-->

18 Agustus 2012

KHURUJ ALA JAMA”AH TABLIG [1]

Jamaah Tabligh Dakwah


Oleh : Ustadz Abu Ihsan Al Atsary

Kuruj, merupakan salah satu metode kerja dakwah yang dikenal dalam lingkungan Jama’ah Tabligh. Metode seperti ini, tentu tidak dikenal dalam dakwah Rasulullah dan para sahabat Beliau. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah mengirim sembarangan oarang untuk tugas dakwah, apalagi mengirim orang-orang yang tidak memiliki ilmu. Tidak pernah terdengar Rasulullah mengutus Arab badui yang tinggal di sekitar Madinah menjadi duta dakwah Beliau. Namun Beliau mengutus para sahabat yang terkemuka dalam ilmu dan agama, seperti; Mu’adz bin Jabal, Abu Musa Al Asy’ari, Ali bin Abi Thalib.

Jadi, membahas khuruj ala Jama’ah Tabligh ini, bukan hanya sekedar membahas boleh tidaknya keluar untuk tujuan dakwah. Karena masalahnya tidak sesederhana itu. Mereka melakukan kegiatan tersebut dengan mengatasnamakan dakwah. Padahal dakwah seharuslah sesuai dengan tuntunan Sunnah Nabi. Karena ia termasuk ibadah. Bahkan ibadah yang sangat mulia.

Tidak pernah ditemui dalam riwayat -baik yang dhaif, apalagi yang shahih- yang menyebutkan, bahwa Rasulullah melepas para sahabat untuk khuruj tiga hari, tujuh hari, empat puluh hari atau satu tahun. Pembatasan hari seperti itu, juga tidak ada dalilnya dalam syari’at. Jadi khuruj yang dilakukan oleh Jama’ah Tabligh ini, sebenarnya lebih mirip dengan siyahah (pengembaraan) yang biasa dilakukan oleh orang-orang Shufi.

Syaikh Saifur Rahman bin Ahmad Ad Dahlawi berkata: “Berkesan denga kerja tabligh berjama’ah, mereka mengatakan, Ia merupakan jihad besar bahkan akbar’. Bahkan mereka membenci kerja dakwah yang tidak sesuai dengan kerja dakwah mereka. Meraka melarang manusia berdakwah kepada agama Allah, berdakwah kepada Al Qur’an dan As Sunnah dalam halaqah-halaqah khusu mereka [2]. Kecuali dakwah yang sesuai dengan pokok-pokok dasar, ajaran dan manhaj jama’ah mereka. Dan masih dalam koridor hikayat-hikayat, cerita-cerita mimpi dan fadhail yang sejalan dengan aqidah dan khurafat mereka. Mereka sangat berlebih-lebihan dalam masalah khuruj berjama’ah ini, sehingga melewati batasan kewajaran yang tidak dapat dijelaskan lewat kata-kata” [3].

Lalu Beliau melanjutkan lagi, “Salah satu ciri khas jama’ah ini ialah, mereka meyakini, bahwa siapa saja yang keluar bersama mereka dalam kerja dakwah berjama’ah, berarti telah melakukan jihad yang besar, bahkan akbar. Mereka beranggapan, keluar bersama mereka dalam kerja dakwah berjama’ah ini lebih afdhal daripada berperang dengan pedang dan pena, lebih afdhal dari pada memerangi musuh Allah dan Rasul-Nya, lebih afdhal dari pada memelihara kemurnian Islam dan keutuhan kaum muslimin [4]. Barang siapa melakukannya, berarti ia telah melaksanakan sunnah para Nabi dan Rasul, telah melaksanakan sunnah sayyidul anbiyaa’ wal mursalin, Muhammad. Berarti ia telah keluar seperti halnya sahabat radhiyallahu ‘anhum ajma’ain dalam peperangan dan medan jihad” [5].


JAWABAN TERHADAP SYUBHAT-SYUBHAT MEREKA


Pertama. Argumentasi mereka dengan ayat : “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia,” (QS Ali Imran: 110)
Adalah argumentasi yang bathil. Karena maksud kata ukhrijat, bukanlah khuruj seperti yang mereka artikan itu.

Kedua. Argumentasi mereka dengan ayat-ayat dan hadits-hadits jihad merupakan tahrif (penyimpangan makna). Sebab, yang dimaksud berjihad adalah berperang di jalan Allah melawan musuh-musuh Allah.

Ketiga. Argumentasi mereka dengan tersebarnya kubur para sahabat di laur jazirah Arab, juga merupakan argumentasi yang menyesatkan. Karena para sahabat keluar dari negeri mereka bersama para pasukan, berperang fi sabilillah untuk memperluas wilayah Islam dan untuk meninggikan kalimat Allah.

