Pendahuluan
Buku ‘Meniti Kesempurnaan Iman’ yang ditulis Habib Munzir al-Musawa
adalah tulisan sanggahan terhadap karya Syaikh Abdul Aziz bin Baz
berjudul ‘Benteng Tauhid’. Banyak permasalahan tauhid yang dikritik oleh
Habib Munzir terhadap buku Syaikh Bin Baz tersebut, namun sebenarnya
KEBENARAN ad
Silakan disimak penjelasan berikut ini yang akan menjabarkan
KESALAHAN-KESALAHAN Habib Munzir dalam bukunya tersebut. Pada bagian ini
yang disoroti adalah tentang istighotsah.
Istighotsah adalah
permintaan tolong kepada sesuatu untuk suatu hal yang sangat mendesak.
Syaikh Bin Baz menjelaskan MANHAJ AHLUSSUNNAH sebagaimana yang dipahami
para Sahabat Nabi, bahwa istighotsah TIDAK DIPERBOLEHKAN ditujukan
kepada orang-orang YANG SUDAH MENINGGAL.
Perbedaan Orang yang Hidup dengan Orang yang Mati
Habib Munzir menyanggah pendapat Syaikh Bin Baz yang menyatakan tidak
boleh berdoa atau beristighotsah kepada orang yang sudah meninggal.
Habib Munzir berpendapat bahwa tidak ada bedanya antara orang yang hidup
maupun yang mati.
Habib Munzir menyatakan (pada halaman 4-5):
Istighatsah adalah memanggil nama seseorang untuk meminta
pertolongannya, untuk sebagian kelompok muslimin hal ini langsung di
vonis syirik, namun vonis mereka itu hanyalah karena kedangkalan
pemahamannya terhadap syariah islam, Pada hakekatnya memanggil nama
seseorang untuk meminta pertolongannya adalah hal yang diperbolehkan
selama ia seorang Muslim, Mukmin, Shalih dan diyakini mempunyai manzilah
di sisi Allah Subhanallahu wa Ta’ala, tak pula terikat ia masih hidup
atau telah wafat….
Pendapat Habib Munzir ini adalah pendapat yang salah.
Jika kita simak perbuatan dan penjelasan para Sahabat Nabi berdasar
atsar yang shahih, niscaya kita akan dapati bahwa mereka tidak pernah
beristighotsah kepada orang-orang yang sudah meninggal, bahkan terhadap
Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam ketika beliau telah wafat. Tidak
ada Sahabat Nabi yang mendatangi kuburan Nabi untuk beristighotsah
terhadap hal-hal yang mereka hadapi. Jika terdapat hadits-hadits yang
menunjukkan para Sahabat beristighotsah kepada Nabi yang telah
meninggal, maka itu adalah hadits-hadits yang lemah atau palsu.
Para Sahabat justru meminta tolong kepada orang sholih yang masih hidup
untuk berdoa kepada Allah. Mereka juga ada yang berkesempatan berziarah
ke makam Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam, namun yang dilakukan
hanyalah mengucapkan salam, tidak berdoa di sisi kuburnya. Sebagian
keturunan Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam ada yang melihat
seseorang berdoa di makam Rasulullah, kemudian melarangnya. Beberapa
atsar shohih yang menunjukkan hal itu di antaranya:
1. Umar
bin alKhottob meminta kepada Abbas paman Nabi yang masih hidup untuk
istisqo’ (berdoa agar Allah menurunkan hujan). Umar tidak mengajak kaum
muslimin untuk beristighotsah kepada Rasulullah shollallaahu alaihi
wasallam yang sudah wafat.
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ
عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ كَانَ إِذَا قَحَطُوا
اسْتَسْقَى بِالْعَبَّاسِ بْنِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ فَقَالَ اللَّهُمَّ
إِنَّا كُنَّا نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّنَا فَتَسْقِينَا وَإِنَّا
نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِعَمِّ نَبِيِّنَا فَاسْقِنَا
‘Dari
Anas bin Malik bahwasanya Umar bin alKhottob –semoga Allah meridlainya-
jika tertimpa kekeringan bersitisqo’ dengan Abbas bin Abdil Muththolib
dan berkata: Ya Allah, sesungguhnya dulu kami bertawassul kepadaMu
dengan Nabi kami kemudian engkau turunkan hujan, dan sesungguhnya kami
(saat ini) bertawassul kepadaMu dengan paman Nabi kami, maka turunkanlah
hujan kepada kami’(H.R alBukhari hadits no 954 juz 4 halaman 99).
