Segala puji bagi Allah atas berbagai macam nikmat yang Allah berikan.
Shalawat dan salam atas suri tauladan kita Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam
kepada keluarganya dan para pengikutnya. Kita saat ini telah berada di
penghujung Ramadhan dan sebentar lagi akan memasuki hari lebaran. Dan
hari inilah yang sering dinanti-nanti oleh umat Islam. Namun, sebelum
memasuki hari lebaran, terlebih dahulu kita mengetahui perkara yang
wajib kita tunaikan sebelum shalat ‘ied yaitu zakat fithri dan bagaimana
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berhari raya. Simaklah pembahasan
kali ini, semoga mendapat ilmu yang bermanfaat.
Hikmah Disyari’atkan Zakat Fithri
Di antara hikmah zakat fithri adalah untuk menyucikan hati orang yang
berpuasa dari perkara yang tidak bermanfaat dan kata-kata yang kotor.
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata,
فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fithri
untuk mensucikan orang yang berpuasa dari perkara yang sia-sia dan
perkataan kotor, sekaligus untuk memberikan makan orang-orang miskin.” (HR. Abu Daud dan Ibnu Majah. Dalam Shohih wa Dho’if Sunan Abu Daud, Syaikh Al Albani mengatakan hadits ini hasan)
Selain itu juga, zakat fithri
akan mencukupi kaum fakir dan miskin dari meminta-minta pada hari raya
‘idul fithri sehingga mereka dapat bersenang-senang dengan orang kaya
pada hari tersebut dan syari’at ini juga bertujuan agar kebahagiaan ini
dapat dirasakan oleh semua kalangan. (Lihat Minhajul Muslim, 23 dan Majelis Bulan Ramadhan, 382)
Hukum Zakat Fithri
Zakat Fithri adalah shodaqoh yang wajib ditunaikan oleh setiap muslim
pada hari berbuka (tidak berpuasa lagi) dari bulan Ramadhan. Hal ini
dapat dilihat dari perkataan Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma,
فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ عَلَى الْحُرِّ وَالْعَبْدِ وَالذَّكَرِ وَالْأُنْثَى وَالصَّغِيرِ وَالْكَبِيرِ مِنْ الْمُسْلِمِينَ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fithri dengan satu sho’ kurma atau satu sho’ gandum bagi setiap muslim yang merdeka maupun yang budak, laki-laki maupun perempuan, anak kecil maupun dewasa.” (HR. An Nasai. Dalam Shohih wa Dho’if Sunan Nasa’i, Syaikh Al Albani mengatakan hadits ini shohih)Catatan: Perlu diperhatikan bahwa shogir (anak kecil) dalam hadits ini tidak termasuk di dalamnya janin. Karena ada sebagian ulama seperti Ibnu Hazm yang mengatakan bahwa janin juga wajib dikeluarkan zakatnya. Hal ini kurang tepat karena janin tidaklah disebut shogir dalam bahasa Arab juga secara ‘urf (anggapan orang Arab) (Lihat Shifat Shaum Nabi, 102). Namun jika ada yang mau membayarkan zakat fithri untuk janin tidaklah mengapa karena dahulu sahabat Utsman bin ‘Affan pernah mengeluarkan zakat fithri bagi janin dalam kandungan. (Lihat Majelis Bulan Ramadhan, 381)
Yang Berkewajiban Membayar Zakat Fithri
Zakat fithri ini wajib ditunaikan oleh:
1. Setiap muslim sedangkan orang kafir tidak wajib untuk menunaikannya,
namun mereka akan dihukum di akhirat karena tidak menunaikannya.
