(ditulis oleh: Al-Ustadz Ruwaifi bin Sulaimi, Lc.)
Mengkaji biografi ulama dan becermin dari perjalanan hidup mereka
adalah bekal utama menjalani kehidupan. Padanya terdapat berbagai
pengajaran berharga (ibrah) dan nilai-nilai keteladanan yang sangat
berguna bagi setiap insan.
Betapa banyak jiwa yang lalai
menjadi taat, yang sekarat menjadi sehat, yang lemah menjadi kuat, dan
yang tersesat menjadi terbimbing di atas jalan kebenaran.
Di
antara para ulama yang mulia itu adalah al-Imam Abul Hasan al-Asy’ari ,
sang pencari kebenaran. Beliau adalah seorang ulama terkemuka dari
keturunan sahabat Abu Musa al-Asy’ari yang asal-usulnya dari negeri
Yaman.
Perjalanan hidup beliau pun sangat menarik untuk disimak dan dijadikan bahan renungan, mengingat :
❥ ada tiga fase keyakinan yang beliau lalui.
»̶>❥Fase pertama bersama Mu’tazilah,
»̶>❥fase kedua bersama Kullabiyah,
»̶>❥dan terakhir bersama Salafiyah Ahlus Sunnah wal Jamaah setelah mendapatkan hidayah dari ar-Rahman.
Nama beliau kesohor di berbagai penjuru dunia sebagai panutan mazhab
Asy’ari (yang hakikatnya adalah mazhab Kullabiyah), padahal itu adalah
fase kedua dalam kehidupan beragama yang telah beliau tinggalkan. Beliau
pun wafat dalam keadaan berpegang teguh dengan manhaj salaf, Ahlus
Sunnah wal Jamaah, satu-satunya jalan kebenaran yang diwariskan oleh
Rasulullah dan para sahabatnya yang budiman.
Nama dan Garis Keturunan al-Imam Abul Hasan al-Asy’ari
Beliau adalah Ali bin Ismail bin Ishaq (Abu Bisyr) bin Salim bin Ismail
bin Musa bin Bilal bin Abu Burdah bin Abu Musa al-Asy’ari. Beliau lahir
di Bashrah (Irak) pada tahun 260 H dan wafat di Baghdad (Irak) pada
tahun 324 H. Beliau dikenal dengan sebutan Abul Hasan al-Asy’ari. Abul
Hasan adalah kuniah beliau.1 Adapun al-Asy’ari adalah nisbah
(penyandaran) kepada kabilah al-Asy’ar2, salah satu kabilah besar di
negeri Yaman, yang berpangkal pada diri Saba’ bin Yasyjub bin Ya’rub bin
Qahthan. Laqab (julukan) beliau adalah Nashiruddin (pembela agama).3
Ayah beliau, Ismail bin Ishaq, adalah seorang sunni yang mencintai ilmu
hadits dan berpegang teguh dengan prinsip Ahlus Sunnah wal Jamaah,
sebagaimana penuturan Abu Bakr Ibnu Furak. Bahkan, menjelang wafatnya,
sang ayah dengan penuh antusias berwasiat agar Abul Hasan kecil
dibimbing oleh al-Hafizh Abu Yahya Zakaria bin Yahya as-Saji, seorang
pakar fikih dan hadits kota Bashrah yang berpegang teguh dengan prinsip
Ahlus Sunnah wal Jamaah. (Lihat Jamharah Ansabil Arab karya al-Imam Ibnu
Hazm 1/163, al-Ansab karya al-Imam as-Sam’ani 1/266, Nihayatul Arab fi
Ma’rifatil Ansab karya al-Qalqasandi, Tabyin Kadzibil Muftari karya
al-Imam Ibnu Asakir, hlm. 35, dan Muqaddimah kitab Risalah ila Ahlits
Tsaghr bi Babil Abwab, hlm. 45)
Ditinjau dari garis
keturunannya, al-Imam Abul Hasan al-Asy’ari adalah keturunan dari
