Definisi Isra` dan Mi’raj
Isra`
secara bahasa berasal dari kata ‘saro’ bermakna perjalanan di malam
hari. Adapun secara istilah, Isra` bermakna perjalanan Rasulullah
-Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam- bersama Jibril dari Mekkah
ke Baitul Maqdis (Palestina) pada malam hari dengan mengendarai Buroq.
Mi’raj secara bahasa isim alah
(kata yang menunjukkan alat) dari kata ‘aroja’ yang berarti naik
menuju ke atas. Sehingga maknanya secara bahasa adalah suatu alat yang
dipakai untuk naik, baik berupa tangga maupun yang lainnya. Adapun
secara istilah, Mi’raj bermakna tangga khusus yang Nabi -Shollallahu
‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam- naik dengannya pada malam hari dari
Baitul Maqdis ke langit.
Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa beliau berkata, “Maka saya mendapati 2 tangga, salah satunya dari emas dan yang lainnya dari perak”. Wallahu A’lam
Faidah:
Mi’roj
(alat yang dipakai oleh Nabi -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi
wasallam- untuk naik ke atas langit) adalah alat yang berperan sebagai
tangga, akan tetapi tidak diketahui bagaimana bentuknya. Hukumnya sama
seperti perkara ghoib lainnya, wajib kita imani tanpa sibuk
membicarakan dan mengkhayalkan bentuknya.
[Lihat:
Mu’jam Alfazhil Qur`an karya Ar-Raghib Al-Ashfahany, Syarh Lum’atil
I’tiqod hal. 102 karya Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, dan Syarh Al-‘Aqidah
Ath-Thohawiyah hal. 223 karya Ibnu Abil ‘Izz]
Isro` dan Mi’raj dengan Jasad dan Ruh dalam Keadaan Terjaga
Ini
adalah pendapat jumhur (kebanyakan) ulama, muhadditsin, dan fuqoha,
serta inilah pendapat yang paling kuat di kalangan para ulama.
Allah -Subhanahu wa Ta’ala- berfirman:
سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَى
بِعَبْدِهِ لَيْلًا مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ
الْأَقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ ءَايَاتِنَا
إِنَّه هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
“Maha
Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari
Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi
sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda
(kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha
Melihat”. (QS. Al-Isra` : 1)
Sedangkan kata ‘hamba’
digunakan untuk ruh dan jasad secara bersamaan. Inilah yang tsabit
dalam hadits-hadits Al-Bukhary dan Muslim dengan riwayat yang beraneka
ragam bahwa beliau -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam-
melakukan Isra` dan Mi’raj dengan tubuh beliau.
Imam Ibnu Qudamah –rahimahullah-
berkata dalam Lum’atul I’tiqod, “… Contohnya hadits Isra` dan Mi’raj,
beliau dalam keadaan terjaga, bukan dalam keadaan tidur, karena
(kafir) Quraisy mengingkari dan bersombong terhadapnya (peristiwa
itu), padahal mereka tidak mengingkari mimpi”.
Juga Imam Ath-Thohawy
–rahimahullah- berkata dalam ‘Aqidahnya, “Mi’raj adalah benar. Nabi
-Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam- telah melakukan Isra` dan
Mi’roj dengan tubuh beliau dalam keadaan terjaga ke atas langit …”.
[Lihat
pembahasan selengkapnya dalam Syarh Ath-Thohawiyah karya Ibnu Abil
‘Izz -rahimahullah- atau syarah Syaikh ‘Abdul ‘Aziz Ar-Rojihy (1) dan Syaikh Sholih bin ‘Abdil ‘Aziz Alu Asy-Syaikh (2) -hafizhohumallah-]
Kisah Isra` dan Mi’raj
Secara umum, kisah yang menakjubkan ini sebagaimana yang disebutkan oleh Allah -’Azza wa Jalla- dalam Al-Qur`an:
سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَى
بِعَبْدِهِ لَيْلًا مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ
الْأَقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ ءَايَاتِنَا
إِنَّه هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
“Maha
Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari
Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi
sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda
(kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha
Melihat”. (QS. Al-Isra` : 1)
Juga dalam firman-Nya:
وَالنَّجْمِ إِذَا هَوَى. مَا
ضَلَّ صَاحِبُكُمْ وَمَا غَوَى. وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى. إِنْ
هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَى. عَلَّمَهُ شَدِيدُ الْقُوَى. ذُو مِرَّةٍ
فَاسْتَوَى. وَهُوَ بِالْأُفُقِ الْأَعْلَى. ثُمَّ دَنَا فَتَدَلَّى.
فَكَانَ قَابَ قَوْسَيْنِ أَوْ أَدْنَى. فَأَوْحَى إِلَى عَبْدِهِ مَا
أَوْحَى. مَا كَذَبَ الْفُؤَادُ مَا رَأَى. أَفَتُمَارُونَهُ عَلَى مَا
يَرَى. وَلَقَدْ رَآهُ نَزْلَةً أُخْرَى. عِنْدَ سِدْرَةِ الْمُنْتَهَى.
