Natal
Tidak
di ketahui secara pasti kapan Nabi Isa Dilahirkan, walaupun para
penganut Kristiani mengklaim bahwa kelahiran Al Masih adalah tanggal 25
Desember namun keyakinan itu sama sekali tidak bisa
dipertanggung-jawabkan secara pasti. Yang jelas Nabi Isa dilahirkan pada
musim panas, sebagaimana dikisahkan dalam Al Qur’an bahwa setelah
melahirkan putranya, sang ibu Maryam bersandar di sebuah pohon kurma
lalu di wahyukan kepadanya agar menggoyang batang kurma itu,maka
berjatuhanlah rutob dari atas pohon tersebut. Rutob adalah
buah korma yang telah masak (empuk), dan buah kurma tidak akan bisa
matang jika tidak ada angin panas yang bertiup. Jika ada yang
berkeya-kinan bahwa Nabi Isa lahir pada musim salju (dingin) maka itu
adalah salah.
Jangankan
sampai sedetil tanggal lahirnya, tahun kelahirannya saja antara Biebel
dan pencetus kalender Masehi yang dipakai saat ini ada perbedaan. Dalam
Matius sebutkan bahwa Isa dilahirkan pada masa raja Herodas dari Roma.
Sementara itu para pakar sejarah mereka mengatakan bahwa raja Herodas
mati pada tahun 4 sebelum Masehi, artinya 4 tahun sebelum kelahiran nabi
Isa. Jika Biebel memang benar maka seharusnya tahun Masehi (yang
sekarang 2001) seharusnya sudah 2005. dan jika yang benar adalah
pencipta kalender maka Bibel (kitab suci) mereka yang salah. Ada
kemung-kinan juga kedua-duanya salah, dan tidak mungkin keduanya benar.
Sistem Kerahiban dan Taklid Buta
Sungguh kacaunya sebuah agama disebabkan karena sumber asli (kitab suci)
dari agama tersebut telah diacak-acak dan diputar balikan oleh
orang-orang yang menamakan dirinya atau dinamai ahli ilmu dan ahli
ibadah. Dengan seenaknya orang-orang semacam ini membuat fatwa dan hukum
yang menyelisihi sumber otentik dari agama itu sendiri. Mereka dianggap
sebagai wakil Tuhan dan orang suci yang tidak punya salah atau ma’shum.
Sehingga ucapan mereka ibarat wahyu yang harus ditaati meskipun itu
mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.
Jika
demikian maka ini berarti telah menjadikan orang alim (baik itu ulama,
pendeta, rahib dan sebagainya) sebagai tuhan-tuhan selain Allah. Mungkin
mereka beralasan dengan mengatakan: “Kami kan tidak menyembah mereka!”
Alasan serupa juga pernah disampaikan oleh seorang Ahlu Kitab yang masuk
Islam, Adiy bin Hatim, tatkala ia mendengar Nabi Shallallaahu alaihi wa
salam membaca firman Allah, yang artinya: “Mereka menjadikan
orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai rabb-rabb selain
Allah, dan (juga mereka menjadikan Rabb) Al-Masih putera Maryam; padahal
mereka hanya disuruh menyembah Ilah Yang Maha Esa; tidak ada Ilah (yang
berhak disembah) selain Dia. Maha suci Allah dari apa yang mereka
persekutukan.” (QS. 9:31)
Mendengar pembelaan diri dari Adiy, Rasulullah Shallallaahu alaihi wa salam lalu bertanya: “Tidaklah
mereka itu mengharamkan apa yang telah dihalalkan Allah lalu kamu pun
mengharamkannya? Dan tidaklah mereka itu menghalalkan apa yang telah
diharamkan Allah lalu kamupun (ikut) menghalalkannya?”
