-->

28 Agustus 2012

[PERANG TERHADAP TERORIS KHAWARIJ ADALAH KEWAJIBAN PEMERINTAH MUSLIM] (Sebuah Catatan Atas Tertangkapnya Abu Bakar Ba’asyir, Bag. 2)



Alhamdulillah, pada artikel sebelumnya yang berjudul PERANG TERHADAP TERORIS KHAWARIJ BUKAN PERANG TERHADAP ISLAM, kami telah menjelaskan bukti-bukti ilmiah bahwa sepak terjang Abu Bakar Ba’asyir, para pembela dan pengikutnya adalah sifat-sifat kelompok sesat Khawar

ij.

Pada artikel ini insya Allah kami akan menyebutkan beberapa dalil dan penjelasan para ulama, bahkan kesepakatan (ijma’) seluruh ulama tentang kewajiban pemerintah muslim untuk memerangi teroris Khawarij. Sehingga makin jelas bagi kita, bahwa apa yang dilakukan pemerintah RI melalui Densus 88 merupakan tindakan yang tepat insya Allah Ta’ala.
Perintah dan Keutamaan Memerangi Khawarij

Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:

يأتي في آخر الزمان قوم حدثاء الأسنان سفهاء الأحلام يقولون من خير قول البرية يمرقون من الإسلام كما يمرق السهم من الرمية لا يجاوز إيمانهم حناجرهم فأينما لقيتموهم فاقتلوهم فإن في قتلهم أجرا لمن قتلهم يوم القيامة

“Akan datang pada akhir zaman suatu kaum yang masih muda belia dan bodoh. Namun mereka menyampaikan perkataan manusia terbaik (yakni Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam). Mereka keluar dari Islam sebagaimana anak panah meleset dari sasarannya. Keimanan mereka tidak melewati tenggorokannya. Di mana saja kalian mendapati mereka, maka perangilah mereka, karena dalam memerangi mereka terdapat pahala pada hari Kiamat bagi siapa saja yang memeranginya.” (HR. Bukahari dan Muslim dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu)

Pembesar ulama Syafi’iyyah, Al-Imam An-Nawawi Asy-Syafi’i rahimahullah menjelaskan hadits ini, “Perkataan Nabi shallallahu’alaihi wa sallam, “أحداث الأسنان سفهاء الاحلام”, “kaum yang masih muda belia dan bodoh “, maknanya adalah muda usia mereka lagi pendek akalnya. Dan perkataan Nabi shallallahu’alaihi wa sallam, “يقولون من خير قول البرية”, “Namun mereka menyampaikan perkataan manusia terbaik”, maknanya adalah, hanya nampaknya saja demikian, seperti slogan mereka, “Tidak ada hukum kecuali milik Allah” dan slogan-slogan semisalnya berupa ajakan kepada kitab Allah, wallahu A’lam. Perkataan Nabi shallallahu’alaihi wa sallam, “فاذا لقيتموهم فاقتلوهم فان في قتلهم أجرا”, “di mana saja kalian mendapati mereka, maka perangilah mereka”, ini adalah penegasan wajibnya memerangi Khawarij dan bughot (pengacau), hal ini merupakan kesepakatan (ijma’) seluruh ulama.” (Syarh Muslim, Al-Imam An-Nawawi rahimahullah, 7/169-170)

Al-Qodhi ‘Iyadh rahimahullah berkata, “Seluruh ulama telah ijma’, bahwa memerangi Khawarij dan ahlul bid’ah serta pengacau yang semisal dengan mereka, ketika mereka memberontak kepada penguasa, menyelisihi pemerintah dan mengoyak persatuan masyarakat, maka wajib memerangi mereka setelah diberi peringatan dan himbauan, Allah Ta’ala berfirman:

فَقَاتِلُوا الَّتِي تَبْغِى حَتَّى تَفِىءَ إِلَى أَمْرِ اللهِ

“Maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah.” (Al—Hujurat: 9).” (Syarh Muslim, Al-Imam An-Nawawi rahimahullah, 7/170)