عِنْدَهَا جَنَّةُ الْمَأْوَى. إِذْ يَغْشَى السِّدْرَةَ مَا يَغْشَى.
مَا زَاغَ الْبَصَرُ وَمَا طَغَى. لَقَدْ رَأَى مِنْ ءَايَاتِ رَبِّهِ
الْكُبْرَى.
“Demi bintang
ketika terbenam, kawanmu (Muhammad) tidak sesat dan tidak pula keliru,
dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al Qur’an) menurut kemauan hawa
nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan
(kepadanya), yang diajarkan kepadanya oleh (Jibril) yang sangat kuat,
Yang mempunyai akal yang cerdas; dan (Jibril itu) menampakkan diri
dengan rupa yang asli. sedang dia berada di ufuk yang tinggi. Kemudian
dia mendekat, lalu bertambah dekat lagi, maka jadilah dia dekat (pada
Muhammad sejarak) dua ujung busur panah atau lebih dekat (lagi). Lalu
dia menyampaikan kepada hamba-Nya (Muhammad) apa yang telah Allah
wahyukan. Hatinya tidak mendustakan apa yang telah dilihatnya. Maka
apakah kamu (musyrikin Mekah) hendak membantahnya tentang apa yang
telah dilihatnya? Dan sesungguhnya Muhammad telah melihat Jibril itu
(dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain, (yaitu) di Sidratil
Muntaha. Di dekatnya ada surga tempat tinggal, (Muhammad melihat
Jibril) ketika Sidratil Muntaha diliputi oleh sesuatu yang meliputinya.
Penglihatannya (Muhammad) tidak berpaling dari yang dilihatnya itu
dan tidak (pula) melampauinya. Sesungguhnya dia telah melihat
sebahagian tanda-tanda (kekuasaan) Tuhannya yang paling besar”. (QS.
An-Najm : 1-18)
Faidah:
Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah Ar-Rojihy –hafizhohullah- berkata dalam Syarh Ath-Thohawiyah, “Jadi, barangsiapa yang mengingkari Isra`, maka dia kafir.
Karena dia berarti menganggap Allah berdusta. Barangsiapa yang
mengingkari Mi’roj maka tidak dikafirkan sampai ditegakkan padanya
hujjah serta dijelaskan padanya kebenaran”.
Adapun rincian dan urutan
kejadiannya, maka Syaikh Al-Albany –rahimahullah- dalam kitab beliau
yang berjudul Al-Isro` wal Mi’roj menyebutkan 16 shahabat yang
meriwayatkan kisah ini (3). Mereka
adalah: Anas bin Malik, Abu Dzar, Malik bin Sho’sho’ah, Ibnu ‘Abbas,
Jabir, Abu Hurairah, Ubay bin Ka’ab, Buraidah ibnul Hushoib Al-Aslamy,
Hudzaifah ibnul Yaman, Syaddad bin Aus, Shuhaib, Abdurrahman bin
Quroth, Ibnu ‘Umar, Ibnu Mas’ud, ‘Ali, dan ‘Umar -radhiallahu Ta’ala
‘anhum ajma’in-.
Berikut terjemahan kisahnya,
kami sarikan dari Shohih Al-Bukhary dan Shohih Muslim, dan bagi yang
ingin melihat teks aslinya silahkan merujuk kepada keduanya.
Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam- bersabda,
“Atap rumahku terbelah
ketika saya berada di Mekkah dalam keadaan antara tidur dan terjaga,
lalu turunlah Jibril -’alaihis salam- dan membelah dadaku. Kemudian dia
mencucinya dengan air zamzam, lalu dia datang dengan membawa sebuah
baskom dari emas yang penuh berisi hikmah dan iman dan menuangkannya ke
dalam dadaku, kemudian dia menutupnya (dadaku). Kemudian didatangkan
kepadaku Buroq –yaitu hewan putih yang panjang, lebih besar dari
keledai dan lebih kecil dari baghol, dia meletakkan telapak kakinya di
ujung pandangannya (4)-. Maka sayapun
menungganginya sampai tiba di Baitul Maqdis, lalu saya mengikatnya di
tempat para nabi mengikat (tunggangan). Kemudian saya masuk ke mesjid
dan sholat 2 raka’at kemudian keluar. Kemudian kami naik ke langit
(pertama) dan Jibril minta izin untuk masuk, maka dikatakan
(kepadanya), “Siapa engkau?” Dia menjawab, “Jibril”. Dikatakan lagi,
“Siapa yang bersamamu?” Dia menjawab, “Muhammad” Dikatakan, “Apakah
dia telah diutus?” Dia menjawab, “Dia telah diutus”. Maka dibukakan
bagi kami (pintu langit) dan saya bertemu dengan Adam. Beliau
menyambutku dan mendo’akan kebaikan untukku. Kemudian kami naik ke
langit kedua, lalu Jibril berkata, “bukalah (pintu langit)”.
