Penulis: Ustadz Muhammad Arifin Badr
Alhamdulillah, shalawat dan salam semoga terlimpahkan kepada Nabi
Muhammad, keluarga dan sahabatnya. Selanjutnya, semoga Allah melimpahkan
hidayah dan rahmat-Nya kepada kita semua. Berikut adalah diskusi antara
ustadz Muhammad Arifin Badri dengan Abu Altov membahas mengenai
beberapa permasalahan yang padanya kaum LDII menyelisihi ajaran islam
yang diajarkan oleh Rasululullah shollallahu’alaihiwasallam.
Mudah-mudahan kita semua dapat mengambil pelajaran dari dialog ini dan
semakin menambah keyakinan kita bahwa kebenaran itu adalah satu dan
tidak berbilang, yaitu islam yang pernah diajarkan oleh Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam
dan dipahami oleh para sahabatnya, dan bukan yang selainnya. Semoga ini
menjadi nasehat kepada kaum LDII untuk kembali kepada islam yang
diajarkan oleh Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam.
***
Ustadz Muhammad Arifin bertanya:
Dari yang saya ketahui, tentang dasar beragama LDII bahwa mereka
mengharuskan agar ilmunya mangkul (dinukilkan langsung) dari seorang
guru. Bukankah demikian?
Abu Altov menjawab:
“Yang saya ketahui benar demikian, Bapak. Bila Bapak Muhammad Arifin
pernah belajar alquran dan hadits dari siapapun entah ulama mekah
madinah atau ulama disini dan apa yang dikatakan bapak dengan guru bapak
tidak beda demikian pula yang dikatakan guru bapak tidak beda dengan
gurunya, terus demikian dan terus demikian, sampai kepada para ulama
salav, para sahabat dan rosulullooh SAW, Insya Allooh sayapun akan
belajar kepada Bapak. Karena ilmu ini sangat asing dan jarang (sesuatu
yang asing dan jarang pasti tidak mudah didapat dan dipahami) dan pasti
suatu saat akan meninggalkan kita. Saya akan bersedih dan menangis
karena ilmu ini akan terangkat, tinggallah generasi kita yang hanya
mengikuti kitab-kitab karangan, kitab-kitab terjemahan. kitab-kitab
cetakan, ucapan-ucapan si A, Si B, si C dan hal ini sekarang ilmu ini
siap-siap akan berpindah kenegara lain, selain mekah madinah. Sehingga
yang disini Insya Allooh sebagian akan hijrah pula, bila Allah
mengizinkan saya dan keluargapun ingin hijrah. Karena pada dasarnya kita
hanyalah lembaran putih yang kosong yang belum terisi oleh goresan
pena, sebagaimana para ulama terdahulu, seperti ahli membaca quran para
ahli hadits, mereka sebagaimana gelas kosong yang belum terisi oleh air.
Sedikit demi sedikit mendapat ilmu dengan belajar kepada ulama yang
menjadi guru mereka.”
Ustadz Muhammad Arifin:
Pada penggalan komentaf saudara Abu Altov di atas ada beberapa hal yang
ingin saya komentari dan menurut hemat saya merupakan titik permasalahan
yang menjadi pembeda antara paham LDII dan kaum muslimin secara umum:
Pertama:
Saudara Abu Altov telah membuat suatu kaidah dan prinsip besar yang
menurut hemat saya ini adalah prinsip yang layak untuk ditulis dengan
tinta emas dan dijadikan sebagai pedoman hidup setiap muslim. Suatu
keyakinan dan aqidah yang indah dan benar-benar mencerminkan akan
kecintaan kepada kebenaran dan ketaatan kepada Allah Ta’ala dan
Rasul-Nya. Kaidah tersebut tersurat dengan jelas dan gamblang pada
ucapan Saudara kita Abu Altov berikut ini: “Bila Bapak Muhammad
Arifin pernah belajar alquran dan hadits dari siapapun entah ulama mekah
madinah atau ulama disini dan apa yang dikatakan bapak dengan guru
bapak tidak beda demikian pula yang dikatakan guru bapak tidak beda
dengan gurunya, terus demikian dan terus demikian, sampai kepada para
ulama salav, para sahabat dan Rosulullooh SAW, Insya Allooh sayapun akan
belajar kepada Bapak.”
