (Az-Zumar: 65)

Dua ayat ini merupakan peringatan Allah ta`ala kepada para nabi-Nya. Lalu bagaimana dengan yang selain mereka? Tentu setiap amalan yang mereka lakukan adalah sia-sia bila tanpa tauhid dan bersih dari syirik.

Tauhid adalah hak Allah subhanahu wa ta`ala sebagai Pencipta, Pemilik dan Pengatur alam semesta ini. Langit dan bumi serta segala sesuatu yang ada di dalam keduanya terwujud karena penciptaan Allah subhanahu wa ta`ala. 

Allah menciptakan seluruhnya dengan hikmah yang sangat besar dan keadilan. Maka layak bagi Allah subhanahu wa ta`ala untuk mendapatkan hak peribadahan dari para makhluk-Nya tanpa disekutukan dengan sesuatu apa pun. 

Allah telah menciptakan manusia setelah sebelumnya mereka bukan sesuatu yang dapat disebut. Keberadaan mereka di alam ini merupakan kekuasaan Allah yang disertai dengan berbagai curahan nikmat dan karunia-Nya. 

Allah telah melimpahkan sekian kenikmatan sejak manusia masih berada di dalam perut ibunya, melewati proses kehidupan di dalam tiga kegelapan. Pada fase ini tidak ada seorang pun yang bisa menyampaikan makanan serta menjaga kehidupannya melainkan Allah subhanahu wa ta`ala. Ibunya sebagai penghubung untuk mendapatkan rezeki dari Allah ta`ala. Tatkala lahir ke dunia, Allah ta`ala telah mentakdirkan baginya kedua orang tua yang mengasuhnya sampai dewasa dengan penuh kasih sayang dan tanggung jawab. 

Itu semua adalah rahmat dan keutamaan Allah ta`ala terhadap segenap makhluk yang dikenal dengan nama manusia. Jika seorang anak manusia lepas dari rahmat dan keutamaan Allah walaupun sekejap maka dia akan binasa. Demikian pula jika Allah ta`ala mencegah rahmat dan keutamaan-Nya dari manusia walaupun sedetik, niscaya mereka tidak akan bisa hidup di dunia ini. Rahmat dan keutamaan Allah yang sedemikian rupa menuntut kita untuk mewujudkan hak Allah yang paling besar yaitu beribadah kepada-Nya. Allah subhanahu wa ta`ala tidak pernah meminta dari kita balasan apa pun kecuali hanya beribadah kepada-Nya semata. 

Peribadahan kepada Allah bukanlah sebagai balasan setimpal atas segala limpahan rahmat dan keutamaan Allah bagi kita. Sebab perbandingannya tidak seimbang. Dalam setiap hitungan nafas yang kita hembuskan maka di sana ada sekian rahmat dan keutamaan Allah yang tak terhingga dan ternilai.

Oleh karenanya nilai ibadah yang kita lakukan kepada Allah tenggelam tanpa meninggalkan bilangan di dalam lautan rahmat dan keutamaan-Nya yang tak terkejar oleh hitungan angka. Allah subhanahu wa ta`ala berfirman:
“Kami tidak meminta rezeki kepadamu, Kamilah yang memberi rezeki kepadamu. Dan kesudahan (yang baik) itu adalah bagi orang yang bertakwa.” (Thaha: 132)

Ketika manusia beribadah kepada Allah tanpa berbuat syirik maka kemaslahatannya kembali kepada dirinya sendiri. Allah akan membalas seluruh amal kebaikan manusia dengan kebaikan yang berlipat ganda dan seluruh amal keburukan mereka dengan yang setimpal. Peribadahan manusia tidaklah akan menguntungkan Allah dan bila mereka tidak beribadah tidak pula akan merugikan-Nya. 

Manusia yang sadar tentang kemaslahatan dirinya akan beribadah kepada Allah tanpa menyekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun. Itulah tauhid yang harus dibersihkan dari berbagai noda syirik. Kesyirikan hanya menjanjikan kesengsaraan hidup di alam akhirat. Allah subhanahu wa ta`ala berfirman:
“Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempat kembalinya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang dzolim itu seorang penolong pun.” (Al-Maaidah: 72)

Sementara mentauhidkan Allah dalam beribadah menghantarkan kepada keutamaan yang besar di dunia dan akhirat. Allah subhanahu wa ta`ala berfirman:
“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuri keimanan mereka dengan kedzoliman, bagi mereka keamanan dan mereka mendapatkan petunjuk.” (Al-An`aam: 82)

Kedzoliman yang dimaksud dalam ayat ini ialah kesyirikan sebagaimana yang ditafsirkan oleh Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam dalam hadits Ibnu Mas`ud. (HR. Bukhari)

Sebagai penutup kami mengajak kepada segenap kaum muslimin untuk beramai-ramai menyambut keberuntungan ini. Jangan kita lalai sehingga jatuh ke dalam lubang kebinasaan yang mendatangkan penyesalan di kemudian hari. Allah subhanahu wa taala berfirman:
“Katakanlah: “Sesungguhnya orang-orang yang rugi ialah orang-orang yang merugikan diri mereka sendiri dan keluarganya pada hari kiamat”. Ingatlah yang demikian itu adalah kerugian yang nyata.” (Az-Zumar: 15)

Wallohu a`lam bish-shawaab. 

Menggapai Keutamaan Tauhid
Dalam tulisan yang lalu telah dijelaskan tentang keharusan manusia untuk beribadah kepada Allah semata tanpa berbuat syirik sedikit pun. Itulah yang disebut dengan tauhid uluhiyyah. Seorang muslim adalah yang mengamalkan tauhid uluhiyyah setelah mengakui tauhid rububiyyah. Sehingga tauhid ini menjadi tema pembahasan kita.