Penjaganya menanyakan seperti yang ditanyakan oleh penjaga langit
pertama –lalu beliau menyebutkan bahwa beliau bertemu dengan Nabi ‘Isa
dan Yahya di langit kedua, Nabi Yusuf di langit ketiga, Nabi Idris di
langit keempat, Nabi Harun di langit kelima, Nabi Musa di langit
keenam dan Nabi Ibrahim di langit ketujuh-. Beliau bersabda, ”Maka
saya bertemu dengan Ibrahim dan dia sedang bersandar ke Baitul Ma’mur,
dan dia adalah (mesjid) yang dimasuki oleh 70.000 malaikat setiap
harinya sedang mereka tidak kembali lagi (5).
Lalu dia (Jibril) membawaku
ke Sidratul Muntaha. Ternyata daun-daunnya seperti telinga-telinga
gajah dan buahnya seperti tempayan besar. Tatkala dia diliputi oleh
perintah Allah, diapun berubah sehingga tidak ada seorangpun dari
makhluk Allah yang sanggup mengambarkan keindahannya. Juga
diperlihatkan kepadaku empat sungai, dua sungai di dalam dan dua
sungai di luar, maka saya berkata, “Apa kedua sungai ini, wahai
Jibril?”. Dia menjawab, “Adapun dua sungai yang di dalam, maka itu
adalah 2 sungai dalam surga. Adapun yang di luar maka dia adalah Nil
dan Furoth”. Kemudian Jibril -’alaihis salam- datang kepadaku dengan
membawa sebuah bejana yang berisi khamar dan bejana yang berisi susu,
lalu sayapun memilih susu. Maka Jibril berkata, “Engkau telah memilih
fitrah”.
Kemudian kami terus ke atas
sampai saya tiba pada jenjang yang padanya saya mendengar goresan
pena. Lalu Allah mewahyukan kepadaku apa yang Dia wahyukan. Maka Allah
mewajibkan atasku 50 sholat sehari semalam. Kemudian saya turun
kepada Musa -’alaihis salam-. Lalu dia bertanya, “Apa yang diwajibkan
Tuhanmu atas ummatmu?”. Saya menjawab, “50 sholat”. Dia berkata,
“Kembalilah kepada Tuhanmu dan mintalah keringanan, karena
sesungguhnya ummatmu tidak akan mampu mengerjakannya. Sesungguhnya saya
telah menguji dan mencoba Bani Isra`il”. –Beliau bersabda-, “Maka
sayapun kembali kepada Tuhanku seraya berkata, “Wahai Tuhanku,
ringankanlah atas ummatku”. Maka dikurangi dariku 5 sholat. Kemudian
saya kembali kepada Musa dan berkata, “Allah mengurangi untukku 5
sholat”. Dia berkata, “Sesungguhnya ummatmu tidak akan mampu
mengerjakannya, maka kembalilah kepada Tuhanmu dan mintalah keringanan”.
Maka terus menerus saya pulang balik antara Tuhanku -Tabaraka wa
Ta’ala- dan Musa -’alaihis salam-. Sampai pada akhirnya, Allah
berfirman, “Wahai Muhammad, sesungguhnya ini adalah 5 sholat sehari
semalam, setiap sholat (pahalanya) 10, maka semuanya 50 sholat.
Barangsiapa yang meniatkan kejelekan lalu dia tidak mengerjakannya, maka
tidak ditulis (dosa baginya) sedikitpun. Jika dia mengerjakannya,
maka ditulis(baginya) satu kejelekan”. Kemudian saya turun sampai saya
bertemu dengan Musa -’alaihis salam- seraya aku ceritakan hal ini
kepadanya. Dia berkata, “Kembalilah kepada Tuhanmu dan mintalah
keringanan”, maka sayapun berkata, “Sungguh saya telah kembali kepada
Tuhanku sampai sayapun malu kepada-Nya”. Kemudian saya dimasukkan ke
dalam surga, ternyata di dalamnya ada gunung-gunung dari permata dan
debunya adalah Misk” (6).
Fawa`id (Faedah-Faedah) yang Terdapat dalam Kisah di Atas.
1. Isra` dan Mi’raj ini termasuk sebesar-sebesar tanda yang menunjukkan kebesaran dan kemuliaan Allah -Tabaraka wa Ta’ala-.
2.
Peristiwa ini juga menunjukkan keutamaan Nabi Muhammad -Shollallahu
‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam- di atas seluruh nabi dan rasul
-’alaihimus sholatu wassalam-.
3. Isra` dan Mi’raj terjadi dengan jasad dan ruh beliau, dalam keadaan terjaga sebagaimana yang telah berlalu penegasannya.
4. Keutamaan air zamzam
5. Penetapan akan ketinggian Allah -Jalla wa ‘Ala- dengan ketinggian dzaty (7)
dengan sebenar-benarnya sesuai dengan keagungan Allah -Jalla wa
‘Ala-, yakni Allah -Jalla wa ‘Ala- tinggi berada di atas langit
ketujuh, di atas ‘arsy-Nya. Ini merupakan aqidah kaum muslimin
seluruhnya dari dahulu hingga sekarang.
6.