sahabat Abdullah bin Qais bin Hadhdhar al-Asy’ari al-Yamani , yang
dikenal dengan sebutan Abu Musa al-Asy’ari . Beliau adalah salah seorang
sahabat Nabi yang terkenal akan keilmuan dan keindahan suaranya dalam
membaca al-Qur’an. Adapun pernyataan Abu Ali al-Hasan bin Ali bin
Ibrahim al-Ahwazi dalam kitabnya Matsalib Ibni Abi Bisyr bahwa al-Imam
Abul Hasan al-Asy’ari bukan keturunan Abu Musa al-Asy’ari , namun
keturunan Yahudi yang kakeknya diislamkan oleh sebagian orang dari
kabilah al-Asy’ar, menurut al-Imam Ibnu Asakir hal ini merupakan
kedustaan dan kebodohan yang nyata. (Lihat al-Ansab karya al-Imam
as-Sam’ani 1/266, Tahdzibut Tahdzib karya al-Hafizh Ibnu Hajar
al-Asqalani 5/362, dan Tabyin Kadzibil Muftari karya al-Imam Ibnu
Asakir, hlm. 147)
Kepribadian al-Imam Abul Hasan al-Asy’ari
Al-Imam Abul Hasan al-Asy’ari adalah seorang yang berbudi pekerti
luhur dan terkenal kejeniusannya. Pola hidupnya sederhana, selalu
diiringi oleh sifat zuhud (tidak tamak terhadap dunia), qana’ah
(bersyukur dengan apa yang ada), penuh ta’affuf (jauh dari sifat
meminta-minta), wara’ (sangat berhati-hati dalam urusan dunia), dan
sangat antusias terhadap urusan akhirat. Di sisi lain, beliau adalah
seorang yang suka humor dan tidak kaku. (Lihat Tarikh Baghdad karya
al-Khathib al-Baghdadi 11/347, Siyar A’lamin Nubala 15/86 dan al-‘Ibar
fi Khabari Man Ghabar karya al-Imam adz-Dzahabi 2/203, Tabyin Kadzibil
Muftari, hlm. 141—142, serta al-Fihristi karya Ibnun Nadim, hlm. 257)
Menelusuri Tiga Fase Keyakinan yang Dilalui oleh al-Imam Abul Hasan al-Asy’ari
Faktor lingkungan mempunyai peran yang sangat besar dalam membentuk
keyakinan dan kepribadian seseorang, terkhusus lingkungan intern
keluarga, yaitu ayah dan ibu. Rasulullah bersabda:
“Tidaklah
seorang anak itu dilahirkan melainkan di atas fitrah (naluri keislaman).
Kedua orang tuanya yang sangat berperan dalam menjadikannya Yahudi,
Nasrani, dan Majusi. Ini seperti halnya seekor binatang (pada umumnya)
melahirkan anaknya dalam keadaan sempurna fisiknya. Apakah kalian
melihat pada anak binatang yang baru dilahirkan itu cacat di telinga
atau anggota tubuhnya yang lain?” Kemudian sahabat Abu Hurairah
berkata, “Jika kalian mau, bacalah firman Allah l (yang artinya),
‘(Tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut
fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah.’ (ar-Rum: 30)” (HR.
Muslim no. 2658, dari sahabat Abu Hurairah )
Demikian pula
keadaan al-Imam Abul Hasan al-Asy’ari . Pada usia belia, beliau hidup di
bawah asuhan seorang ayah yang berpegang teguh dengan prinsip Ahlus
Sunnah wal Jamaah. Bahkan, menjelang wafatnya sang ayah berwasiat agar
Abul Hasan kecil tumbuh di bawah bimbingan al-Hafizh Abu Yahya Zakaria
bin Yahya as-Saji, seorang pakar fikih dan hadits kota Bashrah yang
berpegang teguh dengan prinsip Ahlus Sunnah wal Jamaah.
