Oleh: Abu Abdirrahman bin Thoyyib
Berbicara mengenai terorisme dan pengeboman yang terjadi akhir-akhir
ini di berbagai negara, khususnya Indonesia dan Saudi Arabia, tidak
terlepas dari pembahasan masalah takfir/pengkafiran. Tidaklah mereka
yang berani dan nekad serta tega membunuh kaum muslimin, entah dengan
bom bunuh diri atau bom waktu dan yang lainnya, melainkan telah mengakar
dalam hatinya pemikiran takfir. Mereka menganggap bahwa kaum muslimin
sekarang ini tidak ada bedanya dengan orang-orang kafir (Yahudi maupun
Nashoro). Maka dari itu mereka menghalalkan darah, harta dan kehormatan
kaum muslimin.
Sejarah telah membuktikan akan hal ini. Tidaklah orang-orang Khowarij[1]
menghalalkan darah Ali dan para sahabat yang lain g, melainkan
dilatarbelakangi oleh keyakinan mereka, bahwa Ali dan para sahabat itu
telah kafir. Oleh karena itu simak dengan seksama hal-hal berikut ini :
A- Peringatan akan bahaya takfir
Masalah takfir adalah masalah yang amat sensitif. Tidak
boleh seseorang berbicara dalam masalah ini, kecuali dengan ilmu serta
petunjuk dari para ulama. Karena barangsiapa yang mengkafirkan
saudaranya muslim tanpa ilmu, maka dia telah melakukan dua kesalahan
fatal, yaitu :
1- Berbicara terhadap Allah tanpa ilmu. Padahal Allah berfirman :
وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنِ افْتَرَى عَلَى اللَّهِ كَذِبًا
“Dan siapakah yang lebih aniaya daripada orang yang membuat-buat suatu kedustaan terhadap Allah.” (QS. Al-An’am : 21).
Dan Dia juga berfirman :
قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَالْإِثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَنْ تُشْرِكُوا بِاللَّهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ
“Katakanlah: “Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang
keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa,
melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan)
mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah
untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang
tidak kamu ketahui”.” (QS.Al-A’roof : 33)
Dan Allah berfirman :
وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا
“Dan janganlah kamu mengikuti
apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya
pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta
pertanggungan jawabnya.” (QS.Al-Isra’ : 36)
Kenapa bisa dikatakan demikian ? karena takfir adalah hak
Allah dan Rasul-Nya. Yang disebut dengan orang kafir adalah yang
dikatakan kafir oleh Allah dan Rasul-Nya r. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
v berkata : “Mewajibkan dan mengharamkan, dosa dan pahala, serta takfir
dan tafsiq (menuduh orang sebagai fasik) adalah hak Allah dan
Rasul-Nya saja. Tidak ada seorang pun yang memiliki hak untuk menghukumi
didalamnya” (Majmu’ Fatawa : 5/545). Ibnul Qoyyim v berkata dalam
qosidah nuniyahnya :
الكُفْرُ حَقُّ اللهِ ثُمَّ رَسُوْلِهِ بِالنَّصِّ يَثْبُتُ، لاَ بِقَوْلِ فُلاَنِ
مَنْ كَانَ رَبُّ اْلعَالَمِيْنَ وَعَبْدُهُ قَدْ كَفَّرَاهُ فَذَاكَ ذُواْلكُفْرَانِ
(Penetapan sesuatu itu) kufur adalah hak Allah kemudian Rasul-Nya
dengan penetapan nash bukan dengan ucapan si fulan (si B)
Barangsiapa yang oleh Rob semesta Alam dan Rasul-Nya
Dikafirkan maka dialah orang kafir
2- Orang tersebut telah melampaui batas terhadap saudaranya sesama muslim.
Karena pengkafiran tersebut memiliki konsekwensi penghalalan darah,
kehormatan dan hartanya, tidak boleh dia mewarisi atau diwarisi, tidak
boleh disholatkan atau didoakan jika meninggal, serta tidak boleh
disemayamkan di pemakaman kaum muslimin. Dan yang lebih parah lagi kalau
yang dikafirkan itu seorang penguasa/pemimpin kaum muslimin, maka ini
akan menimbulkan pertumpahan darah dan pemberontakan. Fallahul Musta’aan
wa ilaihi Al-Musytaka.
