-->

27 Agustus 2012

Pengertian Manhaj Salaf dan Salafiyyah: Menurut Bahasa, Istilah dan Zaman


Pertama: Definisi Manhaj 

Manhaj menurut bahasa artinya jalan yang jelas dan terang. Allah Ta’ala berfirman:


لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنْكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهَاجًا 
“Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang.” (Al-Maa-idah, QS 5: 48)

Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata, “Maksudnya, jalan dan syari’at.” [1]


Sedang menurut istilah, manhaj ialah kaidah-kaidah dan ketentuan-ketentuan yang digunakan bagi setiap pembelajaran ilmiyyah, seperti kaidah-kaidah bahasa Arab, ushul ‘aqidah, ushul fiqih, dan ushul tafsir dimana dengan ilmu-ilmu ini pembelajaran dalam Islam beserta pokok-pokoknya menjadi teratur dan benar.[2] 


Manhaj 
artinya jalan atau metode. Dan manhaj yang benar adalah jalan hidup yang lurus dan terang dalam beragama menurut pemahaman para Shahabat. Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan hafizhahullah menjelaskan perbedaan antara ‘aqidah dan manhaj, beliau berkata, “Manhaj lebih umum daripada ‘aqidah. Manhaj diterapkan dalam ‘aqidah, suluk, akhlak, muamalah, dan dalam semua kehidupan seorang Muslim. Setiap langkah yang dilakukan seorang Muslim dikatakan manhaj. Adapun yang dimaksud dengan ‘aqidah adalah pokok iman, makna dua kalimat syahadat, dan konsekuensinya. Inilah ‘aqidah. [3] 
Kedua: Definisi Salaf Menurut Bahasa 

Salaf berasal dari kata salafa-yaslufu-salafan, artinya adalah: telah lalu. Kalimat yang berbunyi al-qaum as-sullaaf, artinya kaum yang terdahulu. Sedangkan kalimat salafur rajuli, artinya: bapak-bapak mereka yang terdahulu. Bentuk jamaknya adalah aslaaf dan sullaaf.


Di antaranya juga kata as-sulfah, artinya: makanan ringan yang dimakan sebelum sarapan. At-Tasliif, artinya pendahuluan, sedangkan as-saalif dan as-saliif, artinya: orang yang terdahulu. Dan kata sulaafah, artinya: segala sesuatu yang engkau peras ialah awalnya. [4]


Kata Salaf juga bermakna: seseorang yang telah mendahului (terdahulu) dalam ilmu, iman, keutamaan, dan kebaikan. Ibnu Manzhur rahimahullah mengatakan, “Salaf juga berarti orang yang mendahului anda, baik dari bapak maupun orang-orang terdekat (kerabat) yang lebih tua umurnya dan lebih utama. Karena generasi pertama dari umat ini dari kalangan para Tabi’in disebut sebagai as-Salafush Shalih.” [5]


Masuk juga dalam pengertian secara bahasa, yaitu sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada anaknya, Fathimah az-Zahra radhiyallahu ‘anha: “Sesungguhnya sebaik-baik Salaf (pendahulu) bagimu adalah aku.”
 [HR. Muslim no. 2450 (98)] 
Ketiga: Definisi Salaf Menurut Istilah 

Adapun menurut istilah, Salaf adalah sifat yang khusus dimutlakkan kepada para Shahabat. Ketika disebutkan Salaf, maka yang dimaksud pertama kali adalah para Shahabat. Adapun selain mereka, ikut serta dalam makna Salaf ini, yaitu orang-orang yang mengikuti mereka. Artinya, bila mereka mengikuti para Shahabat maka disebut Salafiyyin, yaitu orang-orang yang mengikuti Salafush Shalih.


Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman:


وَالسَّابِقُونَ الأوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالأنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الأنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ

“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang muhajirin dan Ansar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah rida kepada mereka dan mereka pun rida kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.” (At-Taubah, QS 9: 100)


Dalam ayat ini Allah Ta’ala menyebutkan generasi pertama umat ini adalah para Shahabat ridhwanullaahi ‘alaihim ajma’iin dari kalangan Muhajirin dan Anshar. Mereka adalah orang-orang yang diridhai Allah, dan mereka dijamin masuk Surga. Dan orang-orang setelah mereka, yang mengikuti mereka dengan baik dalam ‘aqidah, manhaj, dan lainnya, maka mereka pun akan mendapatkan ridha Allah dan akan masuk Surga.


Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:


مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ

“Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka.” (Al-Fath, QS 48: 29)


Dan yang dimaksud “orang-orang yang bersama dia”, adalah
 para Shahabat.
Para ulama lain dari berbagai firqah pun mengatakan dan mengakui bahwa yang dimaksud dengan Salaf adalah para Shahabat.