Seorang tabi’in yang mulia, Abu Ghalib rahimahullah pernah menceritakan, “Ketika aku di masjid Dimasyq, didatangkan 70 kepala kaum Khawarij Haruriyah lalu dipancangkan di jalan masjid, maka datanglah Abu Umamah radhiyallahu’anhu, beliau melihat mereka lalu meneteskan air mata dan berkata, “Subhanallah, apa yang telah dibuat oleh setan terhadap anak Adam”, beliau ucapkan tiga kali. Lalu beliau berkata, “Mereka adalah anjing-anjing jahannam, anjing-anjing jahannam. Seburuk-buruknya makhluq yang terbunuh di bawah kolong langit”, juga diucapkan tiga kali. Lalu beliau berkata, “Dan siapa yang dibunuh oleh mereka adalah sebaik-baik yang terbunuh di bawah langit, beruntunglah orang yang membunuh mereka atau dibunuh mereka.”

Lalu beliau melihat ke arahku dan berkata, “Wahai Abu Ghalib, bukankah engkau berasal dari negeri mereka (Harurah)?”, aku katakan, “Ya”. Beliau berkata, “Semoga Allah melindungimu dari mereka”. Lalu beliau berkata, “Apakah engkau membaca surat Ali Imran?”, aku katakan, “Ya”. Beliau lalu membaca ayat:

هُوَ الَّذِيَ أَنزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ آيَاتٌ مُّحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ فَأَمَّا الَّذِينَ في قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاء الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاء تَأْوِيلِهِ وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلاَّ اللّهُ وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْم

“Dialah yang menurunkan Al-Kitab (Al-Quran) kepada kamu. Di antara (isi)nya ada ayat-ayat yang muhkamaat, itulah pokok-pokok isi Al qur’an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta’wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta’wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: “Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami”. Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal.” (Ali Imran: 7)

Mereka itulah yang di dalam hatinya ada kesesatan, mereka pun terjerumus dalam penyimpangan.

Juga firman Allah:

يَوْمَ تَبْيَضُّ وُجُوهٌ وَتَسْوَدُّ وُجُوهٌ فَأَمَّا الَّذِينَ اسْوَدَّتْ وُجُوهُهُمْ أَكْفَرْتُم بَعْدَ إِيمَانِكُمْ فَذُوقُواْ الْعَذَابَ بِمَا كُنْتُمْ تَكْفُرُونَ

“Pada hari yang di waktu itu ada muka yang putih berseri, dan ada pula muka yang hitam muram. Adapun orang-orang yang hitam muram mukanya (kepada mereka dikatakan): “Kenapa kamu kafir sesudah kamu beriman? Karena itu rasakanlah azab disebabkan kekafiranmu itu.” (Ali Imran: 106)

Aku katakan, “Wahai Abu Umamah, lalu mengapa aku lihat mengalir air matamu?” Kata beliau, “Ya, karena kasihan kepada mereka, karena sesungguhnya mereka dahulunya bagian dari kaum muslimin”. Lalu beliau berkata, “Bani Israel terpecah menjadi 71 golongan, dan bertambah pada ummat ini satu golongan lagi (jadi 72), semuanya di neraka kecuali golongan terbanyak (yakni sahabat)”.

Aku katakan, “Wahai Abu Umamah, apa pendapatmu atas apa yang telah mereka lakukan”. Beliau berkata, bagi mereka dosa mereka;

وَعَلَيْكُمْ مَا حُمِّلْتُمْ وَإِنْ تُطِيعُوهُ تَهْتَدُوا وَمَا عَلَى الرَّسُولِ إِلَّا الْبَلَاغُ الْمُبِينُ

“Dan kewajiban kamu sekalian adalah semata-mata apa yang dibebankan kepadamu. dan jika kamu taat kepadanya, niscaya kamu mendapat petunjuk. dan tidak lain kewajiban Rasul itu melainkan menyampaikan (amanat Allah) dengan terang.” (An-Nuur: 54)

Ketaatan kepada pemerintah itu lebih baik dari pada memberontak dan menentang”.