Inilah pedoman hidup yang semestinya dipegang erat-erat dan diamalkan
oleh setiap muslim, yaitu senantiasa mengamalkan agama islam yang murni
bersih dari noda kesyirikan atau bid’ah. Yaitu syari’at islam yang
pernah diamalkan oleh Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam dan para sahabatnya, dan yang tertuang dalam Al Qur’an dan Sunnaah-sunnah beliau shollallahu’alaihiwasallam. Dan inilah wasiat Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam kepada ummatnya, sebagaimana yang dikisahkan oleh sahabat Irbadh bin Sariyyah rodiallahu’anhu:
قال: (صلى بنا رسول الله صلى الله عليه و سلم ذات يوم ثم أقبل علينا
فوعظنا موعظة بليغة ذرفت منها العيون ووجلت منها القلوب، فقال قائل: يا
رسول الله كأن هذه موعظة مودع، فماذا تعهد إلينا؟ فقال: أوصيكم بتقوى الله
والسمع والطاعة وإن عبدا حبشيا؛ فإنه من يعش منكم بعدي فسيرى اختلافا
كثيرا، فعليكم بسنتي وسنة الخلفاء المهديين الراشدين، تمسكوا بها وعضوا
عليها بالنواجذ، وإياكم ومحدثات الأمور فإن كل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة)
“Pada suatu hari Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam shalat
berjamaah bersama kami, kemudian beliau menghadap kepada kami, lalu
beliau memberi kami nasehat dengan nasehat yang sangat mengesan,
sehingga air mata berlinang, dan hati tergetar. Kemudian ada seorang
sahabat yang berkata: Wahai Rasulullah, seakan-akan ini adalah nasehat
seorang yang hendak berpisah, maka apakah yang engkau wasiatkan
(pesankan) kepada kami? Beliau menjawab: Aku berwasiat kepada kalian
agar senantiasa bertaqwa kepada Allah, dan agar senantiasa setia
mendengar dan taat, walaupun ia (pemimpin/penguasa) adalah seorang budak
ethiopia, karena barang siapa yang berumur panjang setelah aku wafat,
niscaya ia akan menemui banyak perselisihan. Maka hendaknya kalian
berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah kholifah-kholifah yang telah
mendapat petunjuk lagi cerdik. Berpegang eratlah kalian dengannya, dan
gigitlah dengan geraham kalian. Jauhilah oleh kalian urusan-urusan yang
diada-adakan, karena setiap urusan yang diada-adakan ialah bid’ah, dan
setiap bid’ah ialah sesat.” (Riwayat Ahmad 4/126, Abu Dawud, 4/200,
hadits no: 4607, At Tirmizy 5/44, hadits no: 2676, Ibnu Majah 1/15,
hadits no:42, Al Hakim 1/37, hadits no: 4, dll)
Inilah wasiat Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam, yaitu senantiasa menjalankan syari’at Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam
yang murni bersih dari noda-noda bid’ah dan juga kesyirikan. Wasiat
beliau ini sering beliau sampaikan kepada ummatnya, agar umatnya
senantiasa ingat dan tidak melalaikannya. Dalam berbagai kesempatan
beliau mengulang-ulangnya dengan teks yang berbeda-beda, akan tetapi
kandungannya sama, diantaranya ketika beliau beliau menyampaikan khutbah
hari arafah pada haji wada’:
وقد تركت فيكم ما إن تمسكتم به لن تضلوا بعده إن اعتصمتم به كتاب الله. رواه مسلم
“Sungguh aku telah meninggalkan di tengah-tengah kalian, satu hal
yang bila kalian berpegang teguh dengannya, niscaya selama-lamanya
kalian tidak akan tersesat, bila kalian benar-benar berpegang teguh
dengannya, yaitu kitab Allah (Al Qur’an).” (Muslim)
Dari wasiat ini kita dapat menarik suatu prinsip dan sekaligus
standar kebenaran dalam agama islam. Prinsip dan standar tersebut ialah:
“Al Qur’an dan As Sunnah dengan pengamalan yang selaras dengan
pengamalan yang pernah diterapkan oleh Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam beserta para sahabatnya, yang diantaranya oleh khulafa’ ar rasyidun“. Sehingga jelaslah bahwa setiap yang menyelisihi prinsip ini adalah sesat dan menyesatkan.
Berdasarkan prinsip ini syari’at Islam tidak membenarkan adanya kultus terhadap seseorang sepeninggal Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam. Dan tidak ada orang yang ma’shum (terlindung dari kesalahan) selain Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam, yang demikian ini karena Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam seperti yang dinyatakan dalam ayat berikut:
وما ينطق عن الهوى إن هو إلا وحي يوحى
“Dan ia tidaklah mengucapkan menurut hawa nafsunya, ucapannya tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (QS. An Najem: 3-4)
Adapun selain beliau shollallahu’alaihiwasallam pasti memiliki kesalahan, kekurangan, dosa, kekhilafan dan kelalaian, sebagaimana yang ditegaskan dalam hadits berikut:
كل ابن آدم خطاء وخير الخطائين التوابون. رواه أحمد والترمذي والدارمي والحاكم وغيرهم
“Setiap anak keturunan Adam adalah pelaku kesalahan, dan
sebaik-baik orang yang berbuat kesalahan ialah orang yang banyak
bertaubat.” (Riwayat Imam Ahmad, At Tirmizy, Ad Darimy Al Hakim dll)
Berdasarkan ini Imam Malik bin Anas rahimahullah pernah menyatakan:
كل أحد يؤخذ من قوله ويترك إلا صاحب هذا القبر صلى الله عليه وسلم
“Setiap orang pasti boleh diambil ucapannya dan juga boleh ditinggalkan selain ucapan penghuni kuburan ini (yaitu Rasulullah) shollallahu’alaihiwasallam.” (Siyar A’alam An Nubala’ 8/93).
