Kaum
muslimin, semoga Allah membimbing kita di atas jalan-Nya yang lurus.
Di hari-hari ini kita bisa melihat dengan mata kepala kita, bagaimana
sejarah perjuangan umat Islam kembali dinodai oleh ulah oknum-oknum
tidak bertanggung jawab yang mengatasnamakan Islam dan jihad. Dengan
seenaknya mereka melakukan tindak pengeboman, penghancuran, serta
berupaya untuk mengacaukan ketentraman negeri kaum muslimin dengan
kedok jihad dan ijtihad. Padahal Allah dan Rasul-Nya berlepas diri dari
apa yang mereka lakukan.
Alangkah cocok sebuah bait syair yang menggambarkan keadaan orang-orang seperti mereka,
Semua orang mengaku punya hubungan cinta dengan Laila
Namun, malang. Ternyata Laila tidak mengiyakan omongan mereka
Begitulah
kurang lebih keadaan mereka. Dengan tanpa malu-malu, mereka mengaku
sebagai barisan mujahidin dan menobatkan diri sebagai mujtahid.
Bagaimana mungkin orang yang gemar menebar kekacauan dan kerusakan di
atas muka bumi dengan membunuh nyawa tanpa hak layak untuk disebut
sebagai mujahid, apalagi dinobatkan sebagai mujtahid? Allahul musta’an!
Di manakah akal mereka?
Orang-orang yang salah sangka
Saudaraku
sekalian, marilah kita renungkan barang sejenak fenomena yang menyayat
hati ini. Para pemuda yang jahil/tidak mengerti syari’at Islam dengan
mudahnya ditipu oleh mujahid dan mujtahid gadungan. Sehingga akhirnya
nyawa mereka sendiri pun mereka relakan -dengan aksi bom bunuh diri-
untuk memperjuangkan apa yang mereka kira sebagai sebuah jihad dan
pengorbanan untuk agama. Aduhai, alangkah malang nasib mereka. Tidakkah
mereka ingat akan sebuah firman Allah yang menceritakan keadaan
orang-orang seperti mereka, yang bersusah payah melakukan suatu usaha
dan menyangka telah mempersembahkan sesuatu yang terbaik bagi agamanya.
Padahal kenyataannya mereka adalah orang yang paling merugi amalnya.
Allah ta’ala berfirman,
قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُمْ
بِالْأَخْسَرِينَ أَعْمَالًا الَّذِينَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِي الْحَيَاةِ
الدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعًا
“Katakanlah:
Maukah aku kabarkan kepada kalian tentang orang-orang yang paling
merugi amalnya. Yaitu orang-orang yang sia-sia usahanya di dunia
sementara mereka mengira telah melakukan sesuatu kebaikan dengan
sebaik-baiknya.” (Qs. al-Kahfi: 103-104)
Ibnu Katsir rahimahullah
menyebutkan riwayat dari Ali bin Abi Thalib, ad-Dhahhak dan para ulama
lainnya bahwa golongan yang termasuk dalam cakupan ayat ini adalah
kaum Haruriyah/Khawarij. Meskipun ayat ini juga mencakup celaan bagi
Yahudi dan Nasrani. Sehingga Ibnu Katsir menyimpulkan, “Sesungguhnya
ayat ini berlaku umum bagi siapa saja yang beribadah kepada Allah namun
tidak di atas jalan yang diridhai Allah. Dia menyangka bahwa dia
berada di pihak yang benar dan amalnya akan diterima. Padahal,
sebenarnya dia adalah orang yang bersalah dan amalnya tertolak.” (Tafsir al-Qur’an al-’Azhim [5/151-152])
Haram bicara agama tanpa ilmu!
Saudaraku
sekalian, sesungguhnya kemuliaan Islam ini akan ternoda tatkala orang
yang bukan ahlinya berbicara tentang sesuatu yang menyangkut ajaran
agama. Tidakkah kita ingat firman Allah ta’ala,
وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا
“Janganlah
kamu mengikuti apa-apa yang kamu tidak memiliki ilmu tentangnya.
Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, itu semua pasti akan
dimintai pertanggungjawabannya.” (Qs. al-Isra’: 36)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
سَيَأْتِي
عَلَى النَّاسِ سَنَوَاتٌ خَدَّاعَاتُ يُصَدَّقُ فِيهَا الْكَاذِبُ
وَيُكَذَّبُ فِيهَا الصَّادِقُ وَيُؤْتَمَنُ فِيهَا الْخَائِنُ
وَيُخَوَّنُ فِيهَا الْأَمِينُ وَيَنْطِقُ فِيهَا الرُّوَيْبِضَةُ قِيلَ
وَمَا الرُّوَيْبِضَةُ قَالَ الرَّجُلُ التَّافِهُ فِي أَمْرِ الْعَامَّةِ
“Akan
datang kepada manusia tahun-tahun yang penuh dengan penipuan. Ketika
itu pendusta dibenarkan sedangkan orang yang jujur malah didustakan,
pengkhianat dipercaya sedangkan orang yang amanah justru dianggap
sebagai pengkhianat. Pada saat itu Ruwaibidhah angkat bicara.” Ada yang
bertanya, “Apa yang dimaksud Ruwaibidhah?” Beliau menjawab, “Orang
bodoh yang turut campur dalam urusan masyarakat luas.” (HR Ibnu Majah dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, disahihkan al-Albani dalam as-Shahihah [1887] as-Syamilah)
Ruwaibidhah
bukanlah mujtahid. Mujtahid berbicara dengan ilmu, sedangkan
Ruwaibidhah berbicara dan berfatwa dengan kejahilan/kebodohan mereka.
Perhatikanlah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
إِذَا حَكَمَ الْحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ وَإِذَا حَكَمَ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ
“Apabila
seorang hakim hendak memutuskan sesuatu lalu berijtihad kemudian benar
maka dia memperoleh dua pahala. Adapun apabila dia akan memutuskan
sesuatu lalu berijtihad kemudian tersalah maka dia akan memperoleh satu
pahala.” (HR. Bukhari dalam Kitab al-I’tisham bil Kitab wa Sunnah dari Amr bin al-’Ash radhiyallahu’anhu)
al-Hafizh
Ibnu Hajar menukil keterangan dari Ibnul Mundzir, beliau mengatakan,
“Seorang hakim yang tersalah itu mendapat pahala sesungguhnya hanyalah
apabila dia adalah seorang alim/yang berilmu tentang ijtihad kemudian
dia pun berijtihad. Adapun apabila dia bukanlah seorang yang
alim/berilmu maka dia tidak mendapatkan pahala.” Bahkan apabila dia
nekad memutuskan dan mengeluarkan fatwa tanpa ilmu maka dia berdosa,
sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Hajar sebelum menukil ucapan Ibnul
Mundzir di atas. Beliau juga menukil keterangan dari al-Khatthabi bahwa
seorang yang berijtihad akan diberi pahala jika dirinya memang telah
memiliki alat-alat/ilmu untuk berijtihad. Orang seperti itulah yang
apabila tersalah masih bisa diberi toleransi (lihat Fath al-Bari [13/364])
Syaikh
Muhammad bin Husain al-Jizani mengatakan, “Ijtihad tidak boleh
dilakukan kecuali oleh seorang yang faqih/ahli hukum agama yang
mengetahui dalil-dalil dan tata cara menarik kesimpulan hukum darinya,
sebab melakukan penelitian terhadap dalil-dalil tidak mungkin dilakukan
-dengan benar- kecuali oleh orang yang memang ahli di dalam bidangnya.”
(Ma’alim Ushul Fiqh ‘inda Ahlis Sunnah wal Jama’ah, hal. 470).
Terlebih
lagi, untuk berijtihad ada syarat-syaratnya yang tidak sembarang orang
bisa memenuhinya. Di antaranya adalah: [1] Memahami seluk beluk sumber
hukum yaitu al-Kitab, as-Sunnah, Ijma’, Qiyas, dsb. [2] Memahami
bahasa Arab [3] Mengetahui maksud dari ungkapan umum dan khusus dalam
bahasa Arab, muthlaq dan muqayyad. Bisa membedakan antara nash, zhahir,
dan mu’awwal. Mujmal dan mubayyan. Manthuq dan mafhum, dsb [4] Dia
harus mengerahkan segenap kemampuannya dalam mengambil kesimpulan
hukum, tidak boleh setengah-setengah. Itu adalah sebagian syarat yang
terkait dengan orangnya. Masih ada lagi syarat lain yang terkait dengan
perkara yang menjadi objek ijtihad, di antaranya: bukan dalam perkara
yang sudah ada dalil tegasnya, dalil yang ada dalam perkara tersebut
memang masih membuka ruang -tidak dipaksakan- yang memungkinkan adanya
perbedaan penafsiran, dsb (lebih lengkap baca di Ma’alim Ushul Fiqh ‘inda Ahlis Sunnah wal Jama’ah, hal. 479-484).
