Setelah menjelaskan definisi dan hukum Dukun dan tukang ramal serta Nusyrah, selanjutnya, penulis Kitab Tauhid, menjelaskan apa itu tathayyur (merasa sial karena suatu sebab) dan bagaimana hukumnya. Bagaimana dalil-dalil serta penjelasan para ulama’ mengenai hal ini?
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Ketahuilah, sesungguhnya kesialan mereka itu adalah ketetapan dari Allah, akan tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.” (Al-A’raf:31)
“Utusan-utusan
itu berkata, "Kemalangan kamu itu adalah karena kamu sendiri. Apakah
jika kamu diberi peringatan (kamu mengancam kami)? Sebenarnya kamu
adalah kaum yang melampaui batas.” (Yasin: 19)
Abu Hurairah menuturkan bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda, “Tidak ada ‘adwa[1], thiyarah[2], hamah[3] dan shafar[4].” (Hadits riwayat Al-Bukhari dan Muslim).
Al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan pula dari Anas, ia berkata, Telah bersabda Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam, "Tidak ada ‘adwa
dan thiyarah, tetapi fa’l menyenangkan diriku." Para sahabat bertanya,
"Apakah fa’l itu?" Beliau menjawab, "Yaitu kalimah thayyibah (kata-kata
yang baik)."
Abu Dawud meriwayatkan dengan sanad sahih dari ‘Uqbah bin ‘Amir ia berkata, "Thiyarah
disebut-sebut di hadapan Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam, maka
beliau bersabda, “Yang paling baik adalah fa’l, dan thiyarah tersebut
tidak boleh menggagalkan seorang muslim dari niatnya. Apabila salah
seorang di antara kamu melihat sesuatu yang tidak diinginkannya, maka
supaya berdo’a, “Ya Allah, tiada yang dapat mendatangkan kebaikan selain
Engkau; tiada yang dapat menolak keburukan selain Engkau; dan tiada
daya serta kekuatan kecuali dengan pertolongan Engkau.”
Abu Dawud meriwayatkan pula hadits marfu’ dari Ibnu Mas’ud,
“Thiyarah
adalah syirik, thiyarah adalah syirik; dan tiada seorang pun di antara
kita kecuali (telah terjadi dalam hatinya sesuatu dari hal ini), hanya
saja Allah menghilangkannya dengan bertawakkal kepada-Nya.”
Hadits ini diriwayatkan juga oleh At-Tirmidzi dengan dinyatakan shahih dan kalimat terakhir tersebut dijadikannya sebagai ucapan dari Ibnu Mas’ud.
Imam Ahmad meriwayatkan dari hadits Ibnu ‘Amr, bahwa Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa
mengurungkan hajatnya (kepentingannya) karena thiyarah, maka dia telah
berbuat syirik. Para sahabat bertanya, "Lalu apakah sebagai tebusannya?"
Beliau shallallahu’alaihi wa sallam menjawab, "Supaya dia mengucapkan,
‘Ya Allah tiada kebaikan kecuali kebaikan dari Engkau; tiada kesialan
kecuali kesialan dari Engkau; dan tiada Sembahan yang hak (benar) selain
Engkau.’”
Imam Ahmad meriwayatkan pula hadits dari Al-Fadhl bin Al-’Abbas: “Sesungguhnya thiyarah itu ialah yang menjadikan kamu terus melangkah atau mengurungkan niat (dari keperluanmu).”
Kandungan Bab Ini
- Tafsiran kedua ayat tersebut di atas.[7]
- Dinyatakan bahwa tidak ada ‘adwa.
- Dinyatakan bahwa tidak ada thiyarah.
- Dan dinyatakan bahwa tidak ada hamah.
- Serta dinyatakan bahwa tidak ada Shafar.
- Fa’l tidak termasuk yang ditolak dan dilarang Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam, bahkan dianjurkan.
- Pengertian fa’l.
- Apabila terjadi thiyarah (tathayyur) dalam hati seseorang, tetapi dia tidak menginginkannya, maka hal itu tidak apa-apa hukumnya, bahkan Allah menghapusnya dengan tawakkal.
- Doa yang harus dibaca oleh orang yang menjumpai hal tersebut.
- Ditegaskan bahwa thiyarah adalah syirik.
- Pengertian thiyarah yang tercela dan terlarang.
Catatan Kaki
[1] ‘Adwa: penjangkitan atau penularan penyakit.
