Abdullah bin Mas’ud berkata,
يا أيها الناس من علم شيئا فليقل به ومن لم يعلم فليقل الله أعلم فإن من العلم أن يقول لما لا يعلم الله أعلم
"Wahai manusia barangsiapa yang berilmu tentang sesuatu maka hendaklah
ia berkata dengan ilmunya tersebut dan barangsiapa yang tidak berilmu
(tidak mengetahui) maka hendaklah ia berkata “Allahu A’lam” (Allahlah
yang labih mengetahui) karena sesungguhnya merupakan ilmu seseorang
berkata “Allahu A’lam” tentang perkara yang ia tidak mengetahui
ilmunya"[1]
Beliau juga berkata,
إن الذي يفتي الناس في كل ما يستفتونه فيه مجنون
((Sesungguhnya orang yang berfatwa kepada manusia pada setiap perkara yang mereka tanyakan maka ia adalah orang gila))[2]
Kenyataan Pahit dan Menyedihkan
Suatu hal yang sangat patut untuk disedihkan yang merajalela saat ini
adalah banyak sekali para pemuda di negeri-negeri Islam yang semangat
dalam berdakwah dan menjadi para aktivis dakwah, begitu besar ghiroh
mereka terhadap agama mereka, namun mereka sangat jauh dari ilmu syar’i,
mereka tidak memiliki semangat untuk menuntut ilmu. Mereka sangat jauh
dari para ulama. Yang lebih menyedihkan lagi adalah sikap mereka yang
sangat berani dalam berfatwa tanpa ilmu (berbicara tentang agama Allah
tanpa landasan ilmu).
Kita dapati ada diantara mereka yang telah
terjun di medan dakwah lebih dari sepuluh tahun namun jika ditanya
tentang beberapa permasalahan yang berkaitan dengan sholat atau puasa
atau ibadah-ibadah yang lainnya maka mereka tidak menguasai jawabannya
dan merekapun membabi buta dalam memberikan jawaban. Bahkan yang lebih
menyedihkan lagi mereka berfatwa pada perkara-perkara yang berkaitan
dengan kepentingan banyak orang, yang berkaitan dengan keselamatan kaum
muslimin secara umum…. sungguh menyedihkan dan aneh, mereka tidak
mengerti hukum-hukum yang berkaitan dengan kepentingan individu-individu
mereka sendiri, lantas bagaimana mereka berani berfatwa tentang
perkara-perkara yang berkaitan dengan orang lain, bahkan berkaitan
dengan kepentingan orang banyak…???, bahkan yang berkaitan dengan darah
kaum muslimin??. Apakah agama ini bisa dipimpin oleh orang-orang yang
tidak paham dengan ilmu syar’i…?? bagaimanakah nasib agama ini jika
demikian…??.
Dan sungguh mengherankan, jika seluruh manusia di atas
muka bumi ini baik yang sholeh maupun yang fajir bersepakat bahwasanya
tidaklah mungkin seseorang bisa membangun bangunan kecuali jika ia
memiliki keahlian tentang bangunan, namun anehnya kenapa mereka
meremehkan perkara yang sangat urgen yaitu dakwah, yang jauh lebih urgen
dari segala urusan dunia??, kenapa mereka yang tidak menguasai ilmu
syar’i nekat memimpin gerakan-gerakan dakwah???, apakah mungkin dakwah
bisa dibangun oleh orang-orang yang tidak menguasai ilmu syar’i??
Kita dapati juga sebagian orang berani masuk dalam area orang lain.
Banyak orang yang memiliki gelar doktor dalam bidang keduniaan nekat
untuk masuk dalam area para ulama. Merekapun ikut nimbrung dalam
permasalahan-permasalahan agama, mereka berani berfatwa tentang
permasalahan-permasalahan agama, bahkan mereka berani untuk memprotes
ulama??. Apakah mereka tidak mentertawakan diri mereka sendiri…?, benar
memang mereka ahli dalam bidang kimia, fisika, kedokteran, tekhnologi,
dan lain-lain namun pada hakekatnya mereka jahil dalam masalah agama.
Mereka tidak menguasai Al-Qur’an dengan baik, tidak menguasai
cabang-cabang ilmu yang berkaitan dengan hadits dan ilmu-ilmu agama yang
lain. Bahkan diantara mereka ada yang belum bisa membaca Al-Qur’an
dengan baik apalagi mengerti bahasa Arab, namun nekat untuk nimbrung
dalam berfatwa.
Renungkanlah…kalau ada seorang ulama yang
benar-benar ‘alim dalam agama namun tidak menguasai ilmu kedokteran
lantas nekat untuk nimbrung di ruang operasi untuk melaksanakan operasi,
apakah kita membenarkannya??. Orang-orang pasti mengatakan bahwa ulama
ini sudah tidak waras, apalagi jika sang ulama tersebut ingin menjadi
pemimpin dalam jalannya operasi tersebut. Meskipun ulama ini berniat
baik untuk menolong sang pasien namun jelas pasti yang terjadi malah
akan mengakibatkan hal yang fatal bagi sang pasien, dan bisa jadi
membinasakan sang pasien.
Demikian juga kita katakan sebaliknya,
jika ada seorang dokter yang tidak menguasai ilmu agama ikut nimbrung
dalam area para ulama yang sedang mengobati umat yang kritis agama
mereka, krisis aqidah mereka, akhlak mereka, dan seterusnya, maka kita
katakan dokter ini adalah seorang dokter yang tidak waras. Apalagi
dokter ini ingin memegang kepemimipinan dalam berdakwah…???. Apakah yang
akan terjadi dengan umat ini??, kebinasaan dan kehancuran yang akan
dirasakannya??.
Inilah yang terjadi saat ini, betapa banyak aktivis
dakwah yang menjadi ujung tombak gerakan-gerakan dakwah namun sangat
minim pengetahuan agama mereka….
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إذا وسد الأمر إلى غير أهله فانتظر الساعة
((Jika diserahkan urusan kepada yang bukan ahlinya maka tunggulah tibanya hari kiamat))[3]
فسئلوا فأفتوا بغير علم فضلوا وأضلوا
((…Merekapun ditanya lalu mereka berfatwa tanpa ilmu maka merekapun sesat dan menyesatkan))[4]
Yang lebih menyedihkan lagi banyak diantara para pemuda tersebut yang
tidak menyadari bahwa diri mereka adalah orang-orang yang jahil tentang
ilmu agama. Bahkan yang lebih parah lagi mereka merasa bahwa diri mereka
adalah orang-orang yang alim sehingga terkumpulah pada mereka dua
kebodohan (bodoh kuadrat). Pertama mereka adalah bodoh, dan yang kedua
adalah mereka bodoh (tidak tahu) bahwa mereka adalah bodoh.