Mengimani perkara-perkara gaib yang disebutkan dalam hadits di atas,
seperti: Buroq, Mi’roj, para malaikat penjaga langit, adanya
pintu-pintu langit, Baitul Ma’mur, Sidrotul Muntaha beserta
sifat-sifatnya, surga, Qolam (pena) yang menuliskan takdir, dan
selainnya.
7. Diwajibkan meminta izin sebelum masuk ke rumah orang lain.
8.
Ketika pemilik rumah bertanya kepada orang yang minta izin masuk
dengan pertanyaan, “siapa?” Maka orang tersebut harus menyebutkan
namanya dan tidak menjawab dengan ucapan, “saya”.
9.
Penetapan tentang hidupnya para Nabi di kubur-kubur mereka. Akan
tetapi dengan kehidupan barzakhiah, bukan seperti kehidupan mereka di
dunia (8).
Imam
Al-Baihaqy telah mengarang satu kitab khusus berjudul Hayatul
Anbiya`i fii Quburihim [“Hidupnya Para Nabi di Kubur-Kubur Mereka”].
Syaikh
Sholih Alu Asy-Syaikh menyebutkan dalam Syarh Al-‘Aqidah
Ath-Thohawiyah beliau bahwa Nabi Muhammad -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala
alihi wasallam- dalam Mi’roj menemui ruh para Nabi kecuali Nabi Isa,
karena beliau belum wafat.
10. Banyaknya jumlah para malaikat dan tidak ada yang mengetahui jumlah mereka kecuali Allah.
11.
Nabi Muhammad -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam- juga
adalah kalimur Rohman (Orang yang diajak bicara langsung oleh
Ar-Rahman).
12. Allah -’Azza wa Jalla- memiliki sifat kalam (berbicara) dengan pembicaraan yang sebenar-benarnya.
13. Tingginya kedudukan sholat wajib yang lima.
14. Kasih sayang dan perhatian Nabi Musa -’alaihis salam- terhadap ummat Islam.
15.
Penetapan adanya nasakh (penghapusan hukum) dalam syari’at Islam,
serta bolehnya menasakh suatu perintah walaupun belum sempat dikerjakan
sebelumnya.
16. Rahmat dan kemurahan Allah -Subhanahu wa Ta’ala- atas ummat ini.
17.
Surga dan neraka sudah ada sekarang, karena Nabi -Shollallahu ‘alaihi
wa ‘ala alihi wasallam- telah memasuki keduanya ketika Mi’raj.
18.
Bolehnya mengakhirkan penjelasan sampai kepada waktu yang dibutuhkan.
Di sini Nabi -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam- baru
diberikan kewajiban sholat lima waktu secara umum, tapi belum
diberitahu tentang rukun-rukunnya, syarat-syaratnya, serta
waktu-waktunya.
Hikmah Terjadinya Isra`
Termasuk
perkara yang dibahas oleh para ulama dalam masalah ini adalah, apakah
hikmah terjadinya Isra`, kenapa Mi’raj ke langit tidak langsung dari
Mekkah?
Mereka menyebutkan beberapa hikmah terjadinya Isra`, yaitu:
1.
Untuk menampakkan kejujuran dan semakin memperkuat hujjah terhadap
pengakuan beliau -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam- bahwa
beliau melakukan Isra` dan Mi’raj dalam satu malam. Hal ini nampak
ketika orang-orang kafir Quraisy bertanya kepada Nabi -Shollallahu
‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam- tentang sifat Baitul Maqdis untuk
menguji apakah beliau betul-betul ke sana tadi malam atau tidak. Maka
beliau menjawab dan menggambarkan sifat-sifatnya dan mereka (Quraisy)
membenarkannya. Akan tetapi mereka tetap mengingkari peristiwa Isra dan
Mi’raj ini.
2. Agar beliau mendapatkan keutamaan berupa melihat kedua kiblat dalam satu malam.
3. Untuk menampakkan hubungan yang sangat erat antara Mekkah dan Baitul Maqdis yang keduanya merupakan kiblat kaum muslimin.
4.
Karena Baitul Maqdis adalah tempat berhijrahnya kebanyakan nabi
sebelum beliau, sehingga tatkala beliau melakukan perjalanan ke sana,
maka beliau tidak tertinggal dari amalan keutamaan yang dilakukan oleh
para nabi sebelum beliau.
5.
Untuk menampakkan keutamaan beliau di atas para nabi selain beliau,
tatkala beliau berjumpa dengan mereka di Baitul Maqdis lalu beliau
sholat mengimami mereka.
[Lihat:
Syarh Ath-Thohawiyah oleh Syaikh ‘Abdul ‘Aziz Ar-Rojihy serta Syaikh
Sholih bin ‘Abdil ‘Aziz Alu Asy-Syaikh -hafizhohumallah-]
Kapankan Isra` dan Mi’raj?
Para
ulama berselisih pendapat tentang kapan terjadinya kejadian yang
besar ini. Secara umum, ada 2 pendapat yang disebutkan oleh Al-Hafizh
Ibnu Hajar –rahimahullah-, yaitu:
a. Terjadinya sebelum beliau diangkat menjadi nabi. Ini adalah pendapat yang sangat lemah.
b.