Keempat. Argumentasi mereka denga firman Allah : “Mereka itu adalah orang-orang yang bertubat, yang beribadah, memuji (Allah) yang berjihad, yang ruku, yang sujud, (QS At Taubah: 112).

Adalah kejahilan terhadap Kitabullah. Sebab yang dimaksud dengan as-saa-ihuun, adalah orang-orang yang berjihad di jalan Allah. Ibnu Katsir berkata, “Ada bukti yang menguatkan, bahwa yang dimaksud dengan siyaahah di sini ialah jihad .. bukan maksudnya siyaahah yang dipahami oleh sebagian orang yang beribadah hanya dengan melakukan siyaahah (pengembaraan) di muka bumi” [6].

Kelima. Membatasi khuruj mereka dengan tiga hari, empat puluh hari, tiga bukan atau satu tahun adalah bid’ah yang tidak ada contohnya dalam agama. Mereka berdalil dengan ayat-ayat Al Qur’an yang tidak ada sangkut-pautnya dengan khuruj mereka. Untuk khuruj tiga hari mereka berdalil dengan ayat : “Maka berkata Shahih, “Bersukarialah kamu sekalian di rumahmu selam tiga hari, itu adalah janji ynag tidak dapat didustakan” (QS. Hud: 65)

Dan berdalil dengan batasan waktu mengqashar shalat yakni tiga hari. Untuk khuruj empat puluh hari, mereka berdalil dengan ayat : “Dan telah Kami janjikan kepada Musa (memberikan Taurat) sesudah berlalu waktu tiga puluh malam, dan Kami sempurnakan jumlah malam itu dengan sepuluh (malam lagi), maka sempurnalah waktu yang telah ditentukan Rabbnya empat puluh mala (QS A A’raf : 142).

Untuk khuruj empat bulan mereka berdalil dengan ayat : “ Maka berjalanlah kamu (kaum musyrikin) di muka bumi selama empat bulan (QS At Taubah : 2).
Dan ayat : “ Kepada orang-orang yang meng-ilaa’ istrinya diberi tangguhan empat bulan (lamanya) (QS Al Baqarah : 226)

Argumentasi seperti itu terlalu dipaksakan dan merupakan tahrif (penyelewengan) terhadap Kitabullah dari Maksud yang sebenarnya. Jelas, angka-angka yang disebutkan dalam ayat di atas bukanlah batasan untuk khuruj dalam arti kata dakwah. Bahkan bebrapa ayat di atas sebenarnya ditujukan kepada orang-orang kafir dan orang-orang musyrik, seperti dalam surat Hud ayat 65 dan At Taubah ayat 2 di atas.

Keenam. Mereka katakan, khuruj yang mereka lakukan itu menhasilkan sejumlah faidah. Diantaranya banyak orang masuk Islam melalui dakwah mereka. Jawaban terhadap alasan mereka ini sebagai berikut :
- Kita tidak boleh mencapai satu tujuan dengan segala cara. Sebagaimana tujuannya harus mulia, caranya juga harus benar dan bersih dari bid’ah’ Adapun kuruj ala Jama’ah Tabligh ini merupakan bid’ah yang paling buruk dalam dakwah.

