Bukanlah
 sesuatu yang diragukan oleh setiap orang yang berakal bahwa   
berdirinya sebuah bangunan dengan kokoh tanpa pondasi merupakan perkara 
  yang mustahil. Demikian pula agama ini, betapa sulit menemukan -atau  
 bahkan tidak ada- sosok seorang muslim yang mengagungkan syi’ar-syi’ar 
  Islam dan menunaikan berbagai aturannya dengan konsisten kecuali 
mereka   adalah sosok orang-orang yang beraqidah yang lurus.
Yang
 kita bicarakan bukanlah sekedar  semangat tanpa ilmu ataupun  gerakan 
yang tidak dilandasi oleh  pertimbangan-pertimbangan yang matang.  Namun
 yang sedang kita  perbincangkan saat ini -di tengah situasi yang  penuh
 dengan terpaan  syubhat dan syahwat di atmosfer kehidupan kaum  
muslimin di berbagai  belahan dunia- adalah kemunculan para pemuda yang 
 membangun segala  aktifitasnya di atas pedoman-pedoman agama yang  
bersumber dari al-Kitab  dan as-Sunnah dengan mengikuti pemahaman  
salafush shalih.
Orang-orang  yang meyakini bahwa
 setiap ucapan yang  terlontar dari lisan mereka akan  dicatat. 
Orang-orang yang meyakini  bahwa setiap gerak-geriknya selalu  diawasi 
oleh Allah subhanahu wa  ta’ala, Raja Yang Menguasai  kerajaan 
langit dan bumi. Orang-orang yang  melandasi langkah-langkahnya  dengan 
niat ikhlas dan mengikuti ajaran  Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Bangkitnya Para Pemuda
Saudara-saudaraku
 sekalian, kebangkitan para pemuda yang menyimpan   kekuatan iman 
laksana benteng yang kokoh di dalam jiwa dan raganya   bukanlah sesuatu 
yang mustahil terjadi di masa seperti ini. Sebagaimana   pula 
orang-orang di masa silam telah menyaksikan sosok para pemuda  Kahfi  
yang dinyatakan oleh Allah tentang keadaan mereka yang patut   kita  
teladani bersama, Allah berfirman yang artinya,
نَحْنُ نَقُصُّ عَلَيْكَ نَبَأَهُمْ بِالْحَقِّ إِنَّهُمْ فِتْيَةٌ  آَمَنُوا بِرَبِّهِمْ وَزِدْنَاهُمْ هُدًى
“Kami mengisahkan cerita 
mereka kepada kamu dengan benar,   sesungguhnya mereka itu adalah para 
pemuda yang beriman kepada Rabb   mereka, dan Kami tambahkan kepada 
mereka petunjuk.” (QS. al-Kahfi [18] :  13).
Sebagaimana pula di hari kiamat 
nanti Allah akan memberikan   naungan-Nya kepada sosok pemuda yang 
tumbuh dalam aktifitas ibadah   kepada Rabbnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda  tentang hal ini, “Ada tujuh golongan manusia yang akan mendapatkan  naungan dari Allah di hari ketika tiada naungan kecuali naungan-Nya,..” di antaranya adalah, “Seorang pemuda yang tumbuh dalam beribadah kepada  Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Kebangkitan para pemuda dari 
berbagai belahan dunia untuk membela   agama ini dari penghinaan 
musuh-musuh-Nya adalah kabar gembira yang   menyejukkan hati. Namun yang
 kita sayangkan adalah sebuah kebangkitan   yang tidak menjadikan ilmu 
syar’i dan para ulama sebagai pemandu   perjuangan mereka. Mereka 
bergerak dan bertindak tanpa koordinasi, tanpa   perhitungan yang 
matang, membabi buta dan serampangan. Maka muncullah   berbagai aksi 
pengeboman di tempat-tempat umum, pembunuhan tanpa  alasan,  
gerakan-gerakan rahasia untuk menghasut rakyat dalam rangka   
menggulingkan pemerintahan, bahkan tidak jarang kita dengar caci maki   
dan celaan pun mereka arahkan kepada manusia-manusia pewaris para nabi  
 yaitu para ulama.
