-->

08 Agustus 2012

Syubhat Adanya Bid'ah Hasanah Dan Bantahannya

Kata  pengantar  :
Pada bagian kesebelas  ini ana akan  meluruskan suatu  yang sudah menjadi keyakinan  kaum nahdiyyin, yakni adanya bid`ah hasanah dalam islam.kali ini ana menukil dari sebuah buku karya Dr. Oemar Abdallah Kemel,yang berjudul : Kalimatun Hadi’ah fil Bid’ah yang diterjemahkan oleh PP Lakpesdam NU dengan judul : “Kenapa Takut Bid’ah?“Insya Allah,ana akan menjelaskan alasan-alasan yang menjadi hujjah dalam membolehkan  bid`ah hasanah, sebgagai tambahan, ana juga akan nukil syubhat-syubhat yang menjadi alasan dibolehkannya adanya bid`ah hasanah, yang tidak disebut dalam tulisan Dr. Oemar Abdallah Kemel.( Abu Namira  Hasna  Al- Jauziyah).
Dr. Oemar Abdallah Kemel  dalam bukunya menyatakan :
Para sahabat sering melakukan perbuatan yang bisa digolongkan ke dalam bid’ah hasanah atau perbuatan baru yang terpuji yang sesuai dengan cakupan sabda Rasulullah SAW:
مَنْ سَنَّ فِى اْلاِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ غَيْرِ اَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَيْئًا
Siapa yang memberikan contoh perbuatan baik dalam Islam maka ia akan mendapatkan pahala orang yang turut mengerjakannya dengan tidak mengurangi dari pahala mereka sedikit pun. (HR Muslim)
Karena itu, apa yang dilakukan para sahabat memiliki landasan hukum dalam syariat. Di antara bid’ah terpuji itu adalah:
a. Apa yang dilakukan oleh Sayyidina Umar ibn Khattab ketika mengumpulkan semua umat Islam untuk mendirikan shalat tarawih berjamaah. Tatkala Sayyidina Umar melihat orang-orang itu berkumpul untuk shalat tarawih berjamaah, dia berkata: “Sebaik-baik bid’ah adalah ini”.
Ibn Rajar al- Asqalani dalam Fathul Bari ketika menjelaskan pernyataan Sayyidina Umar ibn Khattab “Sebaik-baik bid’ah adalah ini” mengatakan:
“Pada mulanya, bid’ah dipahami sebagai perbuatan yang tidak memiliki contoh sebelumnya. Dalam pengertian syar’i, bid’ah adalah lawan kata dari sunnah. Oleh karena itu, bid’ah itu tercela. Padahal sebenarnya, jika bid’ah itu sesuai dengan syariat maka ia menjadi bid’ah yang terpuji. Sebaliknya, jika bidطah itu bertentangan dengan syariat, maka ia tercela. Sedangkan jika tidak termasuk ke dalam itu semua, maka hukumnya adalah mubah: boleh-boleh saja dikerjakan. Singkat kata, hukum bid’ah terbagi sesuai dengan lima hukum yang terdapat dalam Islam”.
b. Pembukuan Al-Qur’an pada masa Sayyidina Abu Bakar ash-Shiddiq atas usul Sayyidina Umar ibn Khattab yang kisahnya sangat terkenal.
Dengan demikian, pendapat orang yang mengatakan bahwa segala perbuatan yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah adalah haram merupakan pendapat yang keliru. Karena di antara perbuatan-perbuatan tersebut ada yang jelek secara syariat dan dihukumi sebagai perbuatan yang diharamkan atau dibenci (makruh).
Ada juga yang baik menurut agama dan hukumnya menjadi wajib atau sunat. Jika bukan demikian, niscaya apa yang telah dilakukan oleh Abu Bakar dan Umar sebagai­mana yang telah dituliskan di atas merupakan perbuatan haram. Dengan demikian, kita bisa mengetahui letak kesalahan pendapat tersebut.
c. Sayyidina Utsman ibn Affan menambah adzan untuk hari Jumat menjadi dua kali. Imam Bukhari meriwatkan kisah tersebut dalam kitab Shahih-­nya bahwa penambahan adzan tersebut karena umat Islam semakin banyak. Selain itu, Sayyidina Utsman juga memerintahkan untuk mengumandangkan iqamat di atas az-Zawra’, yaitu sebuah bangunan yang berada di pasar Madinah.
Jika demikian, apakah bisa dibenarkan kita mengatakan bahwa Sayyidina Utsman ibn Affan yang melakukan hal tersebut atas persetujuan seluruh sahabat sebagai orang yang berbuat bid’ah dan sesat? Apakah para sahabat yang menyetu­juinya juga dianggap pelaku bid’ah dan sesat?
