Oleh : Syaikh Ali bin Hasan al-Halabi al-Atsari
Jama’ah Tabligh Mengamalkan Hadits-Hadits Dha’if dan Palsu
Hal
ini, salah satu hal berbahaya yang dimiliki oleh Jama’atut Tabligh.
Mereka meriwayatkan segala hadits atau kabar yang ada, walaupun tanpa
kendali dan tali kekang. Padahal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda : “Barang siapa yang berkata atasku apa-apa yang tidak
pernah aku katakan, maka tempatkanlah tempat duduknya di neraka” [2].
Dalam
hadits yang lain : “Sesungguhnya kedustaan atasku tidak seperti
kedustaan atas orang lain. Maka barang siapa yang berdusta atasku
dengan sengaja, tempatkanlah tempat duduknya di neraka” [3].
Dan
dalam hadits yang keempat, beliau bersabda : “Barang siapa yang
mengatakan sebuah hadits dariku dia mengira (menyangka) hadits tersebut
dusta, maka ia salah satu diantara dua pendusta” [4].
“Yura”
artinya “yudzon”, yaitu “diperkirakan”. Maka, perhatikanlah! Sekedar
penyangka/mengira saja (sudah dianggap dusta), apalagi orang yang jahil
(tidak tahu menahu) terhadap hadits tersebut. Orang yang berkata :
“Saya belum yakin, apakah hadits ini shahih atau tidak shahih ?”. Hanya
sekedar mengira saja, dan belum pasti dalam mengetahui apakah hadits
tersebut shahih atau tidak shahih, hal ini telah memasukan pelakunya ke
dalam golongan orang-orang yang tertuduh berdusta atas Nabi,
Oleh
karena itu imam Ibnu Hibban menyebutkan hadis ini dalam muqodimah
kitabnya al-majruhin dan muqaddimah kitab ash-shahih-nya, beliau
berkata : “Maka orang yang ragu-ragu terhadap apa yang diriwayatkannya
sama seperti orang yang berdusta atas Rasulullah”.
Dalam
hal ini, Jama’attut-Tabligh memiliki keajaiban-keajaiban dan
keanehan-keanehan yang luar biasa hadits yang meraka sebutkan jika
seandainya pun shahih kadang mereka tidak bisa mengucapkan lafazh-nya
dan tidak memahami makna nya dengan baik dan benar. Dan hadits yang
tidak shahih berupa hadits dha’ifun jiddan (lemah sekali), maudhu’
(palsu), dan yang tidak ada asal-usulnya sama sekali; pada mereka sangat
banyak dan saya, bersana mereka dalam hal ini memiliki beberapa kisah
dan khabar.
Suatu
saat salah seorang diantara mereka (jama’atut Tablihg) menyebutkan
sebuah hadits yang tidak ada asal usulnya sama sekali. Maka, saya
katakan kepadanya: “Hadits ini tidak ada asl-usulnya”.
Dia
pun dengan kebodohannya menjawab :”Akan tetapi hadits dha’if boleh
digunakan dalam fadha’ilul a’mal (keutamaan-keutamaan dalam beramal,
pent)”.
Lihatlah
,dia berkata haditsnya dha ,if …,padahal Saya katakan-tadi-“ tidak ada
asal – asulnya…” yakni , hadits tersebut dusta (palsu). Dia tidak bisa
membedakan. Dia mengira bahwa kalimat “ haditsnya dho’if” itu berlaku
pula pada hadits palsu, hadits yang tidak ada asal usulnya sama sekali,
dan yang lemah sekali. Dia tidak mengetahui bahwa syarat pertama dari
sekian syarat bolehnya berdalil dengan hadits dha’if adalah tidak boleh
terlalu parah ke dha’f-annya.
Pada
saat yang lain, salah seorang di antara mereka, membaca hadits dari
kitab Riyadhush-shalihin. Kalian tahu bahwa kitab Riyadhush-shalihin,
tulisan (pada hadits-haditsnya) ber-harakat sempurna. Dia membacanya
dengan tanpa kaidah sama sekali. Yang marfu’ (ber-harakat dhammah) dia
baca manshub (ber-harakat fa-hah), yang manshub dibaca majrur
(ber-harakat kasrah), dan begitu seterusnya. Sampai akhirnya, ia sampai
pada penyebutan sebuah hadits. Saya masih tetap diam memperhatikan. Ia
pun menyebutkan hadits [5] dan berkata :
(para
malaikat akan bershalawat mendoakan kebaikan kepada salah seorang di
antara kalian selama ia berada di mashlaahu..), sedangkan, lafazh
hadits tersebut (seharusnya) : “fimushallahu”. Yakni. Di tempat
shalatnya (masjidnya).