Dijelaskan oleh al-Hafidz Ibnu Hajar al-‘Asqolaany dengan menukil
penjelasan az-Zubair bin Bakkar, bahwa Abbas kemudian berdoa :
اللَّهُمَّ إِنَّهُ لَمْ يَنْزِل بَلَاء إِلَّا بِذَنْبٍ ، وَلَمْ
يُكْشَف إِلَّا بِتَوْبَةٍ ، وَقَدْ تَوَجَّهَ الْقَوْم بِي إِلَيْك
لِمَكَانِي مِنْ نَبِيّك ، وَهَذِهِ أَيْدِينَا إِلَيْك بِالذُّنُوبِ
وَنَوَاصِينَا إِلَيْك بِالتَّوْبَةِ فَاسْقِنَا الْغَيْث
“
Ya Allah sesungguhnya tidaklah turun bala’ kecuali karena dosa, dan
tidaklah disingkap (bala’ tersebut) kecuali dengan taubat. Dan sungguh
kaum ini telah menghadapkan diri mereka kepadaMu denganku karena
kedudukanku dari NabiMu, dan tangan-tangan kami itu (berlumur) dosa,
sedangkan ubun-ubun kami menghadap (menuju) Engkau dengan taubat, maka
turunkanlah hujan kepada kami” (Lihat Fathul Baari juz 3 halaman 443).
2. Mu’awiyah bin Abi Sufyan meminta kepada Yazid bin al-Awsad alJurasyi untuk berdoa agar Allah menurunkan hujan
عن سليم بن عامر قال: خرج معاوية يستسقي، فلما قعد على المنبر، قال:
أين يزيد بن الأسود ؟ فناداه الناس، فأقبل يتخطاهم. فأمره معاوية، فصعد
المنبر، فقال معاوية: اللهم إنا نستشفع إليك بخيرنا وأفضلنا يزيد بن
الاسود، يا يزيد، ارفع يديك إلى الله.فرفع يديه ورفع الناس فما كان بأوشك
من أن ثارت سحابة كالترس، وهبت ريح، فسقينا حتى كاد الناس أن لا يبلغوا
منازلهم
“ dari Sulaim bin ‘Amir beliau berkata : Mu’awiyah
keluar untuk istisqa’, ketika telah naik ke atas mimbar beliau berkata :
Mana Yazid bin al-Aswad ? Maka manusiapun memanggilnya, sehingga Yazid
bin al-Aswad datang menghadap, maka Mu’awiyah memerintahkan kepadanya
maka ia naik mimbar. Mu’awiyah berkata : Ya Allah sesungguhnya kami
meminta syafaat kepadaMu dengan manusia yang terbaik dan paling utama di
antara kami Yazid bin al-Aswad. Wahai Yazid, angkat tanganmu kepada
Allah. Maka Yazid mengangkat tangannya (berdoa) dan manusiapun
mengangkat tangannya (berdoa). Tidak berapa lama menjadi basahlah awan
bagaikan at-tirs, dan angin bertiup kencang. Maka turunlah hujan kepada
kami, sampai-sampai manusia hampir-hampir tidak bisa mencapai tempat
tinggalnya” (Karomaatul Awliyaa’ karya Al-Laalikaa-i juz 1 halaman 191,
juga disebutkan dalam Siyaar A’laamin Nubalaa’ karya al-Hafidz
AdzDzahaby juz 4 halaman 137).
Kalau kita menyebutkan contoh
dari Sahabat Mu’awiyah ini, akan ada yang mencibir : ‘kok pakai contoh
Mu’awiyah?’ Kemudian dia akan mencela dan mencemooh Sahabat Nabi
Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Demikian jauhnya umat dari bimbingan Ulama’
Ahlussunnah sehingga demikian mudah kaum muslimin termakan syubhat kaum
syiah yang menjelek-jelekkan para Sahabat Nabi, termasuk Mu’awiyah bin
Abi Sufyan.
Maka pada kesempatan kali ini sedikit kami akan
uraikan beberapa dalil yang menunjukkan keutamaan Mu’awiyah bin Abi
Sufyan. Mu’awiyah bin Abi Sufyan adalah salah seorang sekertaris Nabi,
penulis wahyu. Dalil yang menunjukkan bahwa Mu’awiyah adalah penulis
wahyu yang mendampingi Nabi adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam
Muslim dari Ibnu Abbas bahwa Abu Sufyan meminta 3 hal kepada Nabi, di
antaranya agar Nabi menjadikannya sebagai penulisnya dan Nabi
menyanggupinya (Lihat Shahih Muslim pada Bab min Fadhaaili Abi Sufyan
bin Harb radliyallahu ‘anhu’)
Nabi shollallaahu ‘alaihi wasallam berdoa untuk Mu’awiyah bin Abi Sufyan :
اللَّهُمَّ اجْعَلْهُ هَادِيًا مَهْدِيًّا وَاهْدِ بِهِ
“Ya Allah jadikanlah ia sebagai pemberi petunjuk yang mendapatkan petunjuk, dan berilah ia hidayah dengannya” (H.R atTirmidzi).
