-->

29 Agustus 2012

Safarnya Wanita


Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu dia berkata: Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

“Tidak halal bagi wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir, dia mengadakan perjalanan sehari semalam tanpa disertai mahram bersamanya.” (HR. Al-Bukhari no. 1088 dan Muslim no. 2355)


Dari Abdullah bin Abbas radhiallahu anhuma bahwa dia mendengar Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:

“Janganlah wanita melakukan safar kecuali dengan mahramnya dan tidak boleh seorang lelakipun yang masuk menemuinya kecuali ada mahram bersamanya.” Maka ada seorang lelaki yang bertanya, “Wahai Rasulullah, saya akan keluar bersama pasukan perang ini sementara istri saya ingin menunaikan haji?” beliau menjawab, “Temanilah istrimu.” (HR. Al-Bukhari no. 1862 dan Muslim no. 1341)


Dari Abdullah bin Umar radhiallahu anhuma dia berkata: Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

“Seorang wanita tidak boleh melakukan safar -beliau mengulanginya sebanyak tiga kali- kecuali disertai mahramnya.” (HR. Al-Bukhari no. 1087 dan Muslim no. 1338)


Dari Abu Said Al-Khudri radhiallahu anhu dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam beliau bersabda:

“Seorang wanita tidak boleh melakukan perjalanan safar yang perjalanannya selama dua hari kecuali ikut bersamanya suaminya atau mahramnya.” (HR. Al-Bukhari no. 1864 dan Muslim: 2/976 -Syarh An-Nawawi-)

Penjelasan ringkas:

Keempat hadits ini -dan semuanya adalah riwayat Al-Bukhari dan Muslim- tegas menunjukkan haramnya wanita melakukan safar tanpa mahram, baik untuk menunaikan kewajiban haji. Jika ibadah haji tanpa mahram saja dilarang, apalagi jika hanya ingin mengerjakan ibadah sunnah, apalagi jika tujuannya bukan ibadah, maka tentu itu jauh lebih diharamkan.

Adapun penyebutan jarak perjalanan sehari seperti dalam hadits Abu Hurairah di atas atau dua hari seperti dalam hadits Abu Said Al-Khudri di atas, bukanlah menunjukkan pembatasan, yakni: Jika safarnya kurang dari satu hari maka boleh tanpa mahram. Sama sekali bukan itu yang diinginkan. Akan tetapi An-Nawawi menjelaskan bahwa perbedaan ini muncul karena berbedanya orang yang bertanya, sehingga beliau menjawab sesuai dengan pertanyaan orang tersebut. Beliau menyebutkan ‘dua hari’ karena mungkin yang bertanya menyebutkan bahwa dia akan melakukan safar yang ditempuh selama dua hari, dan seterusnya. Ini diperkuat bahwa dalam hadits-hadits yang lain tidak ada pembatasan sehari atau dua hari, akan tetapi dilarang secara mutlak sebagaimana dalam hadits Ibnu Abbas dan Ibnu Umar di atas.

Karenanya yang benar dalam masalah ini bahwa kapan perjalanan sudah dianggap sebagai safar dalam ‘urf (kebiasaan masyarakat) maka itulah safar walaupun hanya sejam (dengan pesawat misalnya). Dan kapan dia dihukumi safar maka seorang wanita tidak boleh melakukannya kecuali disertai dengan mahramnya.
Adapun patokan mahram, maka yang dianggap sebagai mahram menurut ulama adalah wanita yang haram dia nikahi selama-lamanya. Maka dari batasan ’selama-lamanya’ dikecualikan darinya saudari dan bibi dari istri, karena keduanya hanyalah haram dinikahi sementara mengingat salah satu dari keduanya boleh dinikahi jika istri meninggal/diceraikan). Sementara Imam Ahmad juga mengecualikan mahram yang kafir, dimana beliau berkata, “Ayah yang kafir bukan mahram baginya (putrinya yang muslim) karena dikhawatirkan ayahnya akan memberikan mudharat pada agama putrinya jika mereka bersama.”
Masalah jarak safar dan juga patokan mahram dalam safar adalah dua masalah yang telah dibahas.

Masalah ketiga:

Bolehkah seorang wanita safar sendirian ketika berhijrah dari negeri kafir?