Kalian tahu perbedaan arti mashla dan mushalla ?
Apa
arti al-mashla ? al-masla artinya baitun-nar, yakni rumah api, atau
tempat pembakaran. Itulah makna al-mashla secara bahasa.
Saya
pun tidak bisa diam dan lantas berteriak : “Wahai saudaraku!
Mushallahu.. bukan mashlahu!”. Akhirnya, setelah shalat ia menghampiri
saya dan beralasan: “Demi Allah, sebenarnya saya sedang sakit,” saya
pun berkata: “Wahai Saudaraku! Kamu sakit? Mengapa tadi duduk di depan
(berceramah)? Jangan duduk disana berdusta atas Nabi!” [6].
Imam
Ibnu Hibban telah menukil dalam muqaddimah kitabnya Raudhatul-‘Uqala,
beliau betkata: “Orang yang salah (keliru) dalam membaca hadits
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sama seperti orang yang
berdusta atasnya, karena Rasululah tidak pernah mengucapkan hadits
dengan keliru”, Apa yang dimaksud dengan keliru dalam pembacaan hadits? Yakni,
ia merubah i’rab-nya (struktur bahasa) dan susunan katanya. Lihatlah,
Rasulillah berkata “fii mushallahu”, sedangkan dia berkata “fii
mashlahu’!.
Sebenarnya,
saya masih banyak memiliki bermacam pengalaman bersama mereka. Sampai
dalam masalah akidah sekalipun (mereka memiliki keanehan dan
keajaiban). Dan tidak mengapa jika saya sebutkan lagi satu pengalaman
saya bersama sebagian ikhwan saya, di salah satu masjid yang imam-nya
salah seorang dari mereka (Jama’atut-Tabligh).
Kawan-kawan
kami, seperti biasa sering melakukan diskusi bersama imam masjid
tersebut. Namun, ia pun sering menghindar dari kawan-kawan kami itu,
dan tidak mau duduk-duduk bersama mereka. Sampai akhirnya datanglah
sekelompok Jama’atut-Tabligh dari Pakistan ke Masjid tersebut. Sang
imam pun termotivasi oleh kedatangan mereka. Hingga akhirnya ia sendiri
yang mendatangi sekelompok kawan-kawan kami para pemuda salafiyyin
seraya berkata: “Saya adalah seorang ‘alim dari para ulama dakwah”.
Kemudian,
datanglah seorang dari kawan kami dan berkata: “Saya ingin bertanya
sebuah pertanyaan saja”. Sang imam pun menjawab: “Silahkan”. Pemuda
tadi melanjutkan dan berkata: “Dimanakah Allah?”
Sang
imam terhenyak sejenak, ia melihat-lihat dan terdiam. Lalu tiba-tiba
menjawab: “Silahkan kamu tanya kepada para masyayikh (ulama) negeri
kalian!”
Pemuda itu pun langsung berkata: “Apakah Allah di negeri kalian berbeda dengan Allah dinegeri kami?”
Allah
Maha Esa.. Allah itu satu! Allah berfirman : “Apakah kamu merasa aman
terhadap Allah yang (berkuasa) di langit bahwa dia akan menjungkir
balikan bumi bersama kamu, sehingga dengan tiba-tiba bumi itu
berguncang?. (Qs. Al-Mulk/67:16).
Jama’ah Tabligh dan Bid’ah
Pada
mereka terdapat bid’ah yang banyak. Bahkan dakwah mereka terbangun di
atas bid’ah-bid’ah. Karena tiang penyangga utama dakwah mereka adalah
al-Khuruj (keluar), dengan aturan-aturan sebagai berikut. Yakni, dalam
setiap bulan (keluar) tiga hari. Dalam setahun, empat puluh hari. Dalam
seumur hidup, empat bulan. Dan dalam satu pekan terdapat dua jaulah
(perjalanan). Yang pertama, dilakukan di masjid yang dilakukan shalat
didalamnya, dan yang kedua pindah-pindah. Dan dalam setiap hari
terdapat dua halaqah semacam perjalanan) [7]
Yang pertama, dilakukan dimasjid yang dilakukan shalat di dalamnya,
dan yang kedua dilakukan di rumah. Dan mereka tidak akan ridha dengan
seseorang, kecuali jika orang tersebut berpegang teguh dengan
aturan-aturan seperti ini. Sehingga tidak diragukan lagi bahwa hal ini
merupakan bid’ah dalam agama yang sama sekali tidak diizinkan oleh
Allah.