Tauhid adalah ajaran keselamatan yang dibawa oleh para nabi. Tak seorang nabi pun melainkan menyeru umatnya kepada tauhid. Sebab tauhid merupakan inti ajaran agama samawi. Allah subhanahu wa ta`ala berfirman:
“Dan sungguh Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah thaghut.” (An-Nahl: 36)

“Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum kamu melainkan Kami wahyukan kepadanya: ‘Bahwasannya tiada ilah (yang berhak disembah) melainkan Aku, maka beribadahlah kamu sekalian kepadaku.” (Al-Anbiyaa`: 25)

Para nabi menyeru umatnya kepada tauhid karena memiliki keutamaan yang sangat besar. Nasib baik umat manusia di dunia dan akhirat bergantung kepada perealisasian tauhid. Demikian pula keselamatan hanya bisa diraih dengan bertauhid. Allah telah menjanjikan kepada orang-orang yang bertauhid berbagai keutamaan. Semua itu sebagai pelecut bagi kaum muslimin untuk menggapai keutamaan tauhid tersebut. 

Rasa Aman dan Petunjuk bagi Penganut Tauhid
Setiap penganut tauhid akan mendapatkan jaminan keselamatan dari Allah berupa rasa aman dan petunjuk. Hal ini membuktikan betapa penting bagi sekalian manusia untuk memiliki tauhid. Allah subhanahu wa ta`ala berfirman:
“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampur adukkan keimanan mereka dengan kedzoliman, mereka itulah orang-orang yang mendapatkan keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapatkan petunjuk.” (Al-An`aam: 82)

Yang dimaksud dengan kedzoliman di sini adalah syirik besar. Karena Ibnu Mas`ud radhiyallahu `anhu pernah berkata:
“Tatkala ayat ini turun, mereka bertanya: Siapa diantara kami yang tidak mendzolimi dirinya? Maka Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam menjawab: (Ayat ini) bukan seperti yang kalian fahami. Tidakkah kalian mendengar ucapan Luqman: Sesungguhnya syirik adalah kedzoliman yang besar.” (HR. Bukhari).

Dengan demikian berarti seorang yang tidak menjauhi syirik besar akan nihil perolehan rasa aman dan petunjuk secara mutlak. Sebaliknya seorang yang bersih dari syirik besar akan mendulang rasa aman dan petunjuk sesuai dengan tingkat keislaman dan keimanan yang tertanam pada dirinya. Maka rasa aman dan petunjuk yang sempurna hanya akan diraih oleh seorang yang bertauhid dan bertemu dengan Allah tanpa membawa dosa besar yang dilakukan secara terus-menerus.

Seorang yang bertauhid akan menggapai rasa aman dan petunjuk sesuai dengan nilai tauhid dan akan hilang sesuai dengan kadar maksiat. Ini apabila dia memiliki dosa-dosa dan tidak bertaubat darinya.
Allah subhanahu wa ta`ala berfirman:
“Kemudian kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih diantara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang mendzolimi dirinya sendiri, dan di antara mereka ada yang pertengahan, dan di antara mereka ada yang bersegera berbuat kebaikan dengan seizin Allah. Yang demikian itu adalah karunia yang amat besar.” (Faathir: 32)

Orang yang mendzolimi dirinya adalah orang yang mencampur adukkan amalan baik dengan amalan buruk. Golongan ini berada di bawah kehendak Allah. Jika Allah berkehendak maka diampuni dosanya. Bila tidak maka Allah akan menyiksanya akibat dosanya pula. Namun Allah selamatkan dari kekekalan dalam api neraka sebab dia memiliki tauhid. Sedangkan golongan yang pertengahan adalah orang yang hanya mengamalkan kewajiban dan meninggalkan perkara yang haram. Ini adalah keadaan Al-Abror (orang-orang yang berbuat kebaikan). Adapun golongan yang bersegera kepada kebaikan adalah orang yang memiliki kesempurnaan iman dengan mengerahkan seluruh kemampuannya untuk taat kepada Allah, baik dalam berilmu maupun beramal. 

Dua golongan yang terakhir akan memperoleh keamanan dan petunjuk yang sempurna di dunia dan akhirat. Karena sebuah kesempurnaan akan memperoleh kesempurnaan pula. Dan sebuah kekurangan akan memperoleh kekurangan pula. Oleh sebab itu kesempurnaan iman akan mencegah pemiliknya dari berbagai maksiat dan siksanya. Hingga dia berjumpa dengan Rabbnya tanpa membawa satu dosa pun yang bisa mengundang siksa. Sebagaimana Allah ta`ala berfirman:
“Mengapa Allah akan mengadzab kalian, jika kalian bersyukur dan beriman?” (An-Nisaa`: 147)

Penjelasan di atas adalah pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah rahimahullah dan juga merupakan pendapat Ahlus-sunnah wal Jama`ah. (lihat Qurratul `Uyuun karya Syaikh Abdurrohman bin Hasan Alus- Syaikh hal. 12-13, dinukil dengan sedikit perubahan)

Rasa aman dan petunjuk yang dimaksud dalam pembahasan ini adalah rasa aman dan petunjuk di dunia dan akhirat. Ini pendapat yang benar menurut Syaikh Muhammad bin Shalih Al-`Utsaimin. (lihat Al-Qaulul Mufiid jilid 1 hal. 58)

Allah telah menjanjikan bagi orang-orang yang bertauhid rasa aman yang langgeng di dalam mengarungi kehidupan dunia. Allah subhanahu wa ta`ala berfirman:
“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal shalih bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah di ridhoi-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan mereka), sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan Aku dengan sesuatu apa pun. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka itulah orang-orang yang fasik.” (An-Nuur:55)