Imam As Syafi’i rahimahullah juga berwasiat kepada kita semua dengan berkata:
ذا صح الحديث عن رسول الله صلى الله عليه و سلم فقلت قولا فأنا راجع عن قولي وقائل بذلك
“Bila suatu hadits telah terbukti keshahihannya dari Rasulillah shollallahu’alaihiwasallam, kemudian aku berpendapat (menyelisihinya), maka aku telah meninggalkan pendapatku tersebut, dan mengikuti hadits tersebut.” (Hilyatul Auliya’ oleh Abu Nu’aim Al Asbahany 9/107).
Beliau (imam Syafi’i rohimahullah -ed) juga berpesan:
إذا وجدتم لرسول الله صلى الله عليه و سلم سنة فاتبعوها ولا تلتفتوا إلى قول أحد
“Bila kamu telah mendapatkan suatu hadits dari Rasulillah shollallahu’alaihiwasallam, maka ikutilah, dan janganlah engkau menoleh ke pendapat siapapun.” (Hilyatul Auliya’ oleh Abu Nu’aim Al Asbahany 9/107).
Imam Syafi’i sering sekali mengulang-ulang wasiat ini, dan saking
banyaknya ucapan beliau yang semakna dengannya, sampai-sampai As Subky
-salah seorang ulama’ mazhab As Syafi’i – menuliskan karya ilmiyyah
dengan judul:
معنى قول الإمام المطلبي : إذا صح الحديث فهو مذهبي
“Makna ucapan Imam Al Muthalliby (As Syafi’i): ‘Bila suatu hadits telah terbukti keshahihannya, maka itulah mazhabku/pendapatku.’
Bila hal ini telah jelas bagi kita, maka tidak ada alasan bagi
siapapun untuk hidup dalam dunia sempit bak katak dalam tempurung dalam
beragama, sehingga senantiasa beranggapan bahwa kebenaran hanya milik
kelompok tertentu atau guru tertentu atau aliran tertentu.
Kedua:
Abu Altov kemudian berkata:
“Karena ilmu ini sangat asing dan jarang (sesuatu yang asing dan jarang
pasti tidak mudah didapat dan dipahami) dan pasti suatu saat akan
meninggalkan kita. Saya akan bersedih dan menangis karena ilmu ini akan
terangkat.”
Saya amat heran dengan komentar dan keterangan saudara Abu Altov.
Dari manakah sumber dan apakah dalil ucapannya ini?! Ucapannya ini
jelas-jelas menyelisihi realita, sebab Al Qur’an dan As Sunnah yang
merupakan sumber ilmu telah merata dan menyebar luas di masyarakat,
setiap orang dapat membacanya dan mengkajinya. Sehingga ilmu itu tidak
jarang dan juga tidak asing. Yang asing adalah pemahaman dan pengamalannya,
betapa banyak yang membaca Al Qur’an, akan tetapi berapakah dari mereka
yang paham artinya? Dan dari yang paham artinya, berapakah yang paham
akan kandungannya? Dan dari yang paham akan kandungannya, berapakah yang
mengamalkannya? Dari yang mengamalkannya, berapakah yang menyerukan dan
mengajarkannya kepada orang lain dengan baik dan benar? Inilah yang
jarang dan sedikit. Adapun Ilmu agama, maka telah merata dan banyak,
yaitu dengan dibukukannya Al Qur’an dan hadits Nabi shollallahu’alaihiwasallam.
Oleh karena itu saya heran terhadap ucapan saudara Abu Altov ini,
apakah maksudnya dan kandungan apa yang sedang ia siratkan dari
ucapannya ini? Apakah yang ia maksud adalah ilmu yang terkandung dalam
Al Qur’an dan hadits Nabi shollallahu’alaihiwasallam yang
sekarang ada di rumah-rumah umat islam (selain warga LDII) atau di
toko-toko kitab, pesantren-pesantren, perpustakaan para ulama’, ustadz,
kiyai, muballigh, dan santri-santri tidak sah karena tidak disampaikan
oleh guru LDII?! Ataukah LDII memiliki sumber ilmu (baca: Al Qur’an dan
hadits-hadits) yang tidak dimiliki oleh masyakat umum di luar
kelompoknya?
