-->

17 Agustus 2012

Beda Salafi dengan Takfiri



Oleh Ustadz Aris Munandar
Mengingat kemunculan Khawarij itu bersifat terus menerus hingga kemunculan Dajjal dan hakikat senyatanya dari diri mereka di berbagai masa dan daerah tidaklah diketahui oleh sebagian kaum muslimin sehingga sebagian orang Islam beranggapan bahwa Khawarij itu berada di atas kebenaran. Sebagaimana sebagian orang yang hidup di masa salaf tidak mengetahui hakikat mereka yang senyatanya. Karena itu suatu hal yang vital adalah upaya membedakan antara mereka para Khawarij dengan para pengikut Salaf Shalih. Terlebih lagi opini yang dibuat media massa yang memiliki berbagai pandangan, tendensi dan pengetahuan sangat mempengaruhi banyak orang. Kita saksikan bahwa media tidak bisa membedakan antara salafi dengan takfiri [baca: khariji] yang ini tentu saja sangat merusak citra dakwah salafiyyah. Akibatnya takfiri khariji yang menyimpang dari dakwah salafiyyah dinilai sebagai salafi. Pemikiran dan tindakan takfiri khariji pun dinilai sebagai bagian dari dakwah salafiyyah. Kondisi ini menuntut kita untuk menegaskan perbedaan antara dakwah salafiyyah dengan dakwah yang diusung oleh Khawarij yang main vonis kafir seenaknya.
Pertama, ulama kontemporer yang dijadikan sebagai rujukan. Terdapat perbedaan yang nyata antara salafi dengan takfiri dalam masalah ini. Rujukan salafi dalam memahami al Qur’an dan sunnah Nabi di samping berbagai riwayat dari ulama salaf dan pemahaman ulama terdahulu adalah penjelasan para ulama besar di zaman ini semisal Ibnu Baz, Al Albani, Ibnu Utsaimin, Lajnah Daimah KSA, Syaikh Abdul Muhsin al Abbad dan para ulama lain yang meniti jejak para ulama tersebut.
Sedangkan takfiri tokoh kontemporer yang mereka jadikan sebagai rujukan adalah Sayyid Qutb, Muhammad Qutb, Abu Muhammad al Maqdisi, Abu Qatadah al Falistini, Abu Bashir ath Thurthusi dan orang-orang yang sejalan dan satu pemikiran dengan mereka-mereka.

Kedua
, sanad dakwah salafiyyah itu bersambung dengan para ulama salaf terdahulu baik dalam masalah ilmu ataupun pemahaman. Para salafi selalu berupaya mengambil akidah dan jalan beragama mereka dari para ulama terdahulu lalu ulama sebelum sampai berakhir pada para ulama salaf terdahulu. Tidaklah Anda jumpai sebuah kaedah yang dianut oleh para salafi melainkan berdalil dengan al Qur’an , sunnah dan riwayat para salaf yang kaedah tersebut dikutip dari generasi ke generasi hingga pada akhirnya sampai kepada kita.
Sedangkan takfiri kontemporer dengan beragam alirannya sanad keilmuan mereka tidaklah sampai kepada para ulama salaf namun hanya berakhir pada Jamaah Takfir wal Hijrah, Jamaah Jihad dan JI yang muncul pada tahun 70-an. Para takfiri itu tumbuh berkembang dari rahim ide-ide Sayyid Qutb. Sedangkan Sayyid Qutb pada awalnya terdidik oleh ajaran IM yang didirikan oleh Hasan al Banna pada tahun 1928. Meski pada akhirnya Sayyid Qutb memisahkan diri secara pemikiran dari pemikiran IM.
Ketiga, dakwah salafiyyah menjaga keotentikan jalan beragamanya dan kesuciannya dari noda berbagai pemikiran baru yang mau masuk ke dalam tubuh dakwah. Sesungguhnya slogan dakwah salafiyyah terkait dengan masalah agama adalah “hati-hatilah dengan berbagai perkara agama yang baru karena semua perkara agama yang baru adalah bidah sedangkan semua bidah itu sesat dan semua kesesatan itu di neraka”. Dakwah salafiyyah berkeyakinan bahwa tidak mungkin ada kebaikan yang sempurna kecuali jika sejalan dengan syariat sebagaimana perkataan Imam Malik “Tidaklah akan baik generasi akhir umat Muhammad kecuali dengan hal yang membuat baik generasi awalnya”.