Dalam kehidupan akhirat seseorang yang bertauhid dengan sempurna akan menikmati rasa aman dari kekalan dalam api neraka dan ancaman adzab. Sementara orang yang tidak menyempurnakan tauhid karena melakukan dosa besar tanpa bertaubat akan mengecap rasa aman dari kekalan dalam api neraka tetapi tidak merasa aman dari ancaman adzab. Nasibnya tergantung pada kehendak Allah. Apakah Allah mau mengampuninya atau justru mengadzabnya. Allah ta`ala berfirman:
“Sesungguhnya Allah tidaklah mengampuni dosa syirik terhadap-Nya dan akan mengampuni yang lebih ringan dari itu bagi orang yang Dia kehendaki.” (An-Nisaa`: 116)

Seorang yang bertauhid akan menggapai petunjuk kepada syari`at Allah, baik yang berupa ilmu maupun amal dalam menapaki kehidupan dunia. Ketika di akhirat mereka akan memperoleh petunjuk ke jalan menuju surga. Allah ta`ala berfirman:
“(kepada malaikat diperintahkan): “Kumpulkanlah orang-orang yang dzolim beserta teman sejawat mereka dan sesembahan-sesembahan yang selalu mereka sembah, selain Allah; maka tunjukkanlah kepada mereka jalan ke neraka.” (Ash-Shaaffaat: 22-23)

Ayat ini menerangkan bahwa orang-orang yang dzolim beserta teman sejawat mereka akan digiring ke jalan menuju neraka Al-Jahim di alam akhirat. Dipahami dari sini bahwa orang-orang yang beriman (baca: bertauhid) akan diarahkan ke jalan menuju surga An-Na`im. (lihat Al-Qaulul Mufiid jilid 1 hal. 57-58)

Bertauhid kepada Allah merupakan modal pokok untuk menggapai segala keberuntungan di dunia dan akhirat. Itulah rahmat Allah yang sangat luas bagi para pemeluk tauhid. Hak timbal balik ini merupakan ketetapan Allah bukan paksaan dan kehendak seorang pun. Allah membentangkan keutamaannya bagi siapa yang mau merealisasikan tauhid. 

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bertanya kepada Mu’adz bin Jabal radhiyallahu’anhu,
“Wahai Mu’adz! Tahukah engkau hak Allah atas hamba-Nya dan hak hamba-Nya atas Allah?” Mu’adz menjawab: “Allah dan rasul- Nya yang lebih mengetahui.” Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam kemudian bersabda, “Hak Allah atas hamba-Nya adalah beribadah kepada-Nya tanpa menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun, dan hak hamba-Nya atas Allah adalah tidak menyiksa barangsiapa yang tidak menyekutukanNya dengan sesuatu apapun.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Hadits ini menjelaskan bahwa Allah tidak menyiksa seorang yang beribadah kepada-Nya tanpa berbuat syirik. Maka tidak berbuat syirik belum cukup untuk menghindarkan dari adzab Allah. Akan tetapi harus disertai dengan peribadahan kepada Allah. 

Allah akan menyiksa seorang yang tidak mau beribadah kepada-Nya walaupun tidak berbuat syirik. Ini berarti ibadah kepada Allah dan tidak syirik harus dilaksanakan oleh seorang hamba secara berbarengan guna menggapai keutamaan ini. Sebab hak Allah atas hamba-Nya adalah beribadah kepada-Nya dan terlepas dari berbagai noda syirik. Demikian pula status sebagai hamba Allah tidak akan melekat pada dirinya sampai dia mewujudkan peribadahan kepada Allah semata.
(lihat Al-Qaulul Mufid karya As-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin 1/ 42-43)

Tentu setiap muslim berkeinginan masuk surga disamping selamat dari adzab Allah. Masuk surga merupakan perkara yang sangat mereka idamkan. Surga adalah tempat kesudahan yang baik bagi mereka. Syarat memasukinya adalah dengan bertauhid kepada Allah subhanahu wa ta’ala. 

Tauhid sangat berpengaruh dalam menentukan nasib seorang muslim guna menggapai keutamaan ini. Pelaksanaan tauhid secara murni dan tidak berbuat syirik sama sekali dapat memudahkan jalan menuju surga tanpa penghalang. Maka tingkat keberhasilan ini diukur dengan nilai tauhid yang telah dicapai oleh masing-masing personil dalam menjalaninya. 

Namun siapapun orangnya selama dia memiliki tauhid maka tempat perhentian terakhirnya adalah surga. Ini perkara pasti yang bersifat mutlak. Walaupun sebagian mereka harus terlebih dahulu melalui kenyataan pahit yaitu merasakan siksa neraka. 

Yang demikian dikarenakan nilai tauhidnya tidak sempurna akibat bercampur dengan perbuatan dosa besar tanpa bertaubat kepada Allah. Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam bersabda,
“Barangsiapa yang bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi kecuali Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya, dan Muhammad adalah hamba dan rasul-Nya, ‘dan Isa adalah hambanya, rasul-Nya, kalimat yang dianugrahkan-Nya kepada Maryam dan ruh dari sisinya, dan bersaksi bahwa (perihal) surga dan neraka itu adalah benar, Allah memasukkannya kedalam Surga walau bagaimana amalnya”. (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari ‘Ubadah bin Shamit radhiallahu ‘anhu)

Al-Hafidz ‘Ibnu Hajar rahimahullah menjelaskan,
“Makna sabda Rasulullah (… walau bagaimana amalnya) yaitu (amalnya) yang baik maupun yang buruk. Karena ahli tauhid mesti masuk surga. Mungkin pula maknanya: penduduk surga memasukinya sesuai dengan amalan masing-masing dari mereka dalam (menempati) tingkatan-tingkatannya.”

