-->

28 Agustus 2012

Jawaban Ilmiah Terhadap Silsilah Pembelaan Wahdah Islamiyah (Bag. 3 )


Oleh Ustadz Abu Abdillah Sofyan Chalid bin Idham Ruray
(Mantan Kader & Da’i Wahdah Islamiyah Makassar)
- حفظه الله تعالى وغفر له ولوالديه ولجميع المسلمين –
Editor : Al-Ustadz Abdul Qodir

  • Kesebelas: Menyelisihi Manhaj Salaf dalam Menasihati Penguasa dan Mengikuti Manhaj Khawarij
Pembaca yang budiman, perhatikan bagaimana celaan terhadap pemerintah dari komentar seorang yang mengaku sebagai kader Hidayatullah yang diloloskan oleh WI dalam situs mereka, saat orang itu memberikan komentar tentang SPPUD (Silsilah Pembelaan Para Ulama dan Du’at) (Bagian 3):
Munculnya gerakan islam berplatform Ahlus-sunnah wal jama’ah yg terorganisir scr rapi (munaddzom) adalah langkah-langkah strategis dari para pelaku dakwah hari ini, hal itu ditempuh karena penguasa tidak lagi menjadikan al-qur’an dan sunnah sbgai falsafah negara, bahkan sebaliknya, penguasa justru menjdi pecundang terhadap pihak-pihak yng menginginkan implementasi syariat islam scr kaffah.
Celakanya lagi, salah satu pentolan “Ahlus Sunnah” model ini di Bandung dengan tanpa risih sedikitpun menelanjangi aib-aib pemerintah Indonesia di blog fitnah-nya. Sedang pusatnya di Makassar membela dan memuji “ulama” mereka yang tidak segan membakar semangat pemuda muslim untuk melakukan “amar ma’ruf nahi munkar” kepada penguasa yang zhalim dengan cara yang menyelisihi manhaj Salaf[1].
Bahkan WI pusat dalam website resminya juga terang-terangan mengkritik penguasa, seperti ketika mereka menuntut pemerintah berlaku adil dalam menangani kasus bom Bali I[2], dalam tulisan yang berjudul “Antara Jihad dan Keadilan” oleh Rahmat A. Rahman. Dan dalam sebuah “pernyataan resmi” yang dimuat dalam website resmi WI, mereka “mendesak” Presiden SBY –hafizhahullah- dan menuduh tim kampanye beliau sebagai “kaki-tangan AS”.
Selain itu, mereka juga tidak mempermasalahkan pencantuman link-link website yang mencela pemerintah, dengan alasan kebenaran itu diambil bukan hanya dari “salafy”, sebagaimana dalam SPPUD (bagian IV), WI berkata:
“Apa salahnya menukil berita dari situs orang-orang IM dan Hidayatulllah[3] wahai Sofyan??. Apakah kebenaran itu hanya berada pada situs-situs kalian kelompok “salafy” hingga kalian mengharamkan situs-situs lain selain kelompok kalian?, Sungguh, hikmah itu merupakan barang hilang bagi kaum muslimin, darimana-pun kalian dapatkan maka ambillah ia. Apalagi, kebanyakan materi dari situs-situs tersebut merupakan berita-berita seputar perjuangan kaum muslimin di belahan dunia dan khususnya di tanah air ini.”
WI juga berkata:
“kami akan mengajukan satu pertanyaan pada anda wahai Sofyan[4], salahkan seseorang membuat sebuah artikel –sebagai nasehat- yang menyatakan ketidak-setujuannya terhadap pemerintah –apalagi jika bukan pemerintah yang ia berada langsung di bawah otoritasnya- berkaitan dengan sebuah keputusan yang dianggap sebagai kemungkaran, apalagi menyangkut harga diri seorang yang berjasa terhadap dakwah Islam?? Afwan, pertanyaan ini kami bidikkan agar antum –dengan segala keterbatasan ilmu- tidak serampangan menjatuhkan vonis[5] sesat atau khawarij hanya lantaran hal tersebut, dengan dalih perbuatan itu merupakan penentangan terhadap pemerintah.”
WI juga menukil fatwa Asy-SyaikhAbdullah Bin Qu’ud–rahimahullah- dan atsar sahabat Abu Sa’id Al-Khudri-radhiyallahu’anhu- tentang bolehnya mengingkari kemungkaran penguasa secara terang-terangan, yang lagi-lagi mereka salah pahami atau mereka bawa kepada makna yang batil, sebagaimana akan kami jelaskan insya Allah.
Lalu WI berkata:
“Sebagai tambahan, termasuk penyimpangan manhaj bagi kawan-kawan “salafy” kita, sikap mereka dalam menyikapi sesuatu yang zahirnya bertentangan dengan pemerintah. Seolah –menurut kamus mereka- segala yang bertentangan dengan kebijakan pemerintah, kendati dalam bentuk nasehat masuk dalam kategori memberontak, dan pelakunya pantas digelari sebagai khawarij, yang karenanya mereka tidak segan-segan mengeluarkan Fadhilatus Syaikh Dr. Safar al-Hawaly, Fadhilatus Syaikh al-Allamah Syaikh Dr. Salman al-Audah dan selain mereka berdua dari barisan Ahli Sunnah, kendati mereka termasuk dalam jajaran ulama terpandang di Saudi Arabiyah[6]. Kalau demikian adanya, maka apa yang antum akan katakan terhadap sikap sahabat yang mulia Abu Said al-Khudry –radhiallahu anhu- terhadap Khalifah Abdul Malik[7] bin Marwan di atas?”
[Cetak tebal dari kami]
Tanggapan:
  • Pertama: Dalam menanggapi poin ini, kami awali dengan perkataan Rasulullah -shallallahu’alaihi wa sallam- yang ma’shum, yang tidak berkata kecuali wahyu yang diwahyukan kepadanya. Semua perkataan bisa diterima atau ditolak, kecuali perkataan beliau shallallahu’alaihi wa sallam.