Terjadi setelah beliau menjadi nabi. Mereka sepakat bahwa hal itu
terjadi sebelum hijrah, akan tetapi mereka berselisih dalam penentuannya
menjadi belasan pendapat. Di antaranya:
1.
Al-Baihaqy meriwayatkan dari Az-Zuhry dan ‘Urwah bahwa hal itu
terjadi setahun sebelum hijrah, yakni pada bulan Rabi’ul Awwal karena
hijrahnya Nabi -Shollallahu alaihi wasallam- terjadi pada bulan Rabi’ul
Awwal. Ini dikatakan oleh Ibnu Sa’ad dan selainnya, dan inilah yang
dipastikan oleh Imam An-Nawawy.
2.
8 bulan sebelumnya, yakni pada bulan Rajab. Pendapat ini dihikayatkan
oleh Ibnul Jauzy dan merupakan pendapat sekelompok pakar sejarah.
Pendapat ini adalah pendapat yang sangat lemah.
Imam
Abu Syamah berkata dalam Al-Ba’its ‘ala Ingkaril Bida’ wal Hawadits
hal. 171, “Sebagian tukang cerita (arab: Al-Qoshshosh) menyebutkan
bahwa Al-Isra` terjadi di bulan Rajab, dan hal ini adalah suatu
kedustaan di sisi (para ulama) ahli ta’dil dan jarh”.
Al-Hafizh
Ibnu Hajar berkata di dalam kitabnya Tabyinul ‘Ajab hal. 11,
“Sebagian tukang cerita (arab: Al-Qoshshosh) menyebutkan bahwa Al-Isra`
terjadi di bulan Rajab, dan hal ini adalah suatu kedustaan”.
3. 6 bulan sebelumnya, yakni pada bulan Ramadhan. Pendapat ini dihikayatkan oleh Abur Robi’ bin Salim.
4.
11 bulan sebelumnya, tepatnya pada tanggal 27 Rabi’ul Awwal. Ini yang
dipastikan oleh Ibrahim Al-Harby dan yang dikuatkan oleh Ibnul
Munayyir.
5. Diriwayatkan
dengan sanad yang terputus dari Ibnu ‘Abbas dan Jabir bahwa hal itu
terjadi pada Senin malam tanggal 12 Rabi’ul Awwal, tanpa menyebutkan
tahunnya.
6. Setahun 2 bulan sebelumnya. Pendapat ini dihikayatkan oleh Ibnu ‘Abdil Barr.
7. Setahun 3 bulan sebelumnya. Pendapat ini dihikayatkan oleh Ibnu Faris.
8. Setahun 4 bulan sebelumnya, yakni pada bulan Qzul Qo’dah.
9. Setahun 5 bulan, yakni pada bulan Syawwal. Ini adalah pendapat As-Suddy.
10.
18 bulan sebelumnya, yakni pada bulan Ramadhan. Ini adalah pendapat
Ibnu Abi Sabroh dan juga dihikayatkan oleh Ibnu ‘Abdil Barr.
11. Tiga tahun sebelum hijrah. Pendapat ini dihikayatkan oleh Ibnul Atsir.
12.
Lima tahun sebelum hijrah. Pendapat ini dihikayatkan oleh ‘Iyadh -dan
diikuti oleh Al-Qurthuby dan An-Nawawy- dari Az-Zuhry.
13. Ada yang mengatakan: 6 tahun sebelum hijrah.
14. Ada yang mengatakan: pada hari Sabtu tanggal 17 Ramadhan, 8 tahun sebelum hijrah.
15. Dan ada yang mengatakan: 5 tahun setelah beliau menjadi Rasul.
[Lihat: Fathul Bary (7/203), Al-Jami’ li Ahkamil Qur`an (10/210), Syarh Muslim (2/209) dan Tafsirul Qur`anil ‘Azhim (3/22)]
Syaikh ‘Abdullah bin ‘Abdil
‘Aziz At-Tuwaijiry -rahimahullah- berkata setelah menyebutkan
perbedaan pendapat para ulama dalam penentuan kapan terjadinya Isra`
dan Mi’raj, “Maka semua yang telah berlalu dari perkataan para ulama
dan apa yang mereka sebutkan berupa perbedaan pendapat dalam masalah
(kapan) malam Isra` dan Mi’raj, (semua ini) merupakan pembenaran
terhadap ucapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah –rahimahullah- [bahwa
tidak ada satupun dalil jelas yang tegak (menjelaskan) bulannya,
tidakpula pekannya dan tidakpula harinya. Bahkan penukilan (yang ada)
terputus dan berselisih, tidak ada satupun di antaranya yang bisa
dipastikan (9)]”.