Berbuat dosa kok mengharap pahala?
Di
manakah letak ilmu pada diri orang yang melakukan bom bunuh diri dan
menyuruh orang lain untuk bunuh diri? Padahal Allah ta’ala berfirman,
وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا
“Janganlah kalian membunuh diri kalian sendiri, sesungguhnya Allah Maha menyayangi kalian.” (Qs. an-Nisaa’: 29)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
وَمَنْ قَتَلَ نَفْسَهُ بِشَيْءٍ عُذِّبَ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Barang siapa yang membunuh dirinya sendiri dengan suatu alat/senjata maka dia akan disiksa dengannya kelak pada hari kiamat.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Tsabit bin ad-Dhahhak radhiyallahu’anhu, ini lafaz Muslim)
Ketika
mengomentari ulah sebagian orang yang nekad melakukan bom bunuh diri
dengan alasan untuk menghancurkan musuh, maka Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah
mengatakan, “Hanya saja kami katakan, orang-orang itu yang kami dengar
melakukan tindakan tersebut, kami berharap mereka tidak disiksa seperti
itu sebab mereka adalah orang-orang yang jahil/bodoh dan melakukan
penafsiran yang keliru. Akan tetapi, tetap saja mereka tidak memperoleh
pahala, dan mereka bukan orang-orang yang syahid dikarenakan mereka
telah melakukan sesuatu yang tidak diijinkan oleh Allah, akan tetapi
mereka telah melakukan apa yang dilarang oleh-Nya.” (Syarh Riyadh as-Shalihin, dinukil dari al-Kaba’ir ma’a Syarh Ibnu Utsaimin, hal. 109)
Di manakah letak ilmu pada diri orang yang membunuh nyawa orang kafir tanpa hak? Padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ قَتَلَ مُعَاهَدًا لَمْ يَرِحْ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ وَإِنَّ رِيحَهَا تُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ أَرْبَعِينَ عَامًا
“Barang
siapa yang membunuh seorang kafir yang terikat perjanjian -dengan kaum
muslimin atau pemerintahnya- maka dia tidak akan mencium bau surga.
Sesungguhnya baunya itu akan tercium dari jarak perjalanan empat puluh
tahun.” (HR. Bukhari dalam Kitab al-Jizyah dan Kitab ad-Diyat dari Abdullah bin Amr radhiyallahu’anhuma, lafaz ini ada di dalam Kitab al-Jizyah)
al-Munawi
menjelaskan bahwa ancaman yang disebutkan di dalam hadits ini
merupakan dalil bagi para ulama semacam adz-Dzahabi dan yang lainnya
untuk menegaskan bahwa perbuatan itu -membunuh kafir mu’ahad- termasuk
kategori dosa besar. Meskipun seorang muslim tidak mesti dihukum bunuh
sebagai akibat dari kejahatan itu (Faidh al-Qadir [6/251] as-Syamilah).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أُمِرْتُ
أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حتَّى يَشْهَدُوا أنْ لا إلَهَ إلاَّ الله،
وأَنَّ مُحَمَّداً رسولُ اللهِ، ويُقيموا الصَّلاةَ ، ويُؤْتُوا الزَّكاةَ
، فإذا فَعَلوا ذلكَ ، عَصَمُوا مِنِّي دِمَاءهُم وأَموالَهُم، إلاَّ
بِحَقِّ الإسلامِ ، وحِسَابُهُم على اللهِ تَعالَى
“Aku
diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka mau bersaksi bahwa
tidak ada sesembahan yang hak melainkan Allah dan Muhammad adalah
utusan Allah, mendirikan shalat, membayarkan zakat, apabila mereka
telah melakukannya maka terjagalah darah dan harta mereka dariku
kecuali dengan alasan haq menurut Islam, dan hisab mereka terserah pada
Allah ta’ala.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Ibnu Umar radhiyallahu’anhuma)
Syaikh Shalih bin Abdul ‘Aziz Alusy Syaikh hafizhahullah
menerangkan bahwa di dalam kata-kata “apabila mereka telah melakukannya
maka terjagalah darah dan harta mereka dariku” terdapat dalil yang
menunjukkan bahwa orang kafir itu hartanya boleh diambil dan darahnya
boleh ditumpahkan. Dan orang yang dimaksud di dalam hadits ini adalah
kafir harbi, yaitu orang kafir yang sedang terlibat peperangan dengan
pasukan kaum muslimin. Oleh sebab itu misalnya jika anda mengambil harta
seorang kafir harbi maka tidak ada hukuman bagi anda. Adapun orang
kafir mu’ahad, kafir musta’man dan kafir dzimmi -ketiganya bukan kafir
harbi,pen- maka mereka semua tidak boleh diperangi (lihat Syarah Arba’in, hal. 63)
Berjihadlah!