Rasulullah -Shollallahu alaihi wa sallam- bersabda,
من أراد أن ينصح لذي سلطان فلا يبده علانية ولكن يأخذ بيده فيخلوا به فإن قبل منه فذاك وإلا كان قد أدى الذي عليه
“Barangsiapa yang ingin menasihati penguasa, janganlah ia menampakkannya terang-terangan. Akan tetapi hendaklah ia meraih tangan sang penguasa, lalu menyepi dengannya. Jika nasihat itu diterima, maka itulah yang diinginkan. Namun jika tidak, maka sungguh ia telah melaksanakan kewajiban (menasihati penguasa).” [HR. Ibnu Abi ‘Ashim dalam As-Sunnah dari ‘Iyadh bin Ganm-radhiyallahu’anhu-. Hadits ini di-shahih-kan oleh Asy-Syaikh Al-Albani–rahimahullah- dalam Zhilalul Jannah, (no. 1096)]
Pembaca yang budiman, satu hadits ini sebenarnya sudah cukup sebagai kata putus dalam hal adab menasihati penguasa, yakni tidak boleh dilakukan terang-terangan. Inilah bimbingan Nabi yang mulia -shallallahu’alaihi wa sallam-, sehingga kita tidak perlu bingung lagi dengan syubhat-syubhat yang dilontarkan oleh WI.
Akan tetapi untuk lebih menjernihkan permasalahan yang sudah terlalu banyak syubhat-nya ini, -insya Allah- kami akan menyebutkan praktek Sahabat -radhiyallahu’anhum- terhadap hadits di atas dan penjelasan para ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah dengan lebih detail, sebagaimana dalam riwayat berikut:
قيل لأسامة لو أتيت فلانا (عند الامام مسلم: عثمان بن عفان –رضي الله عنه-) فكلمته . قال إنكم لترون أنى لا أكلمه إلا أسمعكم ، إنى أكلمه فى السر دون أن أفتح بابا لا أكون أول من فتحه
“Dikatakan kepada Usamah (bin Zaid) radhiyallahu’anhuma, “Kalau sekiranya engkau mendatangi si fulan (dalam riwayat Al-Imam Muslim, si fulan yang dimaksud adalah: Utsman bin Affan radhiyallahu‘anhu) lalu engkau menasihatinya?” Usamah menjawab, “Sesungguhnya kalian benar-benar mengira bahwa aku tidak menasihatinya, kecuali jika aku memperdengarkannya kepada kalian?! Sungguh aku telah menasihatinya secara diam-diam, tanpa aku membuka sebuah pintu yang semoga aku bukanlah orang pertama yang membuka pintu tersebut.” (Muttafaqun ‘alaih dari Abu Wa’il radhiyallahu’anhu)[8]
Al-Hafizh Ibnu Hajarrahimahullah menjelaskan maksud perkataan Usamah bin Zaid-radhiyallahu’anhuma-, “Sungguh aku telah berbicara (menasihati) beliau tanpa aku membuka sebuah pintu“, maknanya adalah: “Aku telah menasihatinya dalam perkara yang kalian isyaratkan tersebut, tetapi dengan memperhatikan maslahat dan adab (dalam menasihati penguasa), yakni secara rahasia, sehingga tidak terjadi pada perkataan (nasihatku) ini sesuatu yang bisa mengobarkan fitnah.” [Lihat Fathul Bari, (13/51)]
Al-Hafizh Ibnu Hajar-rahimahullah- juga menukil penjelasan sebagian ulama tentang kemungkaran yang diisyaratkan kepada Usamah bin Zaid -radhiyallahu’anhuma- ternyata bukanlah kemungkaran yang tersembunyi dari masyarakat, tetapi kemungkaran yang zhahir dan telah tersebar beritanya di tengah-tengah masyarakat, yaitu tentang salah seorang pejabat Utsman bin Affan-radhiyallahu’anhu- yang bernama Al-Walid bin ‘Uqbah yang tercium dari mulutnya bau nabidz (sejenis khamar), kemudian Al-Hafizh Ibnu Hajarrahimahullah- berkata dalam menjelaskan perkataan Usamah,
“Sungguh aku telah menasihatinya secara rahasia (tidak terang-terangan), tanpa aku membuka sebuah pintu”, makna (pintu) yang dimaksud adalah: “Pintu pengingkaran atas kemungkaran para penguasa secara terang-terangan, karena khawatir akan memecah belah kalimat (yakni persatuan kaum muslimin di bawah seorang pemimpin)”, kemudian beliau (Usamah) memberitahu mereka bahwa ia tidak sedikitpun mencari muka pada seseorang meskipun pada seorang pemimpin, akan tetapi ia telah mengerahkan segenap kemampuannya untuk menasihati pemimpin secara rahasia (tidak terang-terangan)”. [Lihat Fathul Bari, (13/52)]
Al-Qodhi ‘Iyadh–rahimahullah- berkata, “Maksud Usamah, bahwa ia tidak ingin membuka pintu (memberi contoh) cara mengingkari penguasa dengan terang-terangan, karena ia khawatir dampak buruk dari cara tersebut. Akan tetapi yang beliau lakukan adalah dengan lemah lembut dan menasihati secara rahasia, karena cara tersebut lebih dapat diterima”. [Lihat Fathul Bari, (13/52)]
Al-‘Allamah Badruddin Al-‘Aini Al-Hanafi–rahimahullah- juga menjelaskan perkataan Usamah bin Zaid-radhiyallahu’anhuma-, “Sungguh aku telah menasihatinya secara rahasia“, maknanya, “Aku menasehati penguasa secara diam-diam, sehingga aku tidak membuka sebuah pintu dari pintu-pintu fitnah. Kesimpulannya, aku (Usamah) menasihatinya demi meraih kemaslahatan bukan untuk memprovokasi munculnya fitnah (masalah), karena cara mengingkari para penguasa dengan terang-terangan terdapat semacam sikap penentangan terhadapnya. Sebab pada cara tersebut terdapat pencemaran nama baik para pemimpin yang mengantarkan kepada terpecahnya kalimat (persatuan kaum muslimin) dan tercerai-berainya jama’ah”. [Lihat Umdatul Qari Syarh Shahih Al-Bukhari, (23/33)]
Al-Imam An-Nawawi –rahimahullah – dalam menerangkan perkataan Usamah pada riwayat Muslim, beliau berkata: “Aku membuka perkara yang aku tidak suka jika akulah yang pertama membukanya (yakni mencontohkan keburukan),” maknanya adalah, “Terang-terangan dalam menasihati penguasa di depan khalayak, sebagaimana pernah terjadi pada para pembunuh ‘Utsman -radhiyallahu’anhu-. Dalam hadits ini terdapat adab bersama penguasa, lemah lembut terhadap mereka, menasihati mereka secara rahasia dan menyampaikan perkataan manusia tentang mereka agar mereka berhenti dari kemungkaran tersebut. Ini semua dilakukan jika memungkinkan, namun jika tidak memungkinkan untuk menasihati dan mengingkari kemungkaran penguasa secara rahasia, maka hendaklah seseorang melakukannya terang-terangan, agar pokok kebenaran itu tidak ditelantarkan. [Lihat Syarah Muslim , 18/118)]
Peringatan: Perkataan Al-Imam An-Nawawi rahimahullah pada bagian akhir yang kami garis bawahi di atas maksudnya adalah jika keadaan memaksa untuk itu (bukan pada semua keadaan)[9] , sebagaimana perbuatan sahabat Abu Sa’id Al-Khudri -radhiyallahu’anhu- yang dijadikan dalil oleh WI, yang insya Allah nanti akan kami jawab dengan mengutip penjelasan para Ulama.
