OLEH: Asy Syeikh Bundar al Mahyani
Suatu hari aku bersama dua orang dai ahli sunnah duduk bareng
untuk berdiskusi dengan seorang yang terpengaruh dengan faham takfiri.
Sebelumnya dia datang ke acara tersebut ada yang memberi tahu kepada
kami bahwa dia adalah orang yang sangat semangat dengan pemikiran
takfiri sampai pada tingkat semangat yang ngawur plus membabi buta dan
dia kemana-mana selalu membawa sebuah buku yang digunakan sebagai
argumen dalam setiap diskusi dengan siapa pun.
Sebelum orang tersebut menyelesaikan ceritanya datanglah seorang anak
muda berusia 23 tahun dengan mengapit sebuah buku di ketiaknya. Kami
tidak antusias untuk mengetahui namanya sebanding dengan tawa kami
disebabkan perkataan seorang yang memperkenalkan siapakah dirinya
sebelum kehadirannya di forum tersebut.
Fokus diskusi para dai ahli sunnah bersamanya ditujukan
kepada pendapatnya yang paling menonjol yaitu menolak adanya faktor
penghalang adanya vonis kafir kepada person tertentu sehingga dia
memvonis kafir semua orang yang terjerumus dalam kekafiran tanpa
menimbang apakah orang tersebut tidak tahu, dipaksa, salah tidak sengaja
atau salah dalam memahami dalil [baca: takwil].
Setelah diskusi berjalan selama satu setengah jam tibalah
giliranku untuk ikut nimbrung dalam diskusi tersebut. Dengan memohon
pertolongan kepada Allah, kukatakan kepadanya, “Sebelum aku berdialog
dengan anda aku ingin menyampaikan secara ringkas pendapat anda dalam
masalah vonis kafir”.
Dengan penuh ketenangan dan santun dia berkata kepadaku, “Silahkan”.
Kukatakan, “Anda berpendapat bahwa hujjah telah tegak pada semua
manusia sehingga tidak ada alasan apapun untuk memaklumi orang yang
terjerumus dalam kekafiran?”
Dengan PD-nya dia menjawab, “Benar, tidak ada alasan untuk memaklumi orang yang terjerumus dalam kekafiran”.
Kukatakan, “Hasilnya, anda tidak mengakui dan menerima adanya faktor penghalang atau pencegah vonis kafir”.
Dengan singkat dia katakan, “Ya”.
Kutanyakan kepadanya, “Apa pendapat anda mengenai orang yang
mengingkari atau tidak mengetahui bahwa Allah itu mengetahui hal yang
gaib?”
Sebelum selesai pertanyaanku, segera dia menjawab, “Kafir”.
Kutanyakan kepadanya, “Tanpa perlu iqomah hujjah dan tanpa
menimbang adanya faktor pencegah vonis kafir untuk personal tertentu?”
Sambil tersenyum dia menegaskan, “Tidak ada alasan untuk memaklumi orang yang terjerumus dalam kekafiran”.
Di sinilah kukatakan kepadanya, “Dengarkan”. Lantas kuceritakan
kepadanya bahwa Nabi tatkala keluar dari rumah Aisyah untuk mendoakan
kaum muslimin yang dimakamkan di pemakaman Baqi’, Aisyah lantas menyusul
Nabi. Dalam hadits tersebut Nabi berkata kepada Aisyah,
“لتخبريني أو ليخبرنّي اللطيف الخبير”
“Jujur dan ceritakan kepadaku jika tidak niscaya Allah sendiri yang akan menceritakannya kepadaku!”
وأنها قالت: مهما يكتم الناس يعلمه الله؟! قال: “نعم”
Aisyah lantas berkata, “Bagaimana pun manusia berupaya untuk menutup-nutupi suatu hal Allah pasti mengetahuinya?!
Jawaban Nabi, “Ya”.
Lantas kukatakan kepadanya, “Kemungkinan yang paling
mendekati dari perkataan Aisyah itu menunjukkan bahwa beliau mengingkari
atau tidak mengetahui bahwa Allah itu mengetahui hal yang gaib tepatnya
gaib dalam pengertian ada di dalam hati. Anda punya dua pilihan, anda
vonis Aisyah sebagai orang kafir atau anda ralat pendapat anda di atas
dan anda mengakui adanya faktor penghalang vonis kafir untuk person yang
terjerumus dalam kekafiran”.
Kupandangi wajahnya, kutangkap nampaknya dia merasa asing yang hadits
yang kusampaikan seakan-akan dia baru mendengar hadits tersebut untuk
pertama kalinya saat itu. Segera kukatakan kepadanya, “Hadits di atas
ada dalam Sahih Muslim” sehingga tidak ada jalan baginya untuk
menganggap lemah hadits tersebut.
Pandangan heran dan tercengang sangat jelas pada wajahnya.
Aku merasa bahwa keyakinan yang ada dalam dirinya mulai terurai dan
hatinya nampak sudah siap untuk merespons positif kebenaran yang sampai
kepadanya.
Saat itulah kukatakan kepadanya, “Renungkanlah. Silahkan
kaukafirkan diriku, kau kafirkan pemerintah. Kafirkan siapa saja yang
kau mau. Akan tetapi demi Allah jika kau kafirkan ibu orang-orang
beriman, Aisyah maka aku akan menjadi musuhmu pada hari Kiamat nanti.
Akan kupegang kainmu di hadapan Allah lantas kukatakan, ‘Ya Allah
hukumlah orang ini karena dia telah memvonis kafir ummul mukimin Aisyah
di hadapan mataku’.