Berkata Al-Kholil bin Ahmad,
الرجال أربعة رجل يدري ولا يدري أنه يدري فذاك غافل فنبهوه ورجل لا يدري
ويدري أنه لا يدري فذاك جاهل فعلموه ورجل يدري ويدري أنه يدري فذاك عاقل
فاتبعوه ورجل لا يدري ولا يدري أنه لا يدري فذاك مائق فاحذروه
“Orang-orang itu ada empat macam, (1) seorang yang mengetahui dan tidak
mengetahui bahwasanya ia mengetahui, itulah orang yang lalai maka
ingatkanlah ia. (2) Dan seorang yang tidak tahu dan ia mengetahui
bahwasanya ia tidak tahu, itulah orang yang jahil (bodoh) maka ajarilah
ia. (3) Dan seorang yang mengetahui dan ia tahu bahwasanya ia
mengetahui, itulah orang yang pandai maka ikutilah. (4) Dan seorang yang
tidak tahu dan tidak tahu bahwsanya ia tidak tahu, itulah orang tolol
maka jauhilah ia”[5]
Ia Juga berkata, “Manusia ada tiga macam, dua
macam diajari dan yang satu tidak diajari. Orang yang alim dan
mengetahui bahwa ia adalah alim, orang ini diajari. Dan seorang yang
alim namun ia tidak mengetahui bahwa ia tahu maka kedua orang ini juga
diajari. Dan orang yang tidak mengetahui dan ia memandang bahwa ia
mengetahui maka ini tidak diajari”[6]
Berkata seorang penyair
ومن نال العلومَ بغير شيوخٍ
يضلُّ عن الصراط المستقيمِ
وتلتبس الأمورُ عليه حتى
يكونَ أضلَّ من تَوْمَى الحكيمِ
تصدَّقَ بِالْبناتِ على رجالٍ
يريد بذلك جناتِ النَّعِيمِ
Barangsiapa yang meraih ilmu tanpa melalui guru maka ia akan tersesat dari jalan yang lurus
Dan perkara-perkara menjadi rancu baginya hingga lebih sesat daripada Hakim Tauma
Hakim Tauma telah (berfatwa untuk) menyedekahkan para wanita kepada
para lelaki karena ia berharap masuk surga yang penuh kenikmatan.
Tentunya fatwa Hakim Tauma ini menyelisih syari’at karena syari’at kita
mewajibkan mahar dalam pernikahan. Ia berniat baik tatkala berfatwa
yaitu bersedekah bagi para lelaki yang mungkin kesulitan mencari mahar
untuk menikah, namun niat baik saja tidak cukup apalagi jika melanggar
syari’at.
Karena terlalu bodohnya Hakim Tauma hingga dikatakan bahwa himar (keledai) tunggangannya berkata
قال حمار الحكيم تومى لو أنصف الدَهْرُ كنتُ أركبُ
لأَنَّنِي جَاهل بَسِيْطٌ وصاحبي جاهلٌ مركَّبُ
Berkata himar (tunggangannya) si Hakim Tauma
“Kalau memang zaman itu adil mestinya akulah yang menunggangi
Karena aku bodoh murni dan tuanku bodoh kuadrat”[7]
Bahaya berfatwa tanpa ilmu
Allah berfirman,
وَلاَ تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ
وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولـئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْؤُولاً (الإسراء : 36 )
Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan
tentangnya. sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu
akan diminta pertanggunganjawabnya. (QS. 17:36)
قُلْ إِنَّمَا
حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَالإِثْمَ
وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَن تُشْرِكُواْ بِاللّهِ مَا لَمْ
يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَاناً وَأَن تَقُولُواْ عَلَى اللّهِ مَا لاَ
تَعْلَمُونَ (الأعراف : 33 )
Katakanlah:"Rabbku hanya mengharamkan
perbuatan yang keji, baik yang nampak maupun yang tersembunyi, dan
perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar,
(mengharamkan) kalian mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah
tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) kalian berbicara
tentang Allah apa saja yang tidak kamu ketahui"". (QS. 7:33)
Syaikh
Utsaimin berkata, “Sesungguhnya pembicaraan tentang
permasalahan-permasalahan agama (tanpa ilmi) adalah sangat berbahaya
karena hal ini merupakan pembicaraan tentang Allah tanpa ilmu”[8]
Berkata Al-Munawi, ((…Karena sesungguhnya seseorang yang berfatwa pada
hakekatnya adalah wakil Allah dalam menjelaskan hukum-hukum Allah, maka
jika ia berfatwa di atas kebodohan atau tanpa ilmu atau menggampangkan
dalam berfatwa atau dalam mengambil hukum maka ia telah menyebabkan
dirinya untuk masuk ke dalam neraka karena keberaniannya yang ngawur
tentang hukum-hukum Allah. Allah berfirman
قُلْ أَرَأَيْتُم مَّا
أَنزَلَ اللّهُ لَكُم مِّن رِّزْقٍ فَجَعَلْتُم مِّنْهُ حَرَاماً
وَحَلاَلاً قُلْ آللّهُ أَذِنَ لَكُمْ أَمْ عَلَى اللّهِ تَفْتَرُونَ (يونس
: 59 )
Katakanlah:"Terangkanlah kepadaku tentang rezeki yang
diturunkan Allah kepadamu, lalu kamu jadikan sebagiannya haram dan
(sebagiannya) halal". Katakanlah:"Apakah Allah telah memberikan izin
kepadamu (tentang ini) atau kamu mengada-adakan saja terhadap Allah?"
(QS. 10:59)
Az-Zamakhsyari berkata, “Cukuplah ayat ini sebagai
peringatan yang sangat keras terhadap sikap nekat dalam hukum
perkara-perkara yang ditanyakan dan merupakan pendorong untuk wajib
berhati-hati dalam hal ini dan agar tidak seorangpun berkata tentang
hukum sesuatu bahwasanya hukumnya adalah boleh atau tidak boleh kecuali
setelah mantap (mengusai dengan baik hukumnya) dan dalam keadaan yakin.