Jawab:

Al-Qadhi Iyadh berkata dalam Syarh Shahih Muslim (9/104), “Para ulama sepakat akan tidak bolehnya bagi wanita untuk mengadakan perjalanan selain haji dan umrah kecuali dengan mahramnya. Kecuali jika safar bertujuan untuk hijrah dari negeri kafir, maka mereka sepakat akan bolehnya dia berhijrah ke negeri Islam walaupun tanpa mahram.”

Kami katakan: Adapun safar dengan tujuan haji dan umrah maka tetap tidak diperbolehkan safar tanpa mahram berdasarkan hadits Ibnu Abbas di atas. Hal itu karena Nabi shallallahu alaihi wasallam menggugurkan kewajiban jihad atasnya agar dia bisa menemani istrinya. Sementara suatu kewajiban tidaklah bisa digugurkan hukumnya kecuali dengan kewajiban lainnya.
Dalil akan ijma’ di atas adalah banyaknya sahabat wanita yang hijrah dari Makkah ke Madinah tanpa mahram dan Nabi shallallahu alaihi wasallam mengizinkan mereka.


Para ulama juga mengecualikan dalam hal ini jika ada seorang wanita yang berada di tengah perjalanan safar sendirian, mungkin karena dia ketinggalan rombongannya atau dia tidak mengetahui jalan pulang atau sebab lainnya, maka dia boleh safar sendirian untuk pulang ke tujuannya atau boleh ditemani oleh lelaki yang bukan mahramnya selama orangnya terpercaya. Hal ini disebutkan oleh Al-Baghawi dalam Syarh As-Sunnah (7/21)

Masalah keempat:

Apakah boleh seorang wanita safar tanpa mahram untuk menuntut ilmu?

Jawab:

Tidak boleh, karena jika mengerjakan ibadah haji saja tidak boleh tanpa mahram, apalagi hanya sekedar menuntut ilmu agama. Lagipula, yang wajib atasnya hanyalah ‘menuntut ilmu agama’ dan bukan yang wajib ’safar untuk menuntut ilmu agama’, sementara alhamdulillah di zaman ini berbagai kemudahan dan fasilitas sangat memungkinkan seorang wanita untuk menuntut ilmu di rumahnya tanpa harus keluar rumah apalagi sampai harus safar. Maka sekali lagi, menuntut ilmu agama bukanlah alasan pembolehan safarnya wanita tanpa mahram.
Ini hukum jika yang dituntut ilmu agama, maka bagaimana lagi jika yang dituntut hanya ilmu dunia.

Masalah kelima:

Wanita yang haji tanpa mahram, apakah hajinya syah?

Jawab:

Telah diterangkan bahwa hajinya wanita tanpa mahram adalah haram. Dan berkaca dari definisi mahram di atas menunjukkan salahnya amalan sebagian pengurus haji yang menjadikan seorang lelaki sebagai mahram bagi semua jamaah wanita yang ada di kloternya, dengan istilah ‘mahram sementara’ atau ‘mahram haji’.
Adapun hukum hajinya maka hukumnya syah akan tetapi makruh, karena dia telah melakukan dosa dengan melakukan safar tanpa mahram. Karenanya wanita yang sudah punya kemampuan haji tapi tidak mempunyai mahram menemaninya maka dia tetap dianggap ‘belum mampu’ sehingga haji belum wajib atasnya.

Masalah keenam:

Bolehkah wanita pergi sendirian jika masih dalam kota (bukan safar)?

Jawab:

Ia boleh, karena keharusan bersama mahram hanya berlaku jika dia ingin bepergian dengan jarak safar, berdasarkan semua dalil-dalil di atas.

Masalah ketujuh:

Bolehkah wanita safar dengan ditemani anak laki-lakinya yang belum balig atau wanita dewasa yang lainnya (semisal ibu atau saudarinya)?

Jawab:

Tidak boleh, karena hikmah diharuskannya ada mahram dalam safar adalah agar mahramnya tersebut bisa menjaganya dari berbagai mudharat yang mungkin terjadi pada wanita tersebut. Adapun anak kecil maka jelas dia tidak bisa melakukan hal itu. Adapun sekelompok wanita maka keadaannya sama, karena memungkinkan ada sekelompok lelaki yang bisa memudharatkan mereka. Karenanya para ulama menyatakan bahwa yang dimaksud mahram di sini adalah lelaki dewasa yang bisa menjaga dirinya dari fitnah. Wallahu a’lam

Masalah kedelapan:

Saya pergi bersama teman wanita yang dia memiliki mahram (saudara atau suami), apakah mahram dia sudah mencukupi untuk saya, karena saya tidak bersama mahram?