Ditambah lagi, anggapan bahwa ilmu agama itu tidak mudah dipahami,
adalah suatu anggapan dan doktrin yang sesat lagi menyesatkan, sebab
menyelisihi dan mendustakan berbagai dalil, diantaranya firman Allah
Ta’ala:
فَإِنَّمَا يَسَّرْنَاهُ بِلِسَانِكَ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ
“Sesungguhnya Kami mudahkan Al Qur’an itu dengan bahasamu supaya mereka mendapat pelajaran.” (QS. Ad Dukhan: 57), dan pada ayat lain Allah Ta’ala berfirman:
وَلَقَدْ يَسَّرْنَا الْقُرْآنَ لِلذِّكْرِ فَهَلْ مِن مُّدَّكِرٍ
“Dan sesungguhnya Kami telah mudahkan Al Qur’an untuk pelajaran, maka adakah orang yang mengambil pelajaran?” (QS. Al Qomar: 17)
Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan ayat ini dengan
berkata: “Sesungguhnya Kami mudahkan Al Qur’an ini yang telah Kami
turunkan, sehingga menjadi mudah, jelas, gamblang dengan menggunakan
bahasamu (bahasa arab) yang merupakan bahasa yang paling fashih (jelas),
gamblang, indah dan tinggi.” (Tafsir Ibnu Katsir 3/147).
Ucapan Abu Altov ini menurut hemat saya adalah suatu doktrin yang
amat buruk sekali yang mungkin ini adalah belenggu yang telah dililitkan
oleh tokoh-tokoh LDII di leher setiap pengikutnya, agar mereka tidak
mendengar dan membaca dari selain kelompoknya. Dan ucapan ini -menurut
hemat saya- adalah salah satu bukti nyata akan kebenaran sabda Nabi shollallahu’alaihiwasallam berikut ini:
يحمل هذا العلم من كل خلف عدوله ينفون عنه تحريف الغالين وانتحال المبطلين وتأويل الجاهلين . رواه البيهقي
“Yang (layak) memikul ilmu ini (ilmu agama) pada setiap generasi
adalah orang-orang yang berkredibilitas tinggi. Mereka akan menepis
penyelewengan orang-orang yang ekstrim (berlebih-lebihan) dan ajaran
orang-orang sesat, dan takwil orang-orang bodoh.” (Riwayat Al Baihaqy)
Adapun diangkatnya ilmu, maka itu adalah suatu hal yang telah menjadi
sunnatullah (ketentuan/takdir Allah) sebagaimana yang dikabarkan dalam
hadits berikut:
إن الله لا يقبض العلم انتزاعا ينتزعه من العباد ولكن يقبض العلم بقبض
العلماء حتى إذا لم يبق عالما اتخذ الناس رؤوسا جهالا فسئلوا فأفتوا بغير
علم فضلوا وأضلوا. متفق عليه
“Sesungguhnya Allah tidaklah mengangkat ilmu dengan cara
mencabutnya dari manusia, akan tetapi Ia mengangkat ilmu dengan cara
mematikan para ulama’, hingga bila Allah tidak menyisakan lagi seorang
ulama’-pun, niscaya manusia akan mengangkat orang-orang bodoh sebagai
pemimpin mereka, kemudian mereka ditanya, dan mereka pun menjawab dengan tanpa ilmu, maka mereka pun sesat dan menyesatkan.” (Muttafaqun ‘alaih)
Dan mungkin fakta diangkatnya ilmu inilah yang menjadikan kelompok
LDII senantiasa eksklusif, dan takut bila ajarannya diketahui oleh
khalayak umum secara terbuka. Alasan sikap mereka ini hanya ada satu,
yaitu seperti yang ditegaskanoleh Khalifah Umar bin Abdul Aziz rahimahullah:
إذا رأيت قوما يتناجون في دينهم بشيء دون العامة فاعلم أنهم على تأسيس ضلالة. رواه اللالكائي وابن أبي عاصم.
“Bila engkau mendapatkan suatu kaum yang berbicara tentang agama
mereka dengan suatu hal yang dirahasiakan dari masyarakat umum, maka ketahuilah bahwa mereka sedang merintis kesesatan.” (Riwayat Al Lalaka’i dan Ibnu Abi ‘Ashim)
Ketiga:
Saudara Abu Altov berkata:
“Saya akan bersedih dan menangis karena ilmu ini akan terangkat,
tinggallah generasi kita yang hanya mengikuti kitab-kitab karangan,
kitab-kitab terjemahan. kitab-kitab cetakan, ucapan-ucapan si A, Si B,
si C.”
Menangislah dan bersedihlah, karena antum telah beranggapan bahwa Al
Qur’an dan As Sunnah adalah ilmu langka. Dan menangislah serta selalu
bersedihlah, karena antum telah mengganggap bahwa kebenaran (Al Qur’an
dan As Sunnah) yang ada di masyarakat sudah tidak ada harganya, sehingga
antum merasa kesulitan untuk mendapatkan ilmu, dan kesulitan untuk
memahami Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam.