Barangsiapa yang tidak dalam keadaan yakin –tatkala berfatwa- maka
hendaknya ia takut kepada Allah dan hendaknya ia diam karena jika tidak
maka ia telah berdusta atas nama Allah”)) [9]
Seseorang bertanya
kepada ‘Amr bin Dinar suatu perkara dan ‘Amr bin Dinar tidak memberikan
jawaban kepadanya maka orang itu berkata, “Sesungguhnya ada sesuatu pada
diriku tentang perkara ini maka jawablah!”, maka ‘Amr berkata, لأن يكون
في نفسك مثل أبي قبيس أحب إلي من أن يكون في نفسي منها مثل الشعرة “Jika
dalam dirimu terdapat sesuatu seberat gunung Abu Qubais lebih aku sukai
daripada ada pada diriku (keraguan) tentang perkara ini seberat sehelai
rambut”[10]
Oleh karena itu fatwa merupakan hak para ulama (yaitu
hak orang-orang yang benar-benar berilmu), karena merekalah pewaris para
nabi. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallamr bersabda
وإن العلماء ورثة الأنبياء وإن الأنبياء لم يورثوا دينارا ولا درهما إنما ورثوا العلم فمن أخذه أخذ بحظ وافر
((Dan para ulama adalah pewaris para nabi, dan para nabi tidaklah
mewariskan dinar dan dirham namun mereka mewariskan ilmu, maka
barangsiapa yang mengambil ilmu maka ia telah mendapatkan bagian yang
banyak))[11]
Ibnus Sholah mengomentari hadits ini, “Maka Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam menetapkan keistimewaan bagi para ulama
yang dengan keistimewaan tersebut mereka mengungguli seluruh manusia,
dan pekerjaan mereka yaitu berfatwa menjelaskan bahwa mereka memang
berhak untuk mendapatkan keistimewaan tersebut di hadapan orang-orang
yang meminta fatwa. Oleh karena itu dikatakan bahwa fatwa adalah tanda
tangan dari Allah….berkata Muhamaad bin Al-Munkadir, إن العالم بين الله
وبين خلقه فلينظر كيف يدخل بينهم “Sesungguhnya seorang alim berposisi
antara Allah dan makhluknya maka hendaknya ia melihat bagaimana ia masuk
di antara mereka”[12]
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda,
من أفتي بغير علم كان إثمه على من أفتاه
((Barangsiapa yang berfatwa tanpa ilmu maka dosanya bagi orang yang memberi fatwa))[13]
Ibnu Umar berkata, يريدون أن يجعلونا جسرا يمرون علينا على جهنم “Mereka
(orang-orang yang meminta fatwa) ingin menjadikan kami jembatan untuk
mereka lalui di atas api neraka” [14]
Bagaimana jika fatwa seseorang
yang berbicara tanpa ilmu tersebut diamalkan oleh ratusan orang atau
bahkan ribuan orang, tentunya seluruh dosa-dosa mereka akan dipikul oleh
orang tersebut.
Maka barangsiapa yang ditanya tentang fatwa maka
hendaknya ia diam dan ia mengalihkannya kepada orang yang lebih alim
darinya atau ia serahkan fatwa tersebut kepada orang yang lebih alim
tersebut dan ini adalah sikap para salaf
Berkata Al-Qosim bin
Muhammad, قال والله لأن يعيش الرجل جاهلا بعد أن يعلم حق الله عليه خير له
من أن يقول مالا يعلم “Demi Allah seseorang hidup dalam keadaan bodoh
setelah mengetahui hak Allah atas dirinya maka lebih baik daripada ia
berkata tanpa ilmu”[15]
Sikap para salaf yang takut untuk berfatwa karena takut salah dalam berfatwa
Berkata Ibnu Abi Laila,
لقد أدركت عشرين ومائة من أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم من
الأنصار إن كان أحدهم ليسأل عن المسألة فيردها إلى غيره فيرد هذا إلى هذا
وهذا إلى هذا حتى ترجع إلى الأول وإن كان أحدهم ليقول في شيء وانه ليرتعد
“Sungguh aku telah bertemu dengan 120 sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam dari kaum Anshor, sungguh ada salah seorang dari mereka
ditanya tentang satu permasalahan maka iapun melemparkannya kepada yang
lainnya, maka yang ini melemparkan kepada yang itu, dan yang itu
menyerahkannya kepada yang ini hingga kembalilah permasalahan tersebut
kepada orang yang pertama tadi, dan sungguh salah seorang dari mereka
berkata tentang sesuatu dan ia dalam keadaan gemetar”[16]
Beliau juga berkata,
أدركت عشرين ومائة من الأنصار من أصحاب محمد صلى الله عليه وسلم ما منهم
من أحد يحدث إلا ود أن أخاه كفاه إياه ولا يستفتى عن شيء إلا ود أن أخاه
كفاه الفتوى
“Aku bertemu dengan 120 sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam dan tidak seorangpun dari mereka yang berbicara kecuali ia
berharap saudaranya telah mencukupkan perkataannya (sehingga ia tidak
perlu lagi berbicara)[17], dan tidak seorangpun dari mereka yang
berfatwa tentang suatu perkara kecuali ia berharap agar saudaranya telah
mencukupi fatwanya (sehingga ia tidak perlu lagi berfatawa)”[18]
Lihatlah bagaimana keadaan sekarang yang telah berbalik, sesuatu yang
para salaf lari darinya (yaitu berfatwa) namun sekarang malah diminati
dan sebaliknya sesuatu yang dituntut (untuk berfatwa dengan hati-hati
dan di atas ilmu) namun sekarang malah dijauhi[19]
Abdurrahman bin
Mahdi berkata, “Seorang pria menemui Malik bin Anas berhari-hari lamanya
untuk bertanya tentang suatu perkara, namun Malik tidak memberi
jawaban, maka iapun berkata, “Wahai Abu Abdillah sesungguhnya aku ingin
keluar (kota) dan aku telah lama berulang-ulang bolak-balik menemuimu!”.