Selain
keterangan di atas, sebenarnya masih banyak bentuk bid’ah pada mereka.
Akan tetapi aturan-aturan seperti di atas telah menjerumuskan dalam
sebuah bahaya besar. Yaitu, mewajibkan apa-apa yang semestinya tidak
wajib. Maksudnya, mereka mengharuskan orang agar konsisten dengan
aturan-aturan seperti ini. Bahkan mereka menjadikan hal ini sebagai
simbol dan standar kebaikan dan keburukan seseorang.
Jadi
jika anda berpegang teguh dengan aturan-aturan mereka berupa khuruj
selama empat bulan, tiga hari, atau empat puluh hari, maka kamu tidak
demikan, maka kamu orang yang lalai dan lemah menurut mereka.
Sampai-sampai, pernah suatu saat ketika kami berada di luar negeri
(dalam rangka berdakwah, pent), dan berjumpa dengan sekelompok dari
mereka. Lalu mereka berkata kepada kami: “Khuruj-lah (keluar-lah)
kalian!”. Kami pun menjawab: “Ya kami sekarang sedang khuruj (keluar).
Kami dari Yordania, dan kini kami di Eropa. Kami sedang khuruj fi
sabilillah (keluar di jalan Allah)!”.
Ataukah
khuruj yang mereka maksud harus dengan urutan-urutan dan
batasan-batasan Jama’atut-Tabligh? Demikianlah, yang ternyata mereka
inginkan.
Sekarang
kami di sini (indonesia), meninggalkan negeri kami arab dan datang ke
sini. Ini disebut khuruj (keluar) atau dukhul (masuk)? Ini khuruj! Tapi
khuruj kami adalah khuruj yang berdasarkan ilmu, khuruj yang sesuai
dengan manhaj, dan khuruj yang sesuai dengan aqidah. Namun sayangnya,
mereka (Jama’atut Tablig) tetap tidak menganggapnya sama sekali.
Begitulah, bid’ah jam’atut tabligh sangat banyak.
Diantara
bid’ah mereka ialah bid’ah tashawwuf. Jama’atut tabligh membai’at
pengikut mereka yang sudah lama dan konsisten dengan mereka dalam empat
thariqat shufiyah, sebagaimana yang tertulis dengan tulisan syaikh dan
tokoh besar mereka (yang bernama) In’am al Hasan. Saya memiliki sebuah
surat yang ia tulis langsung, yang ditujukan kepada syaikh saat
Al-Husyayyin. Didalam surat tersebut, In’am hasan berkata:”Kami
membaiat orang-orang lama dari para pengikut kami dalam berdakwah, atas
empat tariqat shufiyah ; asy-syahrawardiyyah, an-naqsyabandiyyah,
al-jisytiyyah, al-qodiriyyah”.
Selain
itu, merekapun memiliki kebiasaan mengusap-usap kuburan, bertabbaruk
dengan orang-orang shaleh, dan al-murabathah (berdiam diri sambil
menghadap ke satu arah tertentu, pent).
Saya
teringat peristiwa yang saya alami pada tahun 1982. Pada saat itu saya
masih remaja. Saya pergi ke negeri al-haramain asy-syarifain (Saudi
arabia), dan itulah ziarah pertama saya ke negeri tersebut. Disana saya
mencari sebagian masyayikh untuk mengambil ijazat hadits dari mereka.
Sebagaimana sayapun mengambil faidah dari sebagian mereka. Saya
bertanya : “Dimana syaikh Muhammad zakaria al-kandahlawi ?”.
Dia
berkata : “Di sana, di Darul- ‘Ulumisy-Syar’iyyah”. Dahulu dekat
dengan al-Haram, dan kini dipindahkan ke al_masjidun-Nabawi.
Maka
saya pun pergi menuju ke tempat tersebut. Saya mengetuk pintu. Lalu
keluarlah seseorang. Saya berkata kepadanya: “Saya ingin bertemu dengan
syaikh Muhammad Zakariya, saya dari Yordania, saya seorang penuntut
ilmu”.