Maka berkatalah seseorang kepadanya, “Wahai Abu Umamah, apakah perkataanmu tentang Khawarij itu pendapatmu atau engkau dengarkan dari Rasulullah shallallahu’alihi wa sallam”. Beliau berkata, “Kalau aku mengatakan itu dari pendapatku maka betapa lancangnya aku kalau begitu, bahkan hal itu aku dengarkan dari Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam tidak hanya sekali atau dua kali”, sampai beliau menyeburkan tujuh kali.” (HR. Al-Baihaqi dalam As-Sunan Al-Kubro, no. 16560, Ath-Thobrani dalam Al-Mujamul Kabir, no. 8035, Al-Hakim dalam Al-Mustadrak, no. 2654, beliau menyatakan shahih sesuai syarat Al-Imam Muslim dan disepakati oleh Adz-Dzahabi)

Inilah salah satu kisah perang terhadap teroris Khawarij yang menumpahkan darah kaum muslimin, kemudian diperangi oleh pemerintah muslim ketika mereka melakukan perlawanan bersenjata.

Maka sudah sepatutnya bagi pemerintah muslim menangkap dan memerangi orang-orang yang berpaham teroris Khawarij demi menjaga keamanan negeri dan lebih dari itu demi menjaga aqidah kaum muslimin jangan sampai terpengaruh paham teroris Khawarij.

Oleh karenanya, sangat tidak berlebihan andaikan pemerintah juga menangkap orang-orang yang menyebarkan paham teroris Khawarij, baik melaui ceramah-ceramah, buku-buku maupun internet dan memutus semua jaringan penyebaran paham sesat mereka. Dan inilah sebenarnya yang lebih penting dilakukan, sebab selama mereka masih bebas menyebarkan pemahaman sesat tersebut, selama itu pula jaringan teroris Khawarij akan semakin luas dan berkembang di Indonesia.

Demikian pula, tidaklah berlebihan jika pemerintah menertibkan media-media, tokoh-tokoh dan ormas-ormas yang menyuarakan pembelaan kepada tokoh-tokoh teroris Khawarij dan memprotes pemerintah secara terang-terangan, itu semua demi menjaga persatuan dan keamanan negara serta membentengi masyarakat dari pemahaman sesat teroris Khawarij.
Menasihati Teroris Khawarij

Termasuk kewajiban pemerintah muslim yang tidak kalah pentingnya, juga kewajiban para ulama dan da’i untuk menasihati kaum muslimin yang terjebak ke dalam pemahaman teroris Khawarij. Karena akar penyimpangan mereka sesungguhnya adalah kebodohan dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah yang sesuai dengan pemahaman generasi Salaf, sehingga perlu adanya nasihat untuk menjelaskan kepada mereka hakikat penyimpangan mereka.

Syaikhunasy Syaikh Abdul Muhsin Al-’Abbad hafizhahullah berkata, “Diantara contoh buruknya pemahaman agama adalah apa yang terjadi pada kaum Khawarij yang memberontak kepada Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu dan memerangi beliau.

Hal itu terjadi karena mereka memahami teks-teks syari’at ini dengan pemahaman yang salah, menyelisihi pemahaman para sahabat radhiyallahu’anhum. Oleh karena itu, ketika Abdullah bin Abbas radhiyallahu’anhuma menasihati mereka dengan menjelaskan kepada mereka pemahaman yang benar terhadap teks-teks Al-Qur’an dan As-Sunnah, maka sebagian mereka bertaubat dan sebagian lagi tetap pada kesesatannya.