2. Yang mampu mengeluarkan zakat fithri. Menurut mayoritas ulama, batasannya adalah mempunyai kelebihan makanan bagi dirinya dan yang diberi nafkah pada malam dan siang hari ‘ied. Jadi apabila keadaan seseorang demikian berarti dia mampu dan wajib mengeluarkan zakat. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ سَأَلَ وَعِنْدَهُ مَا يُغْنِيهِ فَإِنَّمَا يَسْتَكْثِرُ مِنَ النَّارِ » فَقَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا يُغْنِيهِ قَالَ « أَنْ يَكُونَ لَهُ شِبَعُ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ أَوْ لَيْلَةٍ وَيَوْمٍ
“Barangsiapa meminta dan padanya
terdapat sesuatu yang mencukupinya, maka seseungguhnya dia telah
mengumpulkan bara api.” Mereka berkata, “Wahai Rasulullah, bagaimana
ukuran mencukupi? Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,”Seukuran makanan yang mengenyangkan sehari-semalam.” (HR. Abu Daud, Dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani dalam Shohih Abi Daud) (Lihat Shohih Fiqh Sunnah, II/80)
Bagaimana dengan anak dan istri yang menjadi tanggungan suami, apakah
perlu mengeluarkan zakat sendiri-sendiri? Menurut Imam Nawawi, kepala
keluarga wajib membayar zakat fithri keluarganya. Bahkan menurut Imam
Malik, Syafi’i dan mayoritas ulama wajib bagi suami untuk mengeluarkan
zakat istrinya karena istri adalah tanggungan nafkah suami. (Syarh Nawawi ‘ala Muslim,
VII/59).
Namun menurut Syaikh Ibnu Utsaimin, jika mereka mampu,
sebaiknya mereka mengeluarkannya atas nama diri mereka sendiri, karena
pada asalnya masing-masing mereka terkena perintah untuk menunaikannya.
(Lihat Majelis Bulan Ramadhan, 381). Wallahu a’lam.
Kapan Seseorang Mulai Terkena Kewajiban Membayar Zakat Fithri ?
Seseorang mulai terkena kewajiban membayar zakat fithri pada saat terbenamnya matahari di malam hari raya.
Jika dia mendapati waktu tersebut, maka wajib baginya membayar zakat
fithri. Dan pendapat inilah yang dipilih oleh Imam Syafi’i dan Imam
Nawawi dalam Syarh Muslim VII/58, juga dipilih oleh Syaikh Ibnu Utsaimin dalam Majlis Syahri Ramadhan.
Alasannya karena zakat ini merupakan saat berbuka dari puasa Ramadhan.
Oleh karena itu, zakat ini dinamakan demikian (disandarkan pada kata fithri) sehingga hukumnya juga disandarkan pada waktu fithri tersebut.
Misalnya adalah apabila seseorang meninggal satu menit sebelum
terbenamnya matahari pada malam hari raya, maka dia tidak punya
kewajiban dikeluarkan zakat fithri. Namun, jika ia meninggal satu menit
setelah terbenamnya matahari maka wajib untuk mengeluarkan zakat fithri
darinya. Begitu juga apabila ada bayi yang lahir setelah tenggelamnya
matahari maka tidak wajib dikeluarkan zakat fithri darinya, tetapi
dianjurkan sebagaimana perbuatan Utsman di atas. Namun, jika bayi itu
terlahir sebelum matahari terbenam, maka zakat fithri wajib untuk
dikeluarkan darinya (Lihat Majelis Bulan Ramadhan, 385).
Macam Zakat Fithri
Benda yang dijadikan zakat fithri adalah berupa makanan pokok
manusia, baik itu kurma, gandum, beras, kismis, keju, dsb dan tidak
dibatasi pada kurma atau gandum saja (Lihat Majelis Bulan Ramadhan, 383 & Shohih Fiqh Sunnah, II/82). Inilah pendapat yang benar sebagaimana dipilih oleh Malikiyah, Syafi’iyah, dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa dan hal ini diselisihi oleh Hanabilah. Adapun Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
mewajibkan zakat fithri dengan satu sho’ kurma atau gandum karena ini
adalah makanan pokok penduduk Madinah. Seandainya itu bukan makanan
pokok mereka tetapi mereka mengkonsumsi makanan pokok lainnya, maka
beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tentu tidak akan membebani
mereka mengeluarkan zakat fithri yang bukan makanan yang biasa mereka
makan. Sebagaimana juga dalam membayar kafaroh diperintahkan seperti
ini. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,
فَكَفَّارَتُهُ إِطْعَامُ عَشَرَةِ مَسَاكِينَ مِنْ أَوْسَطِ مَا تُطْعِمُونَ أَهْلِيكُمْ
“Maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan
sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada
keluargamu.” (QS. Al Maidah [5] : 89).