Teruslah menangis dan bersedih, karena ternyata sebagian orang yang
berada disekitar antum termasuk orang-orang yang digambarkan oleh ibnu
Abbas dalam kisah berikut:
عمر بن الخطاب رضي الله عنه ذات يوم يحدث نفسه، فأرسل إلى ابن عباس
فقال: كيف تختلف هذه الأمة ونبيها واحد وكتابها واحد وقبلتها واحدة؟ فقال
ابن عباس: يا أمير المؤمنين إنا أنزل علينا القرآن فقرأناه وعلمنا فيم
أنزل، وإنه سيكون بعدنا أقوام يقرأون القرآن ولا يعرفون فيم نزل، فيكون لكل
قوم فيه رأي، فإذا كان لكل قوم فيه رأي اختلفوا، فإذا اختلفوا اقتتلوا،
فزبره عمر وانتهره، فانصرف ابن عباس ثم دعاه بعد فعرف الذي قال، ثم قال إيه
أعد علي. رواه سعيد بن منصور
“Pada suatu hari Umar bin Al Khatthab rodiallahu’anhu sedang
merenung, kemudian ia memanggil Ibnu Abbas dan bertanya kepadanya:
Bagaimana umat ini dapat berselisih, padahal nabinya satu, kitab sucinya
satu dan qiblatnya juga satu? Maka Ibnu Abbas menjawab: Wahai Amirul
Mukminin, sesungguhnya Al Qur’an diturunkan kepada kita, kemudian kita
membacanya, dan kita mengetahui berkenaan dengan apa ayat-ayat Al Qur’an
itu diturunkan. Dan sesungguhnya setelah zaman kita nanti, akan ada
orang-orang yang membaca Al Qur’an dan tidak mengetahui berkenaan dengan
apa ayat-ayat Al Qur’an itu diturunkan, sehingga masing-masing kelompok
akan memiliki penafsiran sendiri-sendiri tentangnya. Dan bila setiap
kelompok telah memiliki penafsiran sendiri-sendiri, niscaya mereka akan
berselisih. Dan bila mereka telah berselisih, niscaya mereka akan saling
berperang. Maka Umar menariknya dengan kuat dan memarahinya, lalu Ibnu
Abbas berpaling dan pergi. Kemudian selang beberapa saat, Umar
memanggilnya lagi dan ia telah memahami (menyetujui) jawabannya,
kemudian ia berkata: Ulangilah sekali lagi jawabanmu itu.” (Riwayat Sa’id bin Manshur dalam kitabnya As Sunnan 1/176, no: 42)
Keempat:
Saudara Abu Altov berkata:
“sekarang ilmu ini siap-siap akan berpindah kenegara lain, selain mekah
madinah. Sehingga yang disini Insya Allooh sebagian akan hijrah pula,
bila Allah mengizinkan saya dan keluargapun ingin hijrah.”
Apakah dalil antum dalam sangkaan dan dakwaan ini, darimanakah antum
mengetahui hal gahib?! Apa indikasi/pertanda berpindahnya ilmu dari
negri Mekkah dan Madinah? Menurut antum, ilmu akan berpindah ke negri
mana? Bukankah dakwaan antum ini bertentangan dengan sabda Nabi shollallahu’alaihiwasallam berikut ini:
إن الإسلام بدأ غريبا وسيعود غريبا كما بدأ وهو يأرز بين المسجدين كما تأرز الحية إلى جحرها. رواه مسلم
“Sesungguhnya agama Islam datang (turun) dalam keadaan asing, dan
akan kembali menjadi asing sebagaimana ketika datang pertama kali, dan
Islam itu akan kembali ke antara dua masjid (Masjid Haram dan Masjid
Nabawi) layaknya seekor ular kembali ke lubangnya.” (Riwayat Muslim)
Ustadz Muhammad Arifin bertanya:
Bukankah orang yang membaca Al Quran kemudian membaca tafsirnya yang
telah dibukukan oleh para ulama’ misalnya tafsir at thabari, Ibnu
Katsir dll berarti telah mengambil ilmunya dengan cara mangkul?
Abu Altov menjawab:
“Kalau demikian saya tidak tahu. Tetapi, adakah hal ini sesuai dengan
penyampaian ilmu dari guru kepada murid? kalau iya berarti saya cukup
membeli buku saja dan terus saya amalkan, siapa gurunya? ya buku dan
pencetaknya itu, namanya manusia tempat salah terlebih bila cetakannya
salah bagaimana mengamalkan ibadah, siapa yang salah, siapa yang
bertanggungjawab karena ilmu ini adalah ilmu masalah akhirot.”
Mengomentari penggalan ucapan Abu Altov ini saya hendak mengatakan:
Allah Ta’ala telah memudahkan Al Qur’an sehingga dapat dipahami dengan
mudah, oleh karena itu dalam setiap ayat atau hadits, yang memerintahkan
manusia untuk membaca, merenungi dan mentadabburi ayat-ayat Allah tidak
disebutkan persyaratan harus dibimbing oleh seorang guru, apalagi dari
kelompok tertentu, apalagi dari kelompok LDII saja. Diantara dalil-dalil
tersebut ialah firman Allah Ta’ala berikut:
أَفَلاَ يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِندِ غَيْرِ اللّهِ لَوَجَدُواْ فِيهِ اخْتِلاَفًا كَثِيراً
“Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Qur’an? Kalau kiranya
Al Qur’an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapatkan
pertentangan yang banyak di dalamnya.” (QS. An Nisa’: 82)
Saya yakin orang-orang LDII tidak akan dapat menyebutkan satu ayat
atau hadits yang mensyaratkan belajar harus dari guru, bila tidak maka
ilmu yang ia peroleh tidak sah atau tidak benar.