Sedangkan menurut Imam Al-Qadhi ‘Iyadh rahimahullah,
“Yang tertera dalam hadist ‘Ubadah khusus bagi seorang yang mengucapkan hal-hal yang disampaikan oleh Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam. Lalu menggandengkan dua kalimat syahadat dengan hakikat keimanan dan tauhid yang terlampir dalam haditsnya. Sehingga dia memperoleh pahala yang bisa memperingan timbangan dosa-dosanya, serta mengundang keampunan, rahmat dan masuk surga pada tahapan yang pertama”. (lihat Fathul Majid karya Asy-Syaikh Abdurrahman Alus Syaikh hal. 60)

As-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah berkata, 
“Masuk surga terbagi menjadi dua jenis:
Pertama, masuk yang sempurna. Tidak didahului dengan siksa bagi seorang yang menyempurnakan amalan. 
Kedua, masuk yang kurang sempurna. Didahului dengan siksa bagi seorang yang kurang beramal.
Maka seorang mukmin bila dosa-dosanya mengalahkan kebaikan-kebaikannya, Allah akan menyiksanya sesuai dengan kadar perbuatannya dan bisa pula tidak menyiksanya jika berkehendak. Allah ta’ala berfirman,
“Sesungguhnya Allah tidak mengampuni perbuatan syirik kepada-Nya dan mengampuni yang lebih ringan dari itu bagi orang yang dikehendaki-Nya”. (An-Nisa: 116)”
(lihat Al-Qaulul Mufid 1/ 72)

Demikian pula Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Sesungguhnya Allah mengharomkan api neraka bagi orang yang mengucapkan ‘La ilaha illallah’ (Tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi selain Allah), dengan hal itu dia mencari wajah Allah.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Itban bin Malik radhiallahu ‘anhu)

Asy-Syaikh Abdurrohman bin Hasan Alu Syaikh menjelaskan hadits ini,
”Sabdanya, (..dengan hal itu dia mencari wajah Allah) merupakan hakikat makna yang ditunjukkan oleh kalimat La Ilaha Illallah. Yaitu berupa memurnikan peribadahan kepada Allah dan meninggalkan syirik.


Sikap jujur dalam mengucapkannya dan keikhlasan (memurnikan ibadah) adalah dua perkara yang saling terkait erat. Tidak didapati salah satu dari keduanya tanpa yang lain. Maka barangsiapa yang tidak ikhlas (memurnikan ibadah) berarti dia seorang musyrik. Dan barangsiapa yang tidak jujur dalam mengucapkannya berarti dia seorang munafik.


Orang yang ikhlas dalam mengucapkannya adalah yang memurnikan ibadah kepada Zat Yang Berhak yaitu Allah bukan kepada yang selain-Nya. Inilah yang disebut dengan tauhid dan merupakan pondasi Islam. (lihat Qurratul Uyun halaman 18)

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah memaparkan, “Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, ‘Sesungguhnya seorang yang mencari wajah Allah harus menyempurnakan sarana-sarana yang mendukung pencariannya. Apabila dia menyempurnakannya maka neraka diharamkan atasnya secara mutlak.

Demikian pula jika dia melakukan kebaikan-kebaikan dengan sempurna maka neraka diharamkan atasnya secara mutlak. Namun jika dia kurang menyempurnakannya maka nilai pencariannya juga menjadi kurang. Sehingga kadar pengharoman neraka atasnya juga berkurang. Hanya saja tauhidnya mencegah dari kekekalan di dalam api neraka. Barangsiapa yang berzina, minum khomr atau mencuri, lalu dia mengucapkan persaksian bahwa tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi selain Allah, dalam rangka mencari wajah Allah, berarti dia berdusta dalam persaksiannya. Karena nabi shallallahu‘alaihi wasallam bersabda,“Tidaklah seseorang yang berzina sebagai mukmin ketika berzina”. (HR Bukhari-Muslim dari hadits Abu Huroiroh)
Apalagi bila persaksiannya itu ingin dianggap dalam rangka mencari wajah Allah.” (lihat Al-Qaulul Mufid halaman 1/74).

Pengetahuan tentang keutamaan-keutamaan tauhid bukan hanya sekedar sekilas info. Hendaknya berbagai keutamaan tauhid ini mampu membangkitkan semangat kita untuk lebih tekun mempelajari tauhid dan mengamalkannya. Merugilah orang-orang yang ilmunya tidak membuahkan amal. Perumpamaannya ibarat sebuah pohon yang tidak menghasilkan buah. Bahkan lebih dari pada itu, orang yang tidak mewujudkan tauhid baik secara ilmu maupun amal niscaya akan sengsara di dunia sebelum akhirat. 

Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam mengungkap keutamaan tauhid dengan tujuan untuk membangkitkan semangat umatnya bertauhid secara benar dan sungguh-sungguh. Bukan dengan maksud agar mereka berpangku tangan dan merasa puas terhadap kelemahan dan kekurangan dalam bertauhid. Keutamaan tauhid merupakan anugerah besar yang Allah curahkan bagi orang yang bisa menggapainya dengan segala daya dan upaya mewujudkan tauhid. 

Selain keutamaan tauhid yang telah kita utarakan dalam pembahasan lalu masih terdapat keutamaan tauhid yang lainnya. Untuk mengetahui lebih jauh, marilah kita menyimak hadits-hadits berikut ini,
Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash radhiallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Bahwasanya Nuh ‘alaihis salam pernah berkata kepada anaknya saat akan wafat ‘Aku perintahkan engkau (berpegang) dengan laa ilaaha illallah. Karena langit yang tujuh dan bumi yang tujuh jika diletakan pada satu anak timbangan dan La ilaaha illallah pada satu anak timbangan yang lain, niscaya La ilaha illallah lebih berat daripada yang lainnya. Dan jika langit yang tujuh beserta bumi yang tujuh membentuk lingkaran yang tak diketahui tempat sambungannya, niscaya Laa ilaaha illallah akan memutuskannya’.” (HR.Ahmad dan Al-Hakim, beliau menshahihkannya dan disepakati oleh Adz-Dzahabi. Asy-Syaikh Al-Albani menshahihkan sanadnya dalam As-Shahihah 1 / 210. Lihat takhrij Fathul Majid karya Asy-syaikh ‘Ali Sinan hal. 68)

Dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Allah ta’ala berfirman, ‘Wahai Anak Adam jika seandainya engkau mendatangiku dengan sepenuh bumi kesalahan sedangakan engkau tidak berbuat syirik sedikit pun niscaya aku akan mendatangaimu dengan sepenuh bumi keampunan”. (HR. Turmudzi dan beliau menghasankannya, Imam Muslim meriwayatkannya dari hadits Ibnu Abbas dan Imam Ahmad meriwayatkan dari hadits Abu Dzar radhiallahu ‘anhuma).

Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash radhiallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Pada hari kiamat nanti, seorang dari umatku dipanggil di hadapan para makhluk. Lalu dibentangkan sembilan puluh sembilan gulungan miliknya. Setiap gulungan sejauh mata memandang. Lalu dikatakan, ‘Adakah sesuatu yang engkau ingkari dari gulungan-gulungan ini? Apakah para pencatatku yang menjaga amalmu telah mendzolimimu?’ Dia menjawab, ‘Tidak ada wahai Rabbku’ Lalu dikatakan, ‘Apakah engkau memiliki sebuah udzur atau kebaikan?’ Maka orang ini merasa segan lantas menjawab, tidak ada. Lalu dikatakan, ‘Benar, sesungguhnya engkau memiliki sebuah kebaikan dan engkau tidak akan didzolimi pada hari ini.’ Kemudian dikeluarkan satu kartu miliknya yang bertuliskan, Asyhadu an La ilaaha illallah wa anna Muhammadan ‘abduhu wa rasuluh (Aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi kecuali Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusannya). Maka dia berkata, ‘Wahai Rabbku apa nilai kartu ini dibanding gulungan-gulungan itu?’  Lalu dikatakan, ‘Sesungguhnya engkau tidak akan didzolimi.’ Kemudian diletakkan gulungan-gulungan itu pada satu anak timbangan dan kartu ini pada anak timbangan yang lain. Ternyata timbangan gulungan-gulungan itu ringan dan timbangan kartu ini berat”. (HR. Turmudzi, Ibnu Majah, Ibnu Hibban dan Al-Hakim, beliau berkata, shahih atas syarat Muslim dan disepakati oleh Adz-Dzahabi. Syaikh Albani dalam As-Shahihah 1 / 213 berkata, ‘Hadits ini sebagaimana yang dikatakan oleh keduanya’. Lihat takhrij Fathul Majid hal.69)

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata ketika menerangkan hadits ini, “Amal-amal perbuatan tidaklah berbeda-beda keutamaannya dikarenakan bentuk dan bilangannya. Hanya saja keutamaannya berbeda-beda sebab perbedaan keyakinan dalam hati sehingga dua amalan bisa memiliki bentuk yang satu namun nilai perbedaan di antara keduanya sejauh antara langit dan bumi.”

Selanjutnya beliau berkata, “Perhatikan hadits tentang sebuah kartu yang diletakkan pada satu anak timbangan lalu diimbangi dengan timbangan sembilan puluh sembilan gulungan yang masing-masingnya sejauh mata memandang ternyata timbangan kartu itu berat dan timbangan gulungan-gulungan itu ringan. Maka pemiliknya tidak diadzab. Merupakan perkara yang dimaklumi bahwa setiap orang yang bertauhid memiliki kartu ini. Akan tetapi kebanyakan mereka masuk nereka dengan sebab dosa-dosanya”. (Lihat Fathul Majid hal 69)

Asy-Syaikh ‘Abdurrohman bin Hasan Alus Syaikh menjelaskan, “Dalam mengucapkan dua kalimat syahadat harus memilki ilmu dan keyakinan tentang maknanya. Selanjutnya serta mengamalkan kandungannya sebagaimana firman Allah ta’ala,
“Berilmulah engkau bahwa tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi melainkan Allah” (Muhammad:19).

“Kecuali orang yang bersaksi dengan kebenaran sedangkan mereka mengetahui (berilmu tentang yang dipersaksikan). (Az-Zukhruf:86)

Mengucapkan dua kalimat syahadat tanpa mengerti maknanya atau tidak meyakininya maka hal itu tidak bermanfaat. Begitu pula jika tidak mengamalkan kandungannya yaitu sikap berlepas diri dari syirik dan memurnikan ucapan serta amalan untuk Allah. Maka tidak bermanfaat baik ucapan hati maupun lisan demikian pula amalan hati serta anggota badan. Hal yang dikemukakan di atas adalah kesepakatan para ulama”. (Lihat Fathul Majid hal 51).

Kita tutup pembahasan ini dengan menukilkan keterangan Asy-Syaikh Abdurrohman As-Sa’di dalam kitabnya Al-Qaulus Sadid halaman 16-19. Di sini kita akan memaparkannya dengan lengkap mengingat bahwa penjelasan beliau sangat gamblang dan rinci tentang keutamaan-keutamaan tauhid.
Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah berkata, “Termasuk dari keutamaan tauhid adalah: 

Dapat menghapuskan dosa-dosa.

Merupakan sebab yang paling besar untuk melonggarkan kesusahan-kesusahan serta bisa menjadi penangkal dari berbagai akibat buruk dalam kehidupan dunia dan akhirat.

Mencegah kekekalan dalam api neraka meskipun dalam hatinya hanya tertanam sebesar biji sawi keimanan. Juga mencegah masuk neraka secara mutlak bila dia menyempurnakannya dalam hati. Ini termasuk keutamaan tauhid yang paling mulia.