Di antara contoh bid’ah terpuji adalah mendirikan shalat tahajud berjamaah pada setiap malam selama bulan Ramadhan di Mekkah dan Madinah, mengkhatamkan Al-Qur’an dalam shalat tarawih dan lain-lain. Semua perbuatan itu bisa dianalogikan dengan peringatan maulid Nabi Muhammad SAW dengan syarat semua perbuatan itu tidak diboncengi perbuatan-perbuatan yang diharamkan atau pun dilarang oleh agama. Sebaliknya, perbuatan itu harus mengandung perkara-perkara baik seperti mengingat Allah dan hal-hal mubah.
Jika kita menerima pendapat orang-orang yang menganggap semua bid’ah adalah sesat, seharusnya kita juga konsekuen dengan tidak menerima pembukuan Al-Qur’an dalam satu mushaf, tidak melaksanakan shalat tarawih berjamaah dan mengharamkan adzan dua kali pada hari Jumat serta menganggap semua sahabat tersebut sebagai orang-­orang yang berbuat bid’ah dan sesat.
Dr. Oemar Abdallah Kemel
Ulama Mesir kelahiran Makkah al-Mukarromah
Dari karyanya “Kalimatun Hadi’ah fil Bid’ah yang diterjemahkan oleh PP Lakpesdam NU dengan “Kenapa Takut Bid’ah?

sumber  :  www.nu.or.id/ubudiyyah/Praktik Bid’ah Hasanah para Sahabat Setelah Rasulullah Wafat/html/
—————————————————————————————————————————————————-
BANTAHAN  :
Sebenarnya ane sudah lama ingin menulis risalah kecil ini. Tetapi karena bingung mencari sumber dan banyak kendala dalam menyelesaikannya. Tetapi dalam rangka ilmiah dan keprihatinan akan mudahnya umat muslimin melakukan hal baru dalam agama dan mereka mengatakan bahwa ini adalah bid’ah hasanah. Lalu apa batasan bid’ah hasanah dan bid’ah dholalah. Maka ane berazzam untuk mencari sumber-sumber yang diperlukan, Alhamdulillah sebelum mutasi ane menemukan di balik tumpukan artikel yang sudah berdebu dan beberapa sumber lainnya yang sempat ane kopi.
Semoga artikel ini membawa suasana ilmiah, dan mohon tidak usah diperdebatkan lebih jauh bila berbeda pendapat, karena tulisan ini hanya sebagai pembanding, bila tidak setuju tidak mengapa. Toh tidak setuju dengan tulisan saya tidak membuat anda keluar dari Islam.
Bismillah wal Hamdulillah
Kita awali dengan suatu hadits
Dalam hadits muslim bahwa kullu bid’atun dholalah (setiap bid’ah adalah kesesatan)
Berkata Abdullah bin Umar ra :
“Setiap  bid’ah adalah kesesatan walaupun dianggap baik oleh manusia.” (Diriwayatkan oleh Al Lalika’i dalam Syarah Ushul I’tiqod Ahlus Sunnah wal Jama’ah)
Ibnu Rajab berkata bahwa hadits muslim tsb termasuk “Jawami’ul Kalim“ (kata singkat dan padat makna) Tidak ada satu perbuatan bid’ah yang dikecualikan padanya dan ini merupakan salah satu kaidah agama yang agung. (Al Jami’ Al Ulum Al Hikam)
Syaikh Muhammad al Utsaimin
Bid’ah apa saja yang di klaim sebagai bid’ah hasanah dapat dibantah dengan hadits ini (setiap bid’ah adalah kesesatan) (Al Ibda Al Kamali As Syara’ wal Katharu al Bid’ah)
Imam as Syaukani : Hadits ini tergolong kaidah agama yang mencakup berbagai macam hukum yang tak terhitung jumlahnya. Hadits ini begitu gamblang dan jelas menunjukkan batilnya pendapat beberapa fuqoha yang membagi bid’ah menjadi beberapa bagian. (hanya menolak sebagian bida’ah) (Nailul Authar)
Umar Radhiyallahu anhu : Ketahuilah setiap perkara yang diadakan adalah bid’ah, dan bid’ah adalah sesat dan sesat tempatnya di neraka (Lihat al bida’ )
Al Imam Asy Syatibhi ra dalam mengomentari hadits muslim diatas :
1.    Bahwa riwayat tsb datang secara mutlak dan umum, dengan banyaknya riwayat (tentang sesatnya bid’ah) tetapi tidak tedapat pengecualian sama sekali, tidak ada riwayat yang menjelaskan diantara bbid’ah ada yang pentunjuk, tidak ada pula yang disebutkan setiap bid’ah sesat kecuali ini dan itu. Ini menunjukkan bahwa seluruh dalil tsb diatas hakikatnya yang dzahir berupa lafadz “kullu” (seluruhnya)
2.    Dalam prinsip ilmiah bahwa setiap kaidah menyeluruh bila diulang ulang di banyak tempat dan tidak pernah disertai pengkhususan maka itu merupakan dalili ketetapan lafadz tersebut bersifat umum.