Ketahuilah
saudaraku, sesungguhnya seorang mujahid sejati adalah orang yang
menundukkan hawa nafsunya untuk melakukan ketaatan kepada Allah
-termasuk di dalamnya memerangi orang kafir dengan cara yang benar-,
bukan dengan melakukan perbuatan dosa dan pelanggaran. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الْمُجَاهِدُ مَنْ جَاهَدَ نَفْسَهُ فِي طَاعَةِ اللَّهِ
“Orang yang berjihad adalah orang yang berjuang menundukkan dirinya dalam ketaatan kepada Allah.” (HR. Ahmad dari Fadhalah bin Ubaid radhiyallahu’anhu dinilai sahih oleh al-Albani dalam as-Shahihah [549] as-Syamilah)
Tanyakanlah
kepada dirimu: Bukankah Nabi melarang membunuh orang kafir tanpa hak?
Bukankah kita wajib taat kepada beliau? Bukankah ketaatan kepada Nabi
itu pada hakikatnya merupakan ketaatan kepada Allah? Lalu dengan alasan
apa kita menghalalkan darah yang diharamkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
untuk ditumpahkan? Apakah kita merasa berada di atas agama yang lebih
baik dan lebih hebat daripada agama yang diajarkan oleh Rasulullah?
Jawablah wahai orang-orang yang masih memiliki akal dan hati nurani!
Sejak
kapan membunuh orang kafir tanpa hak disebut jihad? Sejak kapan
meledakkan gedung-gedung umum yang menimbulkan jatuhnya korban tanpa
pandang bulu disebut sebagai jihad? Tanyakanlah kepada mereka yang sok
menjadi mujtahid dan membolehkan ‘jihad’ ala teroris semacam itu:
ijtihad ulama manakah yang membolehkan seorang muslim membunuh dirinya
dan meledakkan bangunan umum yang berakibat melayangnya nyawa-nyawa tak
bersalah? Atau barangkali yang mereka sebut sebagai ulama mujtahid itu
memang bukan ulama alias Ruwaibidhah? Waspadalah -wahai para pemuda-
dari tipu daya, silat lidah, dan penampilan mereka!
Ingatlah,
sesungguhnya jihad yang diridhai Allah adalah jihad di jalan-Nya yang
lurus, bukan di jalan yang menyimpang. Allah ta’ala berfirman,
وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا وَإِنَّ اللَّهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِينَ
“Orang-orang
yang sungguh-sungguh berjuang/berjihad di jalan Kami niscaya Kami akan
tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah
bersama orang-orang yang berbuat baik/ihsan.” (Qs. al-’Ankabut: 69)
al-Baghawi menyebutkan riwayat dari Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma,
beliau berkata tentang tafsiran ayat ini, “Yaitu orang-orang yang
berjuang dengan sungguh-sungguh di dalam ketaatan kepada Kami niscaya
Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan untuk meraih pahala dari Kami.”
(Ma’alim at-Tanzil [6/256] as-Syamilah)
Maka marilah kita berjihad di atas ketaatan, bukan di atas kedurhakaan!
Hati-hatilah dari al-Qa’adiyah masa kini!
al-Qa’adiyah
merupakan salah saktu sekte Khawarij yang memiliki ideologi Khawarij,
hanya saja mereka tidak memilih sikap memberontak. Meskipun demikian,
mereka menganggap pemberontakan sebagai perkara yang baik, tidak boleh
diingkari, bahkan berpahala! Dengan kata lain -dalam bahasa sekarang-
mereka menilai bahwa pemberontakan yang dilakukan oleh rekan-rekan
mereka -dengan menimbulkan kekacauan dan mengancam penguasa; bom bunuh
diri dan semisalnya- bukan perkara yang salah, alias hasil ijtihad yang
harus dihargai dan layak untuk diberi pahala [?!] Sampai-sampai salah
seorang tokoh mereka di negeri ini berkata, “Menurut saya mereka
adalah mujahid. Dan apa yang mereka lakukan itu merupakan hasil ijtihad
mereka. Walaupun saya tidak sependapat dengan -hasil ijtihad- mereka.” Inilah ucapan gembongnya Khawarij di negeri ini!