Imam Ghazali rahimahullah berkata ketika mendefinisikan kata Salaf, “Yang saya maksud adalah mazhab Shahabat dan Tabi’in.” [6]


Al-Baijuri rahimahullah berkata, “Maksud dari orang-orang terdahulu (Salaf) adalah orang-orang terdahulu dari kalangan para Nabi, para Shahabat, Tabi’in, dan pengikutnya.” [7]


Yang dimaksud dengan Salaf pertama kali adalah Shahabat karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menyebutkan: “Sebaik-baik manusia adalah pada masaku ini (yaitu masa para Shahabat), kemudian yang sesudahnya (masa Tabi’in), kemudian yang sesudahnya (masa Tabi’ut Tabi’in).”
 [HR. Bukhari no. 2652, Muslim no. 2533 (212), dari Shahabat Abdullah bin Mas'ud radhiyallahu 'anhu].

Imam al-Bukhari rahimahullah dalam kitab Shahihnya menyebutkan perkataan Rasyid bin Sa’ad rahimahullah: “Salaf itu suka kepada kuda jantan karena lebih cepat dan lebih berani.”


Al-Hafizh Ibnu Hajar al-’Asqalani rahimahullah (wafat th. 852 H) berkata menjelaskan kata Salaf dari perkataan Rasyid bin Sa’ad di atas: “Maksudnya, dari kalangan para Shahabat dan orang-orang setelah mereka.” (Fathul Baari, VI/66).


Yang dimaksud adalah para Shahabat, karena Rasyid bin Sa’ad adalah seorang Tabi’in. Maka Salaf menurutnya adalah para Shahabat tanpa diragukan lagi.


Abdullah Ibnul Mubarak rahimahullah (wafat th. 181 H) berkata di hadapan para Tabi’in, “Tinggalkan hadits ‘Amr bin Tsabit, karena dia mencaci-maki Salaf.” (Diriwayatkan oleh Muslim dalam Muqaddimahnya, hal. 16).


Salaf yang dimaksud adalah para Shahabat karena Ibnul Mubarak adalah seorang Tabi’in.


Imam al-Auza’i rahimahullah (wafat th. 157 H) seorang Imam Ahlus Sunnah dari Syam berkata: “Bersabarlah dirimu di atas Sunnah, tetaplah tegak sebagaimana para Shahabat tegak di atasnya. Katakanlah sebagaimana yang mereka katakan, tahanlah dirimu dari apa-apa yang mereka menahan diri darinya. Dan ikutilah jalan Salafush Shalih karena akan mencukupimu apa saja yang mencukupi mereka.” (Syarah Ushuul I’tiqaad Ahlis Sunnah wal Jama’ah, I/174 no. 315).


Berdasarkan keterangan di atas menjadi jelaslah bahwa kata Salaf mutlak ditujukan untuk para Shahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, semoga Allah Ta’ala meridhai mereka semua. Maka barang siapa mengikuti mereka dalam agama yang haq ini, maka ia adalah generasi penerus dari sebaik-baik pendahulu yang mulia. (Lihat Usus Manhaj Salaf fii Da’wati ilallaah, hal. 24) 

Keempat: Definisi Salaf Menurut Zaman 

Adapun dari sisi zaman, kata Salaf digunakan untuk menunjukkan kepada sebaik-baik kurun, dan yang lebih patut dicontoh dan diikuti yaitu tiga kurun yang pertama (dalam Islam) yang diutamakan, yang disaksikan dan disifati dengan kebaikan melalui lisan sebaik-baik manusia yaitu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.


Akan tetapi pembatasan secara waktu tidaklah mutlak tepat karena kita mengetahui bahwa beberapa sekte bid’ah dan sesat telah muncul pada masa-masa tersebut. Karena itulah, keberadaan seseorang pada masa itu (tiga kurun yang dimuliakan) tidaklah cukup untuk menghukumi bahwa dirinya berada di atas manhaj Salaf, selama dia tidak mengikuti Shahabat radhiyallahu ‘anhum dalam memahami Al-Qur’an dan As-Sunnah. Karena itulah, para ulama memberikan batasan istilah as-Salaf ash-Shalih (pendahulu yang shalih).


Dengan demikian, ketika Salaf disebutkan maka hal itu tidak digunakan untuk menunjukkan kurun waktu yang terdahulu saja, tetapi digunakan untuk menunjukkan kepada para Shahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik.