Rahasia Keberhasilan
Saudara-saudaraku
 sekalian, para pemuda yang merindukan kejayaan   Islam dan kaum 
muslimin di muka bumi ini, ketahuilah bahwa kejayaan yang   kita 
dambakan tidak akan terwujud tanpa keikhlasan, kucuran keringat,   
perasan pikiran, ketundukan kepada Allah, dan tetesan air mata taubat   
dan penyesalan. Janganlah anda kira bahwa para sahabat dahulu bisa   
menang menaklukkan berbagai negeri dalam jangka waktu yang tidak lama,  
 karena kekuatan materi yang mereka miliki. Janganlah anda kira sosok   
orang yang keras seperti Umar bin Khattab bisa masuk Islam dan menjadi  
 pembelanya hanya semata-mata karena upaya dirinya sendiri ataupun 
ajakan   Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun lebih dari itu
  semua,  kemenangan, petunjuk dan ketegaran yang mereka miliki adalah  
berkat  taufik dan anugerah dari Allah ta’ala yang diberikan-Nya kepada siapapun  yang dikehendaki-Nya. Allah ta’ala berfirman tentang Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa  sallam,
إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَنْ  يَشَاءُ
“Sesungguhnya Kamu tidaklah 
bisa memberikan petunjuk kepada orang   yang kamu senangi akan tetapi 
Allah yang memberikan petunjuk kepada   siapa saja yang Allah 
kehendaki.” (QS. al-Qashash [28] : 56).
Oleh sebab itu Ibnul Qayyim mengatakan di dalam sebuah kitabnya,  “Asas
  segala kebaikan adalah pengetahuan yang kamu miliki bahwa apa pun  
yang  Allah kehendaki pasti terjadi dan apa yang tidak Allah inginkan  
tidak  akan terjadi. Dengan demikian maka pastilah bahwasanya segala  
kebaikan  adalah berkat dari nikmat-Nya, sehingga kamu pun wajib  
mensyukurinya  dan merendahkan diri untuk memohon kepada-Nya agar Dia  
tidak memutus  kenikmatan itu darimu. Dan juga menjadi terang bahwasanya
  segala  keburukan itu timbul akibat tidak mendapatkan bantuan dari-Nya
  dan  tertimpa hukuman-Nya. Oleh sebab itu segeralah kamu memohon  
kepada-Nya  agar Dia menghalangimu supaya tidak terperosok ke sana. Dan 
 juga  mintalah kepada-Nya agar tidak membiarkan dirimu sendirian dalam 
  melakukan kebaikan dan meninggalkan kejelekan. Semua orang yang 
mengenal   Allah pun telah sepakat bahwa segala kebaikan maka sumbernya 
adalah   karena taufik dari Allah kepada hamba. Dan mereka pun sepakat 
bahwa   segala keburukan merupakan akibat hamba tidak mendapatkan 
pertolongan   dari-Nya…” (al-Fawa’id, hal. 94).