Kisah dialog Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma dengan Khawarij terdapat dalam kitab Al-Mustadrak karya Al-Imam Al-Hakim (2/150-152), dengan sanad yang shahih sesuai dengan syarat Al-Imam Muslim. Berkata Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma,

“Aku adalah utusan sahabat Nabi –shallallahu’alaihi wa sallam- dari kalangan Muhajirin dan Anshor kepada kalian untuk menyampaikan pendapat mereka, karena kepada merekalah Al-Qur’an diturunkan. Mereka lebih mengetahui akan wahyu daripada kalian semua dan tidak ada seorangpun dari sahabat Nabi yang bersama kalian.”

Lalu diantara orang khawarij berkata, “Jangan kalian mendebat orang Quraisy ini, karena Allah berfirman:

“Merekalah orang-orang yang pandai berdebat.” (Az-Zukhruf: 58)

Abdullah bin Abbas radhiyallahu’anhuma berkata (menceritakan tentang kaum khawarij yang beliau lihat), “Aku tidak pernah melihat orang yang rajin beribadah melebihi mereka, wajah-wajah mereka kusut karena banyak shalat malam, seolah-olah tangan dan kaki mereka menyanjung mereka.”

Sebagian mereka pun berkata, “Sungguh kita akan mengajaknya (Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma) untuk berdialog.”

Ibnu Abbas berkata, “Ceritakanlah kepadaku apa yang kalian benci dari anak paman Rasululah shallallahu’alaihi wa sallam dan menantunya (yakni Ali bin Abi Thalib) serta kaum Muhajirin dan Anshar!”

Mereka berkata, “Ada tiga hal.”

Aku berkata, “Apa itu?”

Mereka menjawab, “Pertama, Ali bin Abi Thalib menjadikan manusia sebagai pemutus perkara dalam hukum Allah, padahal Allah berfirman, “Sesungguhnya hukum itu hanya milik Allah.” (Yusuf : 67)

Sedang manusia tidak berhak untuk menentukan hukum”.

Maka aku berkata, “Ini yang pertama”.

Mereka berkata, “Kedua, Ali bin Abi Thalib berperang (melawan Aisyah radhiyallahu’anha karena kesalahpahaman dan hasutan orang ketiga, pent) tapi dia tidak mau menawan dan tidak mengambil rampasan perang. Padahal yang diperangi itu orang kafir, maka boleh menawan dan mengambil harta mereka. Andaikan yang diperangi itu orang-orang mukmin, tentunya tidak halal memerangi mereka”.

Aku berkata, “Ini yang kedua, lalu apa yang ketiga?”

Mereka berkata, “Ali bin Abi Thalib menghapus gelarnya sebagai Amirul Mukminin (pemimpin kaum mukmin), kalau begitu dia pemimpin kaum kafir.”

Aku berkata, “Apa masih ada yang lain?”

Mereka berkata, “Cukup itu saja”.

Maka aku pun berkata, “Bagaimana pendapat kalian jika aku membacakan Al-Qur’an kepada kalian dan Sunnah Nabi shallallahu’alaihi wa sallam yang membantah perkataan kalian, apakah kalian ridho?”

Mereka berkata, “Ya, kami ridho”.

Aku berkata, “Adapun ucapan kalian bahwa Ali bin Abi Thalib menjadikan manusia sebagai pemutus perkara dalam hukum Allah, maka aku akan membacakan kepada kalian ayat tentang bolehnya manusia memutuskan perkara dalam hukum Allah dalam permasalahan 1/4 dirham, yakni dalam masalah kelinci dan hewan buruan yang sejenis, Allah Ta’ala berfirman:

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu membunuh binatang buruan, ketika kamu sedang ihram. Barangsiapa di antara kamu membunuhnya dengan sengaja, maka dendanya ialah mengganti dengan binatang ternak seimbang dengan buruan yang dibunuhnya, menurut putusan dua orang yang adil di antara kamu.” (Al-Maidah: 95)

Ibnu Abbas berkata, “Aku bersumpah dengan nama Allah, apakah hukum yang diputuskan manusia dalam masalah kelinci dan hewan buruan sejenisnya lebih utama daripada hukum dalam masalah pertumpahan darah dan perdamaian antara kaum muslimin!? Ketahuilah, jika Allah berkehendak, tentulah Dia akan memutuskan hukum sendiri dan tidak menyerahkannya kepada manusia.