Maka Malikpun menundukan kepalanya lama kemudian ia mengangkat
kepalanya dan berkata, “Masya Allah wahai fulan, sesungguhnya aku
tidaklah berkata kecuali yang menurutku baik dan aku tidak bisa
menguasai jawaban pertanyaanmu ini”[20]
Dari Al-Haitsam bin Jamil ia
berkata, “Aku menyaksikan Imam Malik bin Anas ditanya 48 pertanyaan dan
ia berkata pada 32 pertanyaan tersebut “Aku tidak tahu””
Dan
diriwayatkan juga darinya bahwa ia ditanya suatu pertanyaan lalu ia
berkata, “Aku tidak tahu” maka dikatakan kepadanya “Ini adalah
pertanyaan yang ringan dan mudah!”, maka iapun marah dan berkata, “Tidak
ada dalam ilmu sesuatupun yang ringan, tidakah engkau mendengar firman
Allah.
إِنَّا سَنُلْقِي عَلَيْكَ قَوْلاً ثَقِيلاً (المزّمِّل : 5 )
Sesungguhnya Kami akan menurunkan kepadamu perkataan yang berat. (QS. 73:5)
Maka ilmu itu seluruhnya berat terutama sesuatu yang akan ditanya pada
hari kiamat (yaitu orang yang berfatwa akan dimintai
pertanggungjawabannya pada hari kiamat-pen)”
Imam Malik juga
berkata, “Jika para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam merasa
berat untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan dan tidaklah salah seorang
dari mereka menjawab hingga ia melihat pendapat sahabatnya yang lain,
padahal mereka telah dianugrahi taufiq dan kelurusan dari Allah dan
sucinya hati-hati mereka maka lantas bagaimanakah dengan kita yang
kesalahan-kesalahan serta dosa-dosa kita telah menutup hati-hati kita”
[21]
Berkata Ibnu Kholdah kepada Robi’ah,
يا ربيعة إياك أن تفتي الناس فإذا جاءك الرجل يسألك فلا تكن همتك أن تخرجه مما وقع فيه ولتكن همتك أن تتخلص مما سألك عنه
“Wahai Robi’ah waspadalah engkau dari memberi fatwa kepada manusia,
maka jika datang kepadamu seseorang yang bertanya kepadamu maka
janganlah tujuanmu adalah untuk menyelematkan dia (sipenanya) dari apa
yang sedang ia alami, namun jadikanlah tujuanmu adalah agar engkau bisa
selamat dari pertanyaannya”[22]
Ada orang yang bertanya kepada Imam
Malik dan Imam Malik tidak menjawabnya maka ia berkata, “Wahai Abu
Abdillah jawablah pertanyaanku!”, Imam Malik berkata, “Celaka engkau
apakah engkau hendak menjadikan aku hujjah antara aku dan Allah?, maka
aku yang lebih dahulu butuh untuk aku melihat bagaimana keselamatanku
kemudian aku menyelamatkan engkau”[23]
Oleh karena itu tidaklah
Ibnul Musayyib berfatwa kecuali ia berkata, اللهم سلمني وسلمه مني “Ya
Allah selamatkanlah aku dan selamatkanlah ia dariku”[24]
Berkata
Imam Malik, “Terkadang aku menerima satu pertanyaan yang menjadikan aku
tidak bisa makan dan minum serta tidak bisa tidur”
Beliau juga
berkata, “Sungguh aku pernah memikirkan satu permasalahan sejak belasan
tahun namun aku belum bisa memiliki pendapat yang pas hingga sekarang”.
Beliau juga berkata, “Terkadang aku menemukan permasalahan maka akupun memikirkannya beberapa malam”[25]
Dan dari Imam Malik juga bahwasanya terkadang beliau ditanya 50
pertanyaan maka ia tidak menjawab kecuali satu pertanyaan saja dan ia
berkata,
من أجاب في مسألة فينبغي من قبل أن يجيب فيها أن يعرض نفسه على الجنة والنار وكيف يكون خلاصة في الآخرة ثم يجيب فيها
“Barangsiapa yang menjawab suatu pertanyaan maka hendaknya sebelum ia
menjawab maka ia meletakan dirinya diantara surga dan neraka dan
bagaimanakah jalan keluar di akhirat kemudian ia menjawab pertanyaan
tersebut”
Berkata sebagian orang, “Demi Allah Imam Malik jika
ditanya suatu pertanyaan maka demi Allah ia sedang berdiri antara surga
dan neraka”
Imam Malik jika sedang duduk maka ia menggerakan kedua
bibirnya untuk berdzikir kepada Allah dan ia tidak menengok ke kanan dan
ke kiri, dan jika ia ditanya tentang sautu permasalahan maka berubahlah
warna kulit wajahnya, dan ia berkulit merah maka berubahlah jadi kuning
(pucat) dan ia menundukan kepalanya dan menggerakan kedua bibirnya
kemudian berkata ما شاء الله لا حول ولا قوة إلا بالله[26]
Beliau berkata, “Tidak ada sesuatupun yang lebih berat bagiku daripada aku ditanya tentang permasalahan halal dan haram”
Berkata Asy-Syatibhi mengomentari perkataan Malik, “Karena hal ini
adalah memutuskan hukum Allah. Sungguh aku telah bertemu dengan para
ulama dan ahli fiqih di negeri-negeri kami, dan sungguh salah seorang
dari mereka jika ditanya tentang satu permasalahan maka seakan-akan
kematian dihadapan mereka, dan aku melihat penduduk negeri zaman kita
ini mereka begitu suka berbicara tentang halal dan haram dan suka
berfatwa. Jika seandainya mereka berhenti memikirkan akhir yang mereka
tuju kelak maka mereka akan mempersedikit hal ini.
Sesungguhnya Umar
bin Al-Khotthob, Ali, dan seluruh para sahabat yang mulia jika mereka
berhadapan dengan permasalahan-permasalahan –padahal mereka adalah
generasi yang terbaik yang diutus kepada mereka Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam- maka merekapun mengumpulan para sahabat Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam dan merekapun bertanya kepada mereka, kemudian setelah
itu mereka berfatwa. Adapun penduduk zaman kita sekarang ini jadilah
kebanggaan mereka adalah berfatwa”[27]
Ada seseorang yang bertanya
kepada Imam Malik tentang suatu permasalahan dan sang penanya tersebut
menyebutkan bahwa ia diutus dari perjalanan sejauh enam bulan perjalanan
dari Magrib untuk menanyakan permasalahan tersebut. Maka Imam Malik
berkata, “Katakan kepada yang mengutusmu bahwa aku tidak memiliki ilmu
tentang permasalahan ini”. Orang itu berkata, “Kalau begitu siapakah
yang mengetahui permasalahan ini?”, Imam Malik berkata, “Orang yang
diajari oleh Allah”.