Maksud sabda Nabi shallallahu’alaihi wa sallam di sini ialah untuk menolak anggapan mereka ketika masih hidup di zaman Jahiliyah bahwa penyakit berjangkit atau menular dengan sendirinya, tanpa kehendak dan takdir Allah Ta’ala. Anggapan inilah yang ditolak oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bukan keberadaan penjangkitan atau penularannya; sebab, dalam riwayat lain, setelah hadits ini, disebutkan, “…dan menjauhlah dari orang yang terkena penyakit kusta (lepra) sebagaimana kamu menjauh dari singa.” (Hadits riwayat Al-Bukhari).
Maksud sabda Nabi shallallahu’alaihi wa sallam di sini ialah untuk menolak anggapan mereka ketika masih hidup di zaman Jahiliyah bahwa penyakit berjangkit atau menular dengan sendirinya, tanpa kehendak dan takdir Allah Ta’ala. Anggapan inilah yang ditolak oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bukan keberadaan penjangkitan atau penularannya; sebab, dalam riwayat lain, setelah hadits ini, disebutkan, “…dan menjauhlah dari orang yang terkena penyakit kusta (lepra) sebagaimana kamu menjauh dari singa.” (Hadits riwayat Al-Bukhari).
Ini
menunjukkan bahwa penjangkitan atau penularan penyakit dengan
sendirinya tidak ada, tetapi semuanya atas kehendak dan takdir Ilahi,
namun sebagai insan muslim di samping iman kepada takdir tersebut
haruslah berusaha melakukan tindakan preventif sebelum terjadi penularan
sebagaimana usahanya menjauh dari terkaman singa. Inilah hakekat iman
kepada takdir Ilahi.
[2] Thiyarah: merasa bernasib sial atau meramal nasib buruk karena melihat burung, binatang lainnya, atau apa saja.
[3] Hamah: burung
hantu. Orang-orang Jahiliyah merasa bernasib sial dengan melihatnya;
apabila ada burung hantu hinggap di atas rumah salah seorang di antara
mereka, dia merasa bahwa burung ini membawa berita kematian tentang
dirinya sendiri atau salah satu anggota keluarganya.
Dan maksud sabda beliau shallallahu’alaihi wa sallam adalah untuk menolak anggapan yang tidak benar ini. Bagi seorang muslim, anggapan seperti ini harus tidak ada, semua adalah dari Allah dan sudah ditentukan oleh-Nya.
[4] Shafar: bulan
kedua dalam tahun Hijriyah, yaitu bulan sesudah Muharram. Orang-orang
Jahiliyah beranggapan, bahwa bulan ini membawa nasib sial atau tidak
menguntungkan. Yang demikian dinyatakan tidak ada oleh Rasulullah
shallallahu’alaihi wa sallam. Dan termasuk dalam anggapan seperti ini
(adalah): merasa bahwa hari Rabu mendatangkan sial, dll. Hal ini
termasuk jenis thiyarah, dilarang dalam Islam.
[5] Nau’: bintang;
arti asalnya adalah: tenggelam atau terbitnya suatu bintang.
Orang-orang Jahiliyah menisbatkan turunnya hujan pada bintang ini, atau
bintang itu.
Maka
Islam datang mengikis anggapan seperti ini, bahwa tidak ada hujan turun
karena bintang tertentu, tetapi semua itu adalah ketentuan dari Allah
Ta’ala.
[6] Ghul: hantu
(genderuwo), salah satu makhluk jenis jin. Mereka beranggapan bahwa
hantu ini dengan perubahan bentuk maupun warnanya dapat menyesatkan
seseorang dan mencelakakannya.
Sedang
maksud sabda Nabi shallallahu’alaihi wa sallam di sini bukanlah tidak
mengakui keberadaan makhluk seperti ini, tetapi menolak anggapan mereka
yang tidak baik tersebut yang akibatnya takut kepada selain Allah serta
tidak bertawakkal kepada-Nya. Inilah yang ditolak oleh beliau
shallallahu’alaihi wa sallam; untuk itu dalam hadits lain beliau
bersabda,
“Apabila hantu bereaksi menakut-nakuti kamu, maka serukanlah adzan”
Artinya, tolaklah kejahatannya itu dengan berdzikir dan menyebut Allah. Hadits ini diriwayatkan Imam Ahmad dalam Al-Musnad.
[7]
Kedua ayat ini menunjukkan bahwa tathayyur termasuk perbuatan Jahiliyah
dan syirik, karena segala sesuatu termasuk nasib sial merupakan takdir
dari Allah; dan menunjukkan bahwa kesialan terjadi karena perbuatan
maksiat kepada Allah.