Memang benar dan saya setuju bahwa belajar dari guru yang telah
menghabiskan umur dan waktunya dalam mengkaji dan mempelajari ilmu akan
lebih baik hasilnya dan lebih cepat daripada belajar sendiri, serta akan
lebih sedikit kesalahannya. Akan tetapi hal itu tidak berati tidak sah
dan tidak boleh membaca Al Qur’an langsung dari Mushaf dan tanpa ada
guru yang membimbing atau membaca hadits dari kitab-kitab hadits serta
syarahnya dengan sendiri tanpa dibimbing oleh seorang guru. Apalagi
harus dari kelompok tertentu, misalnya LDII, maka jelas lebih tidak ada
dalilnya, lha wong LDII baru ada kemaren sore…
Sebagai salah satu dalil yang meruntuhkan doktrin dan belenggu LDII ini ialah kisah berikut:
عن أبي جحيفة قال: قلت لعلي رضي الله عنه : هل عندكم شيء من الوحي إلا
ما في كتاب الله؟ قال: والذي فلق الحبة وبرأ النسمة ما عندنا إلا ما في
القرآن إلا فهما يعطيه الله رجلا في القرآن. رواه البخاري.
“Dari Abu Juhaifah, ia berkata: Aku pernah berkata kepada sahabat
Ali (bin Abi Thalib): Apakah anda memiliki wahyu selain yang tercantum
dalam Kitabullah (Al Qur’an)? Beliau menjawab: Sungguh demi Dzat Yang
Telah Membelah biji-bijian, dan Yang Telah Menciptakan Manusia, aku
tidak mengetahui wahyu selain yang termaktub dalam Al Qur’an,kecuali
pemahaman yang Allah karuniakan kepada seseorang terhadap Al Qur’an.” (Riwayat Al Bukhari)
Pada kisah ini sahabat dan sekaligus Khalifah Ali bin Abi Thalib
menyatakan bahwa ia tidak memiliki wahyu yang dikhususkan oleh Allah dan
Rasul-Nya untuk beliau atau yang hanya diketahui oleh beliau saja.
Beliau hanya memiliki pemahaman terhadap Al Qur’an yang mungkin tidak
dimiliki oleh orang muslim lainnya. Pernyataan beliau ini membuktikan
bahwa pemahaman terhadap Al Qur’an tidak mesti ditimba dari guru, bahkan
beliau menyatakan bahwa bisa saja Allah membukakan hati atau
melimpahkan pemahaman kepada seseorang tanpa harus mendapatkan pemahaman
tersebut dari seorang guru.
Kesimpulan saya ini selaras dengan sabda Nabi shollallahu’alaihiwasallam berikut ini:
نضَّر الله أمرأً سمع منا حديثا فحفظه حتى يبلغه غيره، فرب حامل فقه إلى
من هو أفقه منه، ورب حامل فقه ليس بفقيه. رواه أحمد وأبو داود والترمذي
والدارمي وغيرهم
“Semoga Allah melimpahkan kebahagiaan kepada orang yang
mendengarkan suatu hadits (sabda) dari kami kemudian ia menghafalnya
hingga ia sampaikan kepada orang lain. Bisa saja ada orang yang
mengemban (menyampaikan) ilmu kepada orang yang lebih faham (faqih) dari
dirinya, dan bisa saja ada orang yang mengemban (menyampaikan) ilmu
sedangkan dia tidak faqih (tidak paham).” (Riwayat Ahmad, Abu Dawud, At Tirmizy, Ad Darimy dan lainnya)
Pada hadits ini Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam menyebutkan sebagian realita para pengemban ilmu, dan diantara yang beliau sebutkan ialah:
- Kadang kala orang yang menghafal sesuatu ilmu (Al Qur’an & hadits) kemudian ia mengajarkannya kepada murid-muridnya, dan ternyata muridnya lebih bagus dan luas pemahamannya terhadap ayat atau hadits yang disampaikan oleh gurunya tersebut.
- Dan kadang kala ada guru yang menyampaikan ilmu (Ayat & Hadits) kepada murid-muridnya, akan guru tersebut tidak memahami ayat dan hadits tersebut, dan murid-muridnya justru memahaminya dengan baik.
Bila hal ini telah jelas, maka belenggu “mangkul” yang dipasang di leher setiap anggota LDII tidak lagi ada artinya. Atau dengan kata yang lebih lugas, amat dimungkinkan bahwa guru-guru LDII adalah bagian dari sabda Nabi shollallahu’alaihiwasallam:
ورب حامل فقه ليس بفقيه
“…Dan bisa saja ada orang yang mengemban (menyampaikan) ilmu sedangkan dia tidak faqih (tidak paham).”
