Allah ta’ala berfirman :
إِنَّ الَّذِينَ يُحِبُّونَ أَنْ تَشِيعَ الْفَاحِشَةُ فِي الَّذِينَ آمَنُوا لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ
“Sesungguhnya
orang-orang yang ingin agar (berita) perbuatan yang amat keji itu
tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka azab yang
pedih di dunia dan di akhir” [QS. An-Nuur : 19].
Pada ayat di atas Allah ta’ala menjelaskan
bahwa menyebarkan satu kemunkaran (baik dari jenis perkataan atau
perbuatan) agar beredar di kalangan mukminiin, merupakan sifat
orang-orang yang mendapatkan ancaman Allah ta’ala akan ‘adzab.
Ibnu Katsiir rahimahullah berkata :
وهذا
تأديب ثالث لمن سمع شيئا من الكلام السيئ، فقام بذهنه منه شيء،وتكلم به،
فلا يكثر منه ويشيعه ويذيعه، فقد قال تعالى: { إِنَّ الَّذِينَ يُحِبُّونَ
أَنْ تَشِيعَ الْفَاحِشَةُ فِي الَّذِينَ آمَنُوا } أي: يختارون ظهور
الكلام عنهم بالقبيح، { لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ فِي الدُّنْيَا } أي:
بالحد، وفي الآخرة بالعذاب ، { وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لا
تَعْلَمُونَ } أي: فردوا الأمور إليه تَرْشُدُوا.
“Ini
merupakan pelajaran ketiga, bagi siapa saja yang mendengar sesuatu dari
perkataan yang buruk, lalu dengan pikirannya tergambar sesuatu yang
akan diucapkannya; maka janganlah ia bergegas memperbanyak dan
menyiarkannya. Allah ta’ala telah berfirman : ‘Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar (berita) perbuatan yang amat keji itu tersiar di kalangan orang-orang yang beriman’ ; yaitu : mereka menginginkan agar perkataan itu nampak dengan buruk. ‘bagi mereka azab yang pedih di dunia’ ; yaitu dengan hukuman hadd. ‘dan di akhirat’; yaitu dengan adzab” [Tafsir Ibni Katsiir, 6/29].
Ibnu Rajab Al-Hanbaliy rahimahullah berkata :
والمراد : إشاعةُ الفَاحِشَةِ على المؤمن المستتر فيما وقع منه ، أو اتُّهِمَ به وهو بريء منه
“Maksudnya
adalah menyebarkan perbuatan keji seorang mukmin yang berusaha menutupi
aib yang ada pada dirinya tersebut, atau menuduh seorang mukmin dengan
satu kekejian yang ia berlepas diri darinya (tidak melakukannya)” [Jaami’ul-‘Ulum wal-Hikam, hadits no. 36; tahqiq : Dr. Maahir Yasin Al-Fakhl].
عن علي بن أبي طالب رضي الله عنه قال : القَائلُ الفَاحِشَةَ ، والذِي يُشيعُ بِها فِي الإثمِ سَواءٌ.
Dari ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu,
ia berkata : “Orang yang mengatakan kekejian dan orang yang
menyebarkannya; dalam dosa adalah sama” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy
dalam Al-Adabul-Mufrad no. 234; Al-Albaaniy berkata : ‘Sanadnya hasan’].
Dalam riwayat lain, ia berkata :
القائل الفاحشة والذي يسمع في الإثم سواء
“Orang
yang mengatakan kekejian dan orang yang setia mendengarkannya, dalam
hal dosa adalah sama” [Diriwayatkan oleh Abu Ya’laa no. 553; Husain
Salim Asad berkata : ‘Para perawinya tsiqaat’].
Kekejian
adalah satu hal yang diingkari jiwa. Fithrah manusia tidak menginginkan
satu kekejian tersebar, apalagi yang bersumber dari dirinya. Bukankah
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ
“Tidak
sempurna iman salah seorang di antara kalian hingga ia mencintai untuk
saudaranya apa-apa yang ia cintai untuk dirinya sendiri” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 13, Muslim no. 45, Ahmad 3/176, dan yang lainnya].
Lantas,
bagaimana bisa seorang mukmin senang merelakan telinganya setia
mendengarkan kefasikan dan menjadikan mulutnya fasih menyebarkannya ?
Maka,
sangat dipahami jika seseorang pun akan mendapatkan kesetaraan dosa
jika turut ambil saham menyebarkan kekejian ke telinga-telinga manusia –
sebagaimana dikatakan ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu. Karena, menyebarkan berita kekejian merupakan faktor tersebarnya kekejian itu sendiri.
Janganlah kita mencari-cari aib/kesalahan orang lain yang berusaha menutupi aib/kesalahannya itu. Allah ta’ala telah berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلا تَجَسَّسُوا
“Hai
orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka,
sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu
mencari-cari kesalahan orang lain” [QS. Al-Hujuraat : 12].