Cinta Kepada Allah
Selanjutnya,
penulis Kitab Tauhid memberikan keterangan mengenai bentuk cinta kepada
Allah dan Rasul-Nya. Lalu bagaimana dengan bentuk cinta kepada selain
mereka? Apa saja batasan-batasannya?
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Dan
di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan
selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah.
Adapun orang-orang yang beriman sangat cinta kepada Allah.” (Al-Baqarah:165).
“Katakanlah,
"Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum
keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan perniagaan yang kamu
khawatiri kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai
adalah lebih kamu cintai dari pada Allah dan RasulNya dan (dari)
berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan
keputusan-Nya.” (At-Taubah: 24)
Al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Anas bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda, “Tidak
beriman (sempurna) seseorang di antara kamu sebelum aku lebih
dicintainya daripada anaknya, orangtuanya, dan manusia seluruhnya.”
Al-Bukhari dan Muslim juga meriwayatkan dari Anas, katanya Telah bersabda Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam, “Ada
tiga perkara, barangsiapa terdapat dalam dirinya ketiga perkara itu,
dia pasti merasakan manisnya iman, yaitu Allah dan Rasul-Nya lebih
dicintainya daripada yang lain; mencintai seseorang tiada lain hanya
karena Allah; dan tidak mau kembali kepada kekafiran setelah
diselamatkan oleh Allah darinya sebagaimana dia tidak mau kalau
dicampakkan ke dalam api Neraka.”[1]
Ibnu Jarir meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, bahwa ia berkata,
“Barangsiapa
mencintai seseorang karena Allah, membenci seseorang karena Allah,
membela seseorang karena Allah dan memusuhi seseorang karena Allah, maka
sesungguhnya kecintaan dan pertolongan dari Allah hanyalah bisa
diperoleh dengan hal tersebut. Dan seorang hamba tidak akan menemukan
rasa nikmatnya iman, sekalipun banyak shalat dan shiyamnya, sehingga
dia bersikap demikian. Persahabatan di antara manusia umumnya didasarkan
atau kepentingan dunia namun hal itu tidak berguna sedikitpun bagi
mereka.”
Ibnu ‘Abbas, dalam menafsirkan firman Allah, "… dan putuslah segala hubungan antara mereka sama sekali."[2] mengatakan, "yaitu kasih sayang."
Kandungan Bab Ini
- Tafsiran ayat dalam surah Al-Baqarah.[3]
- Tafsiran ayat dalam surah Bara’ah / At-Taubat. [4]
- Wajib Mencintai Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam lebih daripada kecintaan terhadap diri sendiri, keluarga dan harta benda.
- Pernyataan "tidak beriman", bukan berarti keluar dari Islam, tetapi artinya adalah tidak beriman dengan sempurna.
- Bahwa iman ada rasa manisnya. Kadangkala dapat menoreh seseorang dan kadangkala tidak.
- Disebutkan empat sikap yang merupakan syarat mutlak untuk memperoleh kewalian dari Allah, dan seseorang tidak akan menemukan rasa nikmatnya iman kecuali dengan keempat sikap itu.
- Pemahaman Ibnu ‘Abbas terhadap realita, bahwa hubungan persahabatan pada umumnya didasarkan atas kepentingan duniawi
- Tafsiran ayat, "… dan terputuslah segala hubungan antara mereka sama sekali”. [5]
- Disebutkan bahwa di antara orang-orang musyrik ada yang mencintai Allah, dengan kecintaan yang sangat.
- Ancaman terhadap seseorang yang kedelapan perkara tersebut di atas [orang tua, saudara, isteri, kaum keluarga, harta kekayaan, perniagaan dan tempat tinggal] lebih dicintai daripada agamanya.
- Memuja selain Allah dengan sendirinya sebagaimana mencintai Allah, itulah syirik akbar.
Catatan Kaki
[1] Dan disebutkan dalam riwayat lain, "Seseorang tidak akan merasakan manisnya iman, sebelum …" dst.
[2] Surah Al-Baqarah: 166.
[3] Ayat ini menunjukkan bahwa barangsiapa mempertuhankan selain Allah dengan mencintai seperti mencintai Allah maka dia adalah musyrik.
[4]
Ayat ini menunjukkan bahwa cinta kepada Allah dan cinta kepada yang
dicintai Allah wajib didahulukan di atas segala-galanya.
[5]
Ayat ini menunjukkan bahwa kecintaan dan kasih sayang telah dibina
orang-orang musyrik di dunia akan terputus sama sekali ketika di
akhirat, dan masing-masing dari mereka akan melepaskan diri darinya.
0 komentar:
Posting Komentar