Al-Imam Al-Qurthubi-rahimahullah- menerangkan perkataan Usamah dalam riwayat Muslim: “Sungguh aku telah menasihatinya secara empat mata”, maksudnya adalah, “Ia (Usamah) telah menasihati Utsman -radhiyallahu’anhu- secara langsung dengan perkataan yang lembut, karena yang demikian itu lebih hati-hati untuk menghindari cara terang-terangan dalam mengingkari penguasa dan menghindari sikap penentangan terhadap penguasa, sebab cara menasihati penguasa dengan terang-terangan sangat berpotensi melahirkan berbagai macam fitnah dan kerusakan.” [Lihat Al-Mufhim Syarah Shohih Muslim, (6/619)]
Al-Imam Asy-Syaukany rahimahullah berkata, “Sepatutnya bagi orang yang mengetahui kesalahan penguasa dalam sebagian masalah agar ia menasihati penguasa tersebut, dan janganlah ia menampakan celaan kepada penguasa di depan publik. Akan tetapi sebagaimana terdapat dalam hadits (yakni hadits ‘Iyadh bin Ganm -radhiyallahu’anhu-), hendaklah ia meraih tangan sang penguasa dan menyepi dengannya, lalu menasihatinya, dan janganlah ia menghinakan sultan (penguasa) Allah” .[Lihat As-Sail Al-Jarrar, (4/556)]
Asy-Syaikh Al-‘Allamah Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di–rahimahullah- berkata, “Bagi siapa yang melihat suatu kemungkaran yang dilakukan oleh penguasa, hendaklah ia memperingatkan mereka secara rahasia, tidak terang-terangan di khalayak, dengan cara yang lembut dan perkataan yang sesuai dengan keadaan.” [Lihat Ar-Riyadh An-Nadhirah, (hal. 50)]
Asy-Syaikh Al-‘Allamah Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz – rahimahullah – berkata, “Bukan termasuk manhaj salaf, membeberkan aib-aib penguasa, dan menyebutkannya di atas mimbar-mimbar, karena hal itu akan mengantarkan kepada ketidakstabilan (negara), sehingga masyarakat tidak mau dengar dan taat kepada pemerintah dalam perkara ma’ruf, dan mengantarkan kepada pemberontakan yang merusak dan tidak bermanfaat. Tapi metode yang dicontohkan Salaf adalah menasehati secara empat mata , menyurat, dan menghubungi para ulama yang memiliki akses langsung kepada penguasa, sehingga sang penguasa bisa diarahkan kepada kebaikan” . [Lihat Haqqur Ro’iy war-Ro’iyyah, (hal. 27)]
Faqiihuz Zaman Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaiminrahimahullah- berkata, “Mempublikasikan nasihat yang kita sampaikan kepada pemerintah terdapat dua mafsadat (kerusakan). Pertama , Hendaklah setiap orang khawatir, jangan sampai dirinya tertimpa riya’, sehingga terhapus amalannya. Kedua , Jika pemerintah tidak menerima nasihat tersebut, maka jadilah itu sebagai alasan bagi masyarakat awam untuk menentang pemerintah. Pada akhirnya mereka melakukan revolusi (pemberontakan) dan terjadilah kerusakan yang lebih besar.” [Dari kaset As'ilah haula Lajnah Al-Huquq As-Syar’iyah, sebagaimana dalam Madarikun Nazhor, (hal. 211)]
Dari penjelasan para ulama di atas, telah sangat jelas bahwa dalam menasihati penguasa tidak boleh dilakukan secara terang-terangan, baik melalui demonstrasi, berbicara di mimbar-mimbar terbuka, ataupun melalui kolom opini dan artikel yang disebarkan secara terbuka di media-media. Apabila hal tersebut dilakukan, maka akan melahirkan mafsadat-mafsadat yang besar diantaranya:
  1. Memprovokasi masyarakat untuk memberontak kepada penguasa. Terlebih lagi jika nasihat tersebut tidak diindahkan oleh penguasa, maka akibatnya akan menceraiberaikan kesatuan kaum muslimin.[10]
  2. Cara mengingkari kemungkaran penguasa dengan terang-terangan terdapat semacam sikap penentangan terhadapnya. [11]
  3. Pencemaran nama baik dan ghibah kepada penguasa yang dapat mengantarkan kepada perpecahan masyarakat dan pemerintah muslim. [12]
  4. Membuat masyarakat tidak mau menaati penguasa dalam hal ma’ruf. [13]
  5. Menyebabkan permusuhan antara pemimpin dan rakyatnya. [14]
  6. Menjadi sebab ditolaknya nasihat oleh penguasa.[15]
  7. Menyebabkan tertumpahnya darah seorang muslim, sebagaimana yang terjadi pada tindakan para pembunuh ‘Utsman -radhiyallahu’anhu-.[16]
  8. Menghinakan sulthan Allah.[17]
  9. Munculnya riya’ dalam diri pelakunya.[18]
  10. Menyelisihi dalil dan jalan As-Salafus Shalih.
  11. Mengikuti jalan ahlul bid’ah (Khawarij).
  • Kedua: Adapun pembolehan menasihati penguasa secara terang-terangan, jika penyimpangan penguasa dilakukan terang-terangan sebagaimana dalam kisah sahabat yang mulia Abu Sa’id Al-Khudri-radhiyallahu’anhu- dan fatwa Asy-Syaikh Abdullah bin Qu’udrahimahullah seperti yang dikutip WI berikut ini dalam SPPUD (Bagian. 4), “Karenanya, saya memandang jika perkara yang hendak disampaikan sebagai nasehat merupakan perkara zahir, jelas dan nampak dalam artian kemungkaran itu nampak dan jelas, maka tidak mengapa memberi nasehat kepada penguasa dengan cara berhadapan dengannya, atau melalui kolom opini di koran-koran (termasuk artikel), melalui mimbar-mimbar, atau dengan metode-metode lainnya jika kemungkaran tersebut jelas dan nampak di tengah-tengah manusia.”
