Istilah
Darul Islam dan Darul Kufr begitu sering terdengar dari para aktifis
gerakan Islam. Namun demikian, tidak sedikit yang mengucapkannya, tetapi
tidak mengetahui definisi-nya, atau kurang tepat dalam
mendefinisikannya atau mendefinisikannya tanpa dasar melainkan hanya
katanya dan katanya.
Adapun para ulama, mendefinisikan istilah Darul Islam dan Darul Kufr dengan
definisi yang berbeda-beda, namun kebanyakan para ulama berpendapat, bahwa yang menjadi patokan adalah nampaknya sebagian besar hukum-hukum Islam. Lalu, ‘apa yang dimaksud dengan hukum Islam tersebut?’ ‘Apakah yang dimaksud adalah amalan pemerintahnya yang berupa hukum had dan semisalnya?’ Ataukah amalan penduduknya yang berupa syi’ar-syi’ar Islam?’
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah رحمه الله berkata dalam Majmu’ Fatawa (12/114),
فَإِنَّ كَثِيرًا مِنْ نِزَاعِ النَّاسِ سَبَبُهُ أَلْفَاظٌ مُجْمَلَةٌ مُبْتَدَعَةٌ وَمَعَانٍ مُشْتَبِهَةٌ حَتَّى تَجِدَ الرَّجُلَيْنِ يَتَخَاصَمَانِ وَيَتَعَادَيَانِ عَلَى إطْلَاقِ أَلْفَاظٍ وَنَفْيِهَا وَلَوْ سُئِلَ كُلٌّ مِنْهُمَا عَنْ مَعْنَى مَا قَالَهُ لَمْ يَتَصَوَّرْهُ فَضْلًا عَنْ أَنْ يَعْرِفَ دَلِيلَهُ
“Banyak perselisihan manusia disebabkan adanya lafadz yang umum yang diada-adakan dan makna-makna yang samar, hingga engkau jumpai dua orang saling berselisih tentang pemutlakan lafadz atau penafiannya, seandainya keduanya ditanya tentang makna perkataannya, maka dia belum bisa memberi gambarannya, apalagi mengetahui dalilnya.”
Oleh sebab itu, diperlukan adanya penjelasan yang singkat, namun gamblang tentang masalah tersebut yang mendefinisikan Darul Islam dan Darul Kufr berdasarkan Al Qur-an dan Al Hadits sesuai dengan pemahaman para ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
Allah berfirman,
(( يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَطِيعُوا اللهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُوْلِى اْلأَمْرِ مِنكُمْ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَىْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلأَخِرِ ذَلِكَ خَيْرُُ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً ))
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul(-Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian, jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur-an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan Hari Kemudian. Yang demikian itu adalah lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An Nisaa[4]: 59)
Rasulullah bersabda,
فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ فَسَيَرَى اخْتِلاَفاً كَثِيراً فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِيْ وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَاشِدِيْنِ المَهْدِيِيْنَ عَضُوْا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ
“Maka, barangsiapa hidup sepeninggalku, dia akan melihat perselisihan yang banyak, maka wajib bagi kalian untuk berpegang teguh pada Sunnahku dan Sunnah Khulafa-i `r Rasyidin yang mendapat petunjuk, gigitlah Sunnah itu dengan gigi geraham.”
[HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi]
Imam Abu Hanifah رحمه الله berkata, “Tidak halal bagi seseorang mengikuti perkataan kami, bila ia tidak mengetahui dari mana kami mengambilnya.” [Muqaddimah Shifat Shalat Nabi e- oleh Syaikh Al Albani]
Imam Malik رحمه الله berkata, “Aku manusia, terkadang salah, terkadang benar. Telitilah pendapatku! Bila sesuai dengan Al Qur-an dan As Sunnah, maka ambillah. Dan bila tidak sesuai dengan Al Quran dan As Sunnah, maka tinggalkanlah.” [Muqaddimah Shifat Shalat Nabi]
Maka, dalam men-definisi-kan Darul Islam dan Darul Kufr ini pula, marilah kita kembali kepada Al Qur-an dan As Sunnah sesuai dengan pemahaman para ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Marilah kita mencari dalil, kemudian kita meyakininya. Jangan meyakini dulu, baru kemudian cari dalil!!!