3.    Ijma para ulama salaf dari kalangan sahabat dan tabi’in akan tercelanya bid’ah dan tidak ada sedikitpun dari mereka yang bersikap tawaqquf (abstain) atau ragu.
4.    Orang yang memahami bid’ah mengharuskan bersikap meyakini bahwa bid’ah itu sesat karena hal itu termasuk perkara yang bertentangan dengan syari’at.
Banyak kesalahpahaman antara kaum muslimin terhadap sebagian yang disebutkan dalam ulama dengan istilah bid’ah hasanah, makruh, mubah atau mahmudzah (mahmudah) dan madzmumah (tercela) dengan mendasarkan pada :
Hadit Muslim
“Barangsiapa mencontohkan perbuatan baik dalam islam maka baginya pahala dan pahala orang yang mengikutinya”
Jawaban :
1.    Makna hadits tersebut adalah mencontohkan perbuatan sunah. Hal ini berkaitan anjuran nabi untuk bersedekah tetapi tidak ada yang menyambutnya lalu seorang anshor menyambutnya dan mendadak para sahabat mengikutinya.
2.    Nabi bersabda “Barangsiapa mencontohkan perbuatan baik dalam islam” dilain waktu nabi bersabda: “setiap bid’ah adalah kesesatan”. Maka tidak mungkin sabda nabi saling bertentangan satu sama lain. Dan tidak boleh mengambil satu hadits dan menolak hadits yang lain.
3.    Makna perbuatan yang baik juga bisa berarti menghidupkan sunah nabi yang telah ditinggalkan
4.    Makna perbuatan yang baik tidak bisa diartikan sebagai bid’ah. Sebab baik buruknya perbuatan harus berlandaskan syari’at.
Mendasarkan pada hadits bukhori tentang perkataan umar Radhiyallahu anhu pada saat sholat tarawih di bulan Ramadhan.
“Sebaik-baik bid’ah adalah ini”
Jawaban
1.    Jika orang berpendapat bahwa ini adalah dalil bid’ah hasanah maka ketahuilah bahwa sabda Nabi tidak bisa dibatalkan dengan ucapan manusia, baik Abu Bakar ra, Umar ra dll. Berkata Abdullah bin Abbas pernah berkata “ Hampir saja kalian dihujani batu dari langit. Aku katakan Nabi bersabda begini dan begini, kalian membantahnya dengan mengatakan: “Akan tetapi Abu Bakar dan Umar mengatakan begini dan begitu.” Umar bin abdul aziz ra mengatakan ; “Tidak berlaku pendapat siapapun dihadapan sunah Rasulullah saw. “
Imam Syafi’i berkata; “Kaum muslimin sepakat bahwa siapa saja yang telah nyata baginya sunnah Rasulullah maka tidak dibenarkan baginya meninggalkan karena ucapan seseorang. (I’lamul Muwaqqi’in)
2.    Umar mengatakan itu disaat umat muslimin melakukan sholat tarawih kembali dengan berjama’ah. Tentunya ini tidak bertentangan dengan sunah nabi yang diriwayatkan aisyah bahwa Rasulullah sholat pada suatu malam lalu diikuti oleh orang banyak dst (riwayat bukhori)
3.    Istilah bid’ah yang dikatakan Umar ra bukanlah makna dalam bid’ah dalam etimologi/bahasa bukan makna bid’ah dalam syariat karena sebelum kekhalifaan umar, Sholat tarawih berjama’ah mulai ditinggalkan dan di masa umar ra, sunah tersebut dihidupkan kembali. (pendapat ini didukung Ibnu Taimiyah, Ibnu Katsir dalam tafsir surat al baqoroh ayat 118, Ibnu rajab, Mohammad Rasyid Ridho).
Mendasarkan pada pembukuan Mushaf Al Qur’an merupakan bid’ah hasanah.