Sepeninggal ayah beliau, sang ibu menikah lagi dengan seorang tokoh Mu’tazilah yang bernama Abu Ali al-Jubba’i.
Kondisi pun berubah. Abul Hasan kecil tumbuh dan berkembang di bawah
asuhan ayah tiri yang berpaham Mu’tazilah tersebut dan dididik dengan
doktrin keilmuan ala Mu’tazilah yang sesat. Cukup lama al-Imam Abul
Hasan al-Asy’ari berguru kepada Abu Ali al-Jubba’i. Semakin erat
hubungan antara keduanya hingga al-Imam Abul Hasan al-Asy’ari menjadi
pewaris ilmu Abu Ali al-Jubba’i dan berposisi sebagai tokoh muda
Mu’tazilah yang disegani di kalangan kelompoknya. Dalam banyak
kesempatan Abu Ali al-Jubba’i mewakilkan urusan keagamaan kepada al-Imam
Abul Hasan al-Asy’ari t. Bahkan, tak sedikit karya tulis yang beliau
luncurkan untuk kepentingan kelompok Mu’tazilah dan menyerang
orang-orang yang berseberangan dengannya.
Demikianlah fase
pertama dari tiga fase keyakinan yang dilalui oleh al-Imam Abul Hasan
al-Asy’ari t. Fase kehidupan sebagai seorang mu’tazili (berpaham
Mu’tazilah) yang berjuang keras demi tersebarnya akidah sesat tersebut.4
(Lihat Tabyin Kadzibil Muftari, hlm. 35, dan Muqaddimah kitab Risalah
ila Ahlits Tsaghr bi Babil Abwab, hlm. 46—47)
»̶>❥
Fase kedua adalah fase bertaubatnya al-Imam Abul Hasan al-Asy’ari dari
akidah sesat Mu’tazilah, setelah berlalu empat puluh tahun dari
perjalanan hidup beliau , tepatnya pada tahun 300 H. Tidak
tanggung-tanggung, taubat dan sikap berlepas diri itu beliau umumkan di
atas mimbar Masjid Jami’ kota Bashrah, seusai shalat Jumat. Bahkan,
beliau meluncurkan beberapa karya tulis untuk membantah syubhat-syubhat
Mu’tazilah dan kesesatan mereka. Selang beberapa lama setelah pengumuman
taubat tersebut, al-Imam Abul Hasan al-Asy’ari meninggalkan Bashrah dan
berdomisili di Baghdad. (Lihat Tabyin Kadzibil Muftari, hlm. 39,
Wafayatul A’yan karya al-Qadhi Ibnu Khallikan 3/285, dan Muqaddimah
kitab Risalah ila Ahlits Tsaghr bi Babil Abwab, hlm. 19)
Al-Imam Ibnu Katsir berkata, “Sungguh, Abul Hasan al-Asy’ari dahulunya
adalah seorang yang berakidah Mu’tazilah kemudian bertaubat di kota
Bashrah. Beliau mengumumkan taubat tersebut di atas mimbar. Setelah itu
beliau membongkar berbagai kesesatan dan kejelekan Mu’tazilah.”