Dan zakat fithri merupakan bagian dari kafaroh. (Lihat Shohih Fiqh Sunnah, II/82)
Ukuran Zakat Fithri
Sebagaimana disebutkan dalam hadits Ibnu Umar di atas bahwa zakat
fithri adalah seukuran satu sho’ kurma atau gandum. Satu sho’ dari semua
jenis ini adalah seukuran ‘empat cakupan penuh telapak tangan yang
sedang’ sebagaimana yang disebutkan dalam Kamus Al Muhith. Dan
apabila ditimbang akan mendekati ukuran 3 kg. Jadi kalau di Jawa makanan
pokoknya adalah beras, maka ukuran zakat fithrinya sekitar 3 kg dan
inilah yang lebih hati-hati. (Lihat pendapat Syaikh Ibnu Baz dalam Majmu’ Fatawa-nya V/92 atau Majalah Al Furqon Th. I, ed 2)
Bolehkan Mengeluarkan Zakat Fithri dengan Uang ?
Perlu diketahui bahwa pakaian, tempat tidur, bejana, perabot rumah tangga, serta benda-benda lainnya selain makanan tidak dapat digunakan untuk membayar zakat fithri. Sebab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
mewajibkan pembayaran zakat fithri dengan makanan (sebagaimana dapat
dilihat pada hadits Ibnu Abbas di atas), dan ketentuan beliau ini tidak
boleh dilanggar. Oleh karena itu, tidak boleh mengganti makanan dengan
uang yang seharga makanan dalam membayar zakat fithri karena ini berarti
menyelisihi perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan alasan lainnya adalah:
- Selain menyelisihi perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga menyelisihi amalan sahabat radhiyallahu ‘anhum yang menunaikannya dengan satu sho’ kurma atau gandum. Ingatlah! Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda yang artinya, “Wajib bagi kalian untuk berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah khulafa’ur rasyidin yang mendapat petunjuk.” (HR. Abu Daud & Tirmidzi, dia mengatakan hadits ini hasan shohih)
- Zakat fithri adalah suatu ibadah yang diwajibkan dari suatu jenis tertentu. Oleh sebab itu, posisi jenis barang yang dijadikan sebagai alat pembayaran zakat fithri itu tidak dapat digantikan sebagaimana waktu pelaksanaannya juga tidak dapat digantikan. Jika ada yang mengatakan bahwa menggunakan uang ‘kan lebih bermanfaat. Maka kami katakan bahwa Nabi yang mensyariatkan zakat dengan makanan tentu lebih sayang kepada orang miskin dan tentu lebih tahu mana yang lebih manfaat bagi mereka. Allah yang mensyari’atkannya pula tentu lebih tahu kemaslahatan hamba-Nya yang fakir dan miskin, tetapi Allah dan Rasul-Nya tidak pernah mensyariatkan dengan uang.
Perlu diketahui pula bahwa pada zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah terdapat mata uang. Tetapi kok beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memerintahkan sahabatnya untuk membayar dengan uang? Seandainya diperbolehkan dengan uang, lalu apa hikmahnya beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan dengan satu sho’ gandum atau kurma? Seandainya boleh menggunakan uang, tentu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam akan mengatakan kepada umatnya, ‘Satu sho’ gandum atau harganya.’
