Oleh: Syaikh Muhammad Taqyuddin al-Hilali
Dalam
edisi sebelumnya pembaca budiman telah membaca bagaimana syaikh
Muhammad al-Arabi al-Alawi mematahkan hujjah syaikh Muhammad Taqiyuddin
al-Hilali yang kala itu masih menjadi pengikut thariqat at-Tijaniyyah,
hingga menyebabkan syaikh Muhammad Taqiyuddin al-Hilali keluar dari
thariqat ini. Kemudian, supaya pembaca mengetahui apa itu thariqat
at-Tijaniyyah, bagaimana ajarannya yang menyimpang dari ajaran
Rasulullah -shollallahu alaihi wa sallam- dan para sahabatnya, insya
Allah, dengan meminta pertolongan kepada-Nya, kami akan berusaha
melanjutkan kisah ini dengan mengetengahkannya secara bersambung. Inilah
kisah lanjutan perjalanan hidup syaikh Muhammad Taqiyuddin al-Hilali
salah seorang ulama yang pernah menjadi dosen di Universitas Islam
Madinah, silakan menyimak ! (pent).
Syaikh Muhammad Taqiyuddin al-Hilali berkata :
Akupun
tidak mempunyai jawaban kecuali seperti apa yang telah aku kemukakan,
akan tetapi aku belum menerima pendapat Syaikh Muhammad bin al-Arabi
al-Alawi. Maka syaikh berkata : Pikirkanlah dalil-dalil ini, kita akan
membahas lagi dalam pertemuan yang lain. Berikutnya, terjadi tujuh kali
pertemuan yang kami lakukan setelah shalat maghrib hingga menjelang
isya. Setelah itu aku yakin bahwa aku berada dalam kesesatan, akan
tetapi aku ingin menambah keyakinanku, maka kukatakan pada syaikh :
“Siapakah ulama disini (Maroko) yang beraqidah seperti ini, karena suatu
masalah baik itu aqidah ataupun furu’ (parsial) wajib kita paparkan
sekuat tenaga, (sekalipun) wawasan kita terhadap al-Qur’an dan sunnah
tidak banyak.
Syaikh
Muhammad bin al-Arabi al-Alawi menjawab : ulama yang beraqidah
sepertiku ini adalah ulama yang terkemuka pada thariqat at-Tijaniyyah di
seluruh Maroko, yaitu syaikh al-Fatimi asy-Syaradi. Hampir-hampir aku
tidak mempercayainya, karena telah mashur di seluruh penjuru Maroko
bahwa syaikh al-Fatimi asy-Syaradi termasuk ulama terkemuka, dan salah
seorang “Muqaddim” thariqat at-Tijaniyyah (tokoh terkemuka, bukan
muqaddam sebagaimana tertulis dalam edisi sebelumnya, pent.), aku tidak
mengatakannya sebagai syaikh at-Tijani, karena syaikh at-Tijani melarang
seorang menjadi syaikh selainnya, karena julukan syaikh terkadang
difahami orang bahwa selain diri syaih at-Tijani diperbolehkan membuat
wirid-wirid thariqat beserta keutamaan dan aqidah-aqidahnya, dan hal ini
terlarang, karena yang mengajarkan thariqah ini adalah Nabi
–shollallahu alaihi wa sallam- dalam keadaan syaikh at-Tijani tidak
tidur dan bukan bermimpi sebagaimana penjelasan lalu. Dan orang yang
pertama kali diajari Nabi –shollallahu alaihi wa sallam- adalah syaikh
Ahmad at-Tijani, dan Nabi –shollallahu alaihi wa sallam- menamainya
syaikh thariqat ini. Dan setiap orang penyebar thariqat ini dan pengajar
wirid-wiridnya dinamai “Muqaddim”, dan thariqat hanya mempunyai satu
sumber dan satu syaikh, dan tidak diperbolehkan bagi thariqat mempunyai
lebih dari satu sumber dan lebih dari satu syaikh sebagaimana hal ini
tertera dalam kitab-kitab thariqat.
Akupun
bersegera pergi menemui asy-Syaikh al-Fatimi –rahimahullah-, saat itu
waktu dhuha (pagi), dan syaikh Muhammad bin al-Arabi mewasiatkan
kepadaku agar aku tidak bertanya kepada asy-Syaikh al-Fatimi kecuali
jika ia sendirian (tidak ditemani seorangpun), setelah sampai aku
melihat beliau di kelilingi jama’ah, lalu setelah sebagian dari mereka
pulang dan yang lainnya bergantian datang aku tetap berada disitu
menunggunya agar aku dapat berbicara sendirian dengan beliau, sampai
kami menunaikan shalat dhuhur.