(al-Bidayah wan Nihayah 11/187)
Al-Imam adz-Dzahabi berkata,
“Ketika (al-Imam Abul Hasan al-Asy’ari, pen.) telah mendalami hakikat
Mu’tazilah, muncullah kebencian beliau terhadapnya. Beliau lalu berlepas
diri darinya. Beliau naik ke atas mimbar (untuk mengumumkan sikapnya
itu, pen.) dan bertaubat kepada Allah . Kemudian beliau meluncurkan
bantahan terhadap Mu’tazilah dan membongkar penyimpangan-penyimpangan
mereka.” (Siyar A’lamin Nubala’ 15/86)
Al-Qadhi Ibnu Khallikan
berkata, “Dahulu, Abul Hasan al-Asy’ari adalah seorang yang berakidah
Mu’tazilah kemudian bertaubat darinya.” (Wafayatul A’yan 3/285)
Pada fase kedua ini al-Imam Abul Hasan al-Asy’ari t condong kepada para
ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah, namun belum berpemahaman Ahlus Sunnah
wal Jamaah. Beliau lebih terpengaruh dengan kelompok Kullabiyah yang
saat itu tergolong gencar dalam membantah kelompok sesat Mu’tazilah.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Ketika keluar dari mazhab
Mu’tazilah, Abul Hasan al-Asy’ari mengikuti jalan Ibnu Kullab dan
condong kepada Ahlus Sunnah wal Hadits.” (Dar’u Ta’arudhil Aqli wan
Naqli, 2/16)
Al-Imam al-Maqrizi berkata, “Sesungguhnya, setelah
al-Asy’ari keluar dari Mu’tazilah dan melontarkan bantahan terhadap
mereka, beliau mengikuti akidah Abu Muhammad Abdullah bin Muhammad bin
Said bin Kullab al-Qaththan dan berpijak di atas kaidah-kaidahnya.”
(al-Khuthath karya al-Imam al-Maqrizi 4/191)
Lebih rinci,
al-Imam Ibnu Katsir berkata, “Fase kedua (yang dilalui oleh Abul Hasan
al-Asy’ari) adalah menetapkan tujuh sifat ‘aqliyah bagi Allah , yaitu
al-hayat, al-ilmu, al-qudrah, al-iradah, as-sam’u, al-bashar, dan
al-kalam. Di sisi lain, beliau menakwilkan (memalingkan dari makna yang
sebenarnya) sifat khabariyah, seperti wajah, kedua tangan, kaki, betis,
dan yang semisalnya.” (Thabaqatul Fuqaha’‘Indas Syafi’iyyah, dinukil
dari Muqaddimah kitab Risalah ila Ahlits Tsaghr bi Babil Abwab, hlm. 35)
Menurut Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah , Ibnu Kullab (baca: kelompok
Kullabiyah) menetapkan sifat-sifat wajib bagi Allah , seperti al-ilmu,
al-qudrah, al-hayat, dan yang semisalnya, namun mengingkari sifat-sifat
fi’liyah (perbuatan) Allah yang berkaitan dengan kehendak dan
takdir-Nya, seperti sifat datang dan yang semisalnya. (Lihat Dar’u
Ta’arudhil Aqli wan Naqli, 2/6)
Dari sini dapat disimpulkan
bahwa pada fase kedua ini al-Imam Abul Hasan al-Asy’ari menetapkan
sebagian sifat bagi Allah (sifat wajib yang tujuh), menakwilkan sifat
khabariyyah, dan mengingkari sifat fi’liyah (perbuatan) Allah yang
berkaitan dengan kehendak dan takdir-Nya. Jadi, beliau berada di antara
kelompok Mu’tazilah yang mengingkari semua sifat Allah dan Ahlus Sunnah
wal Jamaah yang menetapkan semua sifat-sifat Allah.
Setelah
berlalu sekian masa, al-Imam Abul Hasan al-Asy’ari t semakin mendekat
kepada para ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah. Akhirnya, beliau meninggalkan
akidah Kullabiyah dan berpegang teguh dengan akidah Ahlus Sunnah wal
Jamaah. Itulah fase ketiga kehidupan beragama beliau.