اللَّهُمَّ عَلِّمْ مُعَاوِيَةَ الْكِتَابَ وَالْحِسَابَ وَقِهِ الْعَذَابَ
“ Ya Allah ajarkanlah kepada Mu’awiyah al-Kitab, perhitungan, dan lindungilah ia dari adzab” (H.R Ahmad).
Dua contoh perbuatan Sahabat Nabi di atas menunjukkan kedalaman ilmu
mereka. Mereka tahu bahwa sebenarnya meminta kepada orang yang sudah
meninggal adalah terlarang. Kalau tidak terlarang, niscaya mereka lebih
memilih meminta langsung kepada Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam
meski beliau telah meninggal.
Siapakah yang berani meragukan
kecintaan dan pengagungan para Sahabat terhadap Nabi? Demikian besarnya
pengagungan dan kecintaan tersebut, sampai – sampai para Sahabat merasa
sangat tidak pantas jika mereka menjadi Imam sholat dalam keadaan Rasul
menjadi makmum. Sungguh indah pelajaran yang bisa diambil dari hadits
Muttafaqun ‘alaih dari Sahl bin Sa’ad as-Saa’idy ketika Rasulullah pergi
ke Bani ‘Amr bin ‘Auf untuk mendamaikan perselisihan di sana. Pada saat
sudah masuk waktu sholat dan Rasul belum datang, para Sahabat meminta
Abu Bakar menjadi Imam. Abu Bakar pun maju menjadi Imam. Ketika Rasul
datang dan masuk dalam shof, para Sahabat yang menjadi makmum memberi
isyarat kepada Abu Bakar agar mundur dan memberikan peluang kepada Rasul
untuk maju menjadi Imam. Ketika banyak Sahabat yang memberi isyarat
dengan bunyi tepukan tangan, Abu Bakr menoleh dan beliau melihat Rasul
ada pada shof. Rasul sebenarnya memerintahkan kepada Abu Bakr untuk
tetap menjadi Imam, tapi Abu Bakar tidak mau. Beliau mundur, agar Rasul
bisa maju menggantikannya sebagai Imam. Selepas sholat, Abu Bakr ditanya
oleh Nabi : ‘Wahai Abu Bakar mengapa engkau tidak tetap saja di
tempatmu (sebagai Imam) ketika aku perintahkan?’ Abu Bakar menjawab :
مَا كَانَ لِابْنِ أَبِي قُحَافَةَ أَنْ يُصَلِّيَ بَيْنَ يَدَيْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“ tidak sepantasnya bagi Ibnu Abi Quhaafah (Abu Bakr) untuk sholat di
depan Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam” ( muttafaqun ‘alaih).
Sehingga, terbantahlah persangkaan orang yang mengatakan : Sesungguhnya
para Sahabat tidaklah berdoa kepada Nabi setelah meninggalnya sekedar
berpindah dari suatu hal yang utama menuju suatu hal yang boleh (tidak
lebih utama). Bukankah tidak mengapa bagi Abu Bakr untuk menjadi Imam
bagi Rasul karena beliau sendiri yang memerintahkan untuk tetap pada
tempatnya? Tapi Abu Bakr merasa tidak pantas. Sebagaimana jika meminta
doa dan beristighotsah kepada Nabi adalah disyariatkan meskipun beliau
sudah meninggal, maka para Sahabat tidaklah akan berpindah meminta
kepada orang lain yang masih hidup untuk berdoa, karena demikian
mulyanya kedudukan Nabi bagi para Sahabatnya, mereka tidak merasa pantas
mendahulukan orang lain dibandingkan Nabi Muhammad shollallaahu ‘alaihi
wasallam.
3. Nabi Muhammad shollallaahu ‘alaihi wasallam
memerintahkan kepada Umar bin alKhottob dan para Sahabat yang lain agar
jika bertemu dengan Uwais, hendaknya meminta kepadanya untuk memohonkan
ampunan kepada Allah. Perintah Nabi ini dilaksanakan oleh Umar dengan
berusaha bertemu langsung dengan Uwais dan meminta kepadanya untuk
berdoa kepada Allah memohonkan ampunan. Tidak ada seorangpun dari
Sahabat Nabi setelah itu sepeninggal Uwais yang memohon ampunan di dekat
makam Uwais.