Dikarenakan bahayanya yang sangat besar, maka Islam pun
memperingatkan darinya dan para ulama juga ikut andil dalam menjelaskan
masalah besar ini. Rasulullah r bersabda :
أَيُّمَا امْرِئٍ قَالَ ِلأَخِيْهِ : يَا كَافِرُ، فَقَدْ
بَاءَ بِهَا أَحَدُهُمَا، إِنْ كَانَ كَمَا قَالَ وَ إِلاَّ رَجَعَتْ
عَلَيْهِ. مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ وَ فِي رِوَايَةِ
مُسْلِمٍ : إِذَا كَفَّرَ الرَّجُلُ أَخَاهُ …
“Barangsiapa yang berkata kepada saudaranya : wahai
kafir, maka (dosa) pengkafiran ini akan kembali kepada salah satu dari
keduanya, jika dia benar dalam berkata (maka tidak mengapa), tapi jika
tidak maka ucapan itu akan kembali kepadanya”. (HR.Bukhori (6104) dan Muslim (111) dengan lafadz (apabila seseorang mengkafirkan saudaranya (muslim) ….).
Adapun peringatan ulama akan bahaya takfir tanpa ilmu amat banyak sekali, diantaranya :
1- Al-‘Ala’ bin Ziyad v seorang tabi’in berkata : “Engkau menuduh kafir orang muslim atau kamu membunuhnya itu sama saja”.[2]
2- Ibnu Abil ‘Izzi v berkata : “Ketahuilah
–semoga Allah merohmatimu- bahwa pemikiran takfir sangat banyak fitnah
dan bahayanya, serta menimbulkan perpecahan. Sesungguhnya kekejian yang
besar adalah menuduh bahwa Allah tidak mengampuni dan merahmati orang
muslim, bahkan menganggapnya kekal di dalam neraka selama-lamanya,
padahal ini adalah hukum bagi orang kafir setelah mati”.[3]
3- Imam al-Qurthubi v berkata : “Pemikiran
takfir itu sangat berbahaya, banyak manusia yang terjerumus kedalamnya
hingga mereka jatuh berguguran. Adapun para ulama, mereka berhati-hati
sekali dalam masalah ini, sehingga mereka itu selamat, dan tidak ada
yang sebanding dengan keselamatan dalam perkara ini”.[4]
B- Syarat-Syarat Takfir
Tidak semua yang melakukan perbuatan kufur atau mengatakan
perkataan kufur bisa dinamakan kafir, hingga tegak padanya hujjah dan
terpenuhi syarat-syaratnya, serta dihilangkan darinya
pencegah-pencegahnya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah v berkata : “Terkadang
perkataan kufur bisa dikatakan secara umum bagi yang mengatakannya
sebagai orang ‘kafir’, misalnya “Barangsiapa yang mengatakan perkataan
(kufur ini) maka dia kafir”. Akan tetapi person (individu tertentu) yang
mengatakan perkataan tersebut tidak bisa dikatakan kafir hingga tegak
baginya hujjah, yang bisa menjadi kufur orang yang meninggalkannya”[5]
Beliau juga berkata : “Sesunguhnya orang yang duduk
denganku telah mengetahui, bahwa aku termasuk orang yang paling melarang
(berhati-hati) dalam masalah pengkafiran dan penfasikan seorang muslim,
kecuali kalau sudah tegak baginya hujjah yang barangsiapa
menyelisihinya dia kafir atau fasik”[6]
Beliau juga berkata : “Oleh karena itu aku mengatakan
kepada orang-orang Jahmiyah dari kalangan Hululiyah (yang meyakini
bersemayamnya Allah dalam diri makhluk-Nya) dan penolak (nama dan sifat
Allah) yang meniadakan bahwa Allah diatas Arsy-Nya : “Seandainya aku
menyetujui kalian, maka aku kafir karena aku tahu bahwa ucapan kalian
itu kufur! Akan tetapi kalian menurutku tidak kafir sebab kalian itu
bodoh”. Dan ucapan ini ditujukan kepada ulama, qodhi, syaikh dan
pemimpin mereka. Sebab kebodohan mereka adalah syubhat dari akal
pemimpin mereka yang tidak mau mengambil nash shohih atau akal yang
sehat, yang sesuai dengan nash tersebut”.[7]
Syaikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahhab v berkata : “Jika
kami tidak mengkafirkan orang yang menyembah berhala yang ada di kuburan
Ahmad Badawi karena kebodohan mereka, serta ketidakadanya orang yang
memperingatkan mereka, maka bagaimana mungkin kita mengkafirkan orang
yang tidak berbuat syirik hanya lantaran dia tidak bergabung dengan kami
?!” [8]
Syarat-syarat takfir itu ada tiga yaitu ilmu, niat
(berbuat), dan tidak dipaksa. Dan lawan dari ketiga ini dinamakan
pencegah takfir, sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah v : “