اِسْتَدِلَّ ثُمَّ اِعْتَقِدْ ، وَلاَ تَعْتَقِدْ ثُمَّ تَسْتَدِلَّ
“Carilah dalil, kemudian yakini! Jangan yakini, baru mencari dalil!”
Berikut ini beberapa dalil yang digunakan sebagai rujukan untuk men-definisi-kan Darul Islam dan Darul Kufr, beserta penjelasan para ulama mengenainya:
Hadits Anas bin Malik
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُغِيْرُ إِذَا طَلَعَ اْلفَجْرُ، فَإِنْ سَمِعَ أَذَانًا أَمْسَكَ وَإِلاَّ أَغَارَ
“Dulu Rasulullah menyerang, jika telah terbit fajar. Jika mendengar adzan, maka beliau menahan diri dan jika tidak mendengar adzan, maka beliau menyerang.” [HR. Al Bukhaari (610) & Muslim (1365)]
Imam Al Qurthubi رحمه الله berkata dalam kitabnya Al Jami’ li Ahkamil Qur-an (6/225),
قاَلَ أَبُوْ عُمَرَ: وَلاَ أَعْلَمُ اخْتِلاَفاً فِيْ وُجُوْبِ اْلاَذاَنِ جُمْلِةً عَلَى أَهْلِ المِصْرِ، لِاَنَّ اْلاَذَانَ هُوَ اْلعَلاَمَةُ الدَالَةُ اْلمُفَرِّقَةُ بَيْنَ دَارِ اْلاِسْلاَمِ وَدَارِ اْلكُفْرِ، وَكَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا بَعَثَ سَرِيَّةً قَالَ لَهُمْ: (إِذَا سَمِعْتُمْ اْلاَذَانَ فَأَمْسِكُوْا وَكَفُوْا وَإِنْ لَمْ تَسْمَعُوْا اْلاَذاَنَ فَأَغِيْرُوْا – أَوْ قَالَ – فشنوا الغارة).
“Abu ‘Umar berkata, ‘Dan aku tidak mengetahui adanya perbedaan tentang wajibnya adzan, karena adzan ialah pertanda yang menunjukkan perbedaan antara Darul Islam dan Darul Kufr. Dahulu Rasulullah e jika mengutus pasukan, maka beliau e bersabda kepada mereka, ‘Jika kalian mendengar adzan, maka tahanlah, jangan menyerang. Dan jika kalian tidak mendengar adzan, maka seranglah –atau- mulailah serangan.”
Syaikhu `l Islam Ibnu Taimiyah رحمه الله berkata dalam Majmu’ Fatawa (22/65),
فَإِنَّ الْأَذَانَ هُوَ شِعَارُ دَارِ الْإِسْلَامِ الَّذِي ثَبَتَ فِي الصَّحِيحِ أَنَّ ((النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُعَلِّقُ اسْتِحْلَالَ أَهْلِ الدَّارِ بِتَرْكِهِ فَكَانَ يُصَلِّي الصُّبْحَ ثُمَّ يَنْظُرُ فَإِنْ سَمِعَ مُؤَذِّنًا لَمْ يُغِرْ وَإِلَّا أَغَارَ))
“Sesungguhnya adzan adalah syi’ar Negara Islam sebagaimana telah ditetapkan dalam hadits shahih, bahwa Nabi e menghalalkan penduduk negeri dengan sebab meninggalkan adzan, dulu beliau shalat shubuh, kemudian memperhatikan, jika mendengar suara adzan, maka beliau tidak menyerang dan jika tidak, maka beliau menyerang.”