Semua pertanyaan Nabi Shallallaahu alaihi wa salam dibenarkan oleh Adiy, maka beliaupun bersabda: “Itulah ibadah (penyembahan) kepada meraka.” (HR. Imam Ahmad dan At-Tirmidzi dengan mengatakan hasan)
Fenomena
seperti ini ternyata juga merebak di kalangan kaum muslimin dimana
masih banyak diantara mereka terjebak dalam kultus Individu, menganggap
wali ma’shum terhadap seseorang yang segala tingkah laku dan ucapannya
tidak boleh disalahkan, dengan alasan takut kuwalat (tertimpa bencana),
atau beranggapan mereka memiliki maqom (kedudukan) yang tidak bisa dimengerti dan dicapai orang awam.
Demikianlah
sistem kerahiban dalam agama Nashara telah menjadikan penganutnya dicap
Allah sebagai orang dhoollin (sesat). Sistem ini sebagaimana disebutkan
dalam firman Allah surat Al Hadid ayat 27 merupakan perkara yang
diada-adakan dan sama sekali tidak pernah diperintahkan oleh Allah.
Artinya: “Dan mereka mengada-adakan rahbaniyyah padahal kami tidak
mewajibkannya kepada mereka tetapi (mereka sendirilah yang
mengada-adakannya) untuk mencari keridhaan Allah, lalu mereka tidak
memeliharanya dengan pemeliharaan yang semestinya. Maka Kami berikan
kepada orang-orang yang beriman di antara mereka pahalanya dan banyak di
antara mereka orang-orang yang fasik.” (QS. 57:27)
Dengan kata lain mereka telah membuat bid’ah dalam
tata cara agama mereka, sehingga mereka menjadi sesat. Oleh karena itu
Rasulullah, jauh-jauh sudah mengingatkan, agar Islam terjaga
kemurniannya maka beliau bersabda, yang artinya: “Setiap hal yang baru (dalam urusan agama) adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat.” (HR. Imam Ahmad, Abu Dawud, At-Tirmidzi, Ibnu Majah).
Bagaimana Dengan Maulid Nabi SAW?
Maulid (peringatan
Hari kelahiran) Nabi Shallallaahu alaihi wa salam sudah menjadi tradisi
bagi sebagian besar kaum muslimin di Indonesia. Hari tersebut dianggap
sebagai hari besar (hari raya) yang harus diperingati secara rutin tiap
tahun. Peringatan secara rutin dan terus menerus dalam istilah Arab
disebut dengan Ied, sedang kalau kita mau
meneliti dalam kitab-kitab hadits bab tentang hari raya disana biasanya
tertulis Kitabul Idain (kitab tentang dua hari raya atau hari besar),
maksudnya Iedul Fithri dan Iedul Adha. Dari sini jelas sekali bahwa hari
Besar dalam Islam yang diperingati secara rutin tiap tahun hanya ada
dua hari saja. Sekiranya ada hari besar lain yang waktu itu dirayakan
oleh Rasulullah dan para sahabatnya, tentu kaum muslimin mulai zaman
shahabat, tabiin dan tabiut-tabiin sudah lebih dahulu melakukannya.
Sebagaimana mereka merayakan Idain secara mutawatir, tanpa ada khilaf,
dan sudah barang tentu juga dijelaskan adab-adabnya dan bagaimana
prakteknya.
Sedangakan
dalam tinjauan syar’i peringatan maulid Nabi sebagaimana di kemukakan
syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz Rahimahullaah dalam kitabnya At
Tahdzir minal Bida’, adalah merupakan hal baru dalam Islam, yang tidak
pernah di contohkan oleh Rasulullah, para shahabat dan tabi’in. Ada beberapa alasan mengapa beliau tidak memperbolehkan peringatan semacam ini
· Pertama: merupakan amalan baru yang tertolak, sebagaimana sabda Nabi Shallallaahu alaihi wa salam, yang artinya: “Barangsiapa mengada-adakan (sesuatu hal baru) adalam urusan (agama) kami, yang bukan merupakan ajarannya maka akan ditolak” (Muttafaq Alaih).
· Kedua: Menyelisihi Sunnah Nabi dan Khulafaur Rasyidin. Nabi Shallallaahu alaihi wa salam bersabda, artinya: “Kamu
semua harus berpegang teguh pada sunnahku (setelah Al-Qur’an) dan
sunnah khulafaur Rasyidin yang mendapat petunjuk Allah setelahku.” (HR. Abu Dawud dan At Tirmidzi).