عَنْ أُسَيْرِ بْنِ جَابِرٍ قَالَ كَانَ عُمَرُ
بْنُ الْخَطَّابِ إِذَا أَتَى عَلَيْهِ أَمْدَادُ أَهْلِ الْيَمَنِ
سَأَلَهُمْ أَفِيكُمْ أُوَيْسُ بْنُ عَامِرٍ حَتَّى أَتَى عَلَى أُوَيْسٍ
فَقَالَ أَنْتَ أُوَيْسُ بْنُ عَامِرٍ قَالَ نَعَمْ قَالَ مِنْ مُرَادٍ
ثُمَّ مِنْ قَرَنٍ قَالَ نَعَمْ قَالَ فَكَانَ بِكَ بَرَصٌ فَبَرَأْتَ
مِنْهُ إِلَّا مَوْضِعَ دِرْهَمٍ قَالَ نَعَمْ قَالَ لَكَ وَالِدَةٌ قَالَ
نَعَمْ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يَقُولُ يَأْتِي عَلَيْكُمْ أُوَيْسُ بْنُ عَامِرٍ مَعَ أَمْدَادِ أَهْلِ
الْيَمَنِ مِنْ مُرَادٍ ثُمَّ مِنْ قَرَنٍ كَانَ بِهِ بَرَصٌ فَبَرَأَ
مِنْهُ إِلَّا مَوْضِعَ دِرْهَمٍ لَهُ وَالِدَةٌ هُوَ بِهَا بَرٌّ لَوْ
أَقْسَمَ عَلَى اللَّهِ لَأَبَرَّهُ فَإِنْ اسْتَطَعْتَ أَنْ يَسْتَغْفِرَ
لَكَ فَافْعَلْ فَاسْتَغْفِرْ لِي فَاسْتَغْفَرَ لَهُ
Dari Usair
bin Jabir ia berkata: Umar bin al-Khottob jika datang sepasukan dari
Yaman akan berkata: ‘Apakah di antara kalian ada Uwais bin Amir’?
(Demikian seterusnya) sampai datang Uwais. Beliau bertanya: Apakah
engkau Uwais bin Amir? Ia menjawab: Ya. Umar bertanya: dari Murod,
kemudian ke Qoron? Ia berkata: Ya. Umar bertanya: Apakah engkau dulu
memiliki penyakit (semacam) kusta kemudian sembuh, kecuali sebesar
dirham. Ia berkata: Ya. Umar bertanya: Apakah engkau memiliki ibu? Ia
berkata: Ya. Umar berkata: Aku mendengar Rasulullah shollallaahu ‘alaihi
wasallam bersabda: Akan datang kepada kalian Uwais bin Amir bersama
sepasukan penduduk Yaman dari Murod kemudian Qoron, dulunya ia memiliki
penyakit (semacam) kusta kemudian ia sembuh, kecuali sebesar dirham, ia
memiliki ibu yang ia berbakti kepadanya. Kalau seandainya ia bersumpah
atas nama Allah, niscaya Allah perkenankan. Jika engkau bisa meminta
agar ia memohon ampunan untukmu, lakukanlah. Maka (wahai Uwais) mohonkan
ampun untukku. Kemudian (Uwais memohonkan ampunan untuk Umar). (H.R
Muslim).
Dalam riwayat lain, Nabi memerintahkan dengan lafadz
tidak khusus untuk Umar, namun untuk Sahabat-Sahabat lain secara umum,
dengan Sabda: Nabi : “perintahkanlah dia agar beristighfar untuk kalian“
عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ قَالَ إِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ خَيْرَ التَّابِعِينَ
رَجُلٌ يُقَالُ لَهُ أُوَيْسٌ وَلَهُ وَالِدَةٌ وَكَانَ بِهِ بَيَاضٌ
فَمُرُوهُ فَلْيَسْتَغْفِرْ لَكُمْ
Dari Umar bin al-Khottob
beliau berkata : sesungguhnya aku mendengar Rasulullah shollallaahu
‘alaihi wasallam bersabda: Sesungguhnya sebaik-baik tabi’in adalah
seorang laki-laki yang disebut Uwais, ia memiliki ibu dan ia memiliki
tanda putih. Maka perintahkanlah dia agar beristighfar untuk kalian (H.R
Muslim).
4. Ibnu Umar hanya mencukupkan mengucapkan salam saja
kepada Nabi, Abu Bakr, dan Umar ketika berziarah ke makam mereka. Tidak
lebih dari itu. Beliau tidak memanfaatkan kesempatan itu untuk berdoa
di dekat makam mereka.
أنه كان إذا قدم من سفر صلى ركعتين في
مسجد النبي صَلَّى الله عَلَيه وسَلَّم ثم أتى القبر فقال : السلام عليك يا
رسول الله ، السلام عليك يا أبا بكر ، السلام عليك يا أبه.
رواه مُسَدَّد ومحمد بن يحيى بن أبي عُمَر والبيهقي موقوفًا بسند صحيح
(إتحاف الخيرة المهرة 3- 259)
Bahwasanya beliau (Ibnu Umar) jika baru datang dari safar sholat 2
rokaat di masjid Nabi shollallaahu ‘alaihi wasallam kemudian mendatangi
kuburan (Nabi) dan berkata: Assalaamu ‘alaika yaa Rasulallaah (semoga
keselamatan untukmu wahai Rasulullah), assalaamu’alaika yaa Abaa Bakr
(semoga keselamatan untukmu wahai Abu Bakr), assalaamu ‘alaika ya abih
(semoga keselamatan untukmu wahai ayahku)(riwayat Musaddad dan Muhmammad
bin Yahya bin Abi Umar dan al-Baihaqy secara mauquf, lihat Ittihaaf
alkhoiroh alMahroh juz 3 halaman 259 karya Imam al-Bushiri, seorang
ahlul hadits bermadzhab asy-Syafi’i).