Kesimpulannya, istilah Salaf adalah istilah yang sah. Yaitu istilah yang dipakai untuk orang-orang yang menjaga keselamatan ‘aqidah dan manhaj menurut apa yang dilaksanakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Shahabatnya sebelum terjadi perselisihan dan perpecahan. (Bashaa-iru Dzawis Syaraf, hal. 21)


(Dikutip langsung dari kitab Mulia Dengan Manhaj Salaf, Pustaka At-Taqwa, cet. ke-2, karya Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas hafizhahullah)


————————–——

[1] Tafsir Ibnu Katsir (III/129) tahqiq Sami bin Muhammad as-Salamah, cet. IV Daar Thayyibah, th. 1428 H.

[2] Lihat al-Mukhtasarul Hatsiits fii Bayaani Ushuuli Manhajis Salaf Ashhabil Hadiits (hal. 15)

[3] Al-Ajwibah al-Mufiidah ‘an As-ilati Manaahij Jadiidah (hal. 123) disusun oleh Jamal bin Furaihan al-Haritsi, cet. III Daarul Manhaj, th. 1424 H.

[4] Ash-Shihaah (IV/1377) karya Imam al-Jauhari rahimahullah. Lihat Usus Manhaj Salaf fii Da’wati ilallaah (hal. 21) karya Fawwaz bin Hulail bin Rabah as-Suhami.

[5] Lisaanul ‘Arab (VI/331).

[6] Iljamul Awaam ‘An ‘Ilmil Kalaam (hal. 62). Lihat Bashaa-iru Dzawisy Syaraf (hal. 19).

[7] Tuhfatul Muriid Syarah Jauharatut Tauhiid (hal. 231) 


Kelima: Makna Salafiyyah 

Adapun Salafiyyah, maka itu adalah nisbat kepada manhaj Salaf, dan ini adalah penisbatan yang baik kepada manhaj yang benar, dan bukan suatu bid’ah dari madzhab yang baru.


Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah (wafat th. 728 H) mengatakan: “Bukanlah merupakan aib bagi orang yang menampakkan madzhab Salaf dan menisbatkan dirinya kepadanya, bahkan wajib menerima yang demikian itu darinya berdasarkan kesepakatan (para ulama) karena madzhab Salaf tidak lain kecuali kebenaran.” (Majmuu’ Fataawa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, IV/149)


Beliau rahimahullah juga mengatakan: “Telah diketahui bahwa karakter ahlul ahwa’ (pengekor hawa nafsu) ialah meninggalkan atau tidak mengikuti generasi Salaf.” (Majmuu’ Fataawa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, IV/155)


Istilah Salaf bukanlah istilah baru. Istilah tersebut sudah digunakan sejak zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Salaf tidaklah menunjuk kepada satu golongan tetapi menunjuk kepada orang-orang yang berpegang kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah menurut pemahaman yang benar. Karena umat ini sudah berpecah belah dan yang selamat pemahamannya hanya
 SATU.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Ketahuilah, sesungguhnya orang-orang sebelum kalian dari kalangan Ahlul Kitab telah berpecah belah menjadi 72 golongan. Sesungguhnya umat Islam akan berpecah belah menjadi 73 golongan, 72 golongan tempatnya di dalam Neraka dan hanya satu golongan di dalam Surga, yaitu al-Jama’ah.” 

[Shahih. HR. Abu Dawud (no.4597), Ahmad (IV/102), al-Hakim (I/128), ad-Darimi (II/241), al-Aajurri dalam as-Asyari'ah, al-Lalikai dalam Syarah Ushuul I'tiqaad Ahlis Sunnah wal Jama'ah (I/113 no. 150). Dishahihkan oleh al-Hakim dan disepakati oleh adz-Dzahabi dari Mu'awiyah bin Sufyan. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan bahwa hadits ini shahih masyhur. Dishahihkan oleh Syaikh al-Albani. Lihat Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah (no. 203-204)]


Dalam riwayat lain disebutkan: “Semua golongan tersebut tempatnya di Neraka, kecuali satu (yaitu) yang aku dan para Shahabatku berjalan di atasnya.”

[Hasan. HR. At-Tirmidzi (no. 2641) dan al-Hakim (I/129) dari Shahabat Abdullah bin Amr radhiyallahu 'anhuma, dan dihasankan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahii al-Jaami'ish Shaghiir (no. 5343). Lihat Dar-ul Irtiyaab 'an Hadiits maa Ana 'alaihi wa Ash-haabi oleh Syaikh Salim bin 'Ied al-Hilali, cet. Darur Rayah, th. 1410 H]


Sebagian orang menyangka, dari apa yang mereka ketahui dan mereka menyelewengkan arti ketika disebutkan istilah Salafiyyah, bahwa Salafiyyah adalah label (istilah) baru dan madzhab baru bagi kelompok Islam yang baru melepaskan diri dari lingkaran Jama’ah Islamiyah yang utuh.