Hal ini kami jawab dari beberapa sisi:
Pertama : Kalau fatwa ini benar dari beliau, maka beliau sendiri telah memberikan batasan-batasan dan siapa yang berhak melakukannya, diantaranya:
1). Dengan memperhatikan maslahat dan mafsadat. Jika kita lihat mafsadat-mafsadat besar yang sangat mungkin ditimbulkan dari cara menasihati pemerintah dengan terang-terangan, tentunya hal tersebut tidak boleh untuk dilakukan.
2). Bukan semua orang yang boleh melakukannya, tetapi para ulama yang benar-benar memiliki ilmu dalam masalah tersebut dan memiliki kedudukan dalam pandangan pemerintah dan masyarakat. Hal ini jelas dari perkataan beliau dan pendalilan beliau dengan kisah Abu Sa’id al-Khudri-radhiyallahu’anhu-. Siapa Abu Sa’id Al-Khudri-radhiyallahu’anhu-, seorang ulama besar di kalangan sahabat dibandingkan dengan Marwan seorang Tabi’in[19]? Kedudukannya adalah guru (Sahabat) dan murid (Tabi’in). Demikian pula, tidak semua Sahabat dan Tabi’in yang hadir pada saat itu melakukan pengingkaran secara terang-terangan.
Kedua : Kalau kita perhatikan apa yang dilakukan oleh sahabat Abu Sa’id Al-Khudri-radhiyallahu’anhu-, maka itu adalah perkara yang sangat mendesak dan sangat terkait dengan waktu yang singkat (yakni pelaksanaan shalat ‘ied) dan terjadi di depan matanya dan di depan khalayak ramai, sehingga tidak mungkin untuk ditunda. Karena kaidah yang disepakati, “Menunda penjelasan dari waktu yang dibutuhkan tidak boleh”. Inilah maksud perkataan Al-Imam An-Nawawi–rahimahullah- yang kami garis bawahi di atas.
Asy-Syaikh Ahmad bin Umar Bazmul–hafizhahullah- menjelaskan perkataan Al-Imam An-Nawawi–rahimahullah- tersebut, “Perkataan beliau, “ Ini semua dilakukan jika memungkinkan” , yakni jika memungkinkan seseorang menasihati penguasa secara rahasia, maka inilah yang wajib atasnya, tidak yang lainnya (yakni tidak boleh terang-terangan).”
“Adapun perkataan beliau ( An-Nawawi ), “Namun jika tidak memungkinkan untuk menasihati dan mengingkari kemungkaran penguasa secara rahasia, maka hendaklah seseorang melakukannya terang-terangan, agar pokok kebenaran itu tidak ditelantarkan.” Maknanya adalah, “Janganlah seseorang mengingkari kemungkaran penguasa secara terang-terangan, kecuali dalam keadaan sangat genting (daruroh syadidah).”
Kemudian beliau ( Asy-Syaikh Ahmad bin Umar Bazmul–hafizhahullah- ) berkata dalam catatan kakinya, “Atas dasar inilah (yakni dalam keadaan darurat) dibawa perbuatan Salaf (dalam mengingkari kemungkaran penguasa terang-terangan), seperti kisah Abu Sa’id Al-Khudri -radhiyallahu’anhu- bersama Marwan, walikota Madinah ketika ia mendahulukan khutbah atas shalat ‘ied. [Lihat Shahih Al-Bukhari (2/449 no. 956 bersama Fathul Bari kitab Al-’Idain, bab Al-Khuruj ilal Musholla bi ghayri Minbar]”
“Oleh karenanya, ketika ‘Iyadh bin Ganm -radhiyallahu’anhu- mengingkari perbuatan Hisyam -radhiyallahu’anhu- (yaitu, dengan menyampaikan hadits di atas) karena pengingkaran Hisyam terhadap kemungkaran penguasa secara terang-terangan, tanpa ada kebutuhan mendesak (darurat). Tidaklah yang dilakukan Hisyam -radhiyallahu’anhu-, kecuali tunduk (kepada hadits tersebut), wallahu A’lam.” (Lihat As-Sunnah fii maa Yata’allaqu bi Waliyyil Ummah,Asy-Syaikh Ahmad bin Umar Bazmul, soft copy dari www.sahab.net )
Ketiga : Pengingkaran Abu Sa’id Al-Khudriradhiyallahu’anhu benar-benar di depan penguasa tersebut, sehingga memungkinkan bagi sang penguasa untuk mengambil faedah “secara langsung” dari nasihat beliau, atau sebaliknya sang penguasa bisa memberikan bantahan jika ia memiliki dalil atau pertimbangan khusus sebagai seorang pemimpin[20].
Adapun jika dengan menyebarkan artikel-artikel di media massa dan berorasi di mimbar-mimbar bebas yang tidak dihadiri oleh penguasa, maka belum tentu bisa dibaca atau didengarkan oleh penguasa (sebagai orang yang dinasihati), malah yang terjadi adalah ghibah atau buhtan, pencemaran nama baik dan provokasi untuk memberontak kepada penguasa. Bagaimana bisa seseorang mengharamkan ghibah dan pencemaran nama baik dirinya dan para tokoh idolanya sementara untuk penguasa dia bolehkan…Ma lakum kayfa tahkumun?!