Memberi petunjuk dan rasa aman yang sempurna di dunia dan akhirat kepada pemiliknya.

Merupakan sebab satu-satunya untuk menggapai ridho Allah dan pahala-Nya. Orang yang paling bahagia yang memperoleh syafaat Muhammad shallallahu alaihi wasallam adalah yang mengucapkan La ilaha illallah dengan ikhlas dari hatinya. 

Penerimaan seluruh amalan dan ucapan, baik yang tampak dan yang tersembunyi tergantung kepada tauhid seseorang. Demikian pula penyempurnaannya dan pemberian ganjarannya. Perkara-perkara ini menjadi sempurna dan lengkap tatkala tauhid dan keikhlasan kepada Allah menguat. Ini termasuk keutamaan tauhid yang paling besar. 

Memudahkan seorang hamba untuk melakukan kebaikan- kebaikan dan meninggalkan kemungkaran-kemungkaran. Serta menghiburnya tatkala menghadapi berbagai musibah. Seorang yang ikhlas kepada Allah dalam beriman dan bertauhid merasa ringan untuk melakukan ketaatan-ketaatan. karena dia mengharapkan pahala dan keridhoan Rabbnya. Baginya terasa ringan meninggalkan hawa nafsu yang berupa maksiat. karena dia takut terhadap kemurkaan dan siksa Rabbnya.

Bila tauhid sempurna dalam hati seseorang, Allah menjadikan pemiliknya mencintai keimanan serta menghiasinya dalam hatinya. Selanjutnya Allah menjadikan pemiliknya membenci kekafiran, kefasikan dan kemaksiatan. Lalu Allah memasukkannya ke dalam golongan orang-orang yang terbimbing.

Meringankan segala kesulitan dan rasa sakit bagi seorang hamba. Semuanya itu sesuai dengan penyempurnaan tauhid dan iman yang dilakukan oleh seorang hamba. Sesuai pula dengan sikap seorang hamba saat menerima segala kesulitan dan rasa sakit dengan hati yang lapang, jiwa yang tenang, pasrah dan ridho terhadap ketentuan-ketentuan Allah yang menyakitkan.

Melepaskan seorang hamba dari perbudakan, ketergantungan, rasa takut, pengharapan dan beramal untuk makhluq. Inilah keagungan dan kemulian yang hakiki. Bersamaan dengan itu dia hanya beribadah dan menghambakan diri kepada Allah. tidak mengharap, takut dan kembali kecuali hanya kepada allah. Dengan demikian sempurna keberuntungannya dan terbukti keberhasilannya. Ini termasuk keutamaan tauhid yang paling besar.

Bila tauhid sempurna dalam hati seseorang dan terealisasi lengkap dengan keikhlasan yang sempurna, amalnya yang sedikit berubah menjadi banyak. Segenap amal dan ucapannya berlipat ganda tanpa batas dan hitungan. Kalimat ikhlas (Lailaha illallah) menjadi berat dalam timbangan amal hamba-Nya ini sehingga tak terimbangi oleh langit-langit dan bumi beserta seluruh makhluq penghuninya. Perkara ini sebagaimana tertera dalam hadits Abi Sa’id dan hadits tentang sebuah kartu yang bertuliskan La ilaha ilallah tapi mampu mengalahkan berat timbangan sembilan puluh sembilan gulungan catatan dosa dan setiap gulungan sejauh mata memandang. 

Yang demikian karena keikhlasan orang yang mengucapkannya. Berapa banyak orang yang mengucapkannya tetapi tidak mencapai prestasi ini. Sebab di dalam hatinya tidak terdapat tauhid dan keikhlasan yang sempurna seperti atau mendekati yang terdapat dalam hati hamba-Nya ini. Ini termasuk keutamaan tauhid yang tak bisa tertandingi oleh sesuatu apapun.

Allah menjamin kemenangan dan pertolongan di dunia, keagungan, kemuliaan, petunjuk, kemudahan, perbaikan kondisi dan situasi, serta pelurusan ucapan dan perbuatan bagi pemilik tauhid.

Allah menghindarkan orang-orang yang bertauhid dan beriman dari keburukan-keburukan dunia dan akherat. Allah menganugerahkan atas mereka kehidupan yang baik, ketenangan kepada-Nya dan kenyamanan dengan mengingat-Nya.

Cukup banyak dalil yang menguatkan keterangan-keterangan ini baik dari Al-Quran maupun As-sunnah. Wallahu a’lam”

Dengan demikian, rasanya cukup besar dan banyak keutamaan yang Allah limpahkan bagi para hambanya yang bertauhid. Sangat beruntung orang yang bisa menggapai seluruh keutamaannya. Namun keberhasilan total hanya milik orang-orang yang mampu menyempurnakan tauhid dengan sepenuhnya. Tentunya manusia bertingkat-tingkat dalam mewujudkan tauhid kepada Allah ta’ala. Mereka tidak berada pada satu level. Masing-masing menggapai keutamaan tauhid sesuai dengan prestasinya dalam menerapkan tauhid. Allah berfirman:
“Itulah keutamaan Allah, Dia berikan kepada orang yang dikehendakinya. Dan Allah adalah dzat yang maha memliki keutamaan yang besar.”(Al-Jumuah:4)

Merealisasikan Tauhid
Pembahasan ini merupakan tema yang cukup menarik bagi seseorang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Tentunya orang yang beriman ingin membuktikan keimanannya. Dengan demikian dia dinobatkan sebagai seorang mu’min sejati. Tidak ada jalan untuk mewujudkan harapan yang mulia ini melainkan dengan merealisasikan tauhid kepada Pencipta Langit dan Bumi, yakni Allah subhanahu wa ta’ala.