Sedangkan takfiri, tokoh kontemporer mereka yang paling menonjol itu tumbuh berkembang dan terdidik tidak dengan manhaj salaf. Itulah Sayyid Qutb yang tumbuh besar sebagai pengikut IM yang kemudian membuat aliran tersendiri (baca: Qutbi) dalam jamaah IM.
Sedangkan Aiman azh Zhawahiri pertama kali tumbuh besar –sebagaimana pengakuannya sendiri-bersama Jamaah Jihad pada sekitaran tahun 1966 M di saat terbentuknya generasi awal Jamaah Jihad setelah terbunuhnya Sayyid Qutb.
Sedangkan Abu Muhammad al Maqdisi sendiri memberikan pengakuan bahwa dirinya tumbuh berkembang bersama para pembesar IM yang menyuapinya dengan Fi Zhilal al Qur’an, Ma’alim fit Thariq dan buku-buku Sayyid Qutb yang lain, buku-buku Muhammad Qutb serta karya-karya al Maududi.
Mereka-mereka inilah tokoh intelektual bagi pemikiran atau aliran takfiri kontemporer. Semua mereka tumbuh berkembang tidak di atas manhaj salaf shalih. Mereka ingin mencampur kebatilan yang telah mereka yakini dengan kebenaran yang mereka lihat pada manhaj salaf maka yang terjadi adalah manhaj (jalan beragama) oplosan. Sehingga jalan beragama mereka bukanlah salafiyyah namun mereka juga tidak lagi asli sebagaimana dahulu kala. Realita sesungguhnya adalah munculnya manhaj atau jalan beragama oplosan yang merupakan hasil dari pencampuran dua jalan dengan pencampuran yang unik.
Hasil investigasi dari realita keadaan dan jejak-jejak mereka menunjukkan bahwa mereka bukanlah bagian dari salafi dalam masalah-masalah yang di dalamnya mereka menyelisihi salafi sebagaimana khawarij masa silam dan ahli bidah yang lain bukanlah termasuk salaf dalam perkara-perkara yang di dalamnya mereka menyelisihi ajaran salaf.

Keempat, manhaj salaf dalam metode memperbaiki kondisi masyarakat tegak di atas prinsip tashfiyyah dan tarbiyyah sejalan dengan firman Allah,
إِنَّ اللهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ
Yang artinya, “Sesungguhnya Allah itu tidak akan mengubah kondisi suatu masyarakat sampai masyarakat tersebut mengubah kondisi mereka sendiri” [QS ar Ra’du:11].
Langkah awal proses perbaikan adalah memperbaiki diri sendiri dari akidah bobrok diganti dengan akidah yang lurus, meninggalkan berbagai ibadah dan perkataan yang bid’ah diganti dengan komitmen terhadap sunnah dalam perkataan atau pun perbuatan baik dari sisi lahiriah ataupun sisi batiniahnya, meninggalkan berbagai perilaku yang menyimpang serta melaksanakan apa yang menjadi tuntunan keadaan yang ada di zamannya sesuai dengan kondisi dan kemampuannya masing-masing. Jika setiap muslim telah mewujudkan hal tersebut pada dirinya masing-masing maka proses perbaikan akan menjalar kepada orang lain dengan cara yang lebih baik. Sehingga tersebarlah iman dan keamanan lalu terwujudlah kekuasaan yang Allah janjikan kepada orang-orang yang beriman dalam QS an Nur:55.
Sedangkan takfiri berkeyakinan bahwa meniti metode tashfiyyah dan tarbiyyah dalam proses memperbaiki masyarakat adalah sebuah kekalahan bahkan kesesatan dan penyimpangan karena jalan yang wajib ditempuh untuk memperbaiki berbagai penyimpangan yang ada di masyarakat adalah dengan mengubah para penguasanya dan ini tidak akan terwujud kecuali dengan kudeta dan memerangi penguasa dengan kedok jihad.
Kelima, salafi menghormati dan memuliakan para ulama. Salafi terkenal meneladani jejak salaf dalam menghormati para ulama karena membicarakan para ulama ahli sunnah dan mencela mereka tidaklah mungkin terjadi melainkan ada tendensi mencela manhaj kenabian yang mereka titi.
