-->

24 Agustus 2012

Kejadian Aneh Para ‘Wali’, Komoditas Penting Golongan Sufi

Kejadian Aneh Para ‘Wali’, Komoditas Penting Golongan Sufi


Tindak penyelewengan dan bukti penyimpangan Sufi pertama kali akan mudah didapati para pembaca buku-buku rujukan mereka berupa ketergantungan penuh mereka terhadap khawâriq (kejadian-kejadian aneh yang dialami para pemuka Sufi) dan perhatian besar mereka untuk menyebarluaskan apa yang terjadi para syaikh-syaikh Sufi. Hal ini sampai ‘memaksa’ mereka untuk meluncurkan cerita-cerita fiktif dan khayalan tentang itu guna lebih menegaskan betapa tingginya kedudukan syaikh-syaikh itu di hati para pemujanya. Dalam kamus Sufi dinyatakan semakin banyak kejadian aneh meliputi seseorang (syaikh), maka kian agung kedudukan dan derajat kewaliannya di mata manusia. [1]
Dalam kitab al-Luma’, As-Sirâj ath-Thûsi menuliskan satu pembahasan khusus berkaitan dengan karomah para ‘wali’, satu pembahasan yang terdiri dari tujuh sub bab. Secara keseluruhan, pemaparan bab-bab tersebut ditujukan untuk mempropagandakan karomah-karomah yang mengiringi kehidupan para ‘wali’ yang disebutkan dalam kitab tersebut. Berbagai cerita dan kisah kejadian aneh memenuhi pembahasan tentang karomah para wali ini. Termasuk menyertakan ungkapan dan pernyataan tokoh untuk menguatkan betapa pentingnya memiliki karomah dan urgensi bersungguh-sungguh dalam menggapainya.
Sebagai contoh, disebutkan pernyataan yang berbunyi, “Barang siapa berzuhud di dunia ini selama empat puluh hari dengan tulus dari hatinya dan ikhlas dalam menjalankannya, niscaya akan muncul karomah-karomah dari dirinya. Apabila belum muncul pada orang tersebut (padahal telah berzuhud selama itu), berarti menunjukkan ketidakjujurannya dalam berzuhud”.
Abu Bakar al-Kalâbâdzi dalam kitabnya at-Ta’arrufu menyebutkan satu bab khusus pula tentang karomah para wali. Di situ, penulis menegaskan juga pentingnya karomah dan mengajak – secara langsung maupun tidak – untuk mencari dan mengusahakannya.

Kemudian seorang penulis bernama Abul Qâsim al-Qusyairi dalam kitab ar-Risâlahnya mengemukakan satu pembahasan yang sama secara panjang lebar mencapai 50 halaman sendiri. Dia memenuhinya dengan berbagai macam cerita dan hikayat kejadian aneh para pemuka golongan Sufi di luar nalar. Siapa saja yang mencermati banyaknya kisah aneh tersebut tidak ragu lagi terhadap tujuan penulis dalam memaparkannya, yaitu propaganda dan pemberitahuan supaya terpahami bahwa meraih karomah merupakan kebutuhan mendasar bagi seorang Muslim.

Masih banyak kitab yang menonjolkan karomah para ‘wali’, yang tujuan penulisannya semata-mata untuk memaparkan kisah-kisah aneh dan kejadian luar biasa yang dialami para syaikh, seperti Lawâqihul Anwâr karya ‘Abdul Wahhâb asy-Sya’râni yang lebih dikenal dengan ath-Thabaqâtu al-Kubrâ (Thabaqât asy-Sya’râni), Jamharatul Auliyâi karya Mahmûd al-Manûfi, Jâmi Karâmâtil Auliyâ karya Yûsuf an-Nabhâni, Thabaqâtu Auliyâ as-Sûdân karya Muhammad bin Nûr bin Dhaifullâh.
Substansi dari kitab-kitab di atas setali tiga uang, sama saja yaitu sikap berlebihan dalam menilai kejadian-kejadian luar biasa yang terjadi pada pemuka Sufi dan menjadikannya sebagai standar penilaian sebagai wali Allah, walaupun kejadian tersebut tidak masuk akal dan melanggar syariat sekalipun (!?).
Di sinilah tampak salah satu perbedaan golongan Sufi dengan Ahlu Sunnah. Kaum Tasawuf akan segera menisbatkan kejadian aneh yang terjadi pada seseorang sebagai pertanda karomah kewaliannya. Sementara tidak demikian keyakinan Ahlu Sunnah yang nanti akan dikemukakan di bagian akhir tulisan ini untuk memperjelas kekeliruan golongan Sufi dalam masalah ini.
Beberapa Contoh ‘Karomah’ Dalam Kitab-Kitab Sufi
Berikut ini beberapa contoh kejadian-kejadian yang dianggap sebagai ‘karomah para wali’. Anehnya, para penulis kitab-kitab tersebut tidak mengkritisinya, justru memberikan penafsiran-penafsiran yang menandakan persetujuan dan pengakuan atas kebenaran karomah tersebut.