· Ketiga: Mengambil ajaran bukan dari Nabi Shallallaahu alaihi wa salam, Firman Allah. artinya:“Apa
yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang
dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah; dan bertaqwalah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya.” (QS. 59:7)
· Keempat:
Tidak pernah dicontohkan dan diteladankan oleh Nabi Shallallaahu alaihi
wa salam padahal sebisa mungkin kita harus meneladani beliau, Firman
Allah, artinya: “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu
suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat)
Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (QS. 33:21)
· Kelima: Agama Islam telah sempurna tidak perlu penambahan ajaran baru lagi. Firman Allah, artinya: “Pada
hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Ku-cukupkan
kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agamamu.” (QS. 5:3)
· Keenam:
Bahwa Rasulullah telah menunjukan seluruh kebaikan kepada umatnya dan
telah memperingatkan dari kejahatan yang beliu ketahui, sebagaimana
diriwayatkan oleh Imam Muslim. Beliau tidak pernah memberi petunjuk
tentang peringatan maulid ini, bahkan sebaliknya memperingatkan dari
perkara-perkara baru dalam Islam.
· Ketujuh:
Membuat ajaran baru dalam Islam merupakan seburuk-buruk perkara,
sebagaiaman penggalan sabda beliau Shallallaahu alaihi wa salam dalam
sebuah khutbahnya, yang artinya: “ Dan seburuk-buruk perkara (dalam agama) ialah yang di ada-adakan (bid’ah), dan setiap bid’ah itu kesesatan.” (HR. Muslim)
· Kedelapan: Merupakan sikap tasyabuh (meniru-niru) ahli kitab dari kaum Yahudi dan Nashrani dalam hari-hari besar mereka.
Belum lagi jika dalam acara tersebut terdapat ghuluw
(sikap berlebihan) terhadap Nabi Shallallaahu alaihi wa salam misalnya
berkeyakinan kalau Nabi datang dalam acara tersebut dan bisa menjawab
do’a, ikhtilath yaitu bercampur baur pria dan wanita yang bukan muhrim, atau diselingi dengan pentas musik dan sebaginya.
Kalau
kita selidiki kedua kasus di atas baik itu natal maupun maulid Nabi
Shallallaahu alaihi wa salam, ternyata sumber kekeliruannya adalah sama
yaitu Niat baik yang salah cara penyalurannya.
Padahal Islam telah mengajarkan bahwa suatu amal dikatakan Shalih dan
akan diterima oleh Allah selain diniatkan dengan ikhlas juga harus
mengikuti cara dan petunjuk yang dibawa oleh Nabi Shallallaahu alaihi wa
salam. Karena kalau kita lihat dalam Al-Qur’an, orang kafir yang
dikatakan oleh Allah sebagai orang yang paling rugi amalnya ternyata
dikarenakan salah prediksi (perkiraan). Mereka sangka apa yang mereka
lakukan adalah kebaikan-kebaikan sebagaimana yang mereka niatkan,
padahal sebenarnya adalah kesesatan, firman Allah, artinya: “Katakanlah:
“Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling
merugi perbuatannya. Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya
dalam kehidupan dunia ini, sedang mereka menyangka bahwa mereka berbuat
sebaik-baiknya.” (QS. 18:103-104)
Janganlah
kita seperti mereka, cocokkan cara ibadah kita dengan cara ibadah Nabi
Shallallaahu alaihi wa salam dan para sahabatnya, dan sertailah dengan
niat ikhlas karena Allah.
Sumber: – Waspada Terhadap Bid’ah, Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz, Yayasan Al-Sofwa, cet. 2, 1997.- Kitab Tauhid, Syaikh At-Tamimi.
- Benarkah Al-Qur’an mengatakan Bibel Sudah Berubah?, HM. Thaha Suhami, Yayasan Kebangkitan Kaum Muslimin.
- Al-Qur’an dan Terjemahannya, cetakan Madinah Munawwarah.
Dikutip dari : Buletin Annur Dipublikasikan oleh : www.arriauny.blogspot.com
0 komentar:
Posting Komentar