Kebalikan dari sikap di atas adalah sikap takfiri yang jelas tergambar pada sikap tokoh-tokoh mereka. Telah masyhur bagaimanakah celaan, caci maki dan pelecehan para tokoh takfiri terhadap para ulama dakwah salafiyyah. Abu Muhammad al Maqdisi dalam artikelnya ‘Zillu Himar al Ilmi fi ath Thin’ (Terperosoknya Keledai Ilmu dalam Kubangan Lumpur) menggelari para ulama anggota Haiah Kibar Ulama KSA terutama Syaikh Abdul Aziz bin Baz, Syaikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin, Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah alu Syaikh dan para ulama yang lain sebagai ‘Keledai Ilmu’, ‘Ulama Sesat’, ‘semakin buta dan kelewat batas’, ‘menyimpang dari kebenaran dan keluar dari tauhid’, ‘berpihak kepada thaghut dan kemusyrikan’ dst.
Sedangkan Aiman azh Zhawahiri menyebut Ibnu Baz, Abu Bakr al Jazairi dll sebagai ‘nama yang menggema namun kosong karena tenggelam dalam kemunafikan di depan para thaghut’, ‘orang-orang yang merobohkan dan menghancurkan akidah para pemuda, membenarkan kekafiran para tiran, orang-orang yang memusuhi amar makruf nahi munkar’, ‘sesungguhnya Ibnu Baz dan rombongannya adalah para ulama penguasa yang menjual kita kepada musuh dengan mendapatkan gaji dan jabatan meski ada orang yang marah atau pun suka dengan sebutan ini untuknya’.
Celaan para takfiri ini terhadap para ulama ahli sunnah bukanlah dilatarbelakangi oleh konflik personal namun motivatornya adalah perbedaan akidah dan jalan beragama antara salafi dengan takfiri yang merupakan khawarij kontemporer.
Keenam, ajaran salaf adalah ajaran Islam yang benar. Tolak ukur pengikut ajaran salaf adalah realita yang sesuai dengan ajaran Islam dan penerapan terhadap berbagai aturan Islam bukan hanya semata-mata pengakuan lisan sebagai seorang salafi.
Salafi berkeyakinan bahwa tidak ada perbedaan antara Islam yang benar yang dibawa oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan dipraktekkan oleh para shahabat dalam berbagai bidang dalam agama baik dalam bidang ilmu, amal, dakwah, usaha perbaikan masyarakat dan jihad dengan dakwah salafiyyah yang putih jernih. Semakin serius seorang salafi melaksanakan berbagai aturan Allah di berbagai bidang dalam agama maka semakin sempurnalah komitmen dirinya terhadap manhaj salaf. Seorang yang semakin sembrono terhadap aturan syariat adalah seorang yang semakin jauh dari salafiyyah yang sebenarnya. Jadi muslim sejati itu sama dengan salafi sejati dan sebaliknya adalah sebaliknya. Oleh karena itu salafi tidaklah membedakan diri dengan muslim yang lain dalam ilmu, dakwah, usaha perbaikan masyarakat atau pun jihad.

Sedangkan orang-orang takfiri mereka menyadari bahwa mereka itu berbeda dengan dakwah salafiyyah yang murni dalam banyak poin.
Mereka juga menyadari bahwa sebutan salafi tanpa embel-embel itu dalam benak orang awam ataupun orang-orang terpelajar identik dengan para ulama besar salafi semisal Al Albani, Ibnu Baz, Ibnu Utsaimin dan para ulama ahli sunnah lain yang mereka cela dan mereka sesatkan.
Oleh karena itu, mereka tidak mau mengaku sebagai salafi tanpa embel-embel karena mereka menyadari dampak dari pengakuan semacam ini. Oleh karena itu mereka tambahkan kata-kata jihad yang sebenarnya mereka sangat jauh dari jihad yang benar dalam nama salafi untuk sebutan bagi diri mereka sehingga mereka menyebut diri mereka sebagai salafi jihad. Padahal hasil investigasi menunjukkan bahwa mereka itu tidaklah meniti jejak para ulama salafi baik yang terdahulu maupun yang belakangan. Yang benar mereka membisniskan kata-kata jihad untuk menarik simpati hati kaum muslimin yang merasa mantap untuk meniti manhaj salaf shalih. Jadi mereka menambahkan kata-kata jihad pada nama salafi untuk bisa menebar pemahaman mereka yang sudah terkontaminasi dan untuk mewujudkan kepentingan mereka.