Hingga
tibalah saat makan siang aku masih belum mendapat kesempatan
bersendirian dengannya, dan masih tersisa tiga orang dalam majelisnya,
maka akupun (tidak tahan dan) mengatakan padanya bahwa asy-Syaikh
Muhammad bin al-Arabi al-Alawi berkata : Wajib bagi kita memaparkan
seluruh permasalahan ushul/dasar dan furu/parsial berdasarkan al-Qur’an
dan Sunnah Rasulullah, maka perkara yang mencocoki dalam pandangan kita
yang sempit ini hendaknya kita terima dan apa yang menyelisihi hendaknya
kita tolak, sekalipun yang mengatakannya adalah Imam Malik atau Syaikh
Ahmad at-Tijani.
(Setelah
mendengar ucapanku ini) beliau memberi isyarat dengan tangannya agar
aku menunda (melanjutkan ucapanku). Akupun menunggu sangat lama,
(setelah ia tidak menjawab ucapanku) aku mengundurkan diri pergi dari
majelisnya pulang menuju madrasah asy-Syaraatin tempat yang aku singgah
sebelum aku bertemu dengan Syaikh Muhammad bin al-Arabi al-Alawi. Namun
pada hari itu juga setelah shalat isya penjaga gerbang madrasah
menjumpaiku dan berkata bahwa Syaikh al-Fatimi asy-Syaradi mengirim
budak dan kendaraannya memintamu agar engkau mengunjunginya. Aku
tertegun sesaat, sangat terkejut. (Mengapa?) karena dua hal. Pertama :
waktu setelah isya bukan waktu berkunjung, kedua : tidak biasanya
seorang pemuka ulama yang berusia lanjut mengirim kendaraan untuk
menjemput kecuali menjemput seorang yang seusia dengannya dan semisal
dalam ilmu, sedangkan aku adalah seorang pemuda.
Kemudian
aku segera naik kendaraan itu yaitu seekor baglah (binatang hasil
perkawinan silang antara kuda dan keledai) sedangkan pembantu syaikh
berjalan (menuntun) di depan, tatkala tiba di rumah syaikh aku
mengucapkan salam padanya dan syaikh al-Fatimi membalas dan menyambut
dengan baik. Lalu dia berkata : “Wahai anakku, saya adalah seorang yang
telah berusia lanjut, tidak mempunyai kekuatan untuk berperang, adapun
syaikh Muhammad bin al-Arabi al-Alawi masih muda, siap jika berperang,
dan engkau bertanya kepadaku di depan banyak orang tentang masalah yang
sangat penting yang saya tidak dapat menyembunyikan jawabannya namun
saya tidak kuasa berterus terang di depan banyak orang. Ketahuilah,
bahwa apa yang dikatakan syaikh Muhammad bin al-Arabi kepadamu adalah
kebenaran yang tidak terdapat keraguan padanya, saya pernah mengikuti
thariqat al-Qadiriyah beberapa lama, kemudian berpindah ke-thariqat
al-Wizaniyah beberapa lama juga, kemudian berpindah ke-thariqat
at-Tijaniyyah dan menekuninya hingga menjadi “muqaddim” thariqat
at-Tijaniyyah, maka tidak saya dapati pada thariqat-thariqat itu faedah,
lalu saya tinggalkan semua thariqat itu dan tidak ada dalam diriku lagi
tasawuf kecuali saya mencari guru yang mengajariku al-Qur’an dan
sunnah, ilmu dan amal. Kalau saya mendapati guru yang mengajari
al-Qur’an dan sunnah tentulah saya akan tekun belajar dan menjadi
muridnya, sedangkan engkau ingin berpergian ke daerah timur, jika engkau
menjumpai syaikh, guru yang berakhlak sebagaimana al-Qur’an dan sunnah
baik secara ilmu dan amal, tulislah surat padaku dan beritahukan padaku
hingga saya dapat bepergian menemuinya dan saya bertambah yakin dengan
keyakinan yang aku dapatkan dalam dialogku dengan Syaikh Muhammad bin
al-Arabi al-Alawi.”
Kalau
saja saat itu aku mempunyai ilmu seperti yang kumiliki saat ini, akan
kukatakan padanya : sesungguhnya guru yang engkau cari lebih dekat
denganmu dari siapa saja, karena syaikh yang kamu cari dan engkau ingin
bepergian menemuinya sekalipun jauh adalah dirimu sendiri, dengan syarat
engkau mempunyai kemauan yang kuat untuk mengamalkan al-Qur’an dan
sunnah dan membuang taklid bagaimanapun keadaannya.
Maka semoga Allah membalas keduanya dengan kebaikan dan meliputi mereka berdua dengan rahmat-Nya.