Imam Malik ditanya oleh seseorang tentang
permasalahan dan orang tersebut telah dititipkan oleh penduduk Magrib
kepadanya, maka Imam Malik berkata, “Aku tidak tahu, kami tidak pernah
menghadapi permasalahan seperti ini, dan kami tidak pernah mendengar
guru-guru kami berbicara tentang permasalahan ini akan tetapi kembalilah
engkau ke Magrib”. Dan tatkala keesokan harinya orang itupun datang dan
telah mengangkat barang-barangnya di atas begolnya yang ia tunggangi
dan ia berkata, “Pertanyaanku bagaimana?”, Imam Malik berkata, “Aku
tidak tahu jawabannya”, orang itupun berkata, “Wahai Abu Abdillah aku
telah meninggalkan di belakangku orang yang berkata bahwa tidak ada di
atas muka bumi ini yang lebih pandai daripada engkau”, Imam Malikpun
berkata, “Ada apa denganmu jika engkau tidak bersedih, jika engkau
kembali maka kabarkanlah mereka bahwa aku tidak menguasai jawaban
pertanyaan itu” [28]
Berkata As-Syatibhi, “Dan riwayat-riwayat dari
imam Malik tentang perkataannya “Aku tidak tahu” dan “Aku tidak
menguasai permasalahan ini” sangatlah banyak hingga dikatakan kalau ada
seseorang yang ingin memenuhi bukunya dengan perkataan Imam Malik “Aku
tidak tahu” maka ia akan bisa melakukannya”… dan dikatakan kepada
beliau, “Jika engkau berkata wahai Abu Abdillah “Aku tidak tahu” maka
siapakah yang mengetahui?, maka Imam Malik berkata, “Celaka engkau,
apakah engkau mengetahui siapa aku?, dan siapakah aku?, apakah
kedudukanku hingga aku harus mengetahui apa yang kalian tidak ketahui?”,
kemudian Imam Malik berhujjah dengan hadits Ibnu Umar dan ia berkata,
“Lihatlah Ibnu Umar, ia berkata, “Aku tidak tahu”, lantas siapakah
aku??, sesungguhnya yang membinasakan mansia adalah ujub dan mencari
kedudukan”…
Beliau juga pernah berkata, “Umar bin Al-Khottob pernah
berhadapan dengan permasalahan-permasalahan ini dan ia tidak
menjawabnya”[29]
Berkata Abu Hushoin, إن أحدهم ليفتي في المسألة ولو
وردت على عمر بن الخطاب رضي الله عنه لجمع لها أهل بدر “Sesungguhnya salah
seorang dari mereka (yang hidup di zamannya-pen) sungguh berfatwa
tentang suatu permasalahan yang jika permasalahan tersebut ditanyakan
pada Umar bin Al-Khottob maka ia akan mengumpulkan para sahabat yang
ikut perang Badar untuk menjawab pertanyaan tersebut”[30]
Berkata
Sufyan bin ‘Uyainah, أجسر الناس على الفتيا أقلهم علما “Orang yang paling
berani berfatwa adalah orang yang paling sedikit ilmunya”[31]
Perkataan “Aku tidak tahu” bukanlah aib bahkan merupakan kemuliaan
Merupakan perangkap syaitan yang sangat halus yaitu seseorang jika
berada bersama orang-orang yang ilmu mereka lebih sedikit dari
ilmunya[32] maka terkadang ia tanpa ia sadari telah memposisikan dirinya
sebagai seorang imam diantara mereka dan ia berusaha untuk tidak
mengakui ketidaktahuannya pada suatu perkara yang ditanyakan kepadanya
yang ia tidak memiliki ilmu tentang perkara tersebut, bahkan terkadang
jika mereka sedang membicarakan sesuatu permasalahan maka iapun masuk
diantara mereka dan memberikan keputusan hukum perkara tersebut padahal
ia tidak memiliki ilmunya. Terkadang ia memposisikan dirinya seakan-akan
ia adalah seorang ahli hadits dan seorang ahli fikih padahal ia tidak
mengetahui bahwa seungguhnya ia telah membinasakan dirinya[33]
Syaikh Utsaimin berkata, “…Apakah yang menyebabkan seseorang untuk
berbicara tanpa ilmu?, sebabnya karena ia ingin terangkat, ingin ia
mengungguli para sahabatnya, ingin disebut-sebut, ingin popularitas agar
ia dijuluki seorang ‘allamah (yang sangat alim), fahhamah (yang sangat
paham), laut yang luas (yaitu yang sangat luas ilmunya), dan yang
semisalnya. Dan tidak diragukan lagi ini adalah termasuk
perangkap-perangkap syaitan. Yang wajib bagi engkau adalah engkau
mengetahui ukuran dirimu dan janganlah engkau memposisikan dirimu lebih
dari ukuranmu”[34]
Ketahuilah bahwasanya perkataan seseorang yang
ditanya kemudian ia tidak tahu jawabannya “Aku tidak tahu” tidaklah
merendahkan kedudukannya sebagaimana yang disangkakan oleh sebagian
orang-orang bodoh bahkan perkataannya ini akan mengangkat derajatnya.
Karena ini merupakan tanda akan kuat agamanya, ketakwaannya, bersihnya
hatinya, sempurnanya ilmunya, serta kehati-hatiannya.