Orang itu berkata: “Syaikh tidak bisa bertemu denganmu!”
Saya bertanya: “Mengapa?.
Ia menjawab: “Syaikh sedang ber-muabathah menghadap kuburan!
Begitulah!
Ternyata dia sedang duduk di dalam ruangannya yang dekat dengan
al-Haram sambil menghadap ke kuburan. Itulah yang disebut dengan
al-murabathah.
Inilah
kenyataannya! Ia (Muhammad Zakariya Al Kandahlawi) memiliki karya
tulis dengan judul Fadha-ilul A’mal dan juga disebut dengan Tablghi
Nishab. Adapun oleh saya, maka saya namakan Yablighi Nashshab, karena
dipenuhi oleh hadits-hadits dha’if, khurafat, bid’ah-bid’ah, dan
kesesatan-kesesatan lainnya. Wal ‘iyaadzu billaah. Demikian keadaan
Jama’atut-Tabligh dalam segala perkaranya.
Jama’ah Tabligh dan Tauhid Uluhiyyah
Mereka
tidak pernah berbicara masalah tauhid, terutama tauhid al-Uluhiyyah
dan al-Asma’ washshifat. Mereka tidak berbicara masalah tauhid,
melainkan hanya tauhid ar-Rububiyyah. Yakni, tentang siapakah Yang Maha
Pencipta? Allah. Yang Memberi Rizki? Yang Maha Menghidupkan? Yang Maha
Mematikan? Allah. Inilah yang yang menjadi kebiasaan dan dengungan
mereka. Padahal, tauhid ini tidak pernah diingkari sama sekali oleh
orang-orang kafir dahulu. Allah berfirman : “Dan sesungguhnya jika kamu
yanyakan kepada mereka Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?”,
tentu mereka akan menjawabL Allah..” (Qs. Luqman/31:25). [8]
Akan
tetapi, mereka (orang-orang kafir dan musyrik dahulu) tidak
mendapatkan manfaat dari keimanan mereka terhadap tauhid rububiyyah belum
mengantaskannya dari lingkkaran kekufuran. Sebab, mereka hanya beriman
terhadap tauhid ar-Rububiyyah, akan tetapi keliru dalam ber-tauhid
al-Uluhiyyah (peribadatan kepada Allah dengan segala macam bentuknya
yang disyariatkan, pent), sebagaimana yang mereka ucapkan dalam firman
Allah berikut : “..Kami tidak menyembah mereka (sesembahan-sesembahan
selain Allah) melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah
dengan sedekat-dekatnya… (Qs. Az-Zumar/39:3)
Lalu datanglah Jama’atut-Tabligh dan berkata: “Tidak! Ini (tauhid) membuat umat lari. Ini membuat umat menjauh (dari dakwah)”.
Oleh
karena itu sekali lagi mereka tidak pernah menyinggung masalah tauhid
ini. Mereka hanya berbicara masalah fadha-ilul a’mal.
Jama’ah Tabligh menganggap bid’ah lebih baik dari pada sunnah
Amir
(pemimpin) mereka yang berada di al-Hudaidah pernah berkata: “Bid’ah
yang menyatukan imat lebih baik daripada sunnah yang memecah-belah
umat”!
Seorang
yang ‘alim dan pandai dalam permasalahan agama seharusnya tidak
berkata dengan sesuatu yang batil. Dia malah berkata: “(Bid’ah yang
menyatukan umat lebih baik daripada Sunnah yang memecah-belah umat)”.
Na’uzubillah!
Sesungguhnya satu perkataan ini saja sudah cukup sebagai bukti tentang
kebodohan mereka. Bagaimana mungkin sebuah bid’ah sapat mempersatukan
umat? Lalu, apakah bid’ah memang dapat menyatukan umat? Seandainya pun
sebuah bid’ah itu mampu menyatukan umat, sesungguhnya hal itu seperti
firmanAllah tentang Bani Israil (baca: kaum Yahudi, pent) berikut :
“…kamu kira mereka itu bersatu, padahal hati mereka berpecah belah…(Qs.
Al-Hasyr/59:14).
Sehingga
seandainya pun sebuah bid’ah mampu menyatukan umat tetapi hal itu pada
zhahir-nya saja. Adapun pada batinnya, justru memecah belah mereka.
Ini berbeda halnya dengan Sunnah, seandainya pun secara zhahir, terlihat
memecah-belah umat, maka sungguh, pada hakikatnya justru menyatukan
mereka.