Antara Pilihan Ulama Salafi dengan Para Tokoh Takfiri
Terdapat sikap yang jelas dari para ulama salaf terhadap Khawarij di masa silam dalam permasalahan iman, vonis kafir dan penguasa. Demikian pula terdapat sikap yang jelas dari para ulama salafi kontemporer terhadap takfiri dan pendapat-pendapat mereka dalam berbagai permasalahan.
Bahkan kita bisa memastikan dan menegaskan bahwa tidak dijumpai bagian dari kaum muslimin saat ini yang lebih banyak membantah pemikiran takfiri sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang salafi. Para ulama besar salafi telah mengeluarkan ratusan fatwa, artikel, ceramah dan buku yang menjelaskan kesesatan takfiri yang sering kali bohong-bohongan mengaku-aku sebagai salafi.

Berikut ini penjelasan singkat tentang sikap salafi terhadap berbagai lontaran permasalahan yang disampaikan oleh takfiri.
Pertama, salafi berkeyakinan bahwa menjadikan hukum manusia sebagai aturan mengikat di masyarakat adalah perbuatan haram yang menyebabkan pelakunya terjerumus dalam kekafiran kecil yang tentu saja tidak mengeluarkan pelakunya dari Islam kecuali jika diiringi keyakinan bolehnya atau lebih baiknya menggunakan hukum manusia yang bertentangan dengan hukum Allah. Ketentuan ini berlaku untuk penguasa dan rakyat jelata.
Sedangkan takfiri berkeyakinan bahwa menggunakan hukum manusia itu menyebabkan kafirnya para penguasa dan keluarnya mereka dari Islam. Vonis kafir hanya mereka arahkan kepada penguasa, tidak kepada rakyat biasa.
Kedua, salafi berkeyakinan bahwa loyal dengan orang kafir itu beragam. Ada yang berstatus kekafiran besar, ada pula yang berstatus kekafiran kecil tergantung bentuk loyalitas dan keyakinan muslim yang memberikan loyalitas tersebut kepada orang kafir.
Sedangkan takfiri menyakini bahwa semua bentuk loyal kepada orang kafir itu sama yaitu berstatus kekafiran besar yang mengeluarkan pelakunya dari Islam dengan tutup mata terhadap bersihnya keyakinan orang yang memberikan loyalitas kepada orang kafir tersebut.
Ketiga, salafi berkeyakinan bahwa meminta tolong kepada orang kafir dalam peperangan menghadapi musuh kaum muslimin yang sejalan dengan kaedah-kaedah dan syarat yang berlaku itu status hukumnya beraneka ragam tergantung bentuk real dari permintaan tolong yang dilakukan, boleh jadi kekafiran besar, kefasikan (baca: dosa besar), maksiat biasa ataupun boleh tergantung bentuk dari permintaan tolong, sikon yang ada dan pertimbangan manfaat dan bahaya yang mungkin terjadi.
Sedangkan takfiri berkeyakinan bahwa meminta tolong kepada orang kafir dalam peperangan itu termasuk meminta tolong yang menyebabkan kafirnya orang yang minta tolong dan keluar dari Islam tanpa mengakui adanya perbedaan pendapat di antara para ulama dalam masalah ini.
Keempat, salafi berkeyakinan bahwa orang yang terus menerus melakukan dosa besar atau meninggalkan ketaatan yang hukumnya wajib seperti orang yang terus menerus tidak membayar zakat atau makan riba adalah orang fasik, bukan kafir, berhak mendapatkan ancaman yang Allah berikan di akherat meski pada akhirnya masuk ke dalam surga.
Sedangkan takfiri berkeyakinan bahwa orang yang terus menerus bermaksiat meski tidak menganggap bolehnya maksiat yang dia kerjakan adalah orang kafir, murtad, keluar dari Islam, berhak mendapatkan ancaman dan di akherat kekal di neraka.