a. Kategori Tidak Masuk Akal:

Disebutkan dalam Karâmâtul Auliyâ (2/367), seorang ‘wali’ mampu mengkhatamkan membaca al-Qur`an 360 ribu kali dalam sehari semalam (24 jam)!?. Jika akal masih sehat belum teracuni oleh pengagungan yang melampaui batas terhadap orang yang disebut wali pastilah akan menolak fakta ini tertulis dalam kitab karomah para wali. Jika sehari semalam adalah 24 jam yang berarti 1440 detik. Maka ‘wali’ yang bersangkutan mampu mengkhatamkan 250 kali dalam semenit. (!?)

Ini jelas tidak mungkin!
b. Kategori Melanggar Syariat dan Kekufuran
Asy-Sya’râni menceritakan biografi syaikh bernama Ibrâhîm al-Uryân dan menyebutkan alasan ia berjuluk al-‘Uryân (yang telanjang), yaitu lantaran menyampaikan khutbah dalam keadaan telanjang. (!?)

Al-Khazraji ketika mengisahkan karomah Syaikh Abul Qasim al-Andalusi mengatakan, “Ia meninggalkan shalat, tidak berpuasa Ramadhan…suatu ketika ia pernah meneriakkan kata-kata, “Tidak ada sesembahan kecuali aku”.
Pantaskah orang-orang ini masuk kategori wali-wali Allâh dengan perbuatan amoral dan pelanggaran syariatnya serta perkataan kufurnya?!.
c. Kategori Memiliki kemampuan Rububiyah
Sebagian wali mampu memerintahkan matahari untuk berhenti agar ia tidak kemalaman dalam safarnya.

Seorang wali pernah ditertawakan oleh sekumpulan anak-anak. Dengan marah ia menekan malaikat maut, “Wahai Izrail, jika engkau tidak mematikan mereka, pasti aku akan memecatmu dari tugas malaikat”. Maka dengan tiba-tiba semua anak kecil itu mati. (Jâmi’ul Karâmât 2/286)
Sungguh aneh. Ini jelas bertentangan dengan prinsip bahwa Allâhlah yang berhak menentukan ajal, bukan manusia, Allâhlah Dzat yang mematikan dan menghidupkan.
d. Kategori Melanggar Etika Kesopanan
Salah seorang murid ad-Dabbâgh – seorang tokoh Sufi – mengaku di antara karomah gurunya, “Ia dapat menguraikan ciri fisik istriku dari ujung rambut sampai ujung kaki, baik yang terlihat maupun tersembunyi’. (al-Ibrîz hlm. 24)