5. Ali bin Husain bin Ali bin Abi Thalib (cucu Ali bin Abi Tholib) melarang seorang berdoa di makam Nabi
عن علي بن الحسين أنه رأى رجلا يجئ إلى فرجة كانت عند قبر النبي صلى الله
عليه وسلم فيدخل فيها فيدعو فقال ألا أحدثك بحديث سمعته من أبي عن جدي عن
رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : (لا تتخذوا قبري عيدا ولا بيوتكم قبورا
وصلوا علي فإن صلاتكم تبلغني حيثما كنتم(
“ dari ‘Ali bin Husain
bahwasanya ia melihat seorang laki-laki mendatangi sebuah celah dekat
kuburan Nabi shollallaahu ‘alaihi wasallam kemudian ia masuk ke dalamnya
dan berdoa. Maka Ali bin Husain berkata: ‘Maukah anda aku sampaikan
hadits yang aku dengar dari ayahku dari kakekku dari Rasulullah
shollallaahu ‘alaihi wasallam beliau bersabda: ‘Janganlah kalian
menjadikan kuburanku sebagai ‘ied, dan jangan jadikan rumah kalian
sebagai kuburan. Dan bersholawatlah kepadaku karena sholawat kalian akan
sampai kepadaku di manapun kalian berada’ (diriwayatkan oleh Ibnu Abi
Syaibah dalam Mushonnaf-nya(2/268), dan Abdurrozzaq dalam mushonnaf-nya
juz 3 halaman 577 hadits nomor 6726).
Hadits tersebut
dihasankan oleh al-Hafidz As-Sakhowy (murid Ibnu Hajar al-‘Asqolaany).
Silakan dilihat pada kitab al-Qoulul Badi’ fis Sholaati ‘ala habiibisy
Syafii’ halaman 228.
Perlu dicermati bahwa Ali bin Husain bin
Ali bin Abi Tholib adalah cucu Ali bin Abi Tholib dan tidak lain adalah
cicit Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam. Beliau adalah keturunan
langsung Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam.
Secara umum, alQur’an telah mengisyaratkan perbedaan keadaan orang yang hidup dengan orang yang mati:
وَمَا يَسْتَوِي الْأَعْمَى وَالْبَصِيرُ (19) وَلَا الظُّلُمَاتُ وَلَا
النُّورُ (20) وَلَا الظِّلُّ وَلَا الْحَرُورُ (21) وَمَا يَسْتَوِي
الْأَحْيَاءُ وَلَا الْأَمْوَاتُ إِنَّ اللَّهَ يُسْمِعُ مَنْ يَشَاءُ
وَمَا أَنْتَ بِمُسْمِعٍ مَنْ فِي الْقُبُورِ (22)
Tidaklah sama
antara orang buta dengan orang yang melihat(19) Tidak pula sama
kegelapan dengan cahaya (20) Tidak pula naungan dengan sesuatu yang
panas (21) Dan tidak sama antara orang yang hidup dengan orang yang
mati. Sesungguhnya Allah memperdengarkan kepada orang –orang yang
dikehendakiNya, dan tidaklah engkau mampu memperdengarkan kepada orang
yang berada di (alam) kubur(22)(Q.S Fathir :19-22).
Jika kita
simak tafsir alBaghowy (salah seorang Imam yang bermadzhab asy-Syafi’i)
akan kita dapati penjelasan bahwa dalam ayat tersebut Allah
mempermisalkan keadaan orang yang beriman dengan orang kafir seperti
orang yang hidup dengan orang mati. Orang kafir tidak akan bermanfaat
dakwah dan nasehat kepadanya, sebagaimana orang-orang yang telah dikubur
tidak akan bisa menjawab (seruan).
Berdalil dengan Permintaan Syafaat kepada Nabi-Nabi Hari Kiamat
Habib Munzir juga menyanggah penjelasan Syaikh Bin Baz dengan dalil
permintaan syafaat orang-orang pada hari kiamat ke para Nabi. Bermula
dari Nabi Adam, kemudian Nuh, dan seterusnya hingga Nabi Muhammad
shollallaahu ‘alaihi wasallam.