Ibnul-Jauziy rahimahullah berkata :
قال المفسرون: التجسس البحث عن عيب المسلمين وعوراتهم فالمعنى: لا يبحث أحدكم عن عيب أخيه ليطلع عليه إذ ستره الله
“Para pakar tafsir berkata : at-tajassus adalah
mencari-cari aib dan aurat/kelemahan kaum muslimin. Maka, makna ayat
tersebut adalah : Janganlah salah seorang di antara kalian mencari-cari
kesalahan saudaranya yang telah Allah tutupi, untuk ia tampakkan” [Zaadul-Masiir, 7/471].
Oleh karena itu, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah mengingatkan kita melalui sabdanya :
يا
معشر من آمن بلسانه ولم يدخل الإِيمان قلبه، لا تغتابوا المسلمين، ولا
تتبعوا عوراتهم، فإِنه من اتبع عوراتهم يتبع الله عورته، ومن يتبع اللّه
عورته يفضحه في بيته.
“Wahai
orang-orang yang beriman dengan lisannya namun belum masuk iman itu ke
dalam hatinya ! Janganlah kalian mengghibah kaum muslimin. Jangan pula
kalian mencari-cari aib/kesalahan mereka. Karena, sesungguhnya orang
yang mencari-cari aib mereka, niscaya Allah akan cari-cari aib yang ada
pada dirinya. Dan barangsiapa yang Allah cari-cari aibnya, maka Allah
akan ungkap aibnya tersebut meskipun ada di dalam rumahnya” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 4880; Al-Albaaniy berkata : ‘Hasan shahih’].
Mencari-cari aib seorang muslim tanpa maslahat syar’iy adalah ciri-ciri orang munafik, sebab beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : ‘Wahai orang-orang yang beriman dengan lisannya namun belum masuk iman itu ke dalam hatinya’.
Mari kita perhatikan kisah menarik Maa’iz dan Hazzaal berikut ini :
عن
أبي هريرة رضي الله عنه قال : أتى رجل رسول الله صلى الله عليه وسلم وهو
في المسجد، فناداه فقال: يا رسول الله، إني زنيت، فأعرض عنه حتى ردد عليه
أربع مرات، فلما شهد على نفسه أربع شهادات، دعاه النبي صلى الله عليه وسلم
فقال: (أبك جنون). قال: لا، قال: (فهل أحصنت). قال: نعم، فقال النبي صلى
الله عليه وسلم: (اذهبوا به فارجموه).
Dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu, ia berkata : “Seorang laki-laki mendatangi Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam
yang saat itu berada di masjid. Ia memanggil beliau dan berkata :
“Wahai Rasulillah, sesungguhnya aku telah berbuat zina”. Mendengar itu
beliau berpaling darinya, hingga orang tersebut mengulangi sampai empat
kali. Ketika ia bersaksi atas dirinya sebanyak empat kali, maka Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam memanggilnya dan bersabda : “Apakah engkau gila ?”. Ia menjawab : “Tidak”. Beliau bersabda : “Apakah engkau telah menikah ?”. Ia menjawab : “Ya, pernah”. Maka Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Bawalah pergi orang ini”. Lalu para shahabat merajamnya [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 6820].
عن
نعيم بن هزال : أن هزالا كان استأجر ماعز بن مالك وكانت له جارية يقال لها
فاطمة قد أملكت وكانت ترعى غنما لهم وان ماعزا وقع عليها فأخبر هزالا
فخدعه فقال انطلق إلى النبي صلى الله عليه وسلم فأخبره عسى ان ينزل فيك
قرآن فأمر به النبي صلى الله عليه وسلم فرجم فلما عضته مس الحجارة انطلق
يسعى فاستقبله رجل بلحى جزور أو ساق بعير فضربه به فصرعه فقال النبي صلى
الله عليه وسلم ويلك يا هزال لو كنت سترته بثوبك كان خيرا لك
Dari
Nu’aim bin Hazzaal ia berkata : Hazzaal pernah menyewa Maa'iz bin
Maalik dan ia memiliki seorang budak wanita bernama Fathimah yang ia
miliki. Budak wanita ini bertugas menggembala kambing milik mereka dan
Maa'iz pun menyetubuhinya. Maa'iz memberitahukan hal itu kepada Hazzaal,
kemudian Hazzal mengelabuhinya dan berkata : “Pergilah ke Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam
dan beritahukan pada beliau (tentang hal yang kau alami). Mudah-mudahan
turun Al-Qur’an berkenaan denganmu”. (Setelah ia menghadap dan
menceritakan apa yang telah ia lakukan, sebagaimana hadits sebelum ini – Abul-Jauzaa’), lalu Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam
memerintahkan agar dirajam. Saat dirajam dan terkena hantaman batu,
Maa'iz berusaha lari kemudian seseorang mengejarnya dengan membawa
tulang dagu onta atau tulang betis onta, kemudian dipukulkan ke Maa'iz
hingga mati. Setelah itu Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : "Celaka kau hai Hazzal, seandainya engkau tutupi dengan bajumu tentu lebih baik bagimu" [Diriwayatkan oleh Ahmad, 5/217; Al-Arna’uth berkata : “Shahih li-ghairihi”].