Hanyalah
enggan untuk mengatakan “Aku tidak tahu” orang yang lemah agamanya dan
sedikit ilmunya karena ia takut jatuh di mata para hadirin, dan hal ini
merupakan kebodohan dan lemahnya agama. Dan bisa jadi ia terkenal di
kalangan manusia dengan kesalahan-kesalahannya karena ketidak
hati-hatiannya dalam berfatwa (menjawab) maka iapun terjatuh pada
sesuatu yang ia lari darinya, dan iapun disifati oleh manusia dengan
sifat yang ia lari darinya[35]
Oleh karena itu Al-Qosim bin Muhammad
berkata, إن من إكرام المرء نفسه أن لا يقول إلا ما أحاط به علمه
“Termasuk bentuk pemuliaan seseorang terhadap dirinya yaitu ia tidak
berkata kecuali sesuatu yang ia kuasai ilmunya”[36]
Berkata orang-orang bijak,
من العلم أن لا تتكلم فيما لا تعلم بكلام من يعلم فحسبك خجلا من نفسك
وعقلك أن تنطق بما لا تفهم وإذا لم يكن إلى الإحاطة بالعلم من سبيل فلا عار
أن تجهل بعضه وإذا لم يكن في جهل بعضه عار فلا تستحي أن تقول لا أعلم فيما
لا تعلم
“Merupakan ilmu engkau tidak berbicara tentang perkara yang
engkau tidak ketahui dengan perkataan orang yang mengetahuinya,
cukuplah engkau malu dengan dirimu dan akalmu jika engkau berbicara
dengan perkataan yang tidak kau pahami. Jika tidak ada jalan untuk bisa
mengetahui seluruh ilmu maka bukanlah aib jika engkau tidak mengilmui
sebagaian perkara, dan jika tidak mengetahui sebagian ilmu bukanlah
suatu aib maka janganlah engkau malu untuk mengatakan pada perkara yang
tidak kau ketahui “Aku tidak tahu”” [37]
As-Sya’bi berkata, لا أدري نصف العلم ((“Aku tidak tahu” adalah setengah ilmu))[38].
Syaikh Bakr Abu Zaid berkata, “Jika setengah ilmu adalah perkataan “Aku
tidak tahu” maka setengah kebodohan adalah perkataan “Dikatakan…” dan
perkataan “Aku sangka…””[39]
Faedah yang bisa didapatkan bagi orang yang mengatakan “Aku tidak tahu”
1. Inilah yang wajib baginya.
2. Jika dia tidak menjawab dan berkata, “Aku tidak tahu” maka akan
segera datang ilmu kepadanya karena ia akan segera muroja’ah (mencari
jawaban) pertanyaan yang tidak bisa ia jawab tersebut atau orang lain
yang memeriksa jawabannya. Karena seorang murid jika melihat gurunya
tidak menjawab maka ia akan berusaha dengan keras untuk menemukan
jawabannya kemudian mengabarkan jawaban tersebut kepada gurunya, maka
sungguh baik hal ini.
3. Jika ia tidak menjawab apa yang ia tidak
ketahui maka hal ini merupakan indikasi akan terpercayanya dia dan
amanahnya serta penguasaannya secara sempurna pada
permasalahan-permasalahan yang ia jawab, sebagaimana orang yang berani
menjawab perkara-perkara yang ia tidak ketahui maka hal itu akan
menimbulkan keraguan pada seluruh perkataannya hingga keraguan pada
perkara-perkara yang telah jelaspun.
4. Jika para murid melihat
gurunya tidak menjawab perkara-perkara yang tidak diketahuinya maka hal
ini merupakan pelajaran bagi mereka untuk bertindak demikian juga,
karena meneladani perkataan yang disertai amalan dari sang guru lebih
mengena daripada hanya sekedar meneladani perkataan saja.[40]
Berkata Abdullah bin Yazid bin Hurmuz, “Hendaknya seorang alim
mengajarkan para muridnya setelahnya perkataan “Aku tidak tahu” hingga
perkataan tersebut menjadi pegangan mereka yang mereka segera
menggunakannya jika salah seorang dari mereka ditanya sesuatu yang tidak
diketahuinya, maka ia akan berkata, “Aku tidak tahu””[41]
Syaikh Bakr Abu Zaid berkata, جُنَّةُ العالم لا أدري “Perisai seorang yang berilmu adalah perkataan “Aku tidak tahu””[42]
Peringatan
1. Bukan berarti tidak boleh berfatwa tanpa ilmu berarti tidak boleh
berfatwa sama sekali bahkan orang yang memiliki ilmu jika ditanya
tentang apa yang ia ketahui maka wajib bagi dia untuk menjawabnya hal
ini sebgaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
من سئل عن علم فكتمه ألجم يوم القيامة بلجام من نار
((Barangsiapa yang ditanya tentang ilmu kemudian ia menyembunyikannya
maka ia akan dikekang (dimulutnya) pada hari kiamat dengan kekangan dari
api neraka))[43].
Dan hal ini sebagaimana wasiat Ibnu Mas’ud يا
أيها الناس من علم شيئا فليقل به ((Wahai manusia barangsiapa yang
mengilmui sesuatu maka hendaknya ia berkata dengan ilmunya tersebut))
2. Bukan berarti karena takut berfatwa tanpa ilmu maka seseorang
meninggalkan dakwah sama sekali dan tidak berdakwah hingga ia menjadi
ulama. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda بلغوا عني
ولو آيةً ((Sampaikanlah dariku meskipun hanya satu ayat))[44].
Berkata Syaikh Utsaimin, “Barangsiapa yang menyangka tidak mungkin
menggabungkan antara menuntut ilmu dan berdakwah maka ia telah keliru
karena sesungguhnya seseorang mungkin baginya untuk belajar sambil
mendakwahi keluarganya, tetangganya, kampungnya, penduduk kotanya dan ia
sambil menuntut ilmu”[45].
Ada perkara-perkara yang bisa dipahami
dengan mudah yang bisa didakwahkan oleh siapa saja. Namun perlu diingat
sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam((dariku)) menunjukan bahwa yang
disampaikan harus benar-benar merupakan agama dari Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam.
Penulis: Firanda Andirja
Artikel www.firanda.com
Catatan Kaki:
[1] Atsar riwayat Al-Bukhori dalam shahihnya 4/1809 no 4531
[2] Atsar riwayat At-Thobroni dalam Al-Mu’jam Al-Kabir 9/188 no 8923,
berkata Al-Haitsami “Para perawinya terpercaya” (Majma’ Az-Zawaid 1/183)
dan juga Al-Baihaqi dalam Al-Madkhol ila As-Sunan Al-Kubro 1/432, dan
perkataan yang semisal ini juga dikatakan oleh Ibnu Abbas sebagaimana
diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dalam Al-Madkhol 1/433
[3] HR Al-Bukhari 1/33 no 59
[4] HR Al-Bukhari 1/50 no 100, Muslim 4/2058 no 2673
[5] Atsar riwayat Al-Baihaqi dalam Al-Madkhol ila As-Sunan Al-Kubro 1/441 no 828
[6]Atsar riwayat Al-Baihaqi dalam Al-Madkhol ila As-Sunan Al-Kubro 1/441 no 829
[7] Lihat kedua syair ini dalam syarah mandzumah Al-Waroqoot oleh Syaikh Utsaimin pada penjelasan makna ilmu
[8] At-Ta’liq Ats-Tsamin hal 322
[9] Faidhul Qodir 1/158-159
[10] Atsar riwayat Al-Baihaqi dalam Al-Madkhol ila As-Sunan Al-Kubro 1/437 no 815
[11] HR Abu Dawud 3/317 no 3641, Ibnu Majah 1/81 no 223, At-Thirmidzi
5/48 no 2682 dari hadits Abu Darda’ dan dishahihkan oleh Syaikh
Al-Albani.