Kelima, salafi berkeyakinan bahwa orang yang terjerumus dalam kemusyrikan atau kekafiran akbar itu tidak bisa divonis sebagai orang kafir kecuali oleh ulama yang memiliki ilmu yang mendalam atau hakim dan haram atas selain mereka mengeluarkan vonis kafir kepada individu tertentu karena vonis kafir itu termasuk permasalahan yang memerlukan ijtihad berkaitan dengan pemastian apakah individu tertentu itu memang telah melakukan kekafiran ataukah tidak, demikian pula menimbang faktor penghalang dan berbagai syarat untuk menjatuhkan vonis kafir. Hal-hal di atas tidaklah mungkin terwujud kecuali pada orang-orang yang memiliki kapabelitas dalam masalah tersebut. Itulah para ulama dan orang yang tugasnya menekuni permasalahan semisal ini (baca: hakim). Jadi dalam masalah vonis kafir salafi membedakan antara vonis untuk perbuatan dan vonis untuk pelaku.
Sedangkan takfiri berkeyakinan bahwa orang yang terjerumus dalam kekafiran besar yang nyata atau pun kemusyrikan besar personnya wajib divonis kafir oleh semua kaum muslimin tanpa membedakan antara vonis untuk perbuatan dengan vonis untuk pelaku. Bahkan sebagian mereka memvonis kafir orang yang tidak meyakini kafirnya orang jenis ini berdasarkan kaedah yang diletakkan tidak pada tempatnya ‘Siapa saja yang tidak menyakini kafirnya orang yang kafir maka dia sendiri adalah orang yang kafir’.
Keenam, salafi berkeyakinan bahwa masyarakat yang ada saat ini yang individu-individunya mengaku sebagai seorang muslim adalah masyarakat Islam meski ada di dalam masyarakat tersebut berbagai pelanggaran syariat dan berbagai bentuk kemaksiatan. Masyarakat Islam itu bertingkat-tingkat kesempurnaannya berbanding lurus dengan komitmen masyarakat tersebut terhadap ajaran Islam. Demikian pula masyarakat Islam yang ada itu bertingkat-tingkat kejelekannya selaras dengan seberapa besar pelanggarannya terhadap syariat.
Adapun takfiri berkeyakinan bahwa masyarakat Islam yang ada saat ini adalah masyarakat jahiliah bahkan sebagian mereka sudah berani memvonis bahwa masyarakat Islam saat ini adalah masyarakat kafir.
Ketujuh, salafi berkeyakinan bahwa muslim yang menjadi penguasa negeri-negeri kaum muslimin yang saat ini baik dengan status raja, amir, presiden dan menteri adalah wali amri (baca:penguasa) yang wajib ditaati selama memerintahkan kebaikan dan baru tidak boleh ditaati manakala memerintahkan rakyat untuk bermaksiat.
Sedangkan takfiri menyakini bahwa para penguasa yang ada di berbagai negeri kaum muslimin saat ini seluruhnya adalah orang-orang kafir dan murtad sehingga tidak boleh ditaati.
Kedelapan, salafi berkeyakinan bahwa muslim yang menjadi bagian dari aparat pemerintahan yang ada di berbagai negeri kaum muslim baik berstatus sebagai tentara, polisi atau jenis aparat keamanan lainnya adalah orang-orang Islam yang memiliki hak dan kewajiban sebagaimana umumnya kaum muslimin.
Sedangkan takfiri menyakini bahwa semua unsur aparat keamanan adalah orang-orang kafir, murtad dan keluar dari agama Islam.
Kesembilan, salafy berkeyakinan haramnya memberontak terhadap penguasa kaum muslimin baik dengan bentuk senjata, omongan ataupun tulisan. Sedangkan penguasa yang non muslim, bolehnya memberontak terhadap mereka itu terkait oleh berbagai kaedah dan syarat. Tidak ada yang bisa merinci permasalahan ini melainkan ulama yang menekuni bidang ini.
Sebaliknya, takfiri berkeyakinan bahwa memberontak terhadap para penguasa yang ada di berbagai negeri kaum muslimin adalah termasuk bentuk jihad fi sabilillah yang paling besar baik dengan senjata jika memungkinkan, dengan omongan ataupun dengan tulisan.