Terakhir, menurut mayoritas ulama fiqh tidak boleh menggunakan uang
yang senilai makanan untuk membayar zakat fithri, namun yang
membolehkannya adalah Abu Hanifah juga Umar bin Abdul Aziz. Imam Nawawi
dalam Syarh Muslim mengatakan bahwa perkataan Abu Hanifah ini tertolak.
Karena “Tidaklah Rabbmu itu lupa”. Seandainya zakat fithri dengan uang
itu dibolehkan tentu Allah dan Rasul-Nya akan menjelaskannya. (Lihat
Majalah Al Furqon Th. I, ed 2 & Al Wajiz fi Fiqhis Sunnah, 230-231)
Penerima Zakat Fithri
Penerima zakat fithri hanya dikhususkan untuk orang miskin
dan bukanlah dibagikan kepada 8 golongan penerima zakat (sebagaimana
terdapat dalam surat At Taubah: 60). Inilah pendapat Malikiyah dan
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah yang menyelisihi mayoritas ulama. Pendapat
ini lebih tepat karena lebih cocok dengan tujuan disyariatkannya zakat
fithri yaitu untuk memberi makan orang miskin sebagaimana disebutkan
dalam hadits Ibnu Abbas di atas, “… untuk memberikan makan orang-orang miskin.” (Lihat Shohih Fiqh Sunnah, II/85)
Ibnul Qayyim dalam Zadul Ma’ad, II/17 mengatakan bahwa berdasarkan petunjuk beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam zakat fithri itu hanya dikhususkan kepada orang miskin. Dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
tidak pernah membagikannya kepada 8 ashnaf (sebagaiman dalam Surat At
Taubah: 60) dan beliau juga tidak pernah memerintahkan demikian dan
tidak ada seorang sahabat pun dan tabi’in yang melakukannya.
Waktu Mengeluarkan Zakat Fithri
Zakat fithri disandarkan kepada kata ‘fithri (berbuka artinya tidak
berpuasa lagi)’. Karena fithri inilah sebabnya, maka zakat ini dikaitkan
dengan fithri tersebut dan tidak boleh didahulukan. Perlu diketahui
bahwa waktu pembayaran zakat itu ada dua macam. Pertama adalah waktu
utama (afdhol) yaitu mulai dari terbit fajar pada hari ‘idul fithri
hingga dekat waktu pelaksanaan shalat ‘ied. Dan kedua adalah waktu yang
dibolehkan yaitu satu atau dua hari sebelum ‘ied sebagaimana yang pernah
dilakukan Ibnu Umar. (Lihat Fatawal Aqidah wa Arkanil Islam, 640 & Minhajul Muslim, 231)
Ibnu Abbas berkata,
فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ مَنْ أَدَّاهَا قَبْلَ الصَّلاَةِ فَهِىَ زَكَاةٌ مَقْبُولَةٌ وَمَنْ أَدَّاهَا بَعْدَ الصَّلاَةِ فَهِىَ صَدَقَةٌ مِنَ الصَّدَقَاتِ.
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fithri
untuk mensucikan orang yang berpuasa dari perkara yang sia-sia dan
perkataan kotor, sekaligus untuk memberikan makan untuk orang-orang
miskin. Barangsiapa yang menunaikannya sebelum shalat ‘ied, maka itu
adalah zakat yang diterima. Namun, barangsiapa yang menunaikannya
setelah salat ‘ied maka itu hanya sekedar shodaqoh.” (HR. Abu Daud dan Ibnu Majah. Dalam Shohih wa Dho’if Sunan Abu Daud, Syaikh Al Albani mengatakan hadits ini hasan)
Hadits ini merupakan dalil bahwa pembayaran zakat fithri setelah
shalat ‘ied tidak sah karena hanya berstatus sebagaimana sedekah pada
umumnya dan bukan termasuk zakat fithri (At Ta’liqot Ar Rodhiyah, I/553, ed)
Namun kewajiban ini tidak gugur di luar waktunya. Kewajiban ini harus
tetap ditunaikan walaupun statusnya hanya sedekah. Abu Malik Kamal
(Penulis Shohih Fiqh Sunnah) mengatakan bahwa pendapat ini
merupakan kesepakatan para ulama yaitu kewajiban membayar zakat fithri
tidaklah gugur apabila keluar waktunya. Hal ini masih tetap menjadi
kewajiban orang yang punya kewajiban zakat karena ini adalah utang yang
tidak bisa gugur kecuali dengan dilunasi dan ini adalah hak sesama anak
Adam. Adapun hak Allah, apabila hak tersebut diakhirkan hingga keluar
waktunya maka tidak dibolehkan dan tebusannya adalah istigfar dan
bertaubat kepada-Nya. (Lihat Shohih Fiqh Sunnah, II/84).