Asy-Syaikh Al-‘Utsaimin–rahimahullah- menjelaskan, “Sesungguhnya mengingkari kemungkaran yang tersebar adalah hal yang dituntut dan tidak ada masalah dalam hal ini. Tapi yang menjadi masalah dalam pembahasan kita adalah pengingkaran terhadap seorang penguasa, seperti jika seseorang berpidato di masjid, kemudian ia berkata misalnya, “Negara (pemerintahnya) ini telah berbuat zhalim”, “Pemerintah telah melakukan (kesalahan)”, ia terus berbicara tentang kemungkaran penguasa dengan cara terang-terangan ini, padahal para penguasa tersebut tidak hadir dalam majelis itu. Jelas berbeda jika pemimpin atau penguasa yang ingin engkau nasihati itu ada di hadapan Anda dan ketika dia tidak ada. Karena semua pengingkaran secara terang-terangan yang dilakukan oleh generasi Salaf terjadi langsung di hadapan pemimpin atau penguasa. Bedanya, jika ia hadir, memungkinkan baginya untuk membela diri dan menjelaskan sisi pandangnya, dan bisa jadi ia yang benar dan kita yang salah. Akan tetapi jika ia tidak hadir, tentunya ia tidak bisa membela diri dan ini termasuk kezhaliman. Maka wajib bagi setiap kita untuk tidak berbicara tentang kejelekan seorang penguasa tatkala ia tidak hadir. Olehnya, jika engkau sangat menginginkan kebaikan (bagi seorang penguasa) pergilah kepadanya, temuilah ia, lalu nasihati secara empat mata.” [Lihat Liqo’ Al-Babil Maftuh, pertemuan ke-62, hal. 46)
Keempat : Jika fatwa Asy-Syaikh Ibnu Qu’ud–rahimahullah- diterima secara mutlak tanpa ada batasan-batasan sebagaimana yang beliau jelaskan sendiri dan batasan-batasan lain yang dijelaskan oleh para ulama lainnya, maka hal tersebut sangat jelas bertentangan dengan dalil dan fatwa-fatwa para ulama lainnya sebagaimana yang kami nukil di atas. Olehnya, kembali kami peringatkan kepada saudara-saudara kami di WI –kami mencintai kebaikan untuk kalian sebagaimana kami cintai kebaikan itu untuk diri kami-:
Pertama : Kalaupun benar sebagaimana yang kalian katakan, bukankah yang terbaik bagi kita untuk berhati-hati dalam masalah ini dengan memilih jalan yang lebih selamat?!
Kedua : Jika kita mencari setiap keringanan para ulama, niscaya kita akan binasa, sebagaimana diriwayatkan dari sebagian Salaf, “Barangsiapa yang mencari-cari keringanan para ulama, maka dia telah mengarah kepada kemunafikan”.
Ketiga : Tidakkah kalian memikirkan mafsadat yang besar –terutama bagi orang-orang awam- jika pintu ini dibuka?!
Asy-Syaikh Ahmad bin Umar Bazmul–hafizhahullah- menerangkan, sedikitnya tiga kemungkaran besar yang menyelisihi manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah ketika seseorang menasihati penguasa secara terang-terangan, padahal masih memungkinkan untuk dinasihati secara rahasia,
Pertama : Menyelisihi hadits ‘Iyadh bin Ganm -radhiyallahu’anhu- yang memerintahkan untuk diam-diam dalam menasihati penguasa.
Kedua : Menyelisihi atsar-atsar dan manhaj Salaf, seperti atsar Usamah bin Zaid dan Abdullah bin Abi Aufa dan selainnya radhiyallahu’anhum.
Ketiga : Menyelisihi hadits Nabi shallallahu’alaihi wa sallam, “Barangsiapa yang menghinakan penguasa Allah di muka bumi maka Allah akan menghinakannya.” (HR. Al-Bukhari)
[Lihat As-Sunnah fii maa Yata’allaqu bi Waliyyil Ummah, Asy-Syaikh Ahmad bin Umar Bazmul -hafizhahullah-)]
  • Ketiga: Ya benar, cara menasihati penguasa dengan terang-terangan adalah pemberontakan dan merupakan karakter Khawarij.
Asy-Syaikh Ahmad bin Umar Bazmul hafizhahullah berkata, “Nasihat kepada penguasa secara rahasia merupakan salah satu pokok dari pokok-pokok Manhaj Salaf yang diselisihi oleh ahlul ahwa’ wal bida’, seperti Khawarij.”
Beliau (Asy-Syaikh Ahmad bin Umar Bazmul–hafizhahullah-) juga menjelaskan bahwa menyebarkan aib-aib penguasa merupakan bentuk pertolongan kepada Khawarij dalam membunuh penguasa muslim, sehingga jelas bahwa pemberontakan itu tidak hanya dengan senjata, tapi juga dengan lisan.
Beliau berkata: “Hal tersebut dilarang karena bisa mengantarkan kepada perbuatan menumpahkan darah dan pembunuhan, sebagaimana yang dikeluarkan oleh Ibnu Sa’ad dalam At-Tabaqot, dari Abdullah bin Ukaim al-Juhani, bahwa beliau berkata:
“Aku tidak akan menolong pembunuhan seorang Khalifah selamanya setelah Utsman”, maka dikatakan kepadanya, “Wahai Abu Ma’bad, apakah engkau telah membantu (Khawarij) dalam membunuh Utsman?” Maka beliau berkata, “Sungguh aku menganggap perbuatan membicarakan keburukan-keburukan beliau sebagai bentuk pertolongan kepada (Khawarij) dalam membunuhnya”.
Maka camkanlah baik-baik atsar ini, tatkala beliau menganggap pembicaraan tentang kejelekan-kejelekan penguasa termasuk perkara yang membantu pembunuhannya.”
Kemudian beliau (Asy-Syaikh Ahmad bin Umar Bazmulhafizhahullah) memberikan komentar pada catatan kaki, “Atsar ini berfaedah pelajaran bahwa pemberontakan itu dapat terjadi dengan senjata (pedang), maupun dengan ucapan. Berbeda dengan pendapat (yang salah) bahwa pemberontakan itu tidak terjadi kecuali dengan senjata. Maka camkanlah ini baik-baik dan ingatlah selalu.”