Mulailah Dari Hatimu…
Sesungguhnya
 perjuangan yang bisa mengantarkan generasi pendahulu   umat ini menuju 
kejayaan bukan akibat kekarnya tubuh mereka, lengkapnya   persenjataan 
mereka, atau harta mereka yang melimpah ruah di mana-mana.   Akan tetapi
 karena Allah ta’ala melihat hati-hati mereka dan  Allah  menemukan bahwa hati mereka adalah hati-hati yang bersih dari  syirik dan  ketergantungan hati kepada selain-Nya, itulah hati  sebaik-baik golongan  manusia yang pernah hidup di jagad raya ini.  Abdullah bin Mas’ud  radhiyallahu’anhu mengatakan,
إِنَّ
 اللَّهَ نَظَرَ فِي قُلُوبِ  الْعِبَادِ فَوَجَدَ قَلْبَ مُحَمَّدٍ  
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  خَيْرَ قُلُوبِ الْعِبَادِ  
فَاصْطَفَاهُ لِنَفْسِهِ فَابْتَعَثَهُ  بِرِسَالَتِهِ ثُمَّ نَظَرَ فِي  
قُلُوبِ الْعِبَادِ بَعْدَ قَلْبِ  مُحَمَّدٍ فَوَجَدَ قُلُوبَ أَصْحَابِهِ
  خَيْرَ قُلُوبِ الْعِبَادِ  فَجَعَلَهُمْ وُزَرَاءَ نَبِيِّهِ 
يُقَاتِلُونَ  عَلَى دِينِهِ
“Sesungguhnya Allah melihat 
hati para hamba. Dan Allah dapati  hati  Muhammad adalah sebaik-baik 
hati manusia maka Allah pun memilihnya  untuk  diri-Nya dan Allah 
bangkitkan dia sebagai pembawa risalah-Nya.  Kemudian  Allah melihat 
hati hamba-hamba yang lain setelah hati Muhammad   shallallahu ‘alaihi 
wa sallam, kemudian Allah dapati bahwa hati para   sahabatnya adalah 
sebaik-baik hati manusia. Maka Allah pun menjadikan   mereka sebagai 
pembantu nabi-Nya dan berperang bersama beliau untuk   membela 
agama-Nya…” (HR. Ahmad di dalam Musnadnya, dihasankan al-Albani  dalam Takhrij at-Thahawiyah)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sebaik-baik
   manusia adalah di masaku (para sahabat), kemudian orang-orang sesudah
   mereka (tabi’in), kemudian orang-orang sesudah mereka (tabi’ut   
tabi’in).” (HR. Bukhari dan Muslim). Padahal kita telah mengetahui  
 bersama bahwa baik dan buruk pada manusia dalam pandangan Allah  
bukanlah  karena harta, pangkat, ataupun keelokan parasnya. Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya
  Allah tidaklah  melihat kepada rupa ataupun harta yang kalian miliki. 
 Akan tetapi Allah  melihat hati dan amal kalian.” (HR. Muslim).
Apakah akan kita katakan  bahwa 
para sahabat itu hanya baik dari sisi  lahirnya sementara hati  mereka 
tidak ubahnya seperti hatinya Abdullah  bin Ubay bin Salul  (gembong 
munafikin)? Padahal Allah juga telah  menegaskan di dalam  kitab-Nya 
bahwa orang-orang yang senantiasa  mengagungkan  syi’ar-syi’ar-Nya -dan 
para sahabat adalah orang terdepan  dalam hal itu-  adalah orang-orang 
yang memendam ketakwaan di dalam  lubuk hatinya.  Allah ta’ala berfirman,
ذَلِكَ وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى  الْقُلُوبِ
“Demikianlah, barangsiapa 
yang mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah,  maka  sesungguhnya hal itu 
muncul dari ketakwaan yang ada di dalam  hati.” (QS. al-Hajj [22] : 32).
Ibnu Katsir rahimahullah 
menjelaskan di dalam tafsirnya  bahwa yang  dimaksud dengan 
syi’ar-syi’ar Allah adalah  perintah-perintah-Nya. Dan  salah satu 
bentuk mengagungkan syi’ar Allah  adalah dengan mengagungkan  hewan 
kurban. Hal itu sebagaimana tafsiran  yang diriwayatkan dari Ibnu  Abbas
 yang mengatakan, “Yang dimaksud mengagungkannya adalah dengan  memilih hewan kurban yang gemuk dan baik.” (Tafsir al-Qur’an al-’Azhim,  5/310).