Bukanlah
kalian tahu bahwa di antara nama-nama Al-Qur’an ialah al-Furqan
(pembeda)? Lalu mengapa (disebut) al-Furqan? Karena Al-Qur’an
membedakan antara yang haq dan yang batil.
Dalam shahih al-Bulhari :”.. dan Muhammad memcah-belah antara manusia.” [9].
Beliau
memecah-belah manusia dengan al-haq atau dengan kebatilan? Tentu
dengan al-haq, dan beliau pun memerangi kebatilan. Demikian pula dengan
para pengikut beliau. Mereka memcah-belah umat dengan al-haq; karena
dengan al-haq, jelaslah semua yang batil dan para pelakunya. Sedangkan
bid’ah, jika pun menyatukan umat, maka sesungguhnya menyatukan di atas
kebatilan. Dan hakikat persatuan tersebut adalah persatuan di atas
kerusakan dan kebinasaan.
Jama’ah Tabligh dan Ahlus-Sunnah
Saya
pernah mendengarkan ucapan salah seorang dari mereka, tatkala ia
melihat sebuah kitab yang sedang saya baca yang membahas tentang
jama’ah-jama’ah. Dalam kitab tersebut terdapat pembahasan tentang
Jama’atut-Tabligh. Dia berkata: “Kitab ini lebih berbahaya dari pada
Yahudi dan Nasrani!.
Saya
yakin, orang itu belum membaca kitab tersebut; karena memang Jama’atut
–Tabligh tidak suka membaca. Mereka tidak suka menuntut ilmu! Ilmu
mereka hanya terbatas pada Riyadhush-Shalihin, Fadha-ilul A’mal atau
Tablighi Nashshab. Selain itu, tidak ada.
Seandainya
pun ada, maka sesungguhnya hal itu berasal dari kesungguhan usaha
pribadi tertentu saja. Sungguh indah perkataan Imam Abu Hatim ar-Razi :
“Tanda ahlul-bida’ ialah mencela ahlul-atsar (Ahlus-Sunnah)” [10].
Sebagian
ulama salaf berkata: “Tidaklah engkau melihat ulama salaf berkata:
“Tidaklah engkau melihat mubtadi’ (ahlul-bid’ah), melainkan pasti ia
membenci ahlul-hadits (Ahlus-Sunnah)”. [11]
Tidak
syak lagi, tatkala kita mengingkari dan menentang Jama’atut-Tabligh,
baik tentang kegiatan khuruj mereka, aturan-aturan mereka, maupu
pemikiran-pemikiran mereka, dan segala penyimpangan mereka, maka
pastilah mereka tidak akan ridha dengan kita. Mereka membenci kita.
Mereka pun membenci apa yang kita dakwahkan kepada kaum muslimin.
Padahal, tidaklah kita berdakwah, melainkan berdakwah supaya orang
menuju Sunnah.
Tatkala
mereka mendakwahkan dan mengajak orang lain menuju golongan dan
kelompoknya, kita senantiasa mengajak dan mendakwahkan manusia menuju
Sunnah Nabi kita Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Seorang penyair berkata: “Maka cukuplah bagi kalian perbedaan ini di antara kita
Dan setiap bangunan akan mengeluarkan apa yang ada di dalamnya
Pandangan Jama’ah Tabligh Tentang Belajar Ilmu Syar’I
Dalam
pokok-pokok dakwah mereka yang enam, mereka menyatakan tentang “ilmu”.
Akan tetapi , ilmu mereka hanya sebatas Riyadhush-Shalihin,
Hayatush-Shahabah, dan Fada-ilil A’mal.
Hayatush-Shahabah
untuk kalangan orang-orang arab, sedangkan Fada-ilil A’mal atau
Tablighi Nashshab untuk orang-orang selain arab.
Kitab
Hayatush-Shahabah terdiri dari empat jilid besar. Kemudian sebagian
kawan kami –para penuntut ilmu- mentahqiq dan menyaring kembali isi
kitab itu. Sehingga jadilah kini, kitab tersebut hanya dalam satu jilid
saja. Hadits-hadits yang shahih ternyata hanya dalam satu jilid, adapun
tiga jilid lainnya berisi hadits-hadits dah’if, palsu, sangat lemah
dan munkar.