Kesepuluh, salafi berkeyakinan bahwa wilayah yang dihuni oleh kaum muslimin saat ini dan penguasanya penguasa muslim adalah negeri Islam sehingga haram hukumnya berhijrah meninggalkannya untuk berpindah ke negeri kafir.
Sedangkan takfiri menyakini bahwa negeri-negeri Islam yang ada saat ini adalah negara kafir dan murtad. Oleh sebab itu, mereka membolehkan hijrah darinya untuk menetap di negeri kafir. Bahkan negeri kafir asli itu menurut mereka lebih baik dibandingkan negeri murtad dalam pandangan mereka yang sebenarnya adalah negeri kaum muslimin.
Kesebelas, salafi menyakini bahwa orang kafir asli saat ini ada empat macam, kafir dzimmi, harbi, mu’ahad dan musta’man.
Sedangkan takfiri berkeyakinan bahwa orang-orang kafir yang ada di zaman ini hanya satu jenis saja yaitu kafir harbi. Oleh karena itu mereka tidak mengakui adanya kafir mu’ahad, musta’man dan dzimmi.
Kedua belas, salafi berkeyakinan bahwa harta kaum muslimin itu haram diganggu kecuali dengan cara-cara yang dibenarkan oleh syariat. Demikian pula harta orang kafir itu hanya dibolehkan untuk diambil mana kala mereka adalah kafir harbi.
Sedangkan takfiri meyakini bahwa harta orang-orang kafir dan orang Islam yang mereka vonis kafir adalah harta yang mubah bagi mereka bahkan mereka menilai harta tersebut sebagai ghanimah atau harta rampasan perang.
Ketiga belas, salafi menyakini bahwa orang yang wajib diperangi saat ini adalah orang-orang kafir harbi dan orang Islam yang menjadi pemberontak terhadap penguasa muslim yang sah.
Sedangkan takfiri menyakini bahwa yang wajib adalah memerangi orang-orang kafir dan orang Islam yang mereka vonis sebagai orang murtad.
Keempat belas, salafi menyakini bahwa jihad jika wajib dalam kondisi tertentu itu harus di bawah komando penguasa muslim.
Sedangkan takfiri berkeyakinan bahwa berperang di bawah komando penguasa di negeri mereka itu tidak sejalan dengan syariat karena para penguasa tersebut menurut mereka adalah orang-orang kafir dan murtad.
Kelima belas, salafi menyakini bahwa jihad fi sabilillah yang paling agung adalah jihad yang pada dasarnya terjadi antara kaum muslimin dengan kafir harbi.
Sedangkan takfiri menyakini bahwa jihad fi sabilillah yang paling agung adalah jihad melawan para penguasa negeri kaum muslimin dan aparat keamanan karena mereka beranggapan bahwa jihad terhadap orang murtad itu lebih utama di sisi Allah dibandingkan jihad terhadap kafir asli.
Keenam belas, salafi meyakini terjaganya darah kaum muslimin secara mutlak demikian pula semua orang yang hartanya dijaga oleh syariat yaitu kafir dzimmi, musta’man dan mu’ahad sehingga tidak boleh menumpahkan darah mereka dalam kondisi apapun sampai-sampai meski dalam kondisi jihad yang syar’i kecuali jika dalam kondisi terpaksa.
Sedangkan takfiri meyakini bahwa darah kaum muslimin dan orang kafir yang sebenarnya darahnya terjaga itu boleh ditumpahkan meski dalam kondisi tidak terpaksa. Oleh karena itu, kita jumpai mereka secara umum bermudah-mudah melakukan aksi pembunuhan terhadap kaum muslimin dengan melakukan pengeboman dan pengusalan berbagai sarana umum.
Ketujuh belas, salafi meyakini haramnya mengganggu darah orang-orang yang menyelisihi mereka dari kalangan cendikiawan, orang-orang sekuler dan orang-orang nasionalis serta orang-orang media yang merusak meski mereka memiliki pemikiran yang bernilai kekafiran karena vonis kafir untuk orang-orang tersebut adalah urusan hakim dan memberikan hukuman kepada orang-orang yang bersalah adalah wewenang penguasa.
Sedangkan takfiri menyakini bahwa mereka semua adalah para pengrusak yang wajib dipenggal kepalanya dan mereka menilai bahwa upaya memenggal kepala mereka adalah bagian dari jihad.