Habib Munzir menyatakan (halaman 6-7):
Rasul Shallallahu ‘alaihi Wassalam memperbolehkan Istighatsah,
sebagaimana hadits beliau Shallallahu ‘alaihi Wassalam: “Sungguh
matahari mendekat di hari kiamat hingga keringat sampai setengah
telinga, dan sementara mereka dalam keadaan itu mereka beristighatsah
(memanggil nama untuk minta tolong) kepada Adam, lalu mereka
beristighatsah kepada Musa, Isa, dan kesemuanya tak mampu berbuat apa
apa, lalu mereka beristighatsah kepada Muhammad Shallallahu ‘alaihi
Wassalam” (Shahih Bukhari hadits no.1405), juga banyak terdapat hadits
serupa pada Shahih Muslim hadits No.194, shahih Bukhari hadits No.3162,
3182, 4435, dan banyak lagi hadist–hadits shahih yang Rasul Shallallahu
‘alaihi Wassalam menunjukkan ummat manusia beristighatsah pada para Nabi
dan Rasul, bahkan Riwayat Shahih Bukhari dijelaskan bahwa mereka
berkata pada Adam, Wahai Adam, sungguh engkau adalah ayah dari semua
manusia.. dst.. dst…
Dan Adam as berkata: “Diriku..diriku..,
pergilah pada selainku.., hingga akhirnya mereka berIstighatsah
memanggil–manggil Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wassalam, dan Nabi
Shallallahu ‘alaihi Wassalam sendiri yg menceritakan ini, dan
menunjukkan beliau tak mengharamkan Istighatsah.
Maka hadits
ini jelas-jelas merupakan rujukan bagi istighatsah, bahwa Rasul
Shallallahu ‘alaihi Wassalam menceritakan bahwa orang-orang
beristighatsah kepada manusia, dan Rasul Shallallahu ‘alaihi Wassalam
tidak mengatakannya syirik, namun jelaslah Istighatsah di hari kiamat
ternyata hanya untuk Sayyidina Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wassalam.
(selesai perkataan Habib Munzir).
Pernyataan Habib Munzir di
atas sebenarnya tidak tepat jika digunakan untuk menyanggah penjelasan
Syaikh Bin Baz. Sebab, hadits tersebut adalah dalil bolehnya meminta
tolong kepada seorang yang masih hidup yang hadir di dekat kita. Dalam
hal ini Syaikh Bin Baz tidak mengingkari kebolehan meminta tolong atau
beristighotsah kepada seorang yang masih hidup dan dipandang mampu untuk
memberikan pertolongan saat itu.
Syaikh Bin Baz menyatakan:
Adapun meminta tolong kepada seseorang yang masih hidup serta hadir
untuk melakukan seseuatu yang dalam batas kemampuannya, tidaklah
termasuk perbuatan syirik. Akan tetapi itu merupakan hal–hal biasa yang
boleh dilakukan sesama kaum muslimin, sebagaimana yang diabadikan Allah
dalam kisah Nabi Musa.
“Maka orang yang dari golongannya
meminta pertolongan kepadanya untuk mengalahkan orang yang dari
musuhnya” QS. Al Qashash : 15. (Selesai penjelasan Syaikh Bin Baz,
dinukil dari buku yang sama halaman 1).
Hal yang dilakukan oleh
orang-orang pada hari kiamat tersebut adalah mereka mendatangi
Nabi-Nabi yang dipandang mampu memberikan syafaat, mendekatinya dan
berbicara di hadapannya. Bukannya memanggil-manggil nama Nabi-Nabi
tersebut dari kejauhan dan tidak terlihat atau Nabi itu berada di alam
lain. Berbeda dengan seorang yang beristighotsah di makam Nabi, pada
saat mereka di alam dunia, sedangkan Nabi-Nabi itu telah berada di alam
barzakh. Jelas hal demikian tidak diperbolehkan. Telah lewat penjelasan
tentang tidak diperbolehkannya hal tersebut sebagaimana para Sahabat
Nabi tidak ada yang melakukannya. Juga telah dijelaskan di atas bahwa
cucu Ali bin Abi Tholib sendiri mengingkari perbuatan seorang yang
berdoa di sisi makam Nabi Muhammad shollallaahu ‘alaihi wasallam.
Sehingga, Habib Munzir dalam hal ini telah menyanggah tulisan Syaikh Bin Baz dengan pendalilan yang tidak pada tempatnya.
Kesalahan dalam Berhujjah dengan Hadits yang Sangat Lemah
Habib Munzir menyatakan (halaman 7):
Demikian pula diriwayatkan bahwa dihadapan Ibn Abbas radhyallahu 'anhu
ada seorang yang keram kakinya, lalu berkata Ibn Abbas radhyallahu
'anhu: “Sebut nama orang yang paling kau cintai..!”, maka berkata orang
itu dengan suara keras.. : “Muhammad..!”, maka dalam sekejap hilanglah
sakit keramnya (diriwayatkan oleh Imam Hakim, Ibn Sunniy, dan
diriwayatkan oleh Imam Tabrani dengan sanad hasan) dan riwayat ini pun
diriwayatkan oleh Imam Nawawi pada Al Adzkar.