-selesai dengan maknanya dari Al-Bida’ Al-Hauliyah-
Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz
–rahimahullah- berkata dalam risalah beliau yang berjudul Hukmul
Ihtifal bil Mawalid wa Nahwiha, “Adapun malam Isra` dan Mi’raj, maka
yang benar menurut para ulama adalah bahwa malam itu tidak diketahui,
dan sesuatu yang datang menetapannya dalam hadits-hadits, maka
semuanya adalah hadits-hadits yang lemah, tidak shohih dari Nabi
-Shallallahu ‘alaihi wasallam-. Barangsiapa yang menyatakan bahwa
malam itu adalah malam 27 Rajab maka dia telah keliru, karena dia
tidak memiliki dalil syar’i yang menguatkan perkataannya”.
‘Uqail bin Muhammad bin Zaid
Al-Muqthiry -hafizhohullah- berkata dalam kitabnya Izhharul ‘Ajab fii
Bayani Bida’i Syahri Rojab hal. 43 -setelah membawakan perbedaan
pendapat di kalangan para ulama dalam masalah ini-, “Maka jelaslah
dengan hal ini, batilnya apa yang diakui (baca: disangka) oleh
sebagian orang bahwa Isra` dan Mi’raj adalah pada malam ke 27 Rajab.
Maka yang benarnya, bahwa (Isra` dan Mi’raj) tidak diketahui pada hari
apa terjadinya dan tidak pula pada bulan apa terjadinya. Lagipula,
tidak terhasilkan sedikitpun faidah keagamaan dengan mengetahuinya,
seandainya ada faidahnya maka pasti Allah akan menjelaskannya kepada
kita, wallahu Ta’ala A’lam”.
Hukum Mengadakan Perayaan Isra` Mi’raj
Berkaca
dari penjelasan di atas, nampak jelas bagi kita bahwa perayaan Isra`
Mi’raj tidak boleh dikerjakan, bahkan dia adalah perkara bid’ah karena
dua hal :
1. Malam Isra`
Mi’raj tidaklah diketahui secara pasti sebagaimana yang ditegaskan
oleh Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz dan Syaikh ‘Abdullah bin ‘Abdil ‘Aziz
At-Tuwaijiry -rahimahumallah- di atas. Banyaknya perselisihan di
kalangan para ulama, bahkan para sahabat dalam penentuan kapan
terjadinya Isra` dan Mi’raj, merupakan dalil yang sangat jelas
menunjukkan bahwa mereka tidaklah menaruh perhatian yang besar tentang
waktu terjadinya, wallahu A’lam.
2.
Dari sisi syari’at, perayaan ini juga tidak memiliki landasan.
Karena, seandainya dia adalah bagian dari syari’at Allah, maka pasti
akan dikerjakan oleh Nabi -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam-
atau beliau sampaikan kepada ummatnya. Seandainya beliau
mengerjakannya atau menyampaikannya, maka hal itu wajib terpelihara
karena Allah -Ta’ala- berfirman:
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ
“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Qur’an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya”. (QS. Al-Hijr : 9)
Jadi, tatkala tidak ada
sedikitpun keterangan tentang hal tersebut, diketahuilah bahwa dia
bukan bagian dari agama Allah, dan jika dia bukan bagian dari agama
Allah, maka tidak boleh bagi kita untuk beribadah dan bertaqarrub
kepada Allah -‘Azza wa Jalla- dengannya.
Berikut beberapa fatwa para ulama dalam masalah ini:
1. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah -rahimahullah-.
Beliau
berkata dalam Majmu’ Al-Fatawa (25/298), “Adapun menjadikan suatu
hari raya, selain dari hari raya yang syar’iy, seperti beberapa malam
dalam bulan Rabi’ul Awwal yang dikatakan bahwa itu adalah malam maulid
atau beberapa malam dalam bulan Rajab atau pada tanggal 18 Dzul Hijjah
atau Jum’at pertama dari bulan Rajab atau tanggal 8 Syawal yang
disebut oleh orang-orang jahil dengan ‘Iedul Abror (10),
maka semua ini adalah termasuk dari bid’ah-bid’ah yang tidak pernah
disunnahkan dan dikerjakan oleh para ulama salaf, Wallahu Subhanahu wa
Ta’ala A’lam”.
2. Imam Ibnun Nuhhas -rahimahullah-.
Beliau
berkata dalam Tanbihul Ghofilin, hal. 379-380, “Sesungguhnya
merayakan malam ini –yakni malam Isra` Mi’raj- adalah suatu bid’ah yang
besar dalam agama dan suatu perkara baru yang dimunculkan oleh
saudara-saudara setan”.
3. Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu Asy-Syaikh -rahimahullah-.
Beliau
berkata, “Sesungguhnya perayaan memperingati Isra` dan Mi’raj adalah
perkara yang batil, perkara bid’ah dan merupakan penyerupaan terhadap
Yahudi dan Nashara dalam mengagungkan hari-hari yang tidak pernah
diagungkan oleh syari’at”. Lihat Fatawa wa Rosa`il (3/103)
4. Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz -rahimahullah-.