Merealisasikan tauhid secara sempurna adalah dengan membersihkan dan memurnikannya dari campuran syirik besar maupun kecil, baik yang jelas atau tersembunyi. Peribadahan yang dilakukan harus terbebas pula dari kebid’ahan dan dosa besar yang dilakukan dengan terus menerus. Maka seorang yang berkemauan untuk merealisasikan tauhid secara sempurna harus memenuhi kriteria sebagaimana yang diutarakan tadi.

Merealisasikan tauhid artinya menunaikan dua kalimat syahadat dengan sebaik-baiknya. Yang dimaksud yaitu mentauhidkan Allah dalam perkara rububiyah, uluhiyyah, serta nama dan sifat-Nya. Termasuk pula mentauhidkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam perkara mengikutinya. Pengertiannya adalah dia tidak mengikuti kecuali Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Inilah yang disebut dengan tauhid mutaba’ah.

Seorang yang mengucapkan dua kalimat syahadat hendaknya membersihkan tauhid dari berbagai jenis kesyirikan dan dosa besar yang tidak disertai dengan bertaubat. Ini merupakan bentuk realisasi ucapan tauhid La ilaha ilallah. Di samping itu dia harus berlepas diri dari segala kebid’ahan (urusan agama yang tidak diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam). Ini merupakan bentuk realisasi ucapan tauhid Muhammadur Rasulullah. Maka demikianlah makna merealisasikan tauhid secara sempurna.

Di samping terbebas dari berbagai jenis syirik besar maupun kecil, baik yang jelas atau tersembunyi, seorang yang bertauhid harus terlepas pula dari segala kebid’ahan dan dosa besar yang diperbuat dengan terus menerus tanpa bertaubat. Karena melaksanakan sebuah kebid’ahan berarti mempersekutukan Allah dengan hawa nafsu. Demikian pula makna yang terkandung dalam memperbuat sebuah dosa besar. (Penjelasan ini diterangkan oleh Asy-Syaikh Shalih bin ‘Abdul ‘Aziz Alus-Syaikh di kaset pelajaran Kitabut-Tauhid). 

Tingkatan Merealisasikan Tauhid
Merealisasikan tauhid dapat dibagi menjadi dua tingkatan: 

1. Tingkat yang Wajib
Yaitu seseorang merealisasikan tauhid dengan membersihkan dan memurnikannya dari berbagai jenis kesyirikan, kebid’ahan dan dosa besar yang dilakukan dengan terus-menerus. Ini merupakan tingkat yang wajib bagi orang yang ingin merealisasikan tauhid dengan sempurna.

2. Tingkat yang Mustahab
Tingkat ini digapai setelah menunaikan tingkat yang pertama. Oleh sebab itu tingkat ini lebih tinggi derajatnya dari tingkat yang pertama. Seorang yang ingin menduduki tingkat ini harus melepaskan seluruh wujud penghambaan diri, keinginan, dan tujuan yang menghadap kepada selain Allah. Sehingga dirinya tidak menghadap, berkeinginan dan bertujuan untuk selain Allah sedikit pun dan sekecil apapun. Maka hawa nafsu menjadi budaknya, sedangkan dirinya menjadi hamba Allah secara total dan utuh. 

Dengan demikian, seorang yang menempati tingkat ini tidak hanya meninggalkan berbagai jenis kesyirikan, kebid’ahan dan kemaksiatan. Namun dia juga meninggalkan perkara-perkara yang makruh, bahkan sebagian perkara mubah yang dikhawatirkan menggiring kepada perkara harom. Inilah yang diungkapkan oleh sebagian ulama dengan pernyataan “Mereka meninggalkan perkara yang tidak mengandung dosa karena khawatir terdapat dosa di dalamnya”.
Tingkatan kedua ini adalah wujud maksimal untuk merealisasikan tauhid secara sempurna dalam meraih derajat yang setingi-tingginya ketika masuk surga. Sedangkan tingkat yang pertama adalah standar untuk masuk surga tanpa adzab dan perhitungan amal.

Tentunya kedua tingkatan di atas memiliki perbedaan pula dalam mengibadahi Allah subhanahu wat’ala. Jika tingkat pertama hanya mengibadahi Allah dengan perkara-perkara yang wajib saja.
Beda halnya dengan tingkat kedua. Pada tingkat ini peribadahan kepada Allah tidak hanya sebatas dalam perkara-perkara yang wajib saja tetapi juga dalam perkara-perkara yang mustahab. Tingkat pertama disebut dengan Al-Muqtasid sedangkan tingkatan kedua disebut dengan As-Saabiq bil Khairot. Wallahu a’lam. 

Nabi Ibrahim ‘alaihis salam Profil Muwahhid Sejati
Allah berfirman dalam Al-Quranul Karim,
“Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang imam yang dapat dijadikan teladan lagi patuh kepada Allah dan hanif. Dan sekali-kali bukanlah dia termasuk orang-orang yang berbuat syirik.” (QS. An-Nahl: 120)

Di sini Allah memberitakan tentang profil Nabi Ibrahim ‘alaihis salam yang merealisasikan tauhidnya secara sempurna. Beliau adalah seorang pemimpin dan teladan dalam kebaikan-kebaikan terutama perkara tauhid. Beliau adalah seorang yang tunduk dan patuh kepada Allah dengan terus-menerus dalam seluruh situasi, kondisi dan tempat. 

Sifat lain yang beliau miliki yaitu menghadapkan diri kepada Allah dengan sepenuhnya tanpa berpaling sedikit pun kepada yang selain-Nya. Seluruh sifat beliau ini merupakan hakikat penerapan tauhid yang sempurna kepada Allah subhanahu wa ta’ala.