Jelaslah sudah
bahwa riwayat ini justru bukan mengatakan musyrik pada orang yang
memanggil nama seseorang saat dalam keadaan tersulitkan, justru Ibn
Abbas radhyallahu 'anhu yang mengajari hal ini (selesai perkataan Habib
Munzir).
Kisah tentang seorang yang kram kakinya kemudian
diminta untuk menyebut nama orang yang paling dicintai, dalam hal ini
Habib Munzir berdalil dengan hadits yang sangat lemah. Hadits tersebut
adalah:
وعن مجاهد قال: خدرت رِجْلُ رَجُلٍ عند ابن عباس رضي الله
عنهما فقال له ابن عباس: اذكر أحب الناس إليك. فقال: محمد ( فذهب خدره،
فأخرجه ابن السني في “عمل اليوم والليلة” (169)، وفي إسناده: غياث بن
إبراهيم كذبوه. قال ابن معين: كذاب خبيث
Dari Mujahid ia berkata:
Kaki seorang laki-laki kram ketika ia berada di sisi Ibnu Abbas,
kemudian Ibnu Abbas berkata: Sebutlah (nama) orang yang paling kamu
cintai. Kemudian orang itu berkata:’ Muhammad’. Maka sembuhlah orang itu
dari kramnya. (Diriwayatkan oleh Ibnus Sunni dalam amalul yaum
wallailah).
Hadits ini tidak bisa dijadikan sebagai hujjah,
karena di dalam sanadnya terdapat perawi yang bernama Ghoyyats bin
Ibrohim. Ia adalah perawi yang pendusta. Imam Ahmad bin Hanbal berkata:
Ghoyyats bin Ibrohim matrukul hadits, manusia (Ahlul hadits)
meninggalkan hadits darinya. Yahya bin Ma’in berkata: “Pendusta tidak
bisa dipercaya” (Lihat kitab al-Jarh wat Ta’dil karya Ibnu Abi Hatim juz
7 halaman 57 no perawi 327). Sehingga tidak benar jika dikatakan bahwa
sanad hadits tersebut hasan.
Berdalil dengan Kisah Tsunami Aceh
Habib Munzir menyatakan (halaman 7-8):
Kita bisa melihat kejadian Tsunami di aceh beberapa tahun yang silam,
bagaimana air laut yang setinggi 30 meter dengan kecepatan 300km dan
kekuatannya ratusan juta ton, mereka tak menyentuh masjid tua dan makam
makam shalihin, hingga mereka yg lari ke makam shalihin selamat, inilah
bukti bahwa Istighatsah dikehendaki oleh Allah Subhanallahu wa Ta’ala,
karena kalau tidak lalu mengapa Allah jadikan di makam–makam shalihin
itu terdapat benteng yang tak terlihat membentengi air bah itu, yang itu
sebagai isyarat Ilahi bahwa demikianlah Allah memuliakan tubuh yang
taat pada Nya Subhanallahu wa Ta’ala, tubuh tubuh tak bernyawa itu Allah
jadikan benteng untuk mereka yang hidup.., tubuh yang tak bernyawa itu
Allah jadikan sumber Rahmat dan perlindungan Nya Subhanallahu wa Ta’ala
kepada mereka–mereka yang berlindung dan lari ke makam mereka.
Kesimpulannya: mereka yang lari berlindung pada hamba–hamba Allah yang
shalih mereka selamat, mereka yang lari ke masjid–masjid tua yang bekas
tempat sujudnya orang–orang shalih maka mereka selamat, mereka yang lari
dengan mobilnya tidak selamat, mereka yang lari mencari tim SAR tidak
selamat. Pertanyaannya adalah: kenapa Allah jadikan makam sebagai
perantara perlindungan-Nya Subhanallahu wa Ta’ala? kenapa bukan orang
yang hidup? kenapa bukan gunung? kenapa bukan perumahan?.
Jawabannya bahwa Allah mengajari penduduk bumi ini beristighatsah pada shalihin (selesai pernyataan Habib Munzir).
Dari penjelasan tersebut, Habib Munzir ingin mengajak pembaca berpikir
dan mengambil pelajaran dari kisah di balik bencana Tsunami Aceh. Habib
Munzir menyatakan: bagaimana air laut yang setinggi 30 meter dengan
kecepatan 300km dan kekuatannya ratusan juta ton, mereka tak menyentuh
masjid tua dan makam makam shalihin, hingga mereka yg lari ke makam
shalihin selamat, inilah bukti bahwa Istighatsah dikehendaki oleh Allah
Subhanallahu wa Ta’ala, karena kalau tidak lalu mengapa Allah jadikan di
makam–makam shalihin itu terdapat benteng yang tak terlihat membentengi
air bah itu.