- Kebanyakan para pelaku maksiat yang bergabung bersama Jama’ah Tabligh, akhirnya mengikuti pola mereka. Padahal keadaan mereka sebelumnya sebenarnya lebih baik. Sebab maksiat lebih ringan kerusakannya daripada bid’ah. Pelaku maksiat masih bisa diharapkan bertaubat. Berbeda halnya dengan para pelaku bid’ah, sulit diharapkan bertaubat. Oleh sebab itu Sufyan At Tsauri berkata, “ Bid’ah lebih disukai iblis dari pada maksiat, karena maksiat masih bisa diharapkan bertaubat darinya, sementara bid’ah sukar diharapkan bertaubat darinya”. Ketika menyebutkan sifat kaum shufim imam Al ‘Izz bin Abdus Salam berkata, “ Mereka (kaum Shufi) lebih buruk dari pada para perompak dan penyamun. Karena kaum Shufo menghalangi orang-orang dari jalan Allah. Mereka sengaja mengucapkan perkataan-perkataan yang buruk terhadap Allah dan berbuat tidak etis terhadap para Nabi, Rasul, para pengikut Nabi dan Rasul dari kalangan ulama dan orang-orang yang bertakwa. Melarang pengikut mereka dari mendengarkan perkataan para ahli fiqih, karena meraka tahu, para ahli fiqih tersebut melarang orang untuk mengikuti mereka dan mengikuti manhaj mereka”[7]. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah telah membantah kaum ahli bid’ah para pengikut tharikat Rafa’iyah yang mengaku telah berhasil menyelamatkan manusia dari lembah maksiat; Beliau berkata: “Sebagian mereka ada yang berkata, ‘Kami berhasil mengajak manusia bertaubat’. Aku kayakan kepada nereka, ‘Dari apa mereka bertaubat?’ Ia berkata,’Dari menyamun, mencuri dan sebagainya. ‘Aku katakan, ‘Keadaan mereka sebelum kalian ajak bertaubat lebih baik dari pada setelah kalian ajak bergabung bersama kalian. Sebab, mereka dahulu orang fasik yang meyakini, bahwa perbuatan mereka itu haram dan mereka masih mengharapkan kasih sayang Allah dan bertaubat kepada-Nya, serta berniat untuk bertaubat. Lalu setelah kalian ajak bertaubat, mereka berubah menjadi orang sesat dan orang yang berbuat syirik, keluar dari syari’at Islam, menyukai apa yang dibenci Allah dan membenci apa yang dicintai Allah. Kami tegaskan bahwa bid’ah yang mereka dan kalian lakukan itu lebih buruk daripada maksiat’” [8]. Ketika menyebutkan biografi Mihyar ad Dailami berkata Al Hafidz Ibnu Katsir, “Dahulu ia penganut agama Majusi, lalu masuk Islam. Sayangnya, ia jatuh dalam dekapan kaum Rafidhah. Ia menggubah syair-syair dalam mahdzab Rafidhahyang berisi caci-maki terhadap para sahabat. Hingga Abul Qasim bin Burhan mengatakan, “Hai Mihyar, enngkau berpindaj dari satu sudut neraka kepada sudut lainnya. Engkau dahulu penganut agama Majusi, kemudian engkau masuk Islam dan mencaci-maki sahabat Nabi” [9]. Syaikh Hamud At Tuwaijri mengatakan, “Para ahli sejarah sebelum ada sesudah Ibnu Katsir juga banyak yang membawakan kisah tersebut. Tidak ada seorangpun yang mengingkari perkataan Ibnu Burhan terhadap Mihyar ini. Itu menunjukan, bahwa mereka menyetujui perkataan tersebut. Kisah tersebut mirip dengan keadaan orang-orang yang masuk Islam lewat Jama’ah Tabligh, kemudian mereka mengikuti bid’ah, kejahilan dan kerusakan aqidah jama’ah ini …. [10].

Demikianlah jawaban terhadap beberapa argumentasi yang mereka bawakan. Sebenarnya masih banyak lagi alasan-alasan mereka lainnya, namun semua itu tidak jauh berbeda dengan argumentasi di atas tadi.

Dipublikasikan oleh : ibnuramadan.wordpress.com
________________________
Footnote:
[1] Dari Majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun VII/1423H/2003M
[2] Hal ini telah dialami sendiri oleh Syaikh Muhammad Nasib Ar Rafa’I, ketika menyampaikan beberapa patah kalimat tentang aqidah di markas Jama’ah Tabligh. Mereka meyerang Beliau. Bahkan mengeluarkan Beliau dan berbuat yang tidak baik terhadapnya. Sebagaimana halnya beberapa berkataan yang mereka cantumkan dalam adab-adab khuruj. Yakni tidak membicarakan masalah khilafiyah. Demikian mereka katakan, secara umum, baik masalh fiqih maupun masalah aqidah. Hingga masalh-masalah penting yang sudah disepakati dalam aqidah, juga mereka anggap sebagai masalah khilafiyah dan melarang anggota mereka untuk membicarakannya.
[3] Silahkan lihat buku I’tibariyah Haula Al Jama’ah Tablighiyah, hal 43.
[4] Bukti yang menguatkan ialah pernyatan dari seoarang ulama dan para penuntut ilmu pada masa peperangan jihad Afganistan melawan kaum komunis, bahwa Jama’ah Tabligh mendatangi tempat-tempat mereka untuk mengajak mereka khuruj bersama jama’ah mereka!
[5] Silahkan liha buku I’tibariya Haula Al Jama’ah Tablighiyah, hal. 51
[6] Tafsir Al Qur’an Al Adhzim II/407
[7] Qawaa-idul Ahkam (II/178-180)
[8] Ar-Rasaail wa Masaail (I/153)
[9] Al-Bidayah wan Nihayah (XII/41)
[10] Al-Qaulul Baligh fi Tahdzir Min Jama’ah Tabligh, hal. 225

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.