Sesudah
selang 20 tahun, aku bertemu dengan syaikh Abdul Aziz bin Idris salah
seorang ulama kota Tatwan beliau salah seorang murid syaikh al-Fatimi,
kemudian aku kisahkan hikayat ini, lalu ia berkata :
Aku juga mengalami hal yang serupa ini, setelah aku menamatkan pelajaranku di Universitas al-Qarawiyin, aku pergi menemui syaikh al-Fatimi, karena beliau adalah syaikhku yang paling utama, aku katakan padanya : wahai syaikh, saya akan kembali ke negeriku kota Tatwan , saya berharap engkau membekaliku dengan doa-mu yang baik dan mengajarkan wirid-wirid thariqah at-Tijaniyyah. Maka syaikh al-Fatimi menjawab : Kasihan sekali engkau ini, engkau telah hafal al-Quran, telah belajar ilmu-ilmu agama Allah yang memungkinkan bagimu memahami kitab-Nya dan sunnah rasul-Nya, tidak cukupkah ini semua ? hingga engkau mencari petunjuk selainnya ? thariqat itu tidak ada apa-apanya, hendaknya engkau mempelajari al-Qur’an dan sunnah Rasulullah.
Aku juga mengalami hal yang serupa ini, setelah aku menamatkan pelajaranku di Universitas al-Qarawiyin, aku pergi menemui syaikh al-Fatimi, karena beliau adalah syaikhku yang paling utama, aku katakan padanya : wahai syaikh, saya akan kembali ke negeriku kota Tatwan , saya berharap engkau membekaliku dengan doa-mu yang baik dan mengajarkan wirid-wirid thariqah at-Tijaniyyah. Maka syaikh al-Fatimi menjawab : Kasihan sekali engkau ini, engkau telah hafal al-Quran, telah belajar ilmu-ilmu agama Allah yang memungkinkan bagimu memahami kitab-Nya dan sunnah rasul-Nya, tidak cukupkah ini semua ? hingga engkau mencari petunjuk selainnya ? thariqat itu tidak ada apa-apanya, hendaknya engkau mempelajari al-Qur’an dan sunnah Rasulullah.
Maka
Allah menyingkapkan dariku -dengan keutamaan-Nya- kegelapan syirik dan
bid’ah, dan Dia membukakan bagiku pintu tauhid dan mengikuti ajaran
Rasulullah, alhamdulillah, bagi-Nya-lah pujian dan karunia. Saya mohon
kepada Allah agar menguatkan kita dengan ucapan yang kokoh dalam
kehidupan di dunia dan akhirat, sesungguhnya Dialah pemberi petunjuk
kepada jalan yang lurus.
Lalu
aku bertanya-tanya, darimanakah syaikh Muhammad al-Arabi al-Alawi
–rahimahullah- mendapatkan cara untuk berdialog seperti yang terjadi
padaku dengannya?
Dulu
aku mengira ia mendapatkannya dari syaikh Syuaib ad-Dukkali seorang
yang alim dan seorang dai yang memperbaiki umat, karena syaikh Muhammad
al-Arabi al-Alawi pernah berdialog dengannya yang menyebabkan ia keluar
dari thariqat at-Tijaniyyah, maka syaikh Muhammad al-Arabi al-Alawi
melakukan hal itu juga pada diriku, namun selang beberapa lama aku
mendapati cara dialog ini dari kitab “Ghayatul Amani fi ar-Rad ala
an-Nabhani” karya seorang alim salaf Muhammad Syukri al-Alusi
al-Bhagdadi –rahimahullah-, kitab ini termasuk kitab yang paling bagus
dari buku-buku salafiyyah yang mendebat ahli bid’ah dari kalangan
pengikut thariqat sufi, yang mencekik leher-leher mereka dengan ungkapan
gaya bahasa yang mengena, seolah-olah kitab itu adalah untaian mutiara
dalam rangkaian yang indah, sedikit sekali kitab yang semisalnya, sebuah
peribahasa inggris ini pantas dikatakan padanya : “Teman itu harus ada
sekalipun jumlah buku sedikit, namun mereka adalah orang-orang yang
baik.”
Inilah
penyebab aku keluar dari thariqat at-Tijaniyyah Yang tidak terlintas
sebelumnya dalam benakku sedikitpun, dan ini hasil dari petunjuk yang
meyakinkan, yang tidak dapat diragukan lagi bahwasanya ajaran thariqat
tijaniyyah sebagaimana disebutkan dalam kitab-kitab mereka dan keyakinan
mereka sama sekali tidak sesuai dengan ajaran al-Qur’an dan sunnah
Rasulullah, dan penjelasannya anda akan dapati pada penjelasan setelah
ini. (bersambung, dengan judul “Kitab-kitab Thariqat at-Tijaniyyah”,
insya Allah).
Dikutip dari : Adz-Dzakhiirah Al-Islamiyyah Edisi.19, hal. 18-20
0 komentar:
Posting Komentar