Jawab:
Tidak mencukupi, karena wanita membutuhkan mahram tersendiri yang melindunginya. Lagipula dari sisi definisi, mahram temannya bukanlah mahram baginya karena dia boleh menikah dengannya.

Masalah kesembilan:
Apakah boleh saya membawa mengantar wanita yang menjadi mahram saya ke suatu tempat yang berjarak safar, dan setelah tiba di sana saya menyiapkan kebutuhannya lalu meninggalkannya?

Jawab:

Tidak boleh, karena tinggal di sana termasuk safar dan tidak boleh seorang wanita tanpa safar. Lagi pula mudharat dan fitnah yang mungkin didapati oleh seorang wanita yang sendirian di perantauan (selain negerinya) bisa lebih besar daripada mudharat/fitnah yang bisa menimpanya di tengah perjalanan.
Karenanya mahram tidak hanya dipersyaratkan di tengah perjalanan safar, akan tetapi mahram diharuskan ada mulai dari safarnya dimulai hingga safarnya berakhir, termasuk ketika wanita tersebut berada di negeri yang dia bersafar kepadanya.


Hukum haram ini tidaklah gugur hanya dengan alasan:

Di daerah saya tidak ada pondok khusus putri, karenanya saya titipkan putri atau saudari saya di pondok lain yang berjarak safar. Insya Allah di sana pergaulannya sesama wanita dan asatidz pembinanya juga terpercaya.

Subhanallah, siapakah yang lebih suci hatinya daripada para sahabat dan sahabiat, terkhusus para istri Nabi shallallahu alaihi wasallam. Bersamaan dengan kesucian hati mereka, Nabi shallallahu alaihi wasallam telah melarang semua istri beliau untuk menunaikan ibadah haji setelah haji wada`. Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu dia berkata: Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda ketika beliau berhaji bersama semua istri beliau:

“Sesungguhnya haji (yang wajib atas kalian/istri Nabi) hanyalah haji (wada’) ini, kemudian setelah itu tetaplah kalian di atas tikar-tikar kalian.” (HR. Ahmad: 6/324)

Maka Saudah dan Zainab bintu Jahsy (keduanya adalah istri Nabi shallallahu alaihi wasallam) keduanya berkata:

“Demi Allah, tidak ada satupun binatang tunggangan yang bisa menggerakkan kami (istri-istri Nabi) setelah kami mendengar Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Haji yang ini, setelah itu tetaplah di atas tikar.” (HR. Ahmad: 6/324)


Maksudnya: Kami tidak lagi melakukan safar untuk haji sepeninggal beliau.

Maksudnya: Tetaplah kalian di dalam rumah-rumah kalian, kalian tidak wajib lagi mengerjakan haji setelah haji ini.” (3/101)

Di antara hikmah larangan ini adalah -wallahu a’lam- karena ibadah haji mengharuskan para istri Nabi shallallahu alaihi wasallam untuk tinggal beberapa hari di Makkah dalam keadaan mereka tidak mempunyai mahram.
Lagipula sudah kita terangkan bahwa di zaman ini untuk menuntut ilmu, seorang wanita tidak harus keluar dari rumahnya.

Masalah kesepuluh:

Saya mengantar istri saya ke bandara lalu dia berangkat sendiri, kemudian di negeri tujuan dia dijemput oleh mahramnya yang lain. Apakah seperti diperbolehkan?

Jawab:

Tidak boleh, karena kemungkinan adanya mudharat/fitnah tetap ada walaupun di atas pewasat selama sejam. Bagaimana jika terjadi sesuatu dengannya di atas pesawat? Bagaimana jika penerbangannya transit selama beberapa lama -tanpa diketahui sebelumnya- yang mengharuskan dia turun dari pesawat?

Apa yang kami sebutkan ini merupakan kesimpulan dari fatwa Asy-Syaikh Ibnu Al-Utsaimin rahimahullah.

SUMBER

Diposkan oleh Abu Abdullah AL-Bantuly

http://al-atsariyyah.com/

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.