Kemudian,
sebagian orang yang menginginkan kebaikan untuk kaum muslimin dengan
mencetak ulang kitab yang sudah merupakan intisari dari hadits-hadits
yang shahih saja dalam satu jilid tersebut. Dalam jilid tersebut. Dalam
jilid kitab tersebut –sengaja- ditulis “Cetakan umum untuk seluruh kaum
muslimin, terkhusus untuk Jama’atut Tabligh”. Mengapa ditulis
demikian? Dengan tujuan pendekatan kepada mereka.
Akhirnya
dicetaklah dengan jumlah yang sangat banyak, dan dikirimkan ke salah
satu markaz terbesar Jama’atut Tabligh di Yordania sebanyak seribu
kitab. Ternyata, apa yang mereka lakukan? Mereka membakar seluruh
kitab.
Salah
satu Amir mereka berdiri sambil memegang kitab itu dan berkata: “Kitab
ini telah dipalsukan dengan mengatasnamakan Jama’atut-Tabligh!”
Padahal. Seluruh yang ada dalam satu jilid kitab tersebut,
hadits-haditsnya sudah disaring dan dipilih dalam keadaan shahih
seluruhnya. Namun, ternyata warisan leluhur mereka jauh lebih mereka
cintai daripada al-haq dan ahlul-haq, dan daripada Sunnah-nya
Ahlul-Sunnah. Sungguh amat disesalkan!
Kemudian,
salah satu bentuk kebencian mereka terhadap ilmu, jika kamu bertanya
kepada salah satu tokoh ulama atau pembesar mereka dalam masalah fikih
–misalnya-, lalu kamu berkata kepadanya: “Terjadi pada diri saya begini
dan begitu, bagaimana hukumnya?” Maka ia akan berkata kepadamu: “Kami
tidak membicarakan masa’il (permasalahan fiqih), kami hanya berbicara
masalah fadha’il (keutamaan-keutamaan)!”
Saya
memiliki bantahan terhadap jawaban mereka itu, bukankah fadha’il
(keutamaan-keutamaan) itu ada dengan sebab masa’il (permasalah fiqih)?
Keutamaan segala sesuatu dapat kita ketahui dari kesimpulan
pembahasan-pembahasan (fikih) yang ada.
Tatkala
kita membicarakan –misalnya- seseorang yang hafal dan faham benar
tentang fadha’ilush-shalah (keutamaan-keutamaan shalat), apakah orang
tersebut hanya sekedar hafal dan faham benar tentang fadha’ilush-shalah, dan ia tidak pernah melakukan shalat?
Maka
saya katakan disini, al-Fadha’il (keutamaan-keutamaan dalam beramal),
jika dibandingkan dengan al-masa’il (permasalahan fiqih), seperti
wudhu’ jika dibandingkan dengan shalat; yakni, apakah ada seseorang yang
selalu berwudhu’ tetapi sama sekali tidak pernah melakukan shalat?
Kalau begitu, apa faidah dia berwudhu? Bahkan wudhu’ tersebut bisa
menjadi penghujatnya kelak!
Jadi
apa fungsi seseorang mengetahui dan memahami al-Fadha’il
(keutamaan-keutamaan dalam beramal), jika ia tidak mau mengetahui,
menerapkan dan mempraktekkan al-masa-il (permasalahan fikih)? Sedang
Nabi bersabda: “ Barang siapa yang Alla kehendaki kebaikan padanya,
Allah akan jadikan ia pandai dalam agama..”. [12]
Berarti,
jika mereka (Jama;atut-Tabligh) tidak mau mengetahui al-haq, dan tidak
mau perhatikan terhadap al-haq, maka keadaan mereka yang jauh dari
ilmu; merupakan salah satu tanda bahwa Allah tidak memberikan taufiq-Nya
kepada mereka. Anggapan mereka, bahwa saat ini bukan waktu untuk
menuntut ilmu! Mereka menyangka saat ini adalah waktu untuk berdakwah.
Apakah ada sebuah dakwah yang dilakukan tanpa dasar ilmu? Apakah boleh berdakwah tanpa ilmu?
Pandangan Jama’ah Tabligh Terhadap Golongan Lain
Mereka
beranggapan, tidak ada keselamatan bagi manusia kecuali dengan
menempuh jalan mereka. Mereka mengumpamakannya seperti kapal Nabu Nuh.
Orang yang menaikinya selamat, dan oarang yang tidak mau menaikinya
binasa.