Ibnu Hajar berkata :
قال
الباجي المعنى خيرا لك مما أمرته به من إظهار أمره وكان ستره بأن يأمره
بالتوبة والكتمان كما أمره أبو بكر وعمر وذكر الثوب مبالغة أي لو لم تجد
السبيل إلى ستره الا بردائك ممن علم أمره كان أفضل مما أشرت به عليه من
الإظهار
“Telah berkata Al-Baajiy : Makna (perkataan beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam : ‘seandainya engkau tutupi dengan bajumu tentu lebih baik bagimu’)
adalah lebih baik bagimu daripada engkau suruh ia untuk menjelaskan
perkaranya (kepadaku). Adapun anjuran untuk menutupinya adalah dengan
menyuruhnya bertaubat dan menyembunyikan aib yang telah dilakukannya
sebagaimana yang telah diperintahkan Abu Bakr dan ‘Umar (sebelum Maa’iz
menghadap Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam). Penyebutan ‘baju’ adalah mubaalaghah,
yaitu seandainya engkau tidak mendapatkan jalan untuk menutupinya
kecuali (menutupinya) dengan pakaianmu dari orang yang mengetahui
perkaranya, maka itu lebih utama/baik daripada yang telah engkau
sarankan kepadanya untuk menampakkannya” [Fathul-Baariy, 12/125].
فقال
(الشافعي) أحب لمن أصاب ذنبا فستره الله عليه أن يستره على نفسه ويتوب
واحتج بقصة ماعز مع أبي بكر وعمر وقال بن العربي هذا كله في غير المجاهر
فاما إذا كان متظاهرا بالفاحشة مجاهرا فاني أحب مكاشفته والتبريح به لينزجر
هو وغيره
“Asy-Syaafi’iy
berkata : ‘Aku senang seandainya orang yang berbuat dosa yang kemudian
Allah menutupi dosanya tersebut (sehingga tidak diketahui orang lain);
agar juga menutupinya dan bertaubat (kepada Allah ta’ala)’.
Beliau (Asy-Syaafi’iy) berhujjah dengan kisah Maa’iz bersama Abu Bakr
dan ‘Umar. Ibnul-‘Arabiy berkata : ‘Semuanya ini berlaku untuk selain
orang yang terang-terangan berbuat kemaksiatan. Adapun bagi orang yang
terang-terangan berbuat kemaksiatan/kekejian, maka lebih senang untuk
mengungkapkannya dan menghukumnya agar ia merasa jera dan menjadi
pelajaran bagi yang lain” [idem].
Apa yang dikatakan oleh Ibnul-‘Arabiy rahimahullah di atas didasarkan oleh sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam :
كل
أمتي معافى إلا المجاهرين، وإن من المجاهرة أن يعمل الرجل بالليل عملاً،
ثم يصبح وقد ستره الله، فيقول: يا فلان، عملت البارحة كذا وكذا، وقد بات
يستره ربه، ويصبح يكشف ستر الله عنه
“Setiap
umatku dimaafkan (dosanya) kecuali orang-orang terang-terangan
melakukan dosa. Dan sesungguhnya diantara terang-terangan (melakukan
dosa) adalah seorang hamba yang melakukan amalan di waktu malam
sementara Allah telah menutupinya kemudian di waktu pagi dia berkata :
'Wahai Fulan, semalam aku telah melakukan ini dan itu’, padahal pada
malam harinya (dosanya) telah ditutupi oleh Rabb-nya. Ia pun bermalam
dalam keadaan (dosanya) telah ditutupi oleh Rabbnya dan di pagi harinya
ia menyingkap apa yang telah ditutupi oleh Allah” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy].
Jika
dosa seberat zina saja (asal tidak dilakukan secara terang-terangan)
kita dianjurkan untuk menutupinya, bagaimana pula hal yang lebih rendah
daripada itu ?
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
ومن ستر مسلما ستره الله يوم القيامة
“Barangsiapa yang menutupi kesalahan seorang muslim, niscaya Allah akan menutupi kesalahannya kelak di hari kiamat” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 2442, Muslim no. 2580, dan yang lainnya.
Semoga Allah ta’ala senantiasa menjaga kita dari kemaksiatan dan membuka hati kita untuk bertaubat kepada-Nya…..
[abul-jauzaa’, ngaglik, sleman, jokja, 05-10-2010 - edited : 07-10-2010].








0 komentar:
Posting Komentar