Pada fase
ketiga ini, beliau banyak berguru kepada para ulama Ahlus Sunnah wal
Jamaah, seperti al-Muhaddits al-Musnid Abu Khalifah al-Fadhl al-Jumahi
al-Bashri, al-Qadhi Abul Abbas Ahmad bin Suraij al-Baghdadi—panutan
mazhab Syafi’i di masa itu—, al-Imam al-Hafizh Abu Yahya Zakaria bin
Yahya as-Saji—pakar hadits Kota Bashrah—, dan al-Faqih Abu Ishaq Ibrahim
bin Ahmad bin Ishaq al-Marwazi—rujukan utama dalam hal fatwa dan ilmu
di masa itu. (Lihat Tabyin Kadzibil Muftari, hlm. 35, dan Muqaddimah
kitab Risalah ila Ahlits Tsaghr bi Babil Abwab, hlm. 46—47)
Al-Imam Ibnu Katsir berkata, “Fase ketiga (yang dilalui oleh Abul Hasan
al-Asy’ari) adalah menetapkan semua sifat-sifat Allah , tanpa
menganalogikan dan menyamakannya dengan sesuatu pun, sebagaimana prinsip
as-salafush shalih. Demikianlah prinsip yang beliau torehkan dalam
kitab al-Ibanah5, karya beliau yang terakhir.” (Thabaqatul Fuqaha’‘Indas
Syafi’iyyah, dinukil dari Muqaddimah kitab Risalah ila Ahlits Tsaghr bi
Babil Abwab, hlm. 35)
Asy-Syaikh Muhibbuddin al-Khatib
berkata, “Kemudian al-Imam Abul Hasan al-Asy’ari membersihkan jalan
yang ditempuhnya dan mengikhlaskannya karena Allah dengan rujuk
(kembali) secara total kepada jalan yang ditempuh oleh as-salafush
shalih… dan para ulama yang menyebutkan biografi beliau menyatakan
bahwa al-Ibanah adalah karya tulis beliau yang terakhir.” (Catatan kaki
kitab al-Muntaqa min Minhajil I’tidal hlm. 41, dinukil dari Muqaddimah
kitab Risalah ila Ahlits Tsaghr bi Babil Abwab, hlm. 36)
»̶>❥Keterangan di atas adalah bantahan terhadap orang yang mengklaim
bahwa al-Ibanah adalah kitab yang dipalsukan atas nama al-Imam Abul
Hasan al-Asy’ari .
»̶>❥Demikian pula, ini adalah bantahan
terhadap orang yang mengklaim bahwa al-Ibanah bukanlah karya tulis
beliau yang terakhir.
»̶>❥»̶>❥Tujuan mereka tiada lain
adalah pengaburan sejarah agar umat tetap berada di atas mazhab Asy’ari
yang hakikatnya adalah mazhab Kullabiyah—sebuah mazhab yang telah
ditinggalkan oleh al-Imam Abul Hasan al-Asy’ari .
Setelah
menyebutkan beberapa nukilan dari para imam terkemuka6 tentang sahnya
penyandaran kitab al-Ibanah kepada al-Imam Abul Hasan al-Asy’ari ,
asy-Syaikh Hammad bin Muhammad al-Anshari mengatakan, “Beberapa nukilan
yang tegas dari para imam terkemuka ini—yang dua ekor kambing tidak
saling beradu tanduk karenanya dan dua orang takkan berselisih karenanya
pula—menunjukkan bahwa kitab al-Ibanah bukanlah kitab yang dipalsukan
atas nama al-Imam Abul Hasan al-Asy’ari , sebagaimana halnya klaim para
anak muda dari kalangan ahli taklid. Bahkan, kitab tersebut merupakan
karya tulis beliau yang terakhir. Beliau tetap kokoh di atas kandungan
kitab tersebut, yaitu akidah salaf yang bersumber dari al-Qur’anul Karim
dan Sunnah Nabi .” (al-Imam Abul Hasan al-Asy’ari, hlm. 72)
Satu hal yang penting untuk diingatkan bahwa mazhab yang hingga hari ini
dikenal dengan sebutan mazhab Asy’ari atau ASWAJA, tiada lain adalah
kelanjutan dari mazhab Kullabiyah, yang telah ditinggalkan oleh al-Imam
Abul Hasan al-Asy’ari sendiri. Bahkan, dengan tegas beliau menyatakan
bahwa beliau berada di atas jalan Rasulullah dan as-salafush shalih,
sejalan dengan al-Imam Ahmad bin Muhammad bin Hanbal , dan menyelisihi
siapa saja yang berseberangan dengan beliau7. Hal ini sebagaimana yang
beliau torehkan dalam kitab al-Ibanah.