Nah, bagaimana mungkin akan kita
 katakan bahwa para sahabat yang   tidak hanya memilihkan hewan kurban 
yang gemuk untuk berkurban, bahkan  mereka rela menyumbangkan apa saja 
yang mereka punyai demi dakwah Islam,   bahkan di antara mereka ada yang
 rela menyerahkan tubuhnya sendiri  untuk  menjadi sasaran anak panah 
demi melindungi Nabi shallallahu ‘alaihi wa  sallam  dari anak 
panah orang-orang kafir dalam suatu pertempuran; apakah  akan  kita 
katakan bahwa para sahabat adalah para penjahat yang  berperilaku  
laksana musang berbulu domba dan pengkhianat agama yang  kembali menjadi
  kafir sesudah wafatnya Nabi? Bukankah Nabi sendiri telah  bersabda  
dengan wahyu yang diwahyukan kepadanya, “Janganlah kalian  mencela  
para sahabatku! Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya.  Seandainya 
 ada salah seorang di antara kalian yang berinfak dengan emas  sebesar  
gunung Uhud, maka itu tidaklah bisa menyamai satu mud (satu  genggam dua
  telapak tangan) infak mereka, tidak juga setengahnya.” (HR.  Muslim).
Apakah yang membedakan tubuh 
kita dengan tubuh para sahabat? Mereka   punya kaki, tangan dan indera 
sebagaimana yang kita miliki. Mereka   mengeluarkan harta untuk berinfak
 dan kita pun mengeluarkannya. Mereka   mengerjakan shalat, dan kita pun
 mengerjakannya seperti mereka. Mereka   makan dan minum sebagaimana 
kita juga butuh makan dan minum. Namun,   ketahuilah saudaraku, ternyata
 apa yang tertancap di dalam dada kita  tidak sehebat dan sekokoh yang tertancap di dalam dada para sahabat.  Mereka memiliki keimanan laksana gunung.
Umar bin Khattab  radhiyallahu’anhu mengatakan, “Seandainya
  iman yang dimiliki Abu Bakar  ditimbang dengan iman segenap penduduk  
bumi (selain para nabi, pen),  niscaya timbangannya lebih berat daripada
  timbangan iman mereka.” (HR.  al-Baihaqi dalam Syu’ab al-Iman).
Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu mengatakan, “Barangsiapa
  di antara kalian yang ingin meniti sebuah jalan  maka ikutilah jalan  
yang ditempuh oleh para ulama yang sudah meninggal  itu yaitu para  
sahabat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka  adalah  
manusia-manusia terbaik dari umat ini. Hati mereka lebih baik,  dan ilmu
  mereka lebih dalam, serta paling sedikit membeban-bebani diri.  Suatu 
 kaum yang telah dipilih oleh Allah untuk menemani Nabi-Nya  shallallahu
  ‘alaihi wa sallam dan mentransfer agama-Nya, maka tirulah  akhlak dan 
 jalan hidup mereka. Sebab mereka berada di atas petunjuk yang  lurus.” (HR. al-Baghawi dalam Syarh as-Sunnah, dilemahkan al-Albani  dalam Takhrij al-Misykat namun maknanya benar).
Maka janganlah heran apabila kalian mendengar Anas bin Malik  radhiyallahu’anhu mengatakan, “Sesungguhnya
  kalian benar-benar melakukan  perbuatan-perbuatan yang dalam pandangan
  kalian sangat sepele dan  ringan -lebih ringan daripada rambut-, 
padahal  bagi kami yang hidup di  masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa 
sallam, kami  menganggapnya termasuk  perkara yang mencelakakan.” (HR. Bukhari).
Lihatlah para sahabat dengan  
segenap kemuliaan yang mereka sandang  -di antara mereka ada sepuluh  
orang yang dijamin masuk surga, dan  seribu empat ratus lebih orang yang
  dijamin masuk surga- ternyata hati  mereka sangatlah lembut dan mulia.
  Ibnu Abi Mulaikah menceritakan  sebagaimana diriwayatkan oleh Bukhari 
di  dalam Sahihnya, “Aku telah  bertemu dengan tiga puluh orang 
sahabat  Muhammad shallallahu ‘alaihi  wa sallam dan mereka semua merasa
 khawatir  di dalam dirinya terjangkit  kemunafikan.”
