Oleh : Ustadz Abu Ihsan Al Atsary
Kuruj,
merupakan salah satu metode kerja dakwah yang dikenal dalam lingkungan
Jama’ah Tabligh. Metode seperti ini, tentu tidak dikenal dalam dakwah
Rasulullah dan para sahabat Beliau. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam tidak
pernah mengirim sembarangan oarang untuk tugas dakwah, apalagi mengirim
orang-orang yang tidak memiliki ilmu. Tidak pernah terdengar Rasulullah
mengutus Arab badui yang tinggal di sekitar Madinah menjadi duta dakwah
Beliau. Namun Beliau mengutus para sahabat yang terkemuka dalam ilmu
dan agama, seperti; Mu’adz bin Jabal, Abu Musa Al Asy’ari, Ali bin Abi
Thalib.
Jadi,
membahas khuruj ala Jama’ah Tabligh ini, bukan hanya sekedar membahas
boleh tidaknya keluar untuk tujuan dakwah. Karena masalahnya tidak
sesederhana itu. Mereka melakukan kegiatan tersebut dengan
mengatasnamakan dakwah. Padahal dakwah seharuslah sesuai dengan tuntunan
Sunnah Nabi. Karena ia termasuk ibadah. Bahkan ibadah yang sangat
mulia.
Tidak
pernah ditemui dalam riwayat -baik yang dhaif, apalagi yang shahih-
yang menyebutkan, bahwa Rasulullah melepas para sahabat untuk khuruj
tiga hari, tujuh hari, empat puluh hari atau satu tahun. Pembatasan
hari seperti itu, juga tidak ada dalilnya dalam syari’at. Jadi khuruj
yang dilakukan oleh Jama’ah Tabligh ini, sebenarnya lebih mirip dengan
siyahah (pengembaraan) yang biasa dilakukan oleh orang-orang Shufi.
Syaikh
Saifur Rahman bin Ahmad Ad Dahlawi berkata: “Berkesan denga kerja
tabligh berjama’ah, mereka mengatakan, Ia merupakan jihad besar bahkan
akbar’. Bahkan mereka membenci kerja dakwah yang tidak sesuai dengan
kerja dakwah mereka. Meraka melarang manusia berdakwah kepada agama
Allah, berdakwah kepada Al Qur’an dan As Sunnah dalam halaqah-halaqah
khusu mereka [2].
Kecuali dakwah yang sesuai dengan pokok-pokok dasar, ajaran dan manhaj
jama’ah mereka. Dan masih dalam koridor hikayat-hikayat, cerita-cerita
mimpi dan fadhail yang sejalan dengan aqidah dan khurafat mereka. Mereka
sangat berlebih-lebihan dalam masalah khuruj berjama’ah ini, sehingga
melewati batasan kewajaran yang tidak dapat dijelaskan lewat kata-kata” [3].
Lalu
Beliau melanjutkan lagi, “Salah satu ciri khas jama’ah ini ialah,
mereka meyakini, bahwa siapa saja yang keluar bersama mereka dalam kerja
dakwah berjama’ah, berarti telah melakukan jihad yang besar, bahkan
akbar. Mereka beranggapan, keluar bersama mereka dalam kerja dakwah
berjama’ah ini lebih afdhal daripada berperang dengan pedang dan pena,
lebih afdhal dari pada memerangi musuh Allah dan Rasul-Nya, lebih afdhal
dari pada memelihara kemurnian Islam dan keutuhan kaum muslimin [4]. Barang
siapa melakukannya, berarti ia telah melaksanakan sunnah para Nabi dan
Rasul, telah melaksanakan sunnah sayyidul anbiyaa’ wal mursalin,
Muhammad. Berarti ia telah keluar seperti halnya sahabat radhiyallahu
‘anhum ajma’ain dalam peperangan dan medan jihad” [5].
JAWABAN TERHADAP SYUBHAT-SYUBHAT MEREKA
Pertama. Argumentasi mereka dengan ayat : “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia,” (QS Ali Imran: 110)
Adalah argumentasi yang bathil. Karena maksud kata ukhrijat, bukanlah khuruj seperti yang mereka artikan itu.
Kedua.
Argumentasi mereka dengan ayat-ayat dan hadits-hadits jihad merupakan
tahrif (penyimpangan makna). Sebab, yang dimaksud berjihad adalah
berperang di jalan Allah melawan musuh-musuh Allah.
Ketiga.
Argumentasi mereka dengan tersebarnya kubur para sahabat di laur
jazirah Arab, juga merupakan argumentasi yang menyesatkan. Karena para
sahabat keluar dari negeri mereka bersama para pasukan, berperang fi
sabilillah untuk memperluas wilayah Islam dan untuk meninggikan kalimat
Allah.