Kedelapan belas, salafi meyakini haramnya berbagai tindakan pengeboman yang bertujuan membunuh dan menghancurkan harta orang-orang yang darah dan hartanya terjaga menurut syariat.
Sedangkan takfiri menyakini bahwa berbagai aksi pengeboman baik di negeri kaum muslimin atau pun negeri kafir adalah bagian dari jihad fi sabilillah.
Kesembilan belas, salafi menyakini haramnya berbagai aksi bunuh diri dalam bentuk apapun karena tindakan bunuh diri itu haram berdasarkan berbagai dalil syariat dan kesepakatan para ulama.
Sedangkan takfiri menyakini bahwa aksi-aksi bunuh diri itu bagian dari upaya meraih gelar syuhada yang dibenarkan oleh syariat dan melakukannya adalah salah satu bentuk jihad fi sabilillah.
Kedua puluh, salafi menyakini haramnya berbagai bentuk demonstrasi dan people power karena hal tersebut terhitung sarana bid’ah dalam melakukan upaya perbaikan kondisi masyarakat di samping karena adanya berbagai penyimpangan syariat di dalamnya semisal campur baur laki-laki dan perempuan, penjarahan harta benda dan penumpahan darah.
Sedangkan takfiri menyakini demonstrasi sebagai sarana yang sejalan dengan aturan syariat untuk melakukan perbaikan bahkan bagian dari jihad fi sabilillah.
Kedua puluh satu, salafi meyakini dibenarkannya peran serta (baca: nyoblos) dalam pilkada atau pun pemilihan calon legislative pusat dengan syarat dan ketentuan yang telah diketahui untuk memilih yang terbaik bagi kaum muslimin. Sedangkan ulama salafi yang melarang nyoblos dan mereka minoritas dibandingkan dengan ulama yang membolehkannya tidaklah mengatakan bahwa alasan tidak bolehnya nyoblos adalah kafir dan murtadnya orang yang ikut nyoblos.
Sedangkan takfiri menyakini bahwa dewan legislative adalah majelis kekafiran yang membuat undang-undang padahal hanya Allah yang boleh membuat aturan sehingga memilah caleg (baca: nyoblos pemilu) itu bagaikan memilih pembuat aturan selain Allah sehingga yang kafir karena sebab nyoblos adalah dua orang yaitu pemilih dan yang dipilih.
Kedua puluh dua, salafi meyakini tanzhim hizbi termasuk sarana bidah yang menyebabkan adanya baiat kepada selain penguasa kaum muslimin, fanatik terhadap kelompok dan hanya loyal yang seutuhnya kepada sesama anggota kelompok tidak dengan seluruh kaum muslimin.
Sedangkan takfiri menyakini bahwa tanzhim hizbi adalah bentuk dari persiapan jihad fi sabilillah. Oleh karena itu, kita jumpai mereka mewajibkan taat penuh kepada pemimpin kelompok karena para pemimpin kelompok tersebut dianggap sebagai pemimpin yang sah menurut syariat sehingga berhak untuk dibaiat padahal baiat hanya diberikan kepada penguasa.
Kedua puluh tiga, salafi meyakini dibenarkannya mengikuti pendidikan formal dengan harapan meningkatan kualitas pendidikan dan wawasan individu serta masyarakat diiringi komitmen untuk menghindari berbagai pelanggaran syariat yang menyertai pendidikan jenis ini dan memandu pendidikan jenis ini dengan berbagai pakem-pakem syariat.
Sedangkan takfiri menyakini bahwa di antara bentuk persiapan jihad adalah menghindari pendidikan formal karena pendidikan formal itu menyebabkan pengrusakan terhadap akal generasi muda, bertolak belakang dengan akidah, tauhid dan syariat serta melalaikan dari cita-cita teragung yaitu menyiapkan para panglima perang jago kuda. Anggapan semisal ini telah ditegaskan oleh ulama rujukan para takfiri yaitu Abu Muhammad al Maqdisi dalam bukunya ‘I’dad al Qodah al Fawaris bi Hujran Fasad al Madaris’
Sumber:
http://www.kulalsalafiyeen.com/vb/showthread.php?t=27355

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.