Sangkaan ini sama sekali tidak benar karena Salafiyyah maksudnya adalah Islam yang dibersihkan (disaring) dari kegagalan-kegagalan budaya klasik, dan warisan-warisan dari banyak kelompok dan sekte, dengan kesempurnaan dan keumumannya, baik dalam Al-Qur’an maupun as-Sunnah berdasarkan pemahaman Salaf yang terpuji.


Sangkaan ini sesungguhnya hanyalah muncul dari angan-angan kaum yang ingin menghindari kalimat yang baik dan berkah, yang akarnya menancap kuat dalam sejarah umat ini hingga sampai ke generasi pertama (Shahabat). Sampai-sampai mereka mengira bahwa kata Salafiyyah adalah hasil dari gerakan pembaharuan yang dibawa oleh Jamaluddin al-Afghani al-Irani (lahir th. 1254 H/1838 M, wafat th. 1314 H/1897 M) dan Muhammad ‘Abduh (lahir pada akhir th. 1265 H dan wafat th. 1323 H) pada masa penjajahan Inggris di Mesir??! [1]


Dan orang yang mengucapkan hal ini atau yang menyebarkannya adalah orang yang tidak mengetahui sejarah dari kata (istilah) Salaf yang sanadnya bersambung kepada generasi Salafush Shalih, baik dari sisi makna, akar kata, maupun waktu. Padahal ulama-ulama terdahulu mensifati setiap orang yang mengikuti pemahamannya Shahabat radhiyallahu ‘anhum dalam masalah ‘aqidah dan manhaj dengan istilah Salafi. (Lihat Bashaa-ir Dzawi Syarf, hal. 22-23)


Dari penjabaran makna Salafiyyah, baik dari sisi pengertian maupun penisbatan kepadanya, nampak jelaslah kesalahan para penulis dan pemikir yang menganggap penisbatan diri kepada Salafush Shalih, da’i-da’i yang menyeru kepadanya, bermanhaj dengan manhajnya, dan memperingatkan orang-orang yang menyelisihinya sebagai bagian dari firqah (kelompok) yang banyak meracuni umat Islam. Bahkan mereka menganggap bahwa mengingatkan umat dari manhaj yang menyimpang adalah penyebab perpecahan. (Lihat Usus Manhaj Salaf fii Da’wati ilallaah, hal. 29) 

Keenam: Siapakah Salafi Itu?

Salafi ialah setiap orang yang berada di atas manhaj Salaf dalam aqidah, akhlak, dan dakwah.
Imam Adz-Dzahabi rahimahullah berkali-kali menggunakan istilah Salafi dalam kitabnya, Siyar A’laamin Nubalaa’. Di antaranya beliau menyebutkan bahwa Imam ad-Daruquthni rahimahullah (wafat th. 385 H) adalah seorang Imam Ahlul Hadits yang ahli tentang ‘illat (penyakit-penyakit) dalam hadits, dan orang yang sangat benci kepada ilmu kalam. Beliau belum pernah mendalami ilmu kalam, juga tidak mendalami tentang debat bahkan dia seorang Salafi. ( Lihat Siyar A’laamin Nubalaa’, XVI/457)

Demikian juga Imam Abu ‘Utsman ash-Shabuni rahimahullah (wafat th. 449 H) menggunakan istilah Salaf dalam kitabnya, ‘Aqiidatus Salaf Ashabul Hadiits.


Syaikh Muhammad bin Shalih al-’Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah para Salaf sampai generasi akhir. Barang siapa yang berada di atas jalannya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Shahabatnya maka dia adalah Salafi.” (Syarah al-’Aqidah al-Waasithiyyah, I/54)


Al-Lajnah ad-Da-imah yang diketuai oleh Syaikh Abdul Aziz bin Baaz rahimahullah (wafay th. 1420 H) pernah ditanya: Apakah yang dimaksud dengan Salafiyyah dan bagaimana pendapat antum sekalian tentangnya?


Maka Lajnah menjawab: As-Salafiyyah adalah penisbatan kepada Salaf, sedangkan Salaf adalah para Shahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para imam pembawa petunjuk pada masa tiga kurun pertama -semoga Allah meridhai mereka- yang disaksikan dengan kebaikan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melalui sabda beliau: 

“Sebaik-baik manusia adalah pada masaku ini (yaitu masa para Shahabat), kemudian yang sesudahnya, kemudian yang sesudahnya. Setelah itu akan datang suatu kaum yang persaksian salah seorang dari mereka Mendahului sumpahnya dan sumpahnya mendahului persaksiannya.” [HR. Bukhari (no. 2652, 3651, 6429, 6658) dan Muslim no. 2533 (212)]

Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnad-nya, al-Bukhari dan Muslim.