SEPUTAR ‘IDUL FITHRI
Berhari Rayalah Bersama Pemerintah dan Mayoritas Manusia
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya: “Puasa
kalian ditetapkan tatkala mayoritas kalian berpuasa, idul fithri
ditetapkan tatkala mayoritas kalian beridul fithri, dan idul adha
ditetapkan tatkala mayoritas kalian beridul adha.” (HR. Tirmidzi, beliau mengatakan hadits ini hasan ghorib).
Lalu Imam Tirmidzi mengatakan: “Sebagian para ulama menafsirkan
hadits ini dengan mengatakan, ‘Maksud hadits ini adalah puasa dan hari
raya hendaknya dilakukan bersama jama’ah (yaitu pemerintah kaum
muslimin) dan mayoritas manusia (masyarakat)’” (Lihat Tamamul Minnah, I/399, Al Maktabah Al Islamiyyah)
Petunjuk Suri Tauladan Kita dalam Berhari Raya
- Pada saat hari Raya ‘Idul Fitri, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenakan pakaian terbaik dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu mandi sebelum shalat ‘ied.
- Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa makan kurma -dengan bilangan ganjil tiga, lima atau tujuh- sebelum pergi melaksanakan shalat ‘ied. Tetapi pada ‘Idul Adha beliau tidak makan terlebih dahulu sampai beliau pulang, setelah itu baru memakan sebagian daging binatang sembelihannya.
- Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa menunaikan shalat ‘ied di tanah lapang dan beliau berangkat ke tempat tersebut dengan berjalan kaki.
- Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika sampai di tanah lapang langsung menunaikan shalat tanpa ada adzan atau pun iqomah. Tidak ada juga ucapan, ‘Ash Sholatul Jami’ah’. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sahabatnya juga tidak menunaikan shalat sebelum dan sesudah shalat ‘ied.
- Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mengakhirkan shalat ‘Idul Fitri agar kaum muslimin memiliki kesempatan untuk membagikan zakat fithrinya, dan mempercepat pelaksanaan shalat ‘Idul Adha supaya kaum muslimin bisa segera menyembelih binatang kurbannya.
- Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan shalat ‘ied dua raka’at terlebih dahulu kemudian berkhutbah. Pada rakaat pertama beliau bertakbir 7 kali berturut-turut setelah Takbiratul Ihram, dan berhenti sebentar di antara tiap takbir. Beliau tidak mengajarkan dzikir tertentu yang dibaca saat itu. Hanya saja ada riwayat dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata: “Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memuji dan menyanjung Allah Ta’ala serta bershalawat.” Dan diriwayatkan bahwa Ibnu Umar mengangkat kedua tangannya pada setiap takbir. Sedangkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah bertakbir membaca surat Al-Fatihah dan surat “Qaf” pada raka’at pertama serta surat “Al-Qamar” di raka’at kedua. Kadang-kadang beliau membaca surat “Al-A’la” pada raka’at pertama dan “Al-Ghasyiyah” pada raka’at kedua. Kemudian beliau bertakbir lalu ruku’ dilanjutkan takbir 5 kali pada raka’at kedua lalu membaca Al-Fatihah dan surat.