Keempat.
Argumentasi mereka denga firman Allah : “Mereka itu adalah orang-orang
yang bertubat, yang beribadah, memuji (Allah) yang berjihad, yang ruku,
yang sujud, (QS At Taubah: 112).
Adalah
kejahilan terhadap Kitabullah. Sebab yang dimaksud dengan as-saa-ihuun,
adalah orang-orang yang berjihad di jalan Allah. Ibnu Katsir berkata,
“Ada bukti yang menguatkan, bahwa yang dimaksud dengan siyaahah di sini
ialah jihad .. bukan maksudnya siyaahah yang dipahami oleh sebagian
orang yang beribadah hanya dengan melakukan siyaahah (pengembaraan) di
muka bumi” [6].
Kelima.
Membatasi khuruj mereka dengan tiga hari, empat puluh hari, tiga bukan
atau satu tahun adalah bid’ah yang tidak ada contohnya dalam agama.
Mereka berdalil dengan ayat-ayat Al Qur’an yang tidak ada
sangkut-pautnya dengan khuruj mereka. Untuk khuruj tiga hari mereka
berdalil dengan ayat : “Maka berkata Shahih, “Bersukarialah kamu
sekalian di rumahmu selam tiga hari, itu adalah janji ynag tidak dapat
didustakan” (QS. Hud: 65)
Dan
berdalil dengan batasan waktu mengqashar shalat yakni tiga hari. Untuk
khuruj empat puluh hari, mereka berdalil dengan ayat : “Dan telah Kami
janjikan kepada Musa (memberikan Taurat) sesudah berlalu waktu tiga
puluh malam, dan Kami sempurnakan jumlah malam itu dengan sepuluh (malam
lagi), maka sempurnalah waktu yang telah ditentukan Rabbnya empat puluh
mala (QS A A’raf : 142).
Untuk
khuruj empat bulan mereka berdalil dengan ayat : “ Maka berjalanlah
kamu (kaum musyrikin) di muka bumi selama empat bulan (QS At Taubah :
2).
Dan ayat : “ Kepada orang-orang yang meng-ilaa’ istrinya diberi tangguhan empat bulan (lamanya) (QS Al Baqarah : 226)
Argumentasi
seperti itu terlalu dipaksakan dan merupakan tahrif (penyelewengan)
terhadap Kitabullah dari Maksud yang sebenarnya. Jelas, angka-angka yang
disebutkan dalam ayat di atas bukanlah batasan untuk khuruj dalam arti
kata dakwah. Bahkan bebrapa ayat di atas sebenarnya ditujukan kepada
orang-orang kafir dan orang-orang musyrik, seperti dalam surat Hud ayat
65 dan At Taubah ayat 2 di atas.
Keenam.
Mereka katakan, khuruj yang mereka lakukan itu menhasilkan sejumlah
faidah. Diantaranya banyak orang masuk Islam melalui dakwah mereka.
Jawaban terhadap alasan mereka ini sebagai berikut :
- Kita
tidak boleh mencapai satu tujuan dengan segala cara. Sebagaimana
tujuannya harus mulia, caranya juga harus benar dan bersih dari bid’ah’
Adapun kuruj ala Jama’ah Tabligh ini merupakan bid’ah yang paling buruk
dalam dakwah.
- Kebanyakan
para pelaku maksiat yang bergabung bersama Jama’ah Tabligh, akhirnya
mengikuti pola mereka. Padahal keadaan mereka sebelumnya sebenarnya
lebih baik. Sebab maksiat lebih ringan kerusakannya daripada bid’ah.
Pelaku maksiat masih bisa diharapkan bertaubat. Berbeda halnya dengan
para pelaku bid’ah, sulit diharapkan bertaubat. Oleh sebab itu Sufyan At
Tsauri berkata, “ Bid’ah lebih disukai iblis dari pada maksiat, karena
maksiat masih bisa diharapkan bertaubat darinya, sementara bid’ah sukar
diharapkan bertaubat darinya”. Ketika menyebutkan sifat kaum shufim imam
Al ‘Izz bin Abdus Salam berkata, “ Mereka (kaum Shufi) lebih buruk dari
pada para perompak dan penyamun. Karena kaum Shufo menghalangi
orang-orang dari jalan Allah. Mereka sengaja mengucapkan
perkataan-perkataan yang buruk terhadap Allah dan berbuat tidak etis
terhadap para Nabi, Rasul, para pengikut Nabi dan Rasul dari kalangan
ulama dan orang-orang yang bertakwa. Melarang pengikut mereka dari
mendengarkan perkataan para ahli fiqih, karena meraka tahu, para ahli
fiqih tersebut melarang orang untuk mengikuti mereka dan mengikuti
manhaj mereka”[7].