Bisa jadi, di antara
pembaca ada yang bertanya, bisakah disebutkan contoh pernyataan al-Imam
Abul Hasan al-Asy’ari yang ditorehkan dalam kitab al-Ibanah itu?
Jika demikian, perhatikanlah dengan saksama pernyataan beliau berikut
ini, “Prinsip yang kami nyatakan dan agama yang kami yakini adalah
berpegang teguh dengan Kitab Suci (al-Qur’an) yang datang dari Rabb kami
dan Sunnah Nabi Muhammad , serta apa yang diriwayatkan dari para
sahabat, tabi’in, dan para imam Ahlul Hadits. Kami berprinsip dengannya
dan menyatakan seperti apa yang dinyatakan oleh Abu Abdillah Ahmad bin
Muhammad bin Hanbal—semoga Allah menyinari wajahnya, mengangkat
derajatnya, dan membesarkan pahalanya. Kami menyelisihi siapa saja yang
berseberangan dengan beliau karena beliau adalah seorang imam yang mulia
dan pemimpin yang utama. Allah menampakkan kebenaran dengan beliau di
kala muncul kesesatan. Dengan sebab beliau pula, Allah memperjelas jalan
yang lurus, menghancurkan bid’ah yang diciptakan oleh ahli bid’ah,
penyimpangan orang-orang yang menyimpang, dan keraguan orang-orang yang
bimbang. Semoga rahmat Allah selalu tercurahkan kepada beliau, imam
yang terkemuka, mulia lagi agung, dan besar lagi terhormat.” (al-Ibanah
hlm. 20—21)
Bisa jadi pula, ada yang bertanya, semisal
apakah prinsip keyakinan al-Imam Abul Hasan al-Asy’ari yang sejalan
dengan prinsip salaf, Ahlus Sunnah wal Jamaah, dan bertentangan dengan
prinsip Mu’tazilah (fase pertama beliau) dan prinsip
Kullabiyah/Asy’ariyah/
Tentang hal ini, al-Imam Abul Hasan al-Asy’ari menyebutkannya secara
terperinci dalam kitab al-Ibanah. Di antaranya adalah keyakinan beliau
bahwa :
»̶>❥Allah dapat dilihat di akhirat kelak dengan mata kepala,
»̶>❥keyakinan bahwa al-Qur’an adalah kalamullah (firman Allah ) bukan makhluk,
»̶>❥ keyakinan bahwa Allah berada di atas Arsy bukan di mana-mana, dan sebagainya.
»̶>❥❥Semua itu bertentangan dengan prinsip Mu’tazilah (fase pertama beliau) dan juga prinsip Kullabiyah/Asy’ariyah/
Oleh karena itu,
tidaklah adil manakala menyandarkan suatu keyakinan/prinsip/mazhab
kepada al-Imam Abul Hasan al-Asy’ari selain apa yang beliau torehkan
dalam kitab al-Ibanah yang mulia, mengingat bahwa itulah potret akhir
dari kehidupan beragama yang beliau yakini. Beliau pun berharap bertemu
dengan Allahdi atasnya.
Para pembaca yang mulia.
Demikianlah tiga fase keyakinan yang dilalui oleh al-Imam Abul Hasan
al-Asy’ari dalam kehidupan beragama yang penuh kesan. Perjalanan hidup
yang sarat akan pengajaran berharga (ibrah) dan renungan.
»̶>❥Dari satu keyakinan menuju keyakinan berikutnya, demi mencari
kebenaran. Semuanya beliau lalui dengan penuh kesungguhan dan kesabaran.
»̶>❥Manakala tampak bagi beliau sebuah kebatilan, tiada enggan beliau tinggalkan.
»̶>❥Manakala tampak sebuah kebenaran, tiada enggan pula beliau
berpegang teguh dengannya selama hayat masih dikandung badan.