Bila demikian maka tidak ada bedanya belajar dari guru dengan belajar dari membaca kitab dengan pertimbangan sebagai berikut:
- Sama-sama memiliki kemungkinan salah: salah paham, salah cetak.
- Bisa saja guru perannya tak ubah sebuah kitab, bisanya hanya sebatas membacakan, akan tetapi ia tidak paham.
- Belenggu “mangkul” ala LDII tidak lagi berlaku dan sesat lagi menyesatkan, sebab menyelisihi berbagai dalil, baik dari Al Qur’an atau hadits atau naluri sehat.
“Berhubung keterbatasan waktu, tempat, keadaan diri saya yang sangat tidak memungkinkan, maka dalam mencari ilmu agama yang terkait sangat erat sekali dengan masalah ibadah, masalah pahala, masalah surga, saya tidak macam-macam cukup sesuai dengan kriteria atau syarat-syarat syahnya ilmu itu yaitu guru menerangkan, menjelaskan secara langsung dan baik dari alquran maupun hadits (bukhori, muslim, nasai, ibnu majah dan hadits lainnya) yang penting bukan hasil karangan dan muridpun menyimak baik apa yang disampaikan guru baik yang membawa kitab maupun yang tidak.”
Ustadz Muhammad Arifin Badri:
Mengomentarai perkataan Abu Altov ini, saya katakan: persyaratan ini hanyalah belenggu yang dililitkan oleh tokoh-tokoh LDII kepada setiap anggotanya, proteksi agar mereka tidak terbuka dan mencari kebenaran dengan menggunakan metode yang ilmiyyah, yaitu berfikir, merenungkan dan membandingkan berbagai pendapat, manakah yang lebih dekat atau bahkan selarasa dengan Al Qur’an dan As Sunnah.
Dan pada kesempatan ini saya ingin bertanya: Menurut doktrin LDII, sahkah keislaman orang kafir yang telah mengucapkan 2 kalimat syahadat akan tetapi pengucapannya tersebut tidak dibimbing oleh seorang guru baik dari LDII atau lainnya, melainkan dari hasil belajar sendiri?
Bila LDII menyatakan tidak sah, maka berarti LDII menentang dan mengkufuri sabda Nabi shollallahu’alaihiwasallam berikut ini:
عن عبادة بن الصامت قال: قال رسول الله صلى الله عليه و سلم : من شهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له، وأنَّ محمَّداً عبدُهُ ورسُولُهُ، وأَنَّ عيسى عبد الله ورسُولُهُ، وكلمَتُهُ ألقَاهَا إلى مريم وروحٌ منه، والجنَّة حقٌّ والنَّارُ حقٌّ، أدخلَهُ اللهُ الجنَّةَ على ما كان من العمل.
Dari sahabat Ubadah bin As Shomit menuturkan: Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam bersabda: “Barang siapa yang bersaksi bahwa tiada yang berhaq disembah selain Allah semata, Yang tiada sekutu bagi-Nya, dan sesungguhnya Muhammad itu adalah hamba dan Rasul-Nya, dan ‘Isa adalah hamba dan Rasul-Nya, dan kalimat-Nya yang Ia campakkan kepada Maryam, dan roh daripada-Nya (roh dari roh-roh yang Ia ciptakan), dan (bersaksi) bahwa surga itu benar-benar ada dan neraka itu benar-benar ada, niscaya Allah akan memasukkannya kedalam surga, apapun amalannya.” (Hadits riwayat Bukhori dan Muslim)
(إِنَّ اللهَ حَرَّم عَلَى النَّار من قَالَ: لاَ إِلَهَ إلاَّ اللهُ يَبْتَغِي بذلك وجهَ اللهِ)
“Sesungguhnya Allah mengharamkan atas neraka orang yang mengucapkan “La Ilaha IllaAllah” (Tiada yang berhaq disembah selain Allah), dengan penuh mengharap Wajah Allah (rasa keikhlasan).” (Muttafaqun ‘alaih)
Bila keislaman orang tersebut sah, maka runtuhlah belenggu “mangkul” ala LDII. Dan runtuhlah persyaratan sahnya ilmu yang Abu Althof sebutkan dalam ucapannya di atas. Akan tetapi dari fenomena dan ulah anggota LDII, dapat dipahami bahwa mereka tidak mengakui keislaman orang tersebut, oleh karena itu mereka senantiasa membasuh apapun yang tersenggol atau disentuh oleh selain kelompoknya. Mereka beranggapan bahwa orang yang ilmunya tidak mangkul maka tidak sah, dan bila tidak sah maka kesilamannya juga tidak sah, dan bila keislamannya tidak sah berarti ia kafir, dan orang kafir adalah najis, berdasarkan firman Allah Ta’ala berikut:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِنَّمَا الْمُشْرِكُونَ نَجَسٌ
“Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya orang-orang musyrikin itu adalah najis.” (QS. At Taubah: 28)