Pada ayat di atas diterangkan bahwa Nabi Ibrahim ‘alaihis salam tidak termasuk dari golongan orang-orang yang berbuat syirik (musyrikin). Kandungan ayat ini mencakup dua makna:
1. Bahwa Nabi Ibrahim ‘alaihis salam tidak termasuk dari golongan musyrikin secara fisik. Artinya beliau ‘alaihis salam berlepas diri, tidak bergabung dan berkumpul bersama-sama kaum musyrikin dengan jasadnya.
2. Bahwa Nabi Ibrahim ‘alaihis salam tidak termasuk dari golongan musyrikin secara sifat dan perilaku. Artinya beliau ‘alaihis salam berlepas diri dan tidak melakukan kesyirikan sama sekali. Demikian pula beliau ‘alaihis salam tidak mengikuti adat kebiasaan kaum musyrikin yang bergelimang dengan kebid’ahan dan kemaksiatan di samping kesyirikan.
(Seluruh keterangan yang lalu disampaikan oleh Asy-Syaikh ‘Abdul ‘Aziz Alus Syaikh di kaset Kitabut Tauhid).

Pada ayat di atas dinyatakan bahwa Nabi Ibrahim ‘alaihis salam disebut sebagai satu umat padahal beliau sendirian. Maksudnya agar orang-orang yang menempuh jalan tauhid tidak merasa ngeri karena jumlah penganutnya sedikit. 

Selanjutnya beliau ‘alaihis salam dikukuhkan oleh Allah sebagai seorang yang tunduk dan patuh kepada-Nya. Berarti beliau ‘alaihis salam bukan seorang yang tunduk kepada penguasa atau orang kaya yang punya harta dan yang selain mereka. Maka tidak ada yang selain mereka. 

Maka tidak ada yang bisa menguasai beliau ‘alaihis salam selain Allah, baik dari golongan para penguasa maupun para orang kaya yang punya harta dan yang selain mereka. Beliau ‘alaihis salam tidak bisa dibelai dengan kekuasaan, harta atau yang selainnya. Karena pendirian beliau ini Allah menyebutnya sebagai seorang yang patuh dan tunduk kepada-Nya.

Berikutnya beliau ‘alaihis salam disifatkan sebagai seorang yang hanif. Maksudnya beliau ‘alaihis salam seorang yang hanya menghadap kepada Allah dan berpaling dari yang selain-Nya tanpa menyimpang ke kanan dan ke kiri. Demikianlah Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab menjelaskan tentang sifat-sifat Nabi Ibrahim ‘alaihis salam sebagaimana pada ayat di atas. 

Kriteria Orang-orang Yang Bertauhid
Allah berfirman dalam Al-Qur’anul Karim, “Sesungguhnya orang-orang yang berhati-hati karena takut akan (adzab) Rabb mereka, Dan orang-orang yang beriman dengan ayat-ayat Rabb mereka, Dan orang-orang yang tidak mempersekutukan dengan Rabb mereka (sesuatu apapun), Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut, (karena mereka tahu bahwa) sesungguhnya mereka akan kembali kepada Rabb mereka, mereka itu bersegera untuk mendapat kebaikan-kebaikan, dan merekalah orang-orang yang segera memperolehnya. “(Al-Mu’minun:57-61)
Ayat-ayat di atas menyebutkan kriteria orang-orang yang beriman dan bertauhid dengan baik.
Tentang firman Allah,  Sesungguhnya orang-orang yang berhati-hati karena takut akan (adzab) Rabb mereka
Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Mereka berbuat baik dan beramal shalih karena takut terhadap Rabb mereka dan khawatir ditimpa oleh sesuatu yang mereka tidak inginkan. Inilah kondisi seorang mukmin, berbuat kebaikan karena takut kepada Allah dan khawatir tidak memperoleh apa yang mereka inginkan”.

Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah menyatakan, “Seorang mu’min mengumpulkan antara perbuatan baik dan rasa takut kepada Allah. Sedangkan seorang munafik mengumpulkan antara perbuatan jelek dan rasa aman dari siksa Allah.”

Tentang firman Allah, “Dan orang-orang yang beriman dengan ayat-ayat Rabb mereka”

Perlu diketahui bahwa beriman dengan ayat-ayat Allah mencakup dua hal:
1. Beriman dengan ayat Allah Al-Kauniyyah.
Maksudnya beriman bahwa segala yang terjadi di alam ini dengan taqdir dan ketentuan Allah.
2. Beriman dengan ayat Allah Asy-Syar’iyyah.
Maksudnya beriman kepada syariat yang Allah turunkan melalui Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam.

Ayat Allah Asy-Syar’iyyah mengandung tiga hal:
a. Perintah Allah yang disyariatkan. Ini adalah perkara yang dicintai Allah.
b. Larangan Allah yang disyari’atkan. Ini adalah perkara yang dibenci Allah.
c. Kabar yang diberitakan oleh Allah dalam syari’at-Nya. Kabar ini adalah benar dan tidak mungkin dusta sebab datangnya dari sisi Allah subhanahu wa ta’ala.

Tentang firman Allah, “Dan orang-orang yang tidak mempersekutukan dengan Rabb mereka (sesuatu apapun)”
Perlu diketahui bahwa tidak berbuat syirik yang dimaksud dalam ayat ini adalah makna yang menyeluruh dan mencakup semua jenisnya. Artinya tidak berbuat syirik besar maupun kecil, baik yang jelas atau tersembunyi. Ini adalah sifat seorang yang merealisasikan tauhid secara sempurna.
Jika dinyatakan “tidak berbuat syirik” sedikit pun, berarti terlepas pula dari perbuatan bid’ah dan maksiat. Sebab berbuat bid’ah dan maksiat merupakan realisasi menjadikan hawa nafsu sebagai sesembahan selain Allah. Inilah yang disebut dengan syirik. Coba perhatikan firman Allah ta’ala, “Apakah engkau tidak melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai ilah (sesembahan)-nya”. (Al-Jatsiyah:23)

Wallahu a’lam bishshawaab.
________________________

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.