Begitu juga dalam masalah suami istri, Allah Ta’ala berfirman:

“Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (An-Nisa: 35)

Ibnu Abbas berkata, “Allah telah menjadikan berhukum kepada manusia (dalam masalah ini) sebagai sunnah yang terjaga, apakah kalian menerimanya?”

Mereka mengatakan, “Ya”.

Aku berkata lagi, “Adapun perkataan kalian bahwa Ali bin Thalib memerangi tapi tidak menawan dan tidak mengambil rampasan perang, (jawabannya) apakah kalian ingin menawan ibu kalian sendiri Aisyah radhiyallahu’anha? Kemudian kalian menghalalkan (darah dan kehormatannya) seperti orang lain? Jika kalian melakukannya maka kalian telah kafir, karena beliau ibu kalian.

Dan jika kalian mengatakan dia bukan ibu kita, kalian juga kafir, karena Allah berfirman:

“Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri dan isteri-isterinya adalah ibu-ibu mereka.” (Al-Ahzab: 6)

Setelah penjelasan ini kalian mengetahui, bahwa kalian berada diantara dua kesesatan, mana saja yang kalian pilih, kalian tetap berada dalam kesesatan.” Mereka pun saling pandang.

Aku berkata, “Apakah kalian menerima hal ini?”
Mereka berkata, “Ya”.

Aku berkata, “Adapun perkataan kalian bahwa Ali bin Abi Thalib menghapus gelarnya sebagai Amirul Mukminin, maka aku akan menyebutkan orang yang kalian ridhoi, yaitu Nabi shallallahu’alaihi wa sallam, beliau pada perjanjian Hudaibiyyah menulis surat kepada Suhail bin ‘Amru dan Abu Sufyan bin Harb.

Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam berkata kepada Amirul Mukminin, “Tulislah wahai Ali, ini perdamaian dari Muhammad Rasulullah”. Maka orang-orang musyrikin itu membantah, “Tidak, demi Allah seandainya kami mengetahui kamu Rasulullah tidaklah kami memerangimu.” Rasululullah shallallahu’alaihi wa sallam berkata, “Ya Allah, sungguh Engkau mengetahui bahwa aku adalah utusan-Mu. Wahai Ali tulislah, “Ini adalah perdamaian dari Muhammad bin Abdillah”.”

Maka demi Allah, sesungguhnya Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam lebih mulia daripada Ali bin Abi Thalib, akan tetapi beliau tidak keluar dari kenabian ketika menghapus gelar Rasulullah”.

Abdullah bin Abbas bekata, “Maka bertaubatlah sebanyak dua ribu orang dan sisanya dibunuh di atas kesesatan”.”

Dalam kisah ini ada dua ribu orang dari golongan khawarij yang bertaubat dari kesesatan mereka, hal itu karena penjelasan dan keterangan dari Abdullah bin Abbas radhiyallahu’anhuma. Maka di sini ada pelajaran yang sangat penting, yaitu merujuk kepada ulama membuahkan keselamatan dari segala kejelekan dan fitnah (kesesatan). Allah Ta’ala berfirman :

فَاسْأَلُواْ أَهْلَ الذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ

“Bertanyalah kepada ahli ilmu jika kalian tidak mengetahui.” (An-Nahl: 43)

(Bi Ayyi ‘Aqlin wa Dinin Yakunut Tafjiru wat Tadmiru Jihadan, softcopy dari www.sahab.net)

Wallahu A’la wa A’lam.

nasihatonline

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.