Sedangkan Salafiyyun adalah bentuk jamak dari Salafi, sebuah nisbat kepada Salaf, dan maknanya telah dijelaskan. 


Mereka adalah orang-orang yang berjalan di atas manhaj Salaf dalam mengikuti Al-Kitab (Al-Qur’an) dan As-Sunnah, mendakwahkan keduanya, dan mengamalkan keduanya. 
Maka dengan hal itu mereka adalah Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Wabillaahit taufiq. [Fataawaa al-Lajnah ad-Daa-imah lil Buhuuts al-'Ilmiyyah wal Iftaa' (II/242-243, fatwa no. 1361)]

Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah berkata,
“Salafiyyah artinya berjalan di atas manhaj Salaf, yaitu para Shahabat, Tabi’in, dan generasi-generasi yang diutamakan, dalam aqidah, pemahaman maupun tingkah laku, dan seorang Muslim wajib menempuh manhaj ini. 

Allah Ta’ala berfirman:


وَالسَّابِقُونَ الأوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالأنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الأنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ

“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang muhajirin dan Ansar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah rida kepada mereka dan mereka pun rida kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.” (At Taubah: 100)


وَالَّذِينَ جَاءُوا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلإخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالإيمَانِ وَلا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلا لِلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ

“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Ansar), mereka berdoa: “Ya Tuhan kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang”.” (Al Hasyr: 10)


Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Maka
 wajib atas kalian berpegang teguh kepada Sunnahku dan Sunnah Khulafaur Rasyidin yang mendapat petunjuk. Pegang erat-erat dan gigitlah ia dengan gigi gerahammu. Dan jauhilah oleh kalian perkara-perkara yang diada-adakan, karena sesungguhnya setiap perkara yang diada-adakan itu adalah bid’ah. Dan setiap bid’ah itu adalah sesat.” [Shahih. HR. Ahmad (IV/126-127), Abu Dawud (no. 4607), dan at-Tirmidzi (no. 2676). ad-Darimi (I/44), al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah (I/205), dan al-Hakim (I/95-96)]

(Dikutip langsung dari kitab Mulia Dengan Manhaj Salaf, Pustaka At-Taqwa cet. ke-2, karya Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas hafizhahullah)


————————–————————

[1] Kedua orang ini adalah tokoh perintis gerakan Reformis dan Rasionalis modern dan juga aliran Inkarus Sunnah gaya baru. Jamaluddin al-Afghani al-Irani mempunyai hubungan kuat dengan Freemansonry (organisasi Yahudi) dan Muhammad Abduh sebagai muridnya menuhankan akal dan dia menolak dalil-dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan akalnya. Dia mengajak kepada kebebasan berpikir, melepaskan segala belenggu taklid, dan membentuk Jama’ah Taqriib (pendekatan) antara Sunny dan Syi’ah, dan banyak lagi yang lainnya. (Lihat al-’Ashraaniyyuun baina Mazaa’imit Tajdiid wa Mayaadinit Taqriib (hal. 34-41), karya Muhammad an-Nashiir. 


Ketujuh: Antara Salafiyah dan Ahlus Sunnah wal Jama’ah 

Syaikh Ali bin Hasan al-Halabi al-Atsari hafizhahullah berkata, “Di sini juga perlu dijelaskan kaitan antara istilah Ahlus Sunnah wal Jama’ah dengan Salafiyyah. Suatu hal yang perlu dicermati adalah perilaku sebagian da’i yang enggan menyebut dakwah mereka dengan dakwah Salafiyah, walaupun secara tegas mereka menyatakan bahwa aqidah mereka adalah aqidah Salafiyyah. Mereka hanya mempopulerkan dakwah mereka dengan sebutan Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Mereka sebut nama itu berulang-ulang dalam ceramah-ceramah maupun tulisan-tulisan mereka. Padahal sebutan Salafiyyah termasuk ketetapan Allah yang agung agar dakwah yang haq dapat dibedakan dengan dakwah-dakwah yang menyerupainya sehingga dakwah yang haq tidak tercampur dengan segala sesuatu yang menyerupainya.


Penjelasannya sebagai berikut: Bahwa istilah Ahlus Sunnah wal Jama’ah hanyalah muncul pada saat timbul bid’ah-bid’ah yang menyesatkan sebagian manusia, sehingga perlu adanya pembedaan jama’ah kaum Muslimin yaitu dengan berpegang teguh kepada Sunnah, maka mereka dikatakan Ahlus Sunnah sebagai lawan dari ahlul bid’ah. Dan mereka dikatakan al-Jama’ah karena mereka adalah ashl (sebagi pokok). Sedang orang-orang yang menyempal disebabkan hawa nafsu dan bid’ah adalah orang-orang yang menyelisihi Ahlus Sunnah wal Jama’ah.