Jawaban :
1.    bahwa pembukuan al Qur’an telah sesuai kitabullah
Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. (Al Qiyamah 17)
Dalam ayat tsb ada isyarat untuk mengumpulkannya karena keumuman lafadz tsb. Lalu kenapa dijaman Rasulullah belum dibukukan? Karena pada masa itu ada pencegah dibukukannya karena Al Qur’an turun berangsur angsur dan kadang ada ayat yang dinasakh. Maka setelah meninggalnya Rasulallah mereka baru mengumpulkannya karena telah sempurnya agama ini dan terputusnya wahyu.
2.    Hal ini merupakan ijma para sahabat, sebab ijma’ adalah salah satu hujjah di dalam islam.
Mendasarkan pada adzan pertama di jaman utsman bin affan Radhiyallahu anhu.
Jawaban :
1.    Hal itu merupakan ijtihad utsman bin affan ra, akan tetapi ada salah seorang sahabat menyelisihinya sehingga bukan merupakan hujjah yang mutlak. Apabila ada sahabat berhujjah dan ada yang menyelisihninya maka kita butuh melihat yang rajih siapa yang kuat dari pendapat mereka. Ali bin abi Thalib ra ketika berada di kuffah dan beliau hanya mengamalkan yang disunahkan Rasulullah dan meninggalkan ijtihad Utsman bin Affan . Demikian pula Abdullah bin Umar (Lihat kitab al Ajwibah an Nafi’ah). Imam Syafi’i mengatakan dal kitab al Umm:  „Aku lebih menyukai agar adzan pada hari Jum’at di saat imam masuk ke dalam masjid dan duduk diatas mimbar. Maka apabila imam sudah melakukannya (duduk), muadzin mengumandangkan adzan dst.
2.    Sebab Utsman menambah adzan disebabkan semakin banyaknya manusia dan berjauhan rumah mereka. (lihat hadit Bukhori, Abu Dawud dan Tirmidzi). Sehingga tidak dapat mendengar adzan tsb. Sebagian ulama menggolongkan ini pada maslahah mursalah. Maka apakah kedua illat ma’qulah (sebab masuk akal) tsb ada di jaman sekarang. Berkata Albani: barangsiapa berpegang pada azan utsman secara mutlak maka dia tidak mengikutinya (Utsman) akan tetapi menyelisihinya. Karena tidak memperhatikan dengan mata ilmu sebab. Kalau tidak ada sebab tentu Utsman tidak akan melakukan penambahan atas sunah yang ada dan sunah dua khalifah setelahnya (Abu Bakar dan Umar).
Mendasarkan pada perkataan Abdullah bin Mas’ud
”Segala sesuatu yang dipandang baik kaum muslimin, pastilah baik disisi Allah swt. “(HR Imam Ahmad)
Jawaban :
1.    Ibnul Qoyyim : Ucapan ini bukan berasal dari Rasulullah. Hanya orang orang jahil yang menisbatkan ucapan ini dari Rasulullah. Ucapan ini bersumber dari Abdullah bin Mas’ud.
2.    Kaum muslimin yang dimaksud Abdullah bin Mas’ud adalah para sahabat karena barangsiapa memperhatikan keseluruhan riwayat itu maka akan tahu yang dimaksud adalah para sahabat. Dalam perkataannya yang panjang saya singkat saja karena udara mulai sumuk hehehe
„……kemudian melihat hati hamba-Nya setelah Muhammad, didapatinya hati para sahabat adalah paling baik setelah hati Muhammad. Lalu menjadikan wazir Rasulnya, mereka berperang atas agamanya. Segala sesuatu yang dipandang baik kaum muslimin, pastilah baik disisi Allah swt.  Ditambah lagi pendapat al Hakim dalam kitabnya Al Mustadrak mencantumkan hadits ini dalam Judul „Keutamaan Sahabat“  (semoga Ridha menbacanya biar nggak mencela para sahabat)
Mereka berdalil pada ucapan Imam Syafi’i
“Bid’ah ada dua macam. Bid’ah Mahmudah (terpuji) dan Madzmumah (tercela). Apa saja yang termasuk sunah maka termasuk bid’ah mahmumah dan apa saja yang menyelisihi maka termasuk bid’ah madzmudah (tercela) (Hilyatul Auliya’).
Jawaban :
Dan ucapan beliau :
Perkara muhdats (yang baru ada dua macam). Yang baru serta menyelisihi al qur’an, sunah, atsar, ijma termasuk bid’ah sesat. Tetapi perkara baru yang tidak menyelisihi al qur’an, sunah, atsar, ijma tidak termasuk bid’ah tercela (Manaqib Asy Syafi’i)
1.    perlu diketahui bahwa ucapan Imam Syafi’i tidak merubah ketetapan Rasulallah saw sebagai mana telah dijelaskan diatas ditambah perkataan Ibnu Abbas “Tidak seorangpun pendapatnya kada diterima kadan ditolak kecuali Rasulullah Saw.