Ketika
menjelaskan biografi ringkas Imran bin Hitthan -salah seorang perawi
hadits yang terseret paham Khawarij- Ibnu Hajar berkata, “al-Qa’adiyah
adalah salah satu sekte dari kelompok Khawarij. Mereka berpendapat
sebagaimana pendapat Khawarij, namun mereka tidak ikut melakukan
pemberontakan. Akan tetapi mereka menghias-hiasi/menilai baik perbuatan
itu.” (Hadyu as-Sari, hal. 577). Sebelumnya, Ibnu Hajar juga
menukil ucapan Abul Abbas al-Mubarrid, “Imran bin Hitthan adalah
gembong kelompok al-Qa’adiyah dari aliran Shafariyah. Dia adalah
khathib/orator dan penya’ir di kalangan mereka.” (Hadyu as-Sari, hal. 577). Imran bin Hitthan inilah yang meratapi kematian Abdurrahman bin Muljam -sang pembunuh Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu-
dengan untaian bait-bait sya’irnya yang heroik. Dikisahkan bahwa pada
akhir hidupnya dia kembali ke jalan yang benar dan meninggalkan paham
Khawarij, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Zakariya al-Mushili di
dalam Tarikh al-Mushil (lihat Hadyu as-Sari, hal. 577,578, lihat juga Tahdzib at-Tahdzib [8/128] as-Syamilah)
Ibnu Hajar mengatakan,
والقَعَدية الذين يُزَيِّنون الخروجَ على الأئمة ولا يباشِرون ذلك
“al-Qa’adiyah
adalah orang-orang yang menghias-hiasi perbuatan pemberontakan kepada
para pemimpin -umat Islam- dan mereka tidak ikut terjun langsung dalam
tindakan tersebut.” (Hadyu as-Sari, hal. 614 cet Dar al-Hadits)
as-Syahrastani mengatakan,
كل
من خرج على الإمام الحق الذي اتفقت الجماعة عليه يُسمى خارجياً سواء كان
الخروج في أيام الصحابة على الأئمة الراشدين أو كان بعدهم على التابعين
بإحسان والأئمة في كل زمان
“Setiap orang yang memberontak
kepada pemimpin yang sah yang disepakati oleh rakyat sebagai pemimpin
mereka maka dia disebut sebagai Khariji (kata tunggal dari Khawarij).
Sama saja apakah dia melakukan pemberontakan itu di masa sahabat masih
hidup kepada para pemimpin yang lurus atau setelah masa mereka yaitu
kepada para tabi’in yang senantiasa mengikuti pendahulu mereka dengan
baik serta para pemimpin umat di sepanjang masa.” (al-Milal wa an-Nihal [1/28] as-Syamilah)
Salah
satu pemikiran Khawarij yang berkembang saat ini -terutama di kalangan
sebagian pemuda Islam yang bersemangat tapi tanpa ilmu- adalah
pendapat yang membolehkan -tidak harus- untuk memberontak kepada
pemimpin muslim yang zalim (lihat mukadimah kitab al-Khawarij wal Fikru al-Mutajjaddid
karya Syaikh Abdul Muhsin bin Nashir al-Ubaikan, hal. 6). Sebagaimana
pula keterangan semacam ini pernah kami dengar dari perkataan Syaikh
Abdul Malik Ramadhani dalam sebuah rekaman video ceramah beliau ketika
memberikan pelajaran kitab asy-Syari’ah karya Imam al-Ajurri.
Inilah
sekelumit nasihat dan pelajaran bagi kita semua. Semoga masih ada
telinga yang mau mendengar dan hati yang masih mau menerima kebenaran.
Sebagian sumber tulisan ini kami ketahui dari buku Madarik an-Nazhar fi as-Siyasah karya Syaikh Abdul Malik Ramadhani, serta buku Mereka adalah Teroris susunan Ust. Luqman Ba’abduh, semoga Allah menerima amal kita dan mereka, serta mengampuni dosa kita dan mereka.
Ya
Allah, tunjukkanlah kepada kami yang benar itu benar, dan
karuniakanlah kepada kami ketaatan untuk mengikutinya. Dan tunjukkanlah
kepada kami yang salah itu salah, dan karuniakanlah kepada kami
keteguhan sikap untuk menjauhinya. Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa sallam. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.
Yogyakarta, 17 Sya’ban 1430 H
***
Penulis: Ustadz Ari Wahyudi
Artikel www.muslim.or.id
29 Agustus 2012
Teroris Bukan Mujahid dan Bukan Pula Mujtahid!
Diberdayakan oleh Blogger.
0 komentar:
Posting Komentar