Adapun saat ini istilah Ahlus Sunnah wal Jama’ah menjadi rebutan berbagai pihak dan jama’ah-jama’ah (kelompok-kelompok) yang sangat banyak. Sehingga kita dapat menyaksikan sendiri banyak dari kalangan hizbiyyin mensifatkan jama’ah dan undang-undang mereka dengan istilah ini, demikian pula sebagian tarekat-tarekat Shufiyah melakukan hal yang sama. Bahkan al-Asy’ariyyah, al-Maturidiyyah, al-Barlawiyyah dan selain mereka mengatakan, “Kami adalah Ahlus Sunnah wal Jama’ah.” !!??


Anehnya mereka semua menolak menamakan diri mereka dengan Salafiyah! Dan mereka menjauhi untuk menisbatkan diri kepada manhaj Saalf, terlebih lagi dalam kenyataan, keyakinan, dan pengamalan mereka.


Sudah tidak asing lagi di kalangan para da’i yang menyeru kepada Al-Kitab dan As-Sunnah dengan pemahaman Salaful Ummah bahwa syi’ar ahli bid’ah ialah: enggan menganut prinsip mengikuti Salaf. Kata ittiba’ maknanya tidak lain ialah mengikuti pemahaman Salaf, menjadi pemutus terhadap perselisihan berbagai pemahaman di antara umat manusia masa kini. Dan prinsip mengikuti Salaf menjadi sangat penting dan mendesak di saat sebagian orang memutuskan hukum dengan akalnya, sebagian lain memutuskan hukum dengan pengalamannya, sementara yang lain memutuskan hukum dengan amarahnya.


Pemahaman orang yang menyimpang itu sendiri tidak mengindahkan jalannya kaum mukminin (yaitu jalannya para Shahabat) yang wajib diikuti dan didakwahkan. Jalan orang-orang yang beriman pada hakikatnya ialah manhaj Salaful Ummah, yang kepadanya kita menisbatkan diri dan kepada cahayanya kita mencari petunjuk.


Karena itulah salah satu
 syi’ar Ahlus Sunnah wal Jama’ah ialah: mengikuti Salafush Shalih dan meninggalkan segala perkara yang bid’ah dan diada-adakan dalam agama. (Lihat al-Hujjah fii Bayaanil Mahajjah, I/364, karya Imam Abul Qasim al-Ashbahani rahimahullah).

Maka barang siapa yang mengingkari penisbatan diri kepada Salaf dan mencelanya, maka perkataannya itu harus dibantah dan ditolak. Karena, “Bukanlah merupakan aib bagi orang yang menampakkan madzhab Salaf dan menisbatkan diri kepadanya, bahkan wajib menerima yang demikian itu darinya berdasarkan kesepakatan (para ulama) karena madzhab Salaf tidak lain kecuali kebenaran.” (Majmu’ Fataawaa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, IV/149)


Khususnya pada masa sekarang ini di mana banyak orang yang mengaku berada di atas manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah, yang pada hakikat dan asalnya adalah salah satu sebutan dari Salafiyyah sehingga harus ada pembedaan dari orang-orang yang sekedar mengaku-ngaku sebagai Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Pengakuan yang ternyata dibarengi dengan prinsip yang bertentangan dengan ajaran sunnah, baik dalam sisi aqidah maupun manhaj. Ditambah dengan sikap enggan menisbatkan diri terhadap manhaj Salaf, bahkan menganggapnya sebagai petaka untuk diakui secara terang-terangan, yang menisbatkan diri kepadanya dianggap tidak terhormat.


Klaim kelompok tersebut terakhir justru akan mengadili mereka sendiri, apakah sesuai ataukah berseberangan dengan manhaj Salaf dalam metodologi dakwah dan tujuan dakwah, baik sisi aqidah, fiqih, persepsi tentang Islam, dan dalam berperilaku.” (Ru’yah Waaqi’iyyah fil Manaahiji ad-Da’awiyyah, hal. 21-24, karya Syaikh Ali bin Hasan bin Ali bin Abdul Hamid al-Halabi hafizhahullah).


Syaikh Ali hafizhahullah melanjutkan, “Hal ini semakin diperkuat bahwa Salafiyyah itu mencakup seluruh ajaran Islam (Al-Kitab dan As-Sunnah). Salafiyyah bukanlah salah satu sekte khusus yang menyelisihi Al-Kitab dan As-Sunnah, baik dengan menambah-nambah maupun mengurangi. Hal yang perlu diperhatikan ialah seandainya umat ini telah kembali berada di dalam bentuk Islam yang benar tanpa tercampur bid’ah dan hawa nafsu, sebagaimana terjadi di awal Islam terutama di masa Salafush Shalih, niscaya lenyaplah berbagai sebutan yang berfungsi untuk membedakan tersebut karena tidak ada lawannya.