[12] Fatawa Ibnus Solah 1/7-8 bab بيان شرف مرتبة الفتوى وخطرها وغررها
[13] HR Abu Dawud 3/321 no 3657, Ibnu Majah 1/20 no 53 dan dihasankan oleh Syaikh Al-Albani
[14] Faidhul Qodir 1/158-159
[15] Atsar riwayat Al-Baihaqi dalam Al-Madkhol ila As-Sunan Al-Kubro 1/434 no 806
[16] Tarikh Bagdad 13/412, Tarikh Ad-Dimasyq 36/87 dari Sufyan Ibnu
Uyainah ia berkata, “Telah mengabarkan kepadaku ‘Ato’ bin As-Saib dari
Ibni Abi Laila….”
[17] Tidak sebagaimana sekarang dimana kebanyakan orang mereka menghendaki merekalah yang berbicara
[18] Atsar riwayat Al-Baihaqi dalam Al-Madkhol ila As-Sunan Al-Kubro 1/433 no 800
[19] Faidhul Qodir 1/159
[20] Fatawa Ibnus Solah 1/13
[21] Fatawa Ibnus Solah 1/13-15
[22] Atsar riwayat Al-Baihaqi dalam Al-Madkhol ila As-Sunan Al-Kubro 1/439 no 823
[23] Al-Muwafaqoot 4/288
[24] Atsar riwayat Al-Baihaqi dalam Al-Madkhol ila As-Sunan Al-Kubro 1/439 no 824
[25] Al-Muwafaqoot 4/286 permasalahan yang ketujuh
[26] Al-Muwafaqoot 4/286 permasalahan yang ketujuh
[27] Al-Muwafaqoot 4/287
[28] Al-Muwafaqoot 4/288
[29] Al-Muwafaqoot 4/289
[30] Atsar riwayat Al-Baihaqi dalam Al-Madkhol ila As-Sunan Al-Kubro 1/434 no 803
[31] Fatawa Ibnus Solah 1/12
[32] Berbeda jika ia sedang berada diantara orang-orang yang ilmunya
lebih daripada dia atau setara dengannya maka ia cenderung untuk lebih
berhati-hati karena takut ketahuan kesalahan-kesalahannya.
[33] Ma’alim fi toriq tolabil ‘ilmi hal 249
[34] At-Ta’liq Ats-Tsamin hal 322
[35] Ma’alim fi toriq tolabil ‘ilmi hal 206
[36] Atsar riwayat Al-Baihaqi dalam Al-Madkhol ila As-Sunan Al-Kubro 1/434 no 805
[37] Faidhul Qodir 1/158-159
[38] Atsar riwayat Al-Baihaqi dalam Al-Madkhol ila As-Sunan Al-Kubro 1/434 no 810
[39] At-Ta’liq Ats-Tsamin hal 325
[40] Keempat faedah ini disampaikan oleh Syaikh As-Sa’di dalam kitab
Al-Fatawa As-Sa’diyah hal 627-629 sebagaimana dinukil dalam buku ma’alim
fi toriq tolabil ilmi hal 206-207
[41] Atsar riwayat Al-Baihaqi dalam Al-Madkhol ila As-Sunan Al-Kubro 1/434 no 809
[42] At-Ta’liq Ats-Tsamin hal 325. Kisah : Syaikh Muhammad Amin
Asy-Syinqithi –rohimahulloh- jika sedang mengawasi para mahasiswa
Universitas Islam Madinah yang sedang melaksanakan ujian kemudian ada
diantara mahasiswa yang bertanya kepada beliau tentang soal ujian maka
beliau memberi jawabannya, padahal mereka sedang ujian. Tatkala beliau
ditanya kenapa beliau memberi tahu jawaban soal ujian maka beliau
berdalil dengan hadits ((Barangsiapa yang ditanya tentang ilmu kemudian
ia menyembunyikannya maka ia akan dikekang (dimulutnya) pada hari kiamat
dengan kekangan dari api neraka)). Kalau seluruh pengawas ujian seperti
beliau…???
[43] HR Ibnu Majah 1/97 no 264, At-Thirmidzi 5/29 no 2649 dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani
[44] HR Al-Bukhari 3/1275 no 3274, para ulama berbeda pendapat tentang makna ayat dalam hadits ini
1. Ada yang mengatakan bahwa yang dimaksud adalah ayat Al-Qur’an.
Berkata Al-Baydhowi, “Maka menyampaikan hadits dipahami dengan mafhum
awlawi” (Umdatul Qori 16/45)
2. Ada yang mengatakan bahwa yang dimaksud adalah perkataan yang berfaedah (yaitu hadits-hadits Nabi r)
3. Ada yang mengatakan bahwa yang dimaksud adalah hukum-hukum yang
diwahyukan kepada Nabi r maka lebih luas daripada hanya sekedar ayat
yang dibaca. (Tuhfatul Ahwadzi 7/360)
[45] Kitabul ilmi hal 162
Sumber: http://www.firanda.com/
Judul Asli: Wasiat ke 3 Tentang Bagaimanakah Seharusnya Seorang Berbicara Berdasarkan Ilmunya
Katakan Saja “Saya Tidak Tahu”
Di antara prinsip Syeikh Ibnu Baz adalah tidak malu untuk mengatakan,
“Saya tidak tahu”. Ini adalah prinsip yang diajarkan oleh Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam.
عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ جُبَيْرِ بْنِ
مُطْعِمٍ عَنْ أَبِيهِ َنَّ رَجُلاً أَتَى النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم-
فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَىُّ الْبُلْدَانِ شَرٌّ قَالَ فَقَالَ «
لاَ أَدْرِى ». فَلَمَّا أَتَاهُ جِبْرِيلُ عَلَيْهِ السَّلاَمُ قَالَ «
يَا جِبْرِيلُ أَىُّ الْبُلْدَانِ شَرٌّ ». قَالَ لاَ أَدْرِى حَتَّى
أَسْأَلَ رَبِّى عَزَّ وَجَلَّ. فَانْطَلَقَ جِبْرِيلُ عَلَيْهِ السَّلاَمُ
ثُمَّ مَكَثَ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَمْكُثَ ثُمَّ جَاءَ فَقَالَ يَا
مُحَمَّدُ إِنَّكَ سَأَلْتَنِى أَىُّ الْبُلْدَانِ شَرٌّ فَقُلْتُ لاَ
أَدْرِى وَإِنِّى سَأَلْتُ رَبِّى عَزَّ وَجَلَّ أَىُّ الْبُلْدَانِ شَرٌّ
فَقَالَ َسْوَاقُهَا.
Dari Muhammad bin Jubair bin Muth’im dari
ayahnya, sesungguhnya ada seorang yang menemui Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam lalu berkata, “Wahai rasulullah tempat apakah yang paling
buruk?”. Jawaban Rasul, “Aku tidak tahu”. Ketika Jibril datang menjumpai
Nabi, beliau bertanya kepada Jibril, “Wahai Jibril, tempat apakah yang
paling buruk?”. Jibril berkata, “Aku tidak tahu. Kutanyakan dulu kepada
Rabbku azza wa jalla”. Jibril lantas pergi. Setelah beberapa waktu
lamanya, Jibril datang dan berkata, “Wahai Muhammad, engkau pernah
bertanya kepadaku tentang tempat yang paling buruk lalu jawabku adalah
aku tidak tahu. Hal itu telah kutanyakan kepada tuhanku azza wa jalla,
‘Tempat apakah yang paling buruk?’. FirmanNya, “Pasar”. (HR Ahmad no
16790, namun Syeikh Syu’aib al Arnauth mengatakan, ‘Sanadnya lemah’).
عن ابن عمر أن رجلا سأل النبي صلى الله عليه و سلم : أي البقاع شر ؟ قال :
( لا أدري حتى أسأل جبريل ) فسأل جبريل فقال : لا أدري حتى أسأل ميكائيل
فجاء فقال : ( خير البقاع المساجد وشرها الأسواق ) قال شعيب الأرنؤوط :
حديث حسن
Dari Ibnu Umar, ada seorang yang bertanya kepada Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Tempat apakah yang paling buruk?”.
Jawaban Nabi, “Aku tidak tahu. Kutanyakan dulu kepada Jibril”. Setelah
ditanyakan kepada Jibril, Jibril mengatakan, “Aku juga tidak tahu.
Kutanyakan dulu kepada Mikail”. Pada akhirnya, Jibri datang dan
mengatakan, “Tempat yang paling baik adalah masjid. Sedangkan tempat
yang paling buruk adalah pasar”. (HR Ibnu Hibban no 1599. Syeikh Syuaib
al Arnauth mengatakan, “Hadits hasan”).
Perkataan seorang ulama,
“Aku tidak tahu” akan meningkatkan kedudukannya dan menyebabkan Allah
membukakan untuknya ilmu yang tiada disangka-sangka karena dia telah
menyerahkan ilmu hal yang ditanyakan kepada yang mengetahuinya. Syeikh
Ibnu Baz adalah seorang yang sangat luas ilmu dan telaahnya meski
demikian beliau tidak berani komentar dalam masalah yang beliau tidak
tahu.
Suatu ketika beliau ditanya tentang seorang yang dalam shalat
membaca ayat hutang yang merupakan ayat terpanjang dalam alQur’an. Ayat
tersebut dibagi untuk dua rakaat. Ketika Syeikh Ibnu Baz ditanya tentang
hukum hal ini pada awalnya beliau tidak memberikan jawaban. Beliau
mengatakan, “Baru pertama kali ini saya mendapatkan pertanyaan tentang
hal ini”. Kemudian beliau berkata, “Jika hal tersebut dia lakukan maka
tidak mengapa akan tetapi yang lebih baik jika satu ayat tersebut dibaca
untuk satu rakaat”.
Meski beliau banyak membahas berbagai
permasalahan dan pertanyaan yang diajukan kepada beliau. Dengan sahaja
dan didengar oleh para murid, beliau mengatakan, “Baru pertama kali ini
saya mendapatkan pertanyaan tentang hal ini”. Perkataan beliau ini
sangat jauh berbeda dengan orang yang sok tahu segalanya. Sedangkan
beliau adalah ulama sejati yang merasa takut kepada Allah.
Sangat
sering Syeikh Ibnu Baz mengatakan, “Masalah ini perlu dikaji ulang”
lantas beliau berkata kepada salah seorang murid yang mengikuti kajian,
“Wahai fulan tolong kaji masalah ini dan untukmu doa kebaikan dari
kami”. Sang muridpun menyanggupinya kemudian murid tersebut pada
kesempatan yang lain datang membawa makalah hasil pengkajian masalah
tersebut. Setelah dia bacakan di hadapan Syeikh Ibnu Baz, beliau
menyampaikan beberapa komentar.
Suatu waktu ada orang yang datang
dan meminta fatwa saat Syeikh Ibnu Baz memberikan pengajian. Adalah
kebiasaan beliau memberi fatwa di tengah pengajian meski masalah yang
ditanyakan tidak terkait dengan topik pengajian. “Mereka adalah
orang-orang yang memiliki hajat”, demikian komentar beliau.
Ternyata
jawaban beliau untuk pertanyaan yang diajukan pada saat itu, “Saya
tidak tahu. Saya tidak tahu”. “Engkau tidak tahu??!!”, komentar orang
tersebut. Syeikh Ibnu Baz berkata, “Umumkan ke seluruh penjuru dunia
bahwa Ibnu Baz tidak tahu”.
http://ustadzaris.com/
25 Agustus 2012
Bagaimanakah Seharusnya Seorang Berbicara Berdasarkan Ilmunya?
Diberdayakan oleh Blogger.
0 komentar:
Posting Komentar