Begitulah seharusnya yang terpatri dalam sanubari setiap insan dalam
menyikapi kebatilan dan kebenaran di tengah kehidupan dunia yang penuh
cobaan.
Akhir kata, sungguh rajutan kata-kata seputar al-Imam
Abul Hasan al-Asy’ari di atas belum cukup menggambarkan sosok seorang
imam terkemuka yang diliputi oleh keutamaan dan kemuliaan. Namun, semoga
yang sedikit ini dapat bermanfaat dan berkesan bagi setiap insan yang
haus akan kebenaran.
Wallahul musta’an.
____
Catatan Kaki:
1 Kuniah adalah sebutan untuk seseorang selain nama dan julukannya,
seperti Abul Hasan dan Ummul Khair. Kuniah biasanya didahului oleh kata
abu (ayah), ummu (ibu), ibnu (putra), akhu (saudara laki-laki), ukhtu
(saudara perempuan), ammu (paman dari pihak ayah), ammatu (bibi dari
pihak ayah), khalu (paman dari pihak ibu), atau khalatu (bibi dari pihak
ibu). Terkadang, kuniah disebutkan bersama nama dan julukan seseorang,
dan terkadang pula disebutkan secara tersendiri. Di kalangan bangsa
Arab, kuniah digunakan sebagai panggilan kehormatan bagi seseorang.
(Lihat al-Mu’jamul Wasith 2/802)
2 Al-Asy’ar adalah julukan
bagi Nabt bin Udad bin Zaid bin Yasyjub bin ‘Uraib bin Zaid bin Kahlan
bin Saba’ bin Yasyjub bin Ya’rub bin Qahthan. Al-Asy’ar artinya seorang
yang banyak rambutnya. Ia disebut demikian karena tubuhnya ditumbuhi
oleh rambut sejak dilahirkan oleh ibunya. (Lihat Nasab Ma’d wal Yaman
al-Kabir 1/27)
3 Julukan tersebut muncul di hari kematian
beliau, saat manusia saling berucap, “Telah meninggal dunia pada hari
ini Nashiruddin (Pembela Agama).” (Lihat Tabyin Kadzibil Muftari karya
al-Imam Ibnu Asakir, hlm. 375)
4 Untuk mengetahui hakikat
kelompok sesat Mu’tazilah, silakan baca rubrik “Manhaji” Majalah
Asy-Syari’ah Vol. 1/No. 09/1425 H/2004.
5 Judul lengkapnya adalah al-Ibanah ‘an Ushulid Diyanah.
6 Di antara mereka adalah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, al-Imam Ibnu Asakir, al-Imam al-Baihaqi, al-Imam Ibnul Qayyim, dll.
7 Perlu diketahui, mazhab Asy’ari atau ASWAJA atau Kullabiyah, semuanya
berseberangan dengan prinsip yang diyakini oleh al-Imam Ahmad bin
Muhammad bin Hanbal . Dengan demikian, berseberangan pula dengan prinsip
yang diyakini oleh al-Imam Abul Hasan al-Asy’ari . Tajuddin as-Subki
—seorang tokoh mazhab Syafi’i—berkata, “Abul Hasan al-Asy’ari adalah
tokoh besar Ahlus Sunnah setelah al-Imam Ahmad bin Hanbal. Akidah beliau
adalah akidah al-Imam Ahmad , tiada keraguan dan kebimbangan padanya.
Inilah yang ditegaskan berkali-kali oleh Abul Hasan al-Asy’ari dalam
beberapa karya tulis beliau.” (Thabaqat asy-Syafi’iyyah al-Kubra 4/236)
Majalah AsySyariah Edisi 074
15 Agustus 2012
NAPAK TILAS PERJALANAN HIDUP AL-IMAM ABUL HASAN AL-ASY'ARI
Diberdayakan oleh Blogger.
0 komentar:
Posting Komentar