Dengan alasan itulah ikatan wala’ dan bara’, sikap pembelaan dan permusuhan menurut orang-orang yang menisbatkan diri kepada Salaf ialah di atas Islam itu sendiri, tidak kepada yang lainnya. Tidak kepada sekte tertentu. Wala’ dan bara’ itu hanyalah berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah.


Dari semua penjelasan tersebut, menjadi jelaslah bahwa makna Salafiyyah dan hakikat penyandaran diri kepada Salaf adalah sebuah nisbat kepada Salafush Shalih, yaitu seluruh Shahabat radhiyallahu ‘anhum dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik. Mereka bukanlah generasi setelah Shahabat yang diomabang-ambing hawa nafsu, yang memisahkan diri dari Salafush Shalih dengan sebutan atau ciri tertentu. Dari pengertian ini dengan sebab mereka menyalahi generasi Salaf berarti mereka disebut Khalaf, sedang nisbatnya adalah Khalafi.


Adapun orang-orang yang tetap di atas manhaj Nubuwah menisbatkan diri mereka kepada pendahulu mereka yang shalih, maka dikatakan kepada mereka:
 Salaf dan Salafiyyun dan orang yang menisbatkan diri kepada mereka disebut Salafi.

Salafiyyah merupakan penisbatan yang tidak memiliki ciri yang keluar dari tuntunan Al-Qur’an dan As-Sunnah dan tidak pernah terpisah dari metode generasi pertama seujung jari pun. Bahkan Salafiyyah adalah bagian dari mereka dan merujuk kepada mereka.


Adapun orang yang menyelisihi Salafush Shalih dengan sebutan dan ciri tertentu maka tidak dianggap sebagai golongan mereka, meskipun mereka hidup di tengah-tengah Salafush Shalih dan di zaman mereka. Oleh karena itu, para Shahabat berlepas diri dari Khawarij, Qadariyyah, Murji’ah, dan selain mereka.


Jika demikian, maka dasar-dasar dan kaidah-kaidah untuk mengikuti Salafush Shalih harus nampak jelas dan kokoh. Dengan begitu tidak akan membingungkan orang-orang yang ingin mengikuti mereka. Harus ada pembeda antara Ahlus Sunnah dan para pengaku (orang yang mengaku-ngaku) Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Dengan cara penyandaran syar’i yang tidak disukai kelompok yang sekedar mengaku Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Penyandaran ini akan membongkar penyimpangan dan cacat mereka, bila ditelusuri dan dibandingkan dengan jalan orang-orang yang beriman (yaitu Shahabat) dan manhaj Salafush Shalih.


Pembeda itu adalah Salafiyyah, sebuah jalan yang ditempuh Salafush Shalih, jalan yang jelas, meyakinkan, dan tidak perlu diragukan lagi. Yakni jalan para Shahabat dan Tabi’in. Itulah jalan petunjuk dan jalan untuk meraih petunjuk.


فَلا يَصُدَّنَّكَ عَنْهَا مَنْ لا يُؤْمِنُ بِهَا وَاتَّبَعَ هَوَاهُ فَتَرْدَى

“Maka sekali-kali janganlah kamu dipalingkan daripadanya oleh orang yang tidak beriman kepadanya dan oleh orang yang mengikuti hawa nafsunya, yang menyebabkan kamu jadi binasa.” (Thaahaa: 16). (Ru’yah Waaqi’iyyah fil Manaahij ad-Da’awiyyah, hal. 26-27) 

Kedelapan: Periode Pembukuan Madzhab Salaf

Fitnah perkataan bahwa Al-Qur’an adalah makhluk yang diyakini oleh Mu’tazilah dan lainnya merupakan sebab bangkitnya madzhab Salafi di hadapan berbagai madzhab yang sesat, khususnya Mu’tazilah yang telah mencapai tingkatan yang amat besar dalam kekuatan dan kedudukannya. Maka ulama Sunnah bangkit bguna membela kebenaran, meninggikan panjinya, serta memperingatkan umat dari firqah-firqah yang sesat tersebut. Para ulama pun bertambah giat sehingga panji-panji aqidah shahihah tinggi menjulang berkibar di setiap tempat dan tersingkirlah pemikiran i’tizaal (Mu’tazilah). Dan umat Islam menjadi waspada terhadapnya, maka pemikiran itu pun tetap terkekang di tempatnya dan tidak mampu bangkit setelah sebelumnya berdiri tegak serta tidak ada benderanya yang dikibarkan lagi, kecuali sangat sedikit sekali. Kemudian dimulailah periode yang baru dimana para ulama mencurahkan perhatian yang besar di dalamnya dengan membukukan dan menulis guna menjelaskan aqidah yang benar serta membantah siapa saja yang menyimpang darinya.