- Setelah menunaikan shalat, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menghadap ke arah jama’ah, sedang mereka tetap duduk di shaf masing-masing. Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan khutbah yang berisi wejangan, anjuran dan larangan.
- Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhutbah di tanah, dan tidak ada mimbar ketika beliau berkhutbah.
- Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi keringanan kepada jama’ah untuk tidak mendengar khutbah.
- Diperbolehkan bagi kaum muslimin, jika ‘ied jatuh pada hari Jum’at untuk mencukupkan diri dengan shalat ‘ied saja dan tidak menghadiri shalat Jum’at.
- Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu melalui jalan yang berbeda ketika berangkat dan pulang (dari shalat) ‘ied. (Risalah Syaikh Muhammad Ibn Jaarullah Al Jaarullah & Zadul Ma’ad Ibnul Qayyim)
Kemungkaran yang Biasa Dilakukan Ketika ‘Idul Fitri
- Tasyabbuh (meniru-niru) orang kafir dalam berpakaian dan mendengarkan musik/nyanyian (kecuali rebana yang dimainkan oleh wanita yang masih kecil). Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa yang meniru-niru suatu kaum, maka dia termasuk golongan mereka.” (HR. Ahmad, sanadnya hasan). Nabi shallallahu’alaihi wa sallam juga bersabda: “Akan datang sekelompok orang dari umatku yang menghalalkan (padahal hukumnya haram) perzinaan, pakaian sutra bagi laki-laki, khomr (sesuatu yang memabukkan), dan alat musik…” (HR. Bukhari secara mu’allaq dan Imam Nawawi berkata bahwa hadits ini shohih dan bersambung sesuai syarat shohih)
- Wanita berdandan ketika kluar rumah. Padahal seperti ini diharamkan di dalam agama ini, berdasarkan firman Allah yang artinya: “Dan hendaklah kamu (wanita muslimah) tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyyah yang dahulu, dan dirikanlah sholat serta tunaikanlah…” (QS. Al Ahzab [33] : 33)
- Berjabat tangan dengan wanita yang bukan mahrom. Fenomena ini merupakan musibah di tengah kaum muslimin apalagi di hari raya. Tidak ada yang selamat dari musibah ini kecuali yang dirahmati Allah. Perbuatan ini adalah haram berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam: “Sungguh, seandainya kepala kalian ditusuk dengan jarum dari besi, lebih baik daripada dia menyentuh wanita yang tidak halal dia sentuh.” (Lihat Silsilah Al Ahadits As Shohihah 226 & Ahkamul Iedain 34)
- Mengkhususkan ziarah kubur pada hari raya ‘ied. Padahal tidak terdapat satu dalil pun yang menunjukkan perintah Allah ataupun tuntunan Nabi untuk ziarah ke kubur pada saat tersebut.
- Kebanyakan manusia meninggalkan shalat lima waktu karena sibuk bersilaturahmi dan kaum pria juga meninggalkan shalat berjama’ah di masjid tanpa alasan yang dibenarkan oleh agama. Demi Allah, sesungguhnya ini adalah salah satu bencana yang amat besar.
- Begadang saat malam ‘Idul Fitri untuk takbiran hingga pagi sehingga kadang tidak mengerjakan shalat ‘ied di pagi harinya. Takbiran yang dilakukan juga sering mengganggu kaum muslimin yang hendak beristirahat padahal hukum mengganggu sesama muslim adalah haram. Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: “Muslim (yang baik) adalah yang tidak mengganggu muslim lainnya dengan lisan dan tangannya.” (HR. Muslim)
Semoga Allah menerima amalan kita semua di bulan Ramadhan.
Alhamdulillahilladzi
bi ni’matihi tatimmush sholihaat, wa shallallahu ‘ala nabiyyina
Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.
***
Disusun oleh: Muhammad Abduh Tuasikal & Ari Wahyudi
Artikel www.muslim.or.id
0 komentar:
Posting Komentar