Mereka berkata: “Sesungguhnya dakwah kami seperti kapal Nabi Nuh”. Hal ini telah kami dengar sendiri dari mereka di Yordania dan di Yaman.
Jama’atut-Tabligh,
bukan jama’ah sunnah. Dan sebenarnya, kalimat “safinatu Nuh” “Kapal
Nabi Nuh”, kutipan dari Imam Malik, saat beliau membicarakan nilai
penting Sunnah bagi seorang muslim. Kata beliau: “(As-Sunnah bagaikan
kapal Nabi Nuh. Barang siapa menungganginya, ia selamat. Dan
barang-siapa yang tertinggal darinya, ia binasa)”. [13]
Ternyata,
mereka (Jama’atut-Tabligh) menukilkan kalimat yang haq, untuk kemudian
mereka letakkan pada sesuatu yang tidak haq. Sedangkan Allah
berfirman: “Dan taatilah Allah dan Rasul, supaya kamu diberi rahmat.
(Qs. ’Ali Imran/3:132)
Jadi,
taat kepada Allah dan Rasul-Nya itulah Sunnah, yang jika seseorang
tertinggal darinya, ia akan binasa, dan yang mengikutinya akan selamat.
Bukan Jama’atut-Tabligh, yang tidak memahami al-haq dan tidak
membersihkan hak yang semestinya kepada ahlul-haq.
Pandangan Jama’ah Tabligh Terhadap Penuntut Ilmu Syar’I
Mereka
tidak siap untuk menuntut ilmu. Mereka beranggapan bahwa waktu yang
digunakan untuk menuntut ilmu adalah sia-sia. Padahal Allah telah
berfiman, yang artinya: Katakanlah: “Inilah jalan (agama)ku, aku dan
orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) menuju Allah dengan hujjah
yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang
musyrik:. (Qs. Yusuf/12:108).
Yang dimaksud dengan al-bashirah, ialah hujjah dengan ilmu dan pengetahuan. Oleh karena itu, Allah pun berfirman:
“Maka
tetaplah kamu pada jalan yang benar, sebagaimana diperhatikan
kepadamu..” Qs. Hud/11 ayat 112- dan perintah Allah tidak mungkin
dipraktekan dan dilaksanakan tanpa ilmu.
Sehingga
bagaimanakah mereka berdakwah menuju Allah, dan mengira bahwa mereka
berada di atas kebenaran dan petunjuk, sementara itu mereka tidak
menuntut dan tidak menghormati ilmu sama sekali?
Saya
pernah mendengar salah satu senior mereka memberikan perumpamaan untuk
membuat orang tidak sedang terhadap ilm. Kurang lebih dia berkata:
“Perumpamaan orang-orang yang menuntut ilmu dan tidak berdakwah,
bagaikan seseorang yang mempelajari buku tentang teori belajar berenang.
Dia mempelajarinya sampai samapi benar-benar hafal dan menguasainya.
Kemudian suatu saat, dia sedang berjalan di tepi pantai, lalu menjumpai
seseorang yang sedang hampir tenggelam sambil berteriak-teriak meminta
pertolongan. Tapi orang tadi (yang hafal buku teori berenang) justru
berkata: “Tunggulah sebentar, Saya buka dulu buku teori belajar
berenang. Saya akan baca cara menolong orang yang tenggelam”.
Lihatlah perumpamaan batil yang buruk ini wal’iyadzu billah!
Di
manakah letak persamaan antara ilmu dan perumpamaan ini? Lagipula,
apakah semua orang hanya sibuk dengan membaca dan belajar buku teori
belajar berenang saja? Mereka mendapatkan perumpamaan seperti ini dari
waswasatusy-syaithan (bisikan setan), sehinga membuat orang-orang tidak
suka ilmu, dan akhirnya mereka pun jauh dari ilmu, dan akhirnya mereka
pun jatuh dari ilmu dan para ulama.
Peringatan
Salah satu hal yang berbahaya pula pada Jama’atut Tabligh adalah merubah-ubah makna
hadits dari makna yang sesungguhnya. Contohnya hadits yang berbunyi:
“Dari (tanda-tanda) kebaikan islam seseorang adalah meninggalkan
apa-apa yang tidak bermanfaat baginya”. [14]
Apa
yang mereka artikan dari makna hadits ini? Mereka berkata: “Jika kamu
melihat apapun yang terjadi di masjid, maka jangan kamu ingkari; karena
Rasul telah bersabda.., “mereka pun membawakan hadits tadi.