Manusia berakal akan malu melakukan ini.
Beberapa Pedoman Ahlus Sunnah Dalam Memahami Karomah
Melalui pemaparan singkat di atas, dapat diketahui betapa golongan Sufi mengunggul-unggulkan karomah para tokoh mereka. Dan memang hanya merekalah yang ramai membicarakan masalah ini secara berlebihan.
Adapun keyakinan Ulama Ahlu Sunnah dalam masalah karomah, mereka mengimani adanya karomah, hal ini bertolak dari keyakinan mereka bahwa Allâh Ta’ala yang menciptakan sebab musabbab dan Dia Maha Kuasa untuk mengadakan kejadian di luar aturan biasa bagi sebagian hamba-Nya. Karena itu, di antara ushûl (keyakinan pokok) Ahlu Sunnah, membenarkan adanya karomah para wali dan peristiwa-peristiwa di luar kebiasaan yang Allâh Ta’ala adakan pada mereka, orang-orang yang beriman dan shaleh – multazim (konsisten) dengan syariat- sebagai bentuk kemuliaan yang Allâh Ta’ala berikan kepada mereka .
Ahlu Sunnah memandang bahwa karomah tidak ada hubungannya dengan tinggi rendahnya derajat kewalian seseorang di sisi Allâh k . Syaikhul Islâm Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Ketahuilah, bahwa tidak adanya kejadian luar biasa/karomah, tidak berpengaruh buruk pada agama seorang muslim. Siapa saja yang tidak terbuka baginya tabir ilmu gaib, atau tidak ada makhluk yang tunduk kepadanya, hal itu tidak mengurangi derajatnya di sisi Allâh. Bahkan mungkin saja ketiadaan karomah baginya lebih baik”. (Majmû Fatâwâ 11/323 dengan terjemahan bebas).
Syarat meraih derajat kewalian hanya dua, iman dan taqwa kepada Allâh Ta’ala , adanya karomah tidak termasuk di dalamnya. Dua syarat ini telah Allâh Ta’ala tegaskan dalam firman-Nya:
أَلا إِنَّ أَوْلِيَاء اللّهِ لاَ خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلاَ هُمْ يَحْزَنُونَ الَّذِينَ آمَنُواْ وَكَانُواْ يَتَّقُونَ
لَهُمُ الْبُشْرَى فِي الْحَياةِ الدُّنْيَا وَفِي الآخِرَةِ لاَ تَبْدِيلَ لِكَلِمَاتِ اللّهِ ذَلِكَ هُوَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allâh itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa. Bagi mereka berita gembira di dalam kehidupan di dunia dan (dalam kehidupan} di akhirat… (QS. Yûnus/10:62-64)
Islam tidak menuntut umat untuk mencari dan berusaha sungguh-sungguh untuk mendapatkan karomah. Karena tugas manusia di dunia ini adalah menjalankan ketaatan dengan berbagai macam ibadah kepada al-Khâliq sehingga betul-betul menjadi hamba-Nya. Itulah tugas penting manusia, bukan mencari karomah. Justru Ulama Ahlu Sunnah sudah menyatakan bahwa istiqomah di atas jalan petunjuk, sudah merupakan hakekat karomah. Para Ulama mengatakan:
كُنْ طَالِبًا لِلاسْتِقاَمَةِ لاَ طَالِبًا لِلْكَرَامَةِ,
فَإِنَّ نَفْسَكَ مُنْجَبِلَةٌ عَلَى طَلَبِ الْكَرَامَةِ وَرَبُّكَ يَطْلُبُ مِنْكَ الاسْتِقَامَةَ
“Jadilah orang yang berusaha menggapai istiqomah, bukan mencari karomah. Memang betul jiwa manusia secara bawaan suka mencari karomah, akan tetapi Rabbmu menuntut dirimu untuk beristiqomah”. (Majmû Fatâwâ 11/320)
Dan lagi, yang tak kalah pentingnya dalam memahami karomah, bahwa bentuk karomah itu sendiri tidak boleh menyalahi syariat Allâh Ta’ala.
Imam asy-Syâthibi rahimahullah mengatakan, ‘Dari sini dapat diketahui bahwa segala kejadian luar biasa yang telah terjadi atau akan terjadi sampai hari Kiamat nanti, tidak boleh dibenarkan atau ditolak kecuali setelah ditimbang dengan timbangan syariat” [2].
Inilah beberapa pedoman singkat dalam memahami karomah dengan benar. Dengan demikian, umat bisa kritis untuk tidak mudah menilai kejadian-kejadian aneh atau luar biasa yang terjadi pada seseorang – meski melanggar syariat – sebagai pertanda kewaliannya. Wallâhul muwaffiq. Diangkat dari Taqdîsul Asykhâsy fil Fikris Shûfi , Muhammad Ahmad Luh Dar Ibn al-Qayyim Cet.I Th.1422H, 1/287-311
(Majalah As-Sunnah No.11 Thn.XV Rabi’ul Akhir 1433H – Maret 2012M
—————————–
Footnote:
[1] Sebagai contoh yang biasa didengar: “Dia kalau shalat Jum’at di Mekah, air sumur di rumah tokoh agama itu bersumber langsung dari mata air zamzam, ia kebal senjata, bisa mendatangi beberapa tempat dalam waktu yang sama…dll.
[2] Al-Muwafaqat 2/278

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.