2.    Barangsiapa mencermati perkataan Imam Syafi’i maka akan mengetahui bahwa yang dimaksud bid’ah mahmudah adalah bid’ah secara etimologi (bahasa) yang berkaitan dengan urusan dunia. Sedangkan bila bid’ah secara syara’ tentu bid’ah madzmumah (tercela). Karena Imam Syafi’i membatasi pada Kitab dan Sunah. Berkata Ibnu Rajab dalam mengomentari pendapat Imam Syafi’i: “Maksud Imam Syafi’i hakikat bid’ah madzmumah (tercela) adalah yang tidak ada landasan syar’inya. Sementara bid’ah mahmudah adalah yang bersesuaian dengan sunah Nabi saw. Ini adalah bid’ah dalam pengertian bahasa karena ada landasan syar’inya. (Jami’ul Ulum wal Hikam)
3.    Sudah kita ketahui bahwa Imam Syafi’i adalah ulama yang berpegang teguh dalam sunah. Bahkan beliau pernah berkata “Apabila kalian melihat dalam bukuku ucapan yang menyelisihi sunah Nabi, maka ambillah sunah Nabi dan buanglah jauh jauh ucapan itu (syiar nubala) dan masih banyak lagi perkataan beliau tentang pentingnya sunah nabi.
Berpendapat pada ucapan Imam al Irara  bin abdussalam
“Bid’ah terbagi menjadi lima bagian, bid’ah wajib, haram, mustahab, makruh, mubah. Cara mengidentifikasi bid’ah itu berpulang kepada syari’at dst. (Qowahidul Ahkam)
Jawaban
1.    Kita tidak boleh menentang ucapan nabi dengan perkataan manusia
2.    Asy Syatibhi menolak pembagian tsb (Lihat Al I’tishom)
3.    Bid’ah yang dimaksud al Izz Abdussalam adalah bid’ah secara bahasa. Kita dapat mengetahui dari contoh contohnya dari bid’ah tsb. Misal Bid’ah wajib adalah mempelajari nahwu untuk mempelajari kitabullah dan sunah, bid’ah mustahab adalah sholat tarawih berjamaah di bulan romadhon. Jadi jelaslah bahwa yang dimaksud bid’ah oleh imam adalah bid’ah secara bahasa (etimologi). Imam Irara bin Abdussalam adalah ulama yang sangat menentang bid’ah dan memperingatkan umat dari bahaya bid’ah. Buktinya penentangan beliau akan hal hal yang dianggap orang sebagai bid’ah hasanah. Syihabudin Umar berkata beliau sering menghapus bid’ah yang dilakukan khatib (sholat jum’at) seperti mengetuk ngetuk pedang diatas mimbar. Beliau jga yg menghapus nifsu sya’ban dan shalat raghaib dan berjabat tangan seusai sholat jama’ah.(Thobaqot Asy Syafi’iah)
“Apakah mereka memiliki tandingan/sekutu yang membuat syariat dalam urusan dien bagi mereka yang tidak diberi izin oleh Allah.” (asy-Syuraa:21)
Semua tulisan saya bukan kepastian…silahkan berkomentar. Bagi saya bid’ah itu jelas…masalahnya bagaimana fiqh dakwah kita dalam merubah bid’ah itu. Apakah dengan keras dengan berkata kamu sesat, kamu sesat…atau dengan cara elegan.
Oh iya bid’ah iku panganan opo yoooo…ini gambaran singkat aja mugo mugo mudeng.
Arti bid’ah secara bahasa/etimologi: mengadakan sesuatu hal yang baru
Arti bid’ah secara syara’/syariat :
Bid’ah artinya sesuatu yang baru dlm agama setelah agama dinyatakan sempurna dan setelah wafatnya Nabi SAW. Bentuk jama’nya al-Bida’. Bid’ah juga berarti sst yang diciptakan namun menyalahi kebenaran yang diterima dari Rosulullah SAW dan prinsip agama yang benar
Dan sesuatu tidak bisa dikatakan bid’ah menurut syari’at, kecuali jika memenuhi tiga syarat, yaitu:
1. Al-Ihdaats (mengada-adakan)
2. Mengada-adakan ini disandarkan kepada agama
3. Hal yang diada-adakan ini tidak berpijak pada dasar syari’at, baik secara khusus maupun umum.
semoga bantahan yang singkat ini,bermanfaat.

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.