Bandingkanlah dengan kondisi  
sebagian kita pada hari ini; yang  dengan mudah mengerjakan hal-hal yang
  makruh, yang dengan ringan  meninggalkan sebagian kewajiban dengan  
alasan-alasan yang dibuat-buat,  yang dengan enteng meninggalkan perkara
  sunnah, yang dengan santai  menyia-nyiakan kesempatan untuk meraih  
perkara yang lebih utama.  Aduhai, betapa jauhnya derajat kita dengan  
mereka laksana jauhnya  langit dengan bumi!
Hati Para Sahabat Sebagai Teladan
Para
 sahabat adalah orang-orang yang sangat mudah menerima nasihat.   Hal 
itu dapat kita ketahui dalam hadits yang diriwayatkan oleh Irbadh   bin 
Sariyah. Dia menceritakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa  sallam
  menasihati kami dengan sebuah nasihat menyentuh yang membuat  
hati-hati  bergetar (takut) dan mata mencucurkan air mata…” (HR.  
Abu Dawud dan Tirmidzi).  Inilah hatinya orang-orang yang benar-benar  
beriman. Hati yang bergetar  ketika disebutkan tentang kebesaran Allah  
dan ayat-ayat-Nya. Allah  ta’ala berfirman yang artinya, “Sesungguhnya
  orang-orang yang beriman  adalah orang-orang yang apabila disebutkan  
nama Allah hati mereka  bergetar (takut), dan apabila dibacakan kepada  
mereka ayat-ayat-Nya maka  iman mereka bertambah. Dan mereka hanya  
bertawakal kepada Rabb mereka.” (QS. al-Anfal [8] : 2).
Para sahabat adalah orang-orang 
yang sangat bersemangat dalam meraih   kebaikan. Mereka berlomba-lomba 
dengan segala kemampuan yang ada untuk   bisa meraih ketinggian derajat 
di sisi-Nya. Karena mereka sadar bahwa   kemuliaan di sisi Allah adalah 
dinilai dengan ketakwaan, bukan dengan   uang, kecantikan, jabatan, 
banyaknya relasi ataupun polularitas. Allah  ta’ala berfirman yang artinya, “Sesungguhnya orang yang paling mulia di  antara kalian di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa di antara  kalian.” (QS. al-Hujurat [49] : 13).
Salah seorang di antara mereka  datang kepada Rasulullah dan mengatakan, “Wahai Rasulullah, tunjukkanlah  kepada saya suatu amalan yang membuat saya dicintai Allah dan disukai  oleh manusia…” (HR. Ibnu Majah). Di waktu yang lain ada juga yang  berkata kepada beliau, “Wahai Rasulullah katakanlah kepadaku suatu  ucapan dalam Islam ini yang tidak akan aku tanyakan kepada selainmu…” (HR. Muslim). Ada lagi yang berkata kepada beliau, “Wahai
  Rasulullah,  tunjukkanlah kepada saya suatu amalan yang bisa 
memasukkan  saya ke dalam  surga dan menjauhkan saya dari api neraka…”
 (HR.  Tirmidzi). Orang-orang  yang tidak berharta di antara mereka pun 
ingin  beramal sebagaimana  orang yang kaya di antara mereka. Mereka  
mengatakan, “Orang-orang kaya  pergi dengan membawa pahala-pahala  
mereka. Padahal mereka shalat  sebagaimana kami shalat. Mereka berpuasa 
 sebagaimana kami berpuasa,  namun mereka bisa bersedekah dengan  
kelebihan harta mereka (sedangkan  kami tidak, pen)..” (HR. Muslim). Lihatlah betapa tinggi cita-cita  mereka!