Perlu diketahui bahwa pada saat bencana Tsunami
Aceh yang lalu, terdapat beberapa masjid (bukan hanya satu) yang selamat
saat bangunan sekelilingnya hancur. Yang lebih perlu dicermati lagi,
bangunan-bangunan tempat ibadah yang selamat saat sekelilingnya hancur
ternyata bukan hanya masjid. Tapi juga beberapa gereja dan
kelenteng-kelenteng. Apakah dari fenomena ini kemudian akan diambil
kesimpulan bahwa tempat-tempat ibadah yang lain tersebut juga diridlai
oleh Allah Subhaanahu Wa Ta’ala?
Perlu dipahami, bahwa
keselamatan dari ancaman kematian bukanlah khusus untuk orang-orang yang
beriman. Pada saat terjadi bencana Tsunami Aceh, sebagian orang-orang
yang tidak beriman juga Allah beri kesempatan hidup. Bahkan, orang kafir
yang kokoh dalam kekafirannya ada yang Allah selamatkan sebagai bentuk
tipu daya dan istidraj dari Allah, kemudian ia mengira bahwa dengan
sebab kekafiran tersebut ia terselamatkan. Sebaliknya, tidak sedikit
orang-orang yang shalih dan beriman Allah takdirkan meninggal dengan
sebab peristiwa itu.
Tidak sedikit pula orang yang Allah
selamatkan di tempat-tempat yang bukan tempat ibadah. Ada yang selamat
karena berpegangan dengan pohon kelapa, dan sebagainya.
Keselamatan dari kematian karena peristiwa tertentu bukanlah khusus
untuk orang beriman saja. Bukankah dalam banyak pertempuran beberapa
kali Nabi dan para Sahabat mengalami kekalahan. Tidak sedikit Sahabat
Nabi yang Allah pilih sebagai syahid. Tidak sedikit pula dari orang
musyrikin Quraisy yang berkali-kali ikut pertempuran namun terus Allah
berikan kehidupan.
Hal-hal semacam itu bukanlah patokan untuk menilai apakah perbuatan itu syar’i atau tidak.
Patokan utama bagi seorang muslim adalah dalil syar’i dari alQuran dan hadits yang shahih dengan pemahaman para Sahabat Nabi.
Jika seorang telah mengamalkan Sunnah Nabi dengan tepat dan niat yang
ikhlas kemudian dengan sebab itu Allah berikan keselamatan, maka itulah
yang bisa dijadikan ibroh (pelajaran). Namun, jika seseorang sedang
melakukan perbuatan yang melanggar syariat Allah dengan kemaksiatan
(baik itu kesyirikan, kebid’ahan, atau dosa-dosa lain), namun justru
Allah beri keuntungan-keuntungan duniawi kepadanya, maka dikhawatirkan
itu adalah istidraj.
Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
إِذَا رَأَيْتَ اللَّهَ يُعْطِي الْعَبْدَ مِنْ الدُّنْيَا عَلَى مَعَاصِيهِ مَا يُحِبُّ فَإِنَّمَا هُوَ اسْتِدْرَاجٌ
“Jika engkau melihat Allah memberikan (kenikmatan) dunia kepada seorang
hamba karena kemaksiatannya, dalam hal-hal yang disenangi hamba
tersebut. Ketahuilah sesungguhnya itu adalah istidraj (H.R Ahmad).
(Abu Utsman Kharisman)
Sumber :
http://itishom.web.id/
Ditulis dalam Bantahan Ilmiyyah, Bantahan NU, HABIB MUNZIR AL-MUSAWA,
ISTIGHOTSAH, Majelis Rasulullah | Kaitkata: bantahan sufi, HABIB MUNZIR
AL-MUSAWA, ISTIGHOTSAH, majelis rasulullah
_____
http://
_______
https://www.facebook.com/
___________
CATATAN :
TABARRUK (Yang Disyari'atkan & Yang Tidak Disyari'atkan)
TAWASSUL (Yang Disyari'atkan & Yang Tidak Disyari'atkan)
DAN
ISTIGHATSAH (Sesat)
https://www.facebook.com/
15 Agustus 2012
BANTAHAN TERHADAP BUKU MENITI KESEMPURNAAN IMAN KARYA HABIB MUNZIR AL-MUSAWA (BAG I: ISTIGHOTSAH)
alah APA YANG disampaikan Syaikh Bin Baz rahimahullah. index.php?option=com_conten t&view=article&id=22%3Abag -i-istighotsah&catid=1%3Aa qidah&Itemid=2 bantahansalafytobat.wordpre ss.com/2011/01/05/ bantahan-terhadap-buku-meni ti-kesempurnaan-iman-karya -habib-munzir-al-musawa-ba g-i-istighotsah/ groups/132093920201459/ ?view=permalink&id=15355549 8055301 photo.php?fbid=198798446175 9&set=a.1653325175486.2085 068.1307751853&type=1&thea ter
Diberdayakan oleh Blogger.
0 komentar:
Posting Komentar