Beliau
berkata dalam risalah beliau yang berjudul Hukmul Ihtifal bi Lailatil
Isra` wal Mi’roj, “Malam ini, yang di dalamnya terjadi peristiwa
Isra` dan Mi’raj, tidak datang penetapan waktunya dalam hadits-hadits
yang shohih, tidak pada bulan Rajab dan tidak pula selainnya. Semua
yang datang dalam penentuannya, maka hal itu tidaklah shohih dari Nabi
-Shallallahu ‘alaihi wasallam- di sisi ahlil ‘ilmi dan hadits, dan
hanya milik Allah hikmah yang mendalam dibuat lupanya manusia.
Seandainyapun waktu kepastian (terjadi)nya shohih, maka tidak boleh
bagi kaum muslimin untuk mengkhususkannya dengan ibadah-ibadah, serta
tidak boleh bagi mereka untuk merayakannya karena Nabi -Shallallahu
‘alaihi wasallam- dan para sahabat beliau -radhiallahu ‘anhum- tidak
pernah merayakannya, dan mereka tidak pernah mengkhususkannya dengan
sesuatu apapun (berupa ibadah). Seandainya merayakannya adalah perkara
yang disyari’atkan, maka tentunya Rasul -Shallallahu ‘alaihi wasallam-
akan menjelaskannya kepada ummat, baik melalui ucapan (beliau) maupun
perbuatan. Andaikan perkara ini (perayaan Isra` Mi’raj) terjadi (di
zaman mereka), maka tentunya akan diketahui dan masyhur, serta tentu
para sahabat -radhiallahu ‘anhum- akan menukikannya kepada kita” (11).
5. Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah Alu Asy-Syaikh -hafizhohullah-.
Beliau
ditanya -sebagaimana dalam Fatawa Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah
Alu Asy-Syaikh, kumpulan kelima, pertanyaan pertama dari Majalah
Ad-Da’wah- dengan konteks pertanyaan sebagai berikut:
Apa hukumnya memakan makanan
yang dimasak dalam acara tertentu, seperti perayaan maulid Nabi atau
malam ke 27 bulan Rajab (Isra` Mi’raj)? Semoga Allah memberkahimu.
Beliau menjawab, “Pada
hakekatnya, asal pembuatannya (makanan tersebut) adalah bid’ah dan
kesalahan. Maka tidak boleh bagi manusia untuk menghadirinya dan
membuat bangga orang yang membuatnya (dengan memakannya). Akan tetapi
suatu makanan, jika dimasak lalu diambil dan dibagikan kepada
orang-orang fakir, maka ini baik pada tujuannya. Adapun hadir dan
menjawab (undangan maulid), maka tidak boleh. Karena dia adalah bid’ah
dan tidak boleh bagi seorang muslim untuk menolong suatu bid’ah,
Allah -Subhanahu- berfirman :
وَالَّذِينَ لَا يَشْهَدُونَ الزُّورَ وَإِذَا مَرُّوا بِاللَّغْوِ مَرُّوا كِرَامًا
“Dan
orang-orang yang tidak menyaksikan kedustaan dan apabila mereka
bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang
tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan
dirinya”. (QS. Al-Furqan : 72)
6. Syaikh Muqbil bin Hady Al-Wadi’iy -rahimahullah-.
Beliau ditanya tentang hukum perayaan maulid dan Isra` Mi’raj, apakah dia adalah bid’ah atau sunnah yang baik.
Beliau
menjawab, “(Semuanya adalah) bid’ah, semua ini tidak pernah ada di
zaman Nabi -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam- …”. Lalu beliau
membawakan beberapa dalil tentang haramnya berbuat bid’ah (12).
7. Syaikh Muhammad bin Sholih Al-‘Utsaimin -rahimahullah-.
Beliau
berkata, “Adapun menampakkan kegembiraan (mengadakan perayaan-pent.)
pada malam 27 Rajab, atau malam Nishfu Sya’ban, atau hari ‘Asyuro`,
maka semua ini tidak ada asalnya dan terlarang. Tidak boleh seseorang
untuk menghadirinya jika diundang berdasarkan sabda Nabi -Shallallahu
‘alaihi wasallam-, “Hati-hatilah kalian dari setiap perkara yang baru, karena sesungguhnya semua bid’ah adalah sesat”. Lihat Majmu’ Fatawa beliau pada no. pertanyaan 1131.
8. Syaikh Zaid bin Muhammad bin Hady Al-Madkhaly –hafizhohullah-.
Dalam Al-Ajwibah As-Sadidah (hal.265), beliau berkata ketika menjelaskan tentang kesesatan seorang yang bernama Sa’id Hawwa : “
Bid’ah yang pertama: Perayaan maulid Nabi –Shallallahu ‘alaihi wasallam-.
Bid’ah yang kedua: Perayaan hari hijrahnya beliau (Tahun Baru Islam).
Bid’ah yang ketiga: Perayaan hari pembebasan Quds (Masjid Aqsha) dari tangan para salibis pada tanggal 27 Rajab.
Bid’ah yang keempat: Merayakan peristiwa Isra dan Mi’raj.