LDII memahami kata “najis” pada ayat ini sebagai najis layaknya kotoran manusia, babi, anjing dll. Padahal arti sebenarnya yang dimaksud dengan “najis” pada ayat ini adalah najis maknawi, maksudnya orang-orang musyrikin itu hatinya, keyakinannya, dan amalannya najis (sesat). Adapun badannya, maka tidak ada bedanya dengan selain mereka, bila telah bersuci dengan mandi dll, maka badannya suci tidak najis. Sebagai buktinya: Allah Ta’ala dan Rasul-Nya membenarkan bagi orang islam untuk memakan makanan ahlul kitab (yahudi dan nasrani) padahal mereka adalah orang-orang musyrikin dan kafir. Seandainya yang dimaksud dengan najis adalah najis bak kotoran manusia, niscaya tidak akan boleh memakan makanan yang mereka buat, sebab dalam proses pembuatannya pasti mereka menyentuhnya dengan kedua tangannya. Bahkan menikahi wanita-wanita ahlul kitab dibolehkan, ini membuktikan pemahaman LDII terhadap ayat di atas adalah salah dan menyesatkan, Allah Ta’ala berfirman:
الْيَوْمَ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُواْ الْكِتَابَ حِلٌّ لَّكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلُّ لَّهُمْ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِينَ أُوتُواْ الْكِتَابَ مِن قَبْلِكُمْ إِذَا آتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ وَلاَ مُتَّخِذِي أَخْدَانٍ وَمَن يَكْفُرْ بِالإِيمَانِ فَقَدْ حَبِطَ عَمَلُهُ وَهُوَ فِي الآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal bagi mereka. Dan (dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatannya diantara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya tidak dengan maksud berzina dan tidak pula menjadikannya gundik-gundik. Barang siapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum islam) maka hapuslah amalannya, dan ia di hari akhirat termasuk orang-orang yang merugi.” (QS. Al Maidah: 5)
Perilaku nyleneh LDII ini tidak mungkin ditafsiri sebagai sikap berhati-hati, karena mungkin orang selain LDII tidak dapat membersihkan najis dari dirinya dengan baik, sebab Nabi shollallahu’alaihiwasallam sering bersinggungan dengan orang-orang yahudi dan nasrani, bahkan pernah memakan makanan mereka tanpa harus membasuhnya terlebih dahulu. Perilaku ini hanya ada satu penafsiran, yaitu mereka mengganggap bahwa selain anggotanya adalah kafir dan najis. Perilaku ini adalah bukti nyata bahwa LDII adalah generasi penerus khowarij yang senantiasa mengkafirkan selain kelompoknya, dan menganggap bahwa surga itu sempit sehingga tidak cukup untuk selain kelompoknya saja.
Bila ada yang bertanya: mengapa LDII dan nenek moyang mereka (kaum khowarij) bersikap demikian?
Jawabannya ada pada ucapan sahabat Ibnu Umar rodiallahu’anhu berikut:
إنهم انطلقوا إلى آيات نزلت في الكفار فجعلوها على المؤمنين
“Sesungguhnya mereka itu biasa membawakan ayat-ayat yang diturunkan berkenaan dengan orang-orang kafir, kemudian menerapkannya pada orang-orang mukminin.” (Riwayat At Thobary dan Al Bukhary)
Semoga Allah senantiasa melimpahkan hidayah dan taufiq-Nya kepada kita semua, dan melindungi kita dari para penyeru ke pintu-pintu neraka. Dan membebaskan kita semua dari belenggu-belenggu bid’ah dan kesesatan.
اللهم ربَّ جبرائيلَ وميكائيلَ وإسرافيلَ فاطَر السَّماواتِ والأرضِ، عالمَ الغيبِ والشَّهادة، أنتَ تحْكُمُ بين عِبَادِك فيما كانوا فيه يَخْتَلِفُون، اهْدِنَا لِمَا اخْتُلِفَ فيه من الحق بإِذْنِكَ؛ إنَّك تَهْدِي من تَشَاء إلى صراط مستقيم. وصلى الله وسلم على نبينا محمد وعلى آله وأصحابه أجمعين. والله أعلم بالصَّواب، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين.
“Ya Allah, Tuhan malaikat Jibril, Mikail, Israfil, Dzat Yang telah Menciptakan langit dan bumi, Yang Mengetahui hal yang gaib dan yang nampak, Engkau mengadili antara hamba-hambamu dalam segala yang mereka perselisihkan. Tunjukilah kami -atas izin-Mu- kepada kebenaran dalam setiap hal yang diperselisihkan padanya, sesungguhnya Engkau-lah Yang menunjuki orang yang Engkau kehendaki menuju kepada jalan yang lurus. Shalawat dan salam dari Allah semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, dan seluruh sahabatnya. Dan Allah-lah Yang Lebih Mengetahui kebenaran, dan akhir dari setiap doa kami adalah: “segala puji hanya milik Allah, Tuhan semesta alam.”
0 komentar:
Posting Komentar