Lihatlah!
Dengan pemahaman seperti itu, mereka membatalkan amar ma’ruf dan nahi
minkar dengan hujjah hadits di atas. Ini adalah kebatilan!
Lalu,
apakah amar ma’ruf dan nahi munkar tidak bermanfaat bagi kita? Hingga
bisa-bisanya mereka berhujjah dengan hadits di atas? Inilah substansi
kebatilan.
Demikianlah, sebagian bid’ah mereka Wal ‘iyadzu Tabaraka wa Ta’ala.
Dipublikasikan oleh : ibnuramadan.wordpress.com
________________________
Footnote :
[1]
Naskah ini merupakan ringkasan dari keterangan Syaikh ‘Ali Hasan
al-Halabi terhadap kitab Hadzihi D’watuna Wa ‘Aqidatuna (Inikah Dakwah
dan Aqidah Kami), karya Syaikh Muqbil bin Hadi al Wadi’I pada point
ke-16 tentang Jama’ah Tabligh. Penjelasan ini disampaikan Syaikh ‘Ali
bin al-Halabi pada acara Daurah Syar’iyyah VIII, di Trawas, Mojokerto,
yang berlangsung pada 29 Muharram – 6 Shafar 1429 H atau 7-13 Februari
2008. Diterjemahkan oleh Ustadz Abu “abdillah Arief Budiman bin Usman
Rozali dengan beberapa tambahan subjudul dan footnote dari penterjemah. Yang
dimuat pada Majalah As-Sunnah Edisi 01/THN.XII/1429H/2008M.
Peringkasan dilakukan karena keterbatasan halaman. Mohon Maaf.
[2] HR al-Bukhari (1/52 no. 109), dan lain-lain dari Salmah bin Al ‘Akwa
[3] HR al-Bakhari (1/434 no. 1229), Muslim (1/10 no.4), dan lain-lain, dari al-Mughiirah bin Syu’bah
[4] Muslim dalam Muqaddimah Shahih-nya (1/8), dari al-Mughirah bin Syu’bah
[5]
HR al-Bukhari (1/171 no. 434), Muslim (1/459 no. 649), dan lain-lain,
dari Abu Hurairah. Dan lafazh hadits Nabi di atas dalam shahih
al-Bakhari
[6]
Apa hubungan antara penyakitnya dengan kesalahan dalam membaca harakat
pada hadits Nabi di atas? Sungguh sebuah alasan yang secara zhahirnya
mengada-ada dan tidak tepat pula. Wallahul-Musta’an
[7]
Orang mungkin memahami; bukanlah ini hanya aturan untuk ketertiban
seperti jam dan jadwal sekolaj? Jawabannya: Tidak demikian, sebab
aturan yang mereka buat sebagai disiplin beragama, sedangkan jam dan
jadwal hanya aturan administrasi dan tidak terkait dengan disiplin
beragama.
[8] Lihat pula ayat-ayat serupa dalam Surat al-Ankabut/29 ayat 61, az-Zumar/39 ayat 38, dan az-Zukhruf/43 ayat 9. (pent)
[9] HR. al-Bukhari (6/2655 no.6852) dari hadits Jabir bin Abdillah
[10]
Lihat Syarhu Usull I’tiqadi Ahlis-Sunnati wal-Jama’ah (1/200), karya
al-Imam Abul-Qasim Hibatullah bin al-Hasan bin Manshur ath-Thabari
al-Lalika’I (418 H)
[11] Lihat Szammul-Kalami wa ahlihi (2/72 no.229), karya Abu Ismail Abdullah bin Muhammad al-Anshari al-Harawi (396-481 H)
[12] HR al-Bukhari (1/39 no.71), Muslim (2/718 no. 1073), dan lain-lain, dari hadits Mu’awiyyah bin Abi Sufyan
[13] Lihat Dzammul-Kalami wa Ahlihi (5/80-81 no. 872).
[14]
HR at-Tirmidzi (4/558 no. 2317), Ibnu Majah (2/1315 no. 376), dan
lain-lain, dari Abu Hurairah. Dan hadits ini dishahihkan oleh Syaikh
al-Albani dan Shahih Sunan at-Tarmidzi (2/530-531 no. 2317), Shahih
Sunan Ibnu Majah (3/302 no.3226), dan kitab-kitab beliau lainnya.
0 komentar:
Posting Komentar