Para sahabat adalah orang-orang yang menunjung tinggi sabda-sabda dan  petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ibnu Abbas mengatakan,  “Hampir-hampir
  saja turun hujan batu dari langit kepada kalian; aku  katakan bahwa  
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda  demikian, namun  
kalian justru mengatakan bahwa Abu Bakar dan Umar  berkata lain!”  
(HR. Abdur Razzaq). Bandingkanlah dengan keadaan sebagian  orang pada  
masa belakangan ini yang menolak hadits-hadits Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam
  dengan dalih bertentangan dengan akal,  bahkan ada lagi yang berani  
menuduh -hadits yang disepakati para ulama  tentang keabsahannya-  
sebagai hadits yang bertentangan dengan ayat  al-Qur’an; sehingga mereka
  mengatakan bahwa anjing tidak haram dimakan.
Ada pula orang-orang yang  tidak
 paham ilmu hadits menolak hadits-hadits  ahad dalam masalah  aqidah 
dengan alasan hadits ahad tidak menghasilkan  ilmu yakin. Wahai  kaum 
muslimin, kekhilafahan, daulah, dan ketenteraman  seperti apakah  yang 
kalian dambakan jika para pejuangnya masih belepotan  dengan  kerancuan 
pemikiran dan penyimpangan manhaj semacam ini?!
Para sahabat adalah orang-orang 
yang mengimani nama-nama dan   sifat-sifat Allah sebagaimana adanya, 
tanpa menolak, tanpa   menyelewengkan dan tanpa menyerupakan. Oleh sebab
 itu ketika ditanya   tentang makna istiwa’ (tinggi di atas Arsy) Imam Malik mengatakan, “Istiwa’ sudah dimengerti  maknanya. Namun tata caranya tidak diketahui, dan menanyakan tentang  caranya adalah bid’ah.” (HR. al-Baghawi dalam Syarh as-Sunnah).
Ini semua menunjukkan kepada kita -wahai umat Islam yang hidup di  sepanjang jaman- bahwa kemenangan
  dan keberhasilan yang digapai oleh  para sahabat bukan semata-mata  
karena tajamnya pedang mereka, keberanian  mereka yang sangat luar  
biasa, ataupun persatuan mereka yang kokoh dan  erat. Namun  lebih 
daripada itu semua, keberhasilan yang mereka raih  terlahir dari  
pengagungan hati mereka kepada Sang Penguasa alam semesta  Allah subhanahu wa ta’ala.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ingatlah
  bahwa di dalam tubuh terdapat segumpal daging. Kalau  ia baik, maka  
baiklah seluruh anggota badan. Dan kalau ia rusak, maka  rusaklah  
seluruh anggota badan. Ketahuilah ia adalah jantung.” (HR.  Bukhari dan Muslim). Demikianlah pentingnya hati bagi amalan, ibarat  jantung bagi anggota badan.
Lihatlah Diri Kita, Jangan Bermimpi…
Sekarang,
 kita akan bertanya kepada diri kita masing-masing : Di   tengah 
derasnya gelombang dekadensi moral dan kerusakan akhlak,   perancuan 
akidah dan penyesatan pikiran yang melanda umat Islam di   negeri ini, 
apakah ada sosok para pemuda yang giat mempelajari aqidah   Islam dan 
membelanya dari serangan musuh-musuh-Nya. Dia tekuni buku-buku   aqidah 
yang ditulis para ulama; Tsalatsatul Ushul, Qawa’idul Arba’,  Kasyfu Syubuhat, Kitabut Tauhid, Fathul Majid
  dan lain sebagainya untuk  memperbaiki dirinya dan kemudian dia 
gunakan  untuk menyadarkan hati-hati  kaum muslimin dari tidur panjang 
mereka,  membangkitkan kesadaran mereka  untuk kembali kepada kemuliaan 
Islam  yaitu dengan berpegang teguh  dengan al-Qur’an dan as-Sunnah 
dengan  pemahaman para sahabat.
Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya
  Allah akan  mengangkat derajat sebagian kelompok dengan sebab Kitab 
ini  (al-Qur’an)  dan Allah juga akan merendahkan sebagian yang lainnya 
 karenanya.” (HR.  Muslim).
Apakah sekarang -di negeri ini- 
kita bisa memimpikan berdirinya   sebuah Negara Islam yang berhukum 
dengan al-Qur’an dan as-Sunnah dalam   segala sisi kehidupan, sementara 
dalam urusan pakaian saja banyak sekali   di antara kaum muslimin yang 
belum mengerti pakaian yang sesuai dengan   syari’at -terlebih khusus 
kaum muslimah-? Apakah kita sekarang bisa   mengangankan tegaknya daulah
 Islam apabila ternyata di tengah-tengah   kita pornografi, kesyirikan, 
kebid’ahan, perbuatan keji dan kemaksiatan   dikerjakan dengan 
terang-terangan di mana-mana? Apakah sekarang kita   bisa merindukan 
berdirinya sebuah kekhilafahan sebagaimana kekhilafahan   Umar bin Abdul
 Aziz yang sangat keras dalam menegakkan keadilan,  padahal  di antara 
kita kezaliman yang paling besar yaitu syirik  dibiarkan  bahkan 
dipromosikan melalui berbagai media dan sarana?
Apakah kita  sekarang bisa 
mencita-citakan terjadinya perdamaian dan  kehidupan yang  tenteram, 
sementara orang-orang yang merusak aqidah umat  Islam dan  
mengobrak-abrik pondasi-pondasi agama berkeliaran dan  mengumbar  
racun-racun pemikiran sehingga memisahkan tubuh kaum muslimin  dari ruh 
 mereka? Lihatlah apa yang telah mereka perbuat : Mereka bela  
mati-matian  aliran-aliran sesat demi mengatasnamakan toleransi palsu  
dan kebebasan  ala Iblis yang berani menolak perintah Tuhannya.  
Seolah-olah mereka  mengatakan kepada kita : Silakan kalian bersyahadat namun yakinilah  Islam sebagaimana keyakinan Abdullah bin Ubay bin Salul (gembong  munafikin)!
Sadarlah, Wahai Saudaraku!
Melihat
 fenomena penyimpangan aqidah yang begitu marak akhir-akhir   ini apakah
 para penggerak dakwah di berbagai penjuru negeri ini tidak   tersadar 
bahwasanya memang sumber kerusakan bangsa ini adalah kerusakan   aqidah 
dan akhlak mereka kepada Rabbnya. Sehingga sudah selayaknya   mereka 
bersatu padu dan bahu membahu membersihkan bumi pertiwi ini dari   
sampah-sampah kesyirikan, pemikiran liberal dan aliran-aliran sesat  
lagi  menyimpang.
Adakah seorang muslim yang 
mengatakan bahwa orang yang   mempersekutukan Allah dalam beribadah 
sebagai orang yang berakhlak? Di   manakah letak kemuliaan akhlak pada 
diri orang yang berpendapat bahwa   kita tidak wajib mengikuti syari’at 
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa  sallam?  Di manakah letak 
sikap rendah hati pada diri orang yang  mengatakan  bahwa keyakinan 
bahwa Islam sudah sempurna merupakan salah  satu bentuk  kemalasan 
berpikir?
Sungguh, yang kita takutkan 
sekarang ini bukanlah tank-tank dan rudal  Yahudi.. Namun yang kita 
takutkan adalah para generasi muda Islam yang  menikmati gaya hidup dan 
perilaku ala Yahudi serta tokoh-tokoh penyesat  umat yang berwajah 
Kiyai. Musuh-musuh dalam selimut yang meruntuhkan  kekuatan umat ini 
dari dalam, inilah yang menjadi ganjalan bagi kejayaan  umat ini. Ambillah pelajaran, wahai orang-orang yang masih memiliki akal pikiran…
___________________________________________








0 komentar:
Posting Komentar