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah telah membantah kaum ahli bid’ah para
pengikut tharikat Rafa’iyah yang mengaku telah berhasil menyelamatkan
manusia dari lembah maksiat; Beliau berkata: “Sebagian mereka ada yang
berkata, ‘Kami berhasil mengajak manusia bertaubat’. Aku kayakan kepada
nereka, ‘Dari apa mereka bertaubat?’ Ia berkata,’Dari menyamun, mencuri
dan sebagainya. ‘Aku katakan, ‘Keadaan mereka sebelum kalian ajak
bertaubat lebih baik dari pada setelah kalian ajak bergabung bersama
kalian. Sebab, mereka dahulu orang fasik yang meyakini, bahwa perbuatan
mereka itu haram dan mereka masih mengharapkan kasih sayang Allah dan
bertaubat kepada-Nya, serta berniat untuk bertaubat. Lalu setelah kalian
ajak bertaubat, mereka berubah menjadi orang sesat dan orang yang
berbuat syirik, keluar dari syari’at Islam, menyukai apa yang dibenci
Allah dan membenci apa yang dicintai Allah. Kami tegaskan bahwa bid’ah
yang mereka dan kalian lakukan itu lebih buruk daripada maksiat’” [8].
Ketika menyebutkan biografi Mihyar ad Dailami berkata Al Hafidz Ibnu
Katsir, “Dahulu ia penganut agama Majusi, lalu masuk Islam. Sayangnya,
ia jatuh dalam dekapan kaum Rafidhah. Ia menggubah syair-syair dalam
mahdzab Rafidhahyang berisi caci-maki terhadap para sahabat. Hingga Abul
Qasim bin Burhan mengatakan, “Hai Mihyar, enngkau berpindaj dari satu
sudut neraka kepada sudut lainnya. Engkau dahulu penganut agama Majusi,
kemudian engkau masuk Islam dan mencaci-maki sahabat Nabi” [9].
Syaikh Hamud At Tuwaijri mengatakan, “Para ahli sejarah sebelum ada
sesudah Ibnu Katsir juga banyak yang membawakan kisah tersebut. Tidak
ada seorangpun yang mengingkari perkataan Ibnu Burhan terhadap Mihyar
ini. Itu menunjukan, bahwa mereka menyetujui perkataan tersebut. Kisah
tersebut mirip dengan keadaan orang-orang yang masuk Islam lewat Jama’ah
Tabligh, kemudian mereka mengikuti bid’ah, kejahilan dan kerusakan
aqidah jama’ah ini …. “ [10].
Demikianlah
jawaban terhadap beberapa argumentasi yang mereka bawakan. Sebenarnya
masih banyak lagi alasan-alasan mereka lainnya, namun semua itu tidak
jauh berbeda dengan argumentasi di atas tadi.
Dipublikasikan oleh : ibnuramadan.wordpress.com
________________________
Footnote:
[1] Dari Majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun VII/1423H/2003M
[2]
Hal ini telah dialami sendiri oleh Syaikh Muhammad Nasib Ar Rafa’I,
ketika menyampaikan beberapa patah kalimat tentang aqidah di markas
Jama’ah Tabligh. Mereka meyerang Beliau. Bahkan mengeluarkan Beliau dan
berbuat yang tidak baik terhadapnya. Sebagaimana halnya beberapa
berkataan yang mereka cantumkan dalam adab-adab khuruj. Yakni tidak
membicarakan masalah khilafiyah. Demikian mereka katakan, secara umum,
baik masalh fiqih maupun masalah aqidah. Hingga masalh-masalah penting
yang sudah disepakati dalam aqidah, juga mereka anggap sebagai masalah
khilafiyah dan melarang anggota mereka untuk membicarakannya.
[3] Silahkan lihat buku I’tibariyah Haula Al Jama’ah Tablighiyah, hal 43.
[4]
Bukti yang menguatkan ialah pernyatan dari seoarang ulama dan para
penuntut ilmu pada masa peperangan jihad Afganistan melawan kaum
komunis, bahwa Jama’ah Tabligh mendatangi tempat-tempat mereka untuk
mengajak mereka khuruj bersama jama’ah mereka!
[5] Silahkan liha buku I’tibariya Haula Al Jama’ah Tablighiyah, hal. 51
[6] Tafsir Al Qur’an Al Adhzim II/407
[7] Qawaa-idul Ahkam (II/178-180)
[8] Ar-Rasaail wa Masaail (I/153)
[9] Al-Bidayah wan Nihayah (XII/41)
[10] Al-Qaulul Baligh fi Tahdzir Min Jama’ah Tabligh, hal. 225
0 komentar:
Posting Komentar