Hadits ‘Isham Al Muzani
كَانَ النَّبِيُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ إِذَا بَعَثَ السَّرِيَ يَقُوْلُ إِذَا رَأَيْتُمْ مَسْجِدًا أَوْسَمِعْتُمْ مُنَادِيًا فَلاَ تَقْتُلُوْا أَحَدًا
“Dahulu Nabi jika mengutus pasukan, maka beliau bersabda, ‘Jika kalian melihat masjid atau mendengar adzan, maka jangan membunuh seorangpun.” [HR. Ahmad (3/448), At Tirmidzy (1545) dan beliau mengatakan 'Hadits hasan gharib', Abu Dawud (2635), Syaikh Al Albani melemahkannya dalam Dha'if Sunan Abu Dawud (202)]
Imam Asy Syaukani رحمه الله berkata dalam kitabnya Nailul Authar (8/51-55),
فِيْهِ دَلِيْلٌ عَلَى أَنَّ مُجَرَّدَ وُُجُوْدِ اْلمَسْجِدِ فِيْ اْلبَلَدِ كَافٍ فِيْ اْلاِسْتِدْلاَلِ بِهِ عَلَى إِسْلاَمِ أَهْلِهِ وَإِنْ لَمْ يُسْمَعُ مِنْهَمْ الآذَانُ لِأَنَّ النَّبِيَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَأْمُرُِ سِرَايَاهُ بِاْلإِكْتِفَاءِ بِأَحَدِ اْلأَمْرَيْنِ إِمَّا وُجُوْدِ مَسْجِدٍ أَوْ سِمَاعِ اْلآذَانِ
“Hadits ini menunjukkan, bahwa sekedar keberadaan sebuah masjid di suatu negeri sudah cukup menjadi dalil atas ke-Islaman penduduknya, walaupun belum didengar adzan dari mereka karena Nabi e memerintahkan pasukan-pasukannya agar mencukupkan dengan salah satu dari dua hal, adanya masjid atau mendengar adzan.”
Syaikhu `l Islam Ibnu Taimiyah رحمه الله berkata dalam Majmu’ Fatawa (18/282),
وَكَوْنُ الْأَرْضِ دَارَ كُفْرٍ وَدَارَ إيمَانٍ أَوْ دَارَ فَاسِقِينَ لَيْسَتْ صِفَةً لَازِمَةً لَهَا ؛ بَلْ هِيَ صِفَةٌ عَارِضَةٌ بِحَسَبِ سُكَّانِهَا فَكُلُّ أَرْضٍ سُكَّانُهَا الْمُؤْمِنُونَ الْمُتَّقُونَ هِيَ دَارُ أَوْلِيَاءِ اللَّهِ فِي ذَلِكَ الْوَقْتِ وَكُلُّ أَرْضٍ سُكَّانُهَا الْكُفَّارُ فَهِيَ دَارُ كُفْرٍ فِي ذَلِكَ الْوَقْتِ
“Dan keberadaan negeri ialah negeri kafir, iman atau fasiq bukanlah sifat yang senantiasa melekat padanya, akan tetapi merupakan sifat yang ada berdasarkan penduduknya. Setiap jengkal bumi yang penduduknya beriman dan bertaqwa, maka negeri itu adalah negeri para wali Allah pada waktu itu dan setiap jengkal bumi yang penduduknya kafir, maka negeri itu adalah negeri kafir pada waktu itu.”
Kesimpulannya, suatu negara disebut Darul Islam, jika penduduknya menegakkan syi’ar-syi’ar Islam, seperti adzan, shalat jum’at, shalat jama’ah, hari raya (‘Iedu `l Fitri & ‘Iedu `l Adha) secara umum dan menyeluruh.
Sedang, suatu negara disebut Darul Kufr, jika penduduknya menegakkan syi’ar-syi’ar kufur dan tidak menegakkan syi’ar-syi’ar Islam secara umum dan menyeluruh.
Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah dalam Majmu’ Fatawa beliau (6/104-105) [Syarhu Tsalatsati `l Ushul],
وَبَلَدُ الشِّرْكِ هُوَ الَّذِيْ تُقَامُ فِيْهِ شَعَائِرُ اْلكُفْرِ وَلاَ تُقَامُ فِيْهِ شَعَائِرُ اْلإِسْلاَمِ كَالْأَذَانِ وَالصَّلاَةِ جَماعَةٍ، وَاْلأَعْياَدِ، وَاْلجُمْعَةِ عَلَى وَجْهٍ عامٍ شَامِلٍ، وَإِنَمَا قُلْنَا : عَلَى وَجْهٍ عَامٍ شَامِلٍ لِيَخْرُجَ مَا تُقَامُ فِيْهِ هَذِهِ الشَّعَائِرُ عَلَى وَجْهٍ مَحْصُوْرٍ كَبِلاَدِ اْلكُفَّارِ الَّتِي} فِيْهَا أقليات مُسْلِمَة فَإِنَّهَا لاَ تَكُوْنُ بِلاَدُ إِسْلاَمٍ بِمَا تُقِيْمُهُ اْلأقليات المسلمة فِيْهَا مِنْ شَعَائِرِ اْلإِسْلاَمِ، أَمَّا بِلاَدُ اْلإِسْلاَمِ فَهِيَ البِلاَدُ الَّتِيْ تُقَامُ فِيْهَا هَذِِهِ الشَّعَائِرُ عَلَى وَجْهٍ عَامٍ شَامِلٍ.
“Dan negara syirik adalah yang ditegakkan di dalamnya syi’ar-syi’ar kufur dan tidak ditegakkan di dalamnya syi’ar-syi’ar Islam, seperti adzan, shalat jama’ah, ‘Ied, dan shalat jum’at, secara umum dan menyeluruh. Kita katakan, ‘Secara umum dan menyeluruh’ untuk mengeluarkan (dari definisi ini) negara yang ditegakkan syi’ar-syi’ar Islam secara terbatas, seperti negara-negara kafir yang di dalamnya ada minoritas muslim, maka yang demikian tidak menjadi Negara Islam disebabkan minoritas muslim tersebut menegakkan sebagian syi’ar-syi’ar Islam. Adapun Negara Islam adalah negara yang ditegakkan di dalamnya syi’ar-syi’ar Islam ini secara umum dan menyeluruh.”
Di akhir pembahasan, kami bawakan perkataan seorang ahlu hadits dan sekaligus ahli fiqih pada zamannya, Abu Bakar Ahmad bin Ibrahim Al Isma’ily رحمه الله yang diriwayatkan oleh Ibnu Qudamah رحمه الله dalam Kitab I’tiqadu A-immati `l Hadits (1/31), Bab ‘Darul Islam’,
وَيَرَوْنَ الدَّارَ دَارُ اْلإِسْلاَمِ لاَ دَارُ اْلكُفْرِ كَمَا رَأَتْهُ الْمُعْتَزِلَةُ، مَا دَامَ النِدَاءُ بِالصَّلاَةِ وَاْلإِقاَمَةِ ظَاهِرِيْنَ وَأَهْلِهَا مُمَكِّنِيْنَ مِنْهَا آمِنِيْنَ
“Dan mereka (para Imam Ahlul Hadits) berpendapat, bahwa negara itu adalah Negara Islam, bukan negara kufur, sebagaimana pendapat mu’tazilah, selama adzan dan iqamah nampak dan penduduknya menetap di dalamnya dalam keadaan aman.”
وصلى الله على نبينا محمد و على آله و صحبه و سلم , و آخر دعوانا أن الحمد لله رب العلمين …
تمت بحمد الله
abu yunus
http://tashfiyah.or.id/
0 komentar:
Posting Komentar