Beliau juga menukil penegasan Asy-Syaikh Bin Baz–rahimahullah-, “Bukan termasuk manhaj Salaf menelanjangi aib-aib penguasa dan membicarakannya di atas mimbar-mimbar, karena hal tersebut mengantarkan kepada kudeta dan ketidaktaatan masyarakat dalam hal yang ma’ruf kepada penguasa. Lebih dari itu, mengantarkan kepada pemberontakan yang hanya membahayakan dan tidak bermanfaat.” [Lihat As-Sunnah fii maa Yata’allaqu bi Waliyyil Ummah, oleh Asy-Syaikh Ahmad bin Umar Bazmul –hafizhahullah-]
Jadi, jelaslah kesalahan sebagian “Ahlus Sunnah” model ini yang menganggap bahwa menasihati penguasa dengan membicarakan aib-aib penguasa secara terang-terangan bukan termasuk pemberontakan dan karakter Khawarij, sebagaimana (juga) yang dikatakan penulis buku yang beberapa kali dijadikan rujukan oleh WI dalam SPPUD, yaitu saudara Abduh Zulfidar Akaha, Lc, yang diedit oleh Ustadz WI Muhammad Ihsan Zainuddin, Lc, berikut ini:
“Lebih dari itu, sekedar melakukan demonstrasi saja sudah dianggap sebagai tindak pemberontakan dan dikatakan sebagai Khawarij dan teroris. Hal ini tercermin dalam perkataan beliau (Al-Ustadz Luqman Ba’abduh -pen), “Perlu ditekankan di sini, bahwa bentuk pemberontakan terhadap penguasa itu tidak hanya dalam bentuk gerakan fisik atau gerakan bersenjata saja”. Kemudian beliau (Al-Ustadz Luqman Ba’abduh -pen) mengutip pendapat Syaikh Abdul Malik Ramadhani Al-Jazairi di buku Madarik An-Nazhar (tanpa penyebutan halaman) yang mengatakan, “Wal hasil, hanya sekedar memprovokasi massa untuk menentang penguasa muslim (walaupun penguasa tersebut seorang fasik) sudah layak dicap sebagai cara-cara khawarij”. [Lihat Siapa Teroris? Siapa Khawarij?, (hal. 224)]
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaiminrahimahullah menjawab syubhat ini, dalam menjelaskan hadits tentang tuduhan kaum Khawarij kepada Rasulullah -shallallahu’alaihi wa sallam- bahwa beliau belum berlaku adil dalam pembagian ghanimah. Asy-Syaikh Al-‘Utsaiminrahimahullah berkata,
Ini merupakan dalil terbesar bahwa pemberontakan terhadap pemerintah bisa dengan senjata, ucapan dan komentar. Yakni, orang ini (Dzul Khuwaisirah) tidak mengangkat pedang melawan Rasulullah -shallallahu’alaihi wa sallam-, tetapi hanya sekedar mengingkari beliau (dengan ucapan).
Kami sangat memahami bahwa biasanya tidak akan terjadi pemberontakan dengan senjata, kecuali telah didahului oleh pemberontakan dengan kata-kata. Manusia tidaklah mungkin menyandang senjata mereka untuk memerangi penguasa tanpa ada sesuatu yang dapat memprovokasi mereka. Pasti ada sesuatu yang bisa memprovokasi mereka, itulah ucapan (provokator). Maka pemberontakan kepada penguasa dengan kata-kata adalah pemberontakan secara hakiki, berdasarkan sunnah dan kenyataan. [Lihat Fatawa Al-‘Ulama Al-Akabir, (hal. 96)].
Penjelasan di atas mengingatkan kita kepada salah satu sekte Khawarij yang bernama Al-Qo’adiyah. Mereka ini tidak ikut mengangkat senjata melawan penguasa dalam pemberontakan berdarah, tetapi kerjaan mereka hanyalah memprovokasi masyarakat untuk memberontak kepada penguasa dengan bait-bait syair maupun orasi-orasi di mimbar bebas.
Al-Hafizh Ibnu Hajarrahimahullah berkata, “Al-Qa’adiyah memprovokasi pemberontakan kepada para penguasa, meskipun mereka tidak terlibat langsung.” [Lihat Hadyus Sari, oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar –rahimahullah-, hal. 459, sebagaimana dalam Syarru Qatla tahta Adimis Sama’, hal. 20].
Bahkan sebenarnya merekalah yang paling berbahaya dan paling dahsyat fitnahnya, karena biasanya orang-orang yang bisa melakukan provokasi adalah yang memiliki sedikit ilmu yang dengannya dia menipu manusia. Seakan ia juga “ termasuk dalam jajaran ulama terpandang”[21] , sehingga disebutkan dalam satu atsar dari Abdullah bin Muhammad Adh-Dha’ifrahimahullah, ia berkata: “Kelompok al-Qa’adiyah ini merupakan pecahan khawarij yang paling jelek!” [Riwayat Abu Dawud dalam Masaa’il Al-Imam Ahmad, (hal. 271), sebagaimana dalam Syarru Qatla tahta Adimis Sama’, (hal. 21)].
  • Keempat: Ada satu syubhat yang mungkin dilontarkan dalam memahami permasalahan ini, yaitu, “Tidak mungkin menasihati penguasa seperti hadits ‘Iyadh bin Ganm maupun atsar Usamah bin Zaid radhiyallahu’anhum di zaman ini, dikarenakan aturan protokoler pemerintahan modern terlalu berbelit-belit, sehingga tidak memungkinkan setiap orang bisa bertemu empat mata dengan seorang pejabat, maka terpaksa diambil jalan terakhir, yaitu dengan melakukan demonstrasi, tapi demo yang Islami atau aksi damai.”
Menjawab syubhat ini kami katakan:
Pertama : Hadits ‘Iyadh bin Ganm dan atsar Usamah bin Zaidradhiyallahu’anhum itu tidak bermakna harus persis seperti teksnya, yaitu setiap orang yang ingin menasihati harus memegang tangan penguasa, menyepi dengannya atau bertemu empat mata dengannya. Masih ada cara lain yang dibolehkan, asalkan tidak terang-terangan, seperti penjelasan Asy-Syaikh Bin Baz–rahimahullah-, “ Tapi metode yang dicontohkan Salaf adalah: menasehati secara empat mata, menyurat, dan menghubungi para ulama yang memiliki akses langsung kepada penguasa, sehingga sang penguasa bisa diarahkan kepada kebaikan.” ( Haqqur Ro’iy war-Ro’iyyah, hal. 27)
Kedua : Jika ternyata memang semua jalan yang disebutkan Asy-Syaikh Bin Baz–rahimahullah- tidak bisa sama sekali atau penguasa tidak mau menuruti nasihat dan merubah kebijakannya yang zhalim, apakah kemudian boleh melakukan demonstrasi atau menyebar artikel nasihat dan teguran kepada pemerintah di media massa?
Jawabnya : Tetap tidak boleh, sebab hal tersebut bertentangan dengan dalil dan petunjuk Salaf dalam menghadapi keadaan semacam ini.
Al-Imam Ibnu Abdil Barr–rahimahullah- berkata, “Jika tidak memungkinkan untuk menasihati penguasa (dengan cara yang syar’i), maka solusi akhirnya adalah sabar dan doa, karena dahulu mereka –yakni Sahabat- melarang dari mencaci penguasa”. Kemudian beliau menyebutkan sanad satu atsar dari Anas bin Malik -radhiyallahu’anhu-, beliau (Anas) berkata, “Dahulu para pembesar Sahabat Rasulullah -shallallahu’alaihi wa sallam- melarang dari mencaci para penguasa.” [Lihat At-Tamhid, Al-Imam Ibnu Abdil Barr, (21/287)].