Bid’ah
kelima: Seruan Sa’id Hawwa’ kepada seluruh keluarga muslim untuk
menyelenggarakan bid’ah-bid’ah ini di rumah-rumah mereka -disamping
merayakannya di mesjid-mesjid- dengan tartib (metode) shufy”.
9. Syaikh ‘Abdurrahman bin Jibrin -hafizhohullah-.
Beliau
ditanya –di sela-sela pelajaran beliau mensyarh kitab Al-Ibanah
Ash-Shugro- tentang maulid Nabawy dan Isra` Mi’raj, apakah termasuk
bid’ah padahal dia adalah amalan kebaikan dan terkadang para pelakunya
menangis di dalamnya.
Setelah beliau menjelaskan akan
bid’ahnya perayaan maulid serta orang yang pertama kali merayakannya,
beliau berkata, “Demikian pula halnya dengan perayaan malam Isra`
Mi’raj semuanya adalah termasuk bid’ah. Seandainyapun seseorang itu
menangis, namun bila tangisannya tersebut bukan di atas petunjuk, maka
tangisannya tidak akan bermanfaat baginya. Terkadang seseorang itu
menangis sedangkan dia di atas kekafiran sehingga tangisannya tidak
bermanfaat baginya, tangisannya tidak menambahkan baginya kecuali
semakin jauh (dari Allah -Subhanahu wa Ta’ala-).
Tidakkah engkau membaca firman Allah -Ta’ala-:
وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ خَاشِعَةٌ. عَامِلَةٌ نَاصِبَةٌ. تَصْلَى نَارًا حَامِيَةً. تُسْقَى مِنْ عَيْنٍ ءَانِيَةٍ
“Banyak
muka pada hari itu tunduk terhina, bekerja keras lagi kepayahan,
memasuki api yang sangat panas (neraka), diberi minum (dengan air) dari
sumber yang sangat panas”. (QS. Al-Ghasyiah : 2-5)
[“Banyak muka pada hari itu
tunduk terhina”] tunduk lagi rendah. [“bekerja keras”] dia beramal,
sibuk siang dan malam dengan sholat dan puasa, tetapi tidak di atas
ilmu, tidak sesuai dengan syari’at lagi berbuat syirik. [“Banyak muka
pada hari itu tunduk terhina, bekerja keras lagi kepayahan”] lelah
dalam beribadah dan beramal, akan tetapi bersamaan dengan itu
[“memasuki api yang sangat panas (neraka), diberi minum (dengan air)
dari sumber yang sangat panas”] yaitu amat panas, dahsyat panasnya
yang telah sampai pada puncak didih dan dia diberikan minum darinya.
Kita memohon keselamatan dan ‘afiat kepada Allah. Jadi, tidak semua
orang yang menangis berarti di atas kebenaran. Seorang kafir bisa
menangis, padahal dia di atas kebatilan. Kita memohon keselamatan dan
‘afiat kepada Allah”.
_________
Foote Note
(1). Salah seorang murid senior dari Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah.
(2). Menteri Agama Saudi Arabiah sekarang.
(3). Yakni tanpa memperhatikan antara yang shohih dengan yang lemah.
(4). Maksudnya langkah Buroq sejauh pandangannya.
(5).
Maksudnya para malaikat yang masuk ke dalamnya untuk beribadah lalu
mereka keluar, mereka tidak akan masuk lagi ke dalamnya untuk kedua
kalinya. Sehingga hari ini -misalnya- masuk ke dalamnya 70.000 malaikat
selain dari yang telah masuk kemarin dan demikian seterusnya setiap
hari.
(6).
Ini adalah ringkasan dan gabungan dari hadits-hadits tentang
peristiwa ini dalam Ash-Shohihain. Untuk lebih lengkapnya, silahkan
merujuk ke Shohih Al-Bukhary no. 2968 dan 3598 dan Shohih Muslim no.
162-168 dan juga kitab-kitab hadits selainnya yang menyebutkan kisah
ini.
(7). Penting:
Kata ‘dzat’ bukanlah termasuk nama-nama ataupaun sifat-sifat Allah,
akan tetapi sebagian para ulama menggunakannya untuk Allah hanyalah
sebagai bentuk pengkhabaran, dan ini adalah perkara yang boleh
sebagaimana yang disebutkan dalam kitab-kitab yang berbicara tentang
tauhid Asma` wash Shifat.
(8).
Oleh karena itulah, di sini tidak ada dalil yang membolehkan
seseorang untuk berdo’a, bertawassul, atau meminta syafa’at kepada para
Nabi dengan alasan mereka masih hidup.
(9). Lihat Zadul Ma’ad (1/57)
(10). Di Indonesia dikenal dengan nama Lebaran Ketupat.
(11).
Lihat juga risalah beliau yang berjudul Hukmul Ihtifal bil Mawalid wa
Nahwiha, Al-Qowadih fil ‘Aqidah, dan Bida’un fii Syahri Rojab.
(12).
Lihat kitab beliau Ijabatus Sa`il no. pertanyaan 166, lihat juga
pertanyaan no. 167 serta kitab Tuhfatul Mujib no. pertanyaan 42
0 komentar:
Posting Komentar