Tulisan -tulisan ini terbagi menjadi dua metode yang berbeda: 


Pertama: Metode Bantahan

 Maksudnya, memaparkan syubhat-syubhat musuh (lawan debat) lalu menjelaskan yang benar dengan ditopang dalil-dalil yang dinukil dari Al-Qur’an, As-Sunnah, dan perkataan para Shahabat dan Tabi’in. Hal ini dijelaskan dalam berbagai tulisan, yang paling penting adalah:
  1. Kitaabul Iimaan, karya Abu ‘Ubaid al-Qasim bin Sallam rahimahullah (wafat th. 244 H).
  2. Ar-Radd ‘alaa Jahmiyyah, karya ABdullah bin Muhammad bin Hanbal rahimahullah (wafat th. 241 H)
  3. Ar-Radd ‘alal Jahmiyyah, karya Imam Abu Abdillah bin Muhammad bin Abdullah al-Ju’fi rahimahullah (wafat th. 229 H). 
  4. Ar-Radd ‘alal Jahmiyyah, karya Imam Abu Abdillah bin Muhammad bin Ismail al-Bukhari rahimahullah (wafat th. 256 H). 
  5. Al-Ikhtilaaf fil Lafzhi war Radd ‘alal Jaqhmiyyah wal Musyabihah, karya Imam Abdullah bin Muslim bin Qutaibah rahimahullah (wafat th. 276 H).
  6. Ar-Radd ‘alal Jahmiyyah, karya Imam Utsman bin Sa’id ad-Darimi rahimahullah (wafat th. 280 H).
  7. Ar-Radd ‘alaa Bisyr al-Marisiy, karya Imam Utsman bin Sa’id ad-Darimi rahimahullah (wafat th. 280 H).
Kedua: Metode Pemaparan
Maksudnya, memaparkan dan menjelaskan aqidah yang benar dari Al-Qur’an dan As-Sunnah, serta perkataan para Shahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik. Metode ini dijelaskan oleh beberapa tulisan berikut ini:

  1. As-Sunnah, karya Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah (wafat th. 241 H).
  2. As-Sunnah, karya Imam Abu Bakar bin al-Atsram rahimahullah (wafat th. 272 H).
  3. As-Sunnah, karya Imam Abdullah bin Ahmad bin Hanbal rahimahullah (wafat th. 290 H).
  4. As-Sunnah, karya Imam Muhammad bin Nashr al-Marwazi rahimahullah (wafat th. 294 H).
  5. As-Sunnah, karya Imam Ahmad bin Muhammad bin Harun al-Khallal rahimahullah (wafat th. 311 H).
  6. At-Tauhiid, karya Imam Ibnu Khuzaimah rahimahullah (wafat th. 311 H0.
  7. Asy-Syarii’ah, karya Imam Abu Bakar al-Aajurri rahimahullah (wafat th. 360 H).
  8. Al-Ibaanah, karya Imam Ubaidullah bin Muhammad bin Baththah rahimahullah (wafat th. 387 H).
  9. At-Tauhiid, karya Imam Muhammad bin Ishaq bin Mandah rahimahullah (wafat th. 395 H).
  10. Syarhus Sunnah, karya Imam Abu Abdillah Muhammad bin Abdullah bin Abi Zamanain rahimahullah (wafat th. 399 H). 11. Syarh Ushuul I’tiqaad Ahlis Sunnah wal Jama’ah, karya Imam Abul Qasim Hibatullah bin al-Hasan al-Laalika-i rahimahullah (wafat th. 418 H).

Kitab-kitab ini menetapkan satu permasalahan yang penting, yaitu “Mengembalikan umat kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah serta mengikuti Salafush Shalih dalam memahami keduanya, dan menjauhi pendapat-pendapat baru yang diada-adakan serta madzhab-madzhab yang munkar.”
 (Lihat muqaddimah tahqiq Syarh Ushuul I’tiqaad Ahlis Sunnah wal Jama’ah, hal. 71-73, karya Imam al-Lalika-i, tahqiq Dr. Ahmad Sa’ad Hamdan).

(Dikutip langsung dari kitab Mulia Dengan Manhaj Salaf, Pustaka At-Taqwa cet. ke-2, karya Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas hafizhahullah)

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.