Al-Hasan Al-Bashrirahimahullah- berkata, “Demi Allah, andaikan manusia bersabar dengan musibah berupa kezhaliman penguasa, maka tidak akan lama Allah Ta’ala mengangkat kezhaliman tersebut dari mereka, namun apabila mereka mengangkat senjata melawan penguasa yang zhalim, maka mereka akan dibiarkan oleh Allah. Dan demi Allah, hal itu tidak akan mendatangkan kebaikan kapan pun. Kemudian beliau membaca firman Allah:
وَأَوْرَثْنَا الْقَوْمَ الَّذِينَ كَانُوا يُسْتَضْعَفُونَ مَشَارِقَ الْأَرْضِ وَمَغَارِبَهَا الَّتِي بَارَكْنَا فِيهَا وَتَمَّتْ كَلِمَتُ رَبِّكَ الْحُسْنَى عَلَى بَنِي إِسْرَائِيلَ بِمَا صَبَرُوا وَدَمَّرْنَا مَا كَانَ يَصْنَعُ فِرْعَوْنُ وَقَوْمُهُ وَمَا كَانُوا يَعْرِشُونَ
“Maka sempurnalah kalimat Allah (janji-Nya) ke pada Bani Israel disebabkan kesabaran mereka dan Kami musnahkan apa yang diperbuat oleh Fir’aun dan kaumnya dan apa yang mereka bina.” (Al-A’rof: 137) .” [Lihat Madarikun Nazhor, (hal. 6).
Penjelasan para ulama di atas dipahami dari banyak hadits Rasulullah -shallallahu’alaihi wa sallam-, diantaranya:
من رأى من أميره شيئاً يكرهه فليصبر عليه ، فإنه من فارق الجماعة شبراً فمات إلا مات ميتة جاهلية
“Barangsiapa yang melihat sesuatu yang tidak ia sukai (kemungkaran) yang ada pada pemimpin negaranya, maka hendaklah ia bersabar, karena sesungguhnya barangsiapa yang memisahkan diri dari jama’ah (pemerintah) kemudian ia mati, maka matinya adalah mati jahiliyah.” (Muttafaqun ‘alaihi dari Abdullah bin Abbas radhiyallahu’anhuma)
إنكم سترون بعدي أثرة وأموراً تنكرونها قالوا: ما تأمرنا يا رسول الله قال: أدوا إليهم حقهم وسلوا الله حقكم
“Sesungguhnya kelak kalian akan melihat (pada pemimpin kalian) kecurangan dan hal-hal yang kalian ingkari (kemungkaran)”. Mereka bertanya, “Apa yang engkau perintahkan kepada kami wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: “Tunaikan hak mereka (pemimpin) dan mintalah kepada Allah hak kalian (berdoa).” (Muttafaqun ‘alaihi dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu)
قلنا يا رسول الله : أرأيت إن كان علينا أمراء يمنعونا حقنا ويسألونا حقهم ؟ فقال : اسمعوا وأطيعوا . فإنما عليهم ما حملوا وعليكم ما حملتم
“Kami bertanya, wahai Rasulullah, “Apa pendapatmu jika para pemimpin kami tidak memenuhi hak kami (sebagai rakyat), namun tetap meminta hak mereka (sebagai pemimpin)?” Maka Nabi -shallallahu’alaihi wa sallam- bersabda, “Dengar dan taati (pemimpin negara kalian), karena sesungguhnya dosa mereka adalah tanggungan mereka dan dosa kalian adalah tanggungan kalian.” (HR. Muslim dari Wail bin Hujr radhiyallahu’anhu)
Maka jelaslah, ketika sudah tidak ada lagi solusi lain untuk merubah kemungkaran penguasa, tidak dibenarkan sama sekali melakukan demonstrasi, meskipun berupa aksi damai dan tidak pula dengan menyebar artikel dan berbicara tentang kejelekan penguasa di khalayak ramai, karena semua itu bertentangan dengan tuntunan Allah Ta’ala yang lebih mengetahui apa yang terbaik untuk hamba-Nya. Sedang, yang dituntunkan oleh teladan kita, Nabi shallallahu’alaihi wa sallam dan para sahabat -radhiyallahu’anhum- adalah sabar dan doa.
Inilah sebaik-baiknya solusi bagi orang-orang yang beriman kepada ayat Allah Ta’ala dan sunnah Rasul-Nya shallallahu’alaihi wa sallam.
Insya Allah bersambung...
============
Footnote :
============

[1] Sebagaimana nanti akan kami buktikan insya Allah pada poin ketigabelas
[2] Makalah ini –secara halus- menunjukkan simpati mereka kepada pelaku Teroris bom Bali. Mengetahui hubungan antara WI dan manhaj Teroris Khawarij ini, -alhamdulillah- salah seorang Ikhwan seangkatan kami di STIBA yang pernah diangkat sebagai ketua WI Cabang Palopo, kemudian rujuk kepada manhaj Salaf. Inilah kesaksian beliau –hafizhahullah- yang dikirimkan ke ana via emal:
Assalamu’alaykum warahmatullahi wabarakatuh :
Khusus berkaitan dengan wala’ mereka (WI) kepada Amrozi cs maka ana katakan:
  • Komputer di kantor resmi Lembaga Muslimah (LM) Wahdah Islamiyah palopo itu pernah rusak, lalu ana yang dipanggil untuk memperbaiki, karena memang pekerjaan sehari-hari ana adalah servis notebook dan computer, maka secara tidak sengaja ana melihat video (rekaman) pemakaman Amrozi cs dengan judul “As Syahiid”, lalu ana langsung nasihati akhwat yang ada di situ, akhwat tersebut cuman diam, ketika ana katakan, “Kenapa file seperti ini ada di komputer kalian?” akhwat tersebut cuman diam.
Lalu ana katakan, “Ana akan hapus file ini!“, tapi akhwat tersebut melarang. Bahkan beberapa laptop milik akhwat (WI) yang pernah ana servis itupun ada file-file (video rekaman tersebut).

  • Buku Imam Samudra, “Aku melawan Teroris” itu dijual di toko Cordova (milik petinggi WI), ketika itu pun ana bicara langsung dengan penjaga toko (seorang kader WI). Ana katakan, “Akhi, kenapa buku seperti ini ada disini?” Dia menjawab, “Kenapa!? Itu kan tidak apa-apa!
Alhamdulillah Ikhwan tersebut saat ini masih sehat dan insya Allah kapan saja bisa dikonfirmasi soal kebenaran kesaksiannya ini, dan orang-orang WI insya Allah juga tahu siapa Ikhwan yang kami maksudkan di sini.

[3] Bahkan WI Jogya dalam website resminya, menyebarkan tulisan website Hidayatullah yang mengkritik pemerintah dalam sebuah tulisan yang berjudul “Menjustifikasi Kematian Teroris”. Tak ketinggalan pula, WI Pusat dalam website resminya juga menyebarkan kritik terang-terangan dan celaan kepada pemerintah oleh website Hidayatullah ketika mengkritik kebijakan pemerintah untuk menembak mati para teroris. Terlihat di sini WI memiliki standar ganda dalam menyikapi pemerintah, di satu sisi mereka butuh kerja sama pemerintah dalam kegiatan-kegiatan dakwah mereka, di sisi yang lain mereka menyebarkan aib-aib pemerintah secara terang-terangan di media massa dan membantu media-media pencela pemerintah. Wallahul Musta’an

[4] Perhatikanlah bagaimana mereka mengarahkan bidikan-bidikannya kepada kami, sehingga kami sempat heran, seakan-akan kali ini mereka mendapat sasaran empuk yang bernama Sofyan, padahal jelas tertulis dalam footnote yang mereka tanggapi sekarang ini adalah dari editor (Al-Ustadz Abdul Qodir–hafizhahullah-), yaitu tulisan dalam kurung [ed].
Ini terjadi berulang kali, bahkan dengan pedenya mereka mengatakan, “ Sebelum kami paparkan jawaban kami atas pernyataan ini, maka kami sampaikan kepada pembaca budiman, nampak sekali pada poin ini Sofyan telah kehabisan bahan dan tidak punya kerjaan lagi selain mengais-ngais sesuatu yang ia anggap menyimpang dari gerakan dakwah WI.” Padahal jelas footnote tersebut bukan dari kami.
[5] Lihat Bag. 2 artikel ini tentang perbedaan antara vonis muthlaq dan mu’ayyan
[6] Mengenai penyimpangan para “ulama” WI, seperti Salman Al-Audah, Safar Al-Hawali dan ‘Aidh Al-Qorni insya Allah kami bahas pada point ketigabelas dari artikel ini
[7] Barangkali lebih tepatnya: Marwan bin Al-Hakam, bukan anaknya: Abdul Malik bin Marwan [Lihat Shahih Al-Bukhari, Kitab Al-Iedain, bab: Al-Khuruj ilal Musholla bi ghayri Minbar, (no. 956)]. Barangkali pula yang lebih tepat, ketika itu Marwan adalah walikota Madinah, belum menjadi Khalifah sebagaimana dalam riwayat tersebut. Wallahu A’lam
[8] HR. Al-Bukhoriy dalam Shohih-nya (no. 3267, & 7098), dan Muslim dalam Shohih-nya (no.7408). [ed]
[9] Oleh karenanya, mengingkari kemungkaran penguasa secara terang-terangan bukanlah menjadi adat kebiasaan para sahabat. Mereka lakukan saat keadaan memaksa. Wallahu a’lam.[ed]
[10] Lihat penjelasan Ibnu Hajar, Al-‘Aini dan Asy-Syaikh Al-‘Utsaimin –rahimahumullah-.
[11] Lihat penjelasan Al-Imam Al-‘Aini dan Al-Imam Al-Qurthubi -rahimahumallah-.
[12] Lihat penjelasan Al-Imam Al-‘Aini -rahimahullah-.
[13] Lihat penjelasan Asy-Syaikh Bin Baz -rahimahullah-.
[14] Lihat penjelasan Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan –hafizhahullah- dalam Al-Ajwibah Al-Mufidah, (hal.99).
[15] Lihat penjelasan Al-Qodhi ‘Iyadh rahimahullah
[16] Lihat penjelasan Al-Imam An-Nawawi –rahimahullah- dan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Mukhtashor Shahih Muslim, hal. 335)
[17] Lihat penjelasan Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullah
[18] Lihat penjelasan Asy-Syaikh Al-‘Utsaimin –rahimahullah -.
[19] Meskipun Marwan lahir dua atau empat tahun setelah hijrahnya Nabi -shallallahu’alaihi wa sallam- ke Madinah, namun ia tidak pernah melihat Nabi shallallahu’alaihi wa sallam. Demikian pendapat Al-Imam Al-Bukharirahimahullah- [Lihat At-Tahdzib, (10/82/no. 167) dan At-Taqrib, (no. 6567)]
[20] Faedah: Perbuatan Abu Sa’id Al-Khudri-radhiyallahu’anhu- dalam menasihati Marwan secara terang-terangan adalah dalil yang dijadikan syubhat terkuat WI dan yang semisal dengan mereka untuk melegimitimasi penyimpangan mereka dalam menasihati penguasa. Perlu kita camkan baik-baik, suatu penyimpangan bisa berupa amalan ataupun keyakinan. Karena, bisa jadi seseorang tidak pernah melakukan suatu amalan menyimpang dengan anggota tubuhnya, namun ia menganggap peyimpangan tersebut boleh untuk dilakukan, sehingga ia tidak mengingkarinya dan malah mendukung atau memuji pelakunya.
Adapun faedah yang ingin kami sebutkan adalah, sekedar mengingatkan kembali kewajiban bersyukur terhadap nikmat pemahaman yang baik, yakni mengikuti Salaf dalam memahami dalil yang dianugerahkan Allah Ta’ala kepada seseorang. Sebab kalau tidak, niscaya kita akan tersesat. Min bab at-tahdits bin ni’mah, kami katakan bahwa sebelum kami dapati penjelasan para ulama dalam memahami isykal pada perbuatan Salaf (diantaranya perbuatan Sahabat Abu Sa’id Al-Khudriradhiyallahu’anhu -yang dijadikan dalil oleh WI-) dalam menasihati penguasa terang-terangan (yang zhahirnya bertentangan dengan dalil), –alhamdulillah- Allah -Ta’ala- telah memberikan taufik kepada kami untuk memahami bahwa hal tersebut dibolehkan hanya pada kondisi darurat dan terikat dengan syarat-syarat, diantaranya: hadirnya penguasa tersebut dan mendengarkan nasihat yang disampaikan secara terang-terangan. Wa lillahil hamd.
[21] Disertai dengan berbagai gelar yang menipu mulai dari Lc. sampai KH Fulan. [ed]
Disalin dari http://almakassari.com/artikel-islam/manhaj/jawaban-ilmiah-terhadap-silsilah-pembelaan-wahdah-islamiyah-bag-3.html

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.