Hampir kuselesaikan ucapanku yang tidak sampai memakan waktu tiga
menit hingga dia tundukkan kepalanya dan dia tidak mengangkatnya
melainkan air mata telah memenuhi kedua bola matanya. Akupun lantas
memuji Allah dan kudoakan agar dia mendapatkan limpahan barokah dari
Allah. Akhirnya kami semua meninggalkan forum tersebut.
Yang ingin kusampaikan saat ini adalah banyak orang yang menyelisihi
keyakinan ahlu sunnah itu tidak mau mendengar alasan dan hujah ahlu
sunnah, pihak yang mereka selisihi. Seandainya mereka mendengarnya namun
sejak awal sudah ada niatan untuk membantah dan mendebat, bukan dengan
niatan mencari ilmu dan kebenaran. Mengaku bersikap objektif dan
memiliki moto hidup mengikuti dalil, semuanya tidaklah manfaat jika
seorang itu tidak serius mencari dalil dengan benar dan patuh kepada
petunjuk wahyu.
Petunjuk wahyu tidaklah terpatri kecuali pada hati yang tulus
mencari kebenaran dan menundukkan diri di hadapan Allah meminta hidayah
dan bimbingan meniti jalan yang benar. Itulah hamba yang memiliki
kekuatan dan tekad yang menyebabkan dia siap untuk menyalahkan pendapat
yang pernah dia pegangi lantas meralatnya mana kala dia melihat bahwa
kebenaran ternyata tidak sejalan dengan pendapatnya selama ini.
Merenunglah, evaluasilah pemikiran-pemikiranmu lantas ceklah
satu demi satu sesungguh fanatisme adalah diantara faktor penghalang
untuk menerima kebenaran. Jangan tertipu dengan diri sendiri, jangan
mengandalkan kawan-kawanmu. Jangan silau dengan banyaknya kawan karena
itu semua bukanlah tolak ukur kebenaran.
Timbanglah dirinya dengan timbangan yang benar dan jalan yang
adil, itulah sunnah dan jejak ulama salaf. pemahaman orang terhadap
dalil Qur’an dan sunnah itu bertingkat-tingkat. Kebenaran itu bersama
orang yang pemahamannya selaras dengan salaf shalih.
قالت عائشة رضي الله عنها: كان النبي صلى الله عليه وسلم إذا قام من الليل افتتح صلاته “اللهم رب جبرائيل وميكائيل وإسرافيل، فاطر السماوات والأرض عالم الغيب والشهادة، أنت تحكم بين عبادك فيما كانوا فيه يختلفون؛ اهدني لما اختلف فيه من الحق بإذنك، إنك تهدي من تشاء إلى صراط مستقيم” رواه مسلم
Aisyah mengatakan bahwa jika Nabi berdiri mengerjakan shalat
malam beliau membuka shalatnya dengan doa yang artinya, “Ya Allah,
tuhannya Jibril, Mikail dan Israfil pencipta langit dan bumi, yang
mengetahui hal yang gaib dan yang nampak. Engkaulah yang akan memberi
keputusan di antara hamba-hamba-Mu dalam semua hal yang mereka
perselisihkan. Berilah aku petunjuk tentang hal yang benar dengan
izin-Mu di antara berbagai perkara yang diperselisihkan sesungguhnya
Engkau itu memberi pentunjuk kepada siapa saja yang Engkau kehendaki
menuju jalan yang lurus” [HR Muslim].
وقال علي رضي الله عنه: قال لي رسول الله صلى الله عليه وسلم: “قل اللهم اهدني وسددني؛ واذكر بالهدى هدايتك الطريق، والسداد سداد السهم” رواه مسلم
Dari Ali bin Abi Thalib, Rasulullah pernah berkata kepadaku,
“Ucapkanlah doa ‘Ya Allah berilah hidayah kepada-Ku, bimbinglah
langkah-langkahku” [HR Muslim].
وقال عبادة بن الصامت رضي الله عنه: (إن على الحق نوراً)
Ubadah bin Shamit mengatakan, “Sesungguhnya kebenaran itu memiliki cahaya”.
وقال ابن عمر رضي الله عنه: (ما فرحت بشيء في الإسلام أشد فرحاً بأن قلبي لم يدخله شيء من هذه الأهواء)
Ibnu Umar mengatakan, “Selama menjadi muslim tidak ada yang
lebih membuatku gembira dibandingkan realita bahwa tidak ada satu pun
pemikiran sesat yang pernah bercokol dalam hatiku”.
وسُئل أبو بكر بن عياش رحمه الله: (مَن السُّنِّي)؟ فقال: (الذي إذا ذُكرت الأهواء لم يتعصب لشيء منها)
Abu Bakr bin ‘Iyyas ditanya mengenai siapakah itu ahlu sunnah.
Jawaban beliau, “Dia adalah orang yang manakala berbagai pemikiran sesat
dibahas di hadapannya tidak ada satu pun pemikiran sesat yang dia
fanatik dengannya”
Catatan:
Berdalil dengan hadits Aisyah dalam kisah di atas sebenarnya adalah
satu hal yang bisa diperdebatkan. Perlu diketahui bahwa terdapat banyak
dalil yang menunjukkan adanya faktor penghalang vonis kekafiran kepada
person tertentu yang terjerumus dalam kekafiran.
Maksud dari pemaparan kisah di atas adalah memotivasi orang-orang
yang menyelisihi keyakinan ahlu sunnah agar mau mendengar kebenaran
kemudian menerimanya.
Kisah di atas terjadi empat atau lima tahun yang lewat.
Bundar al Mahyani
24 Dzulqa’dah 1432 H.
Sumber:
http://islamancient.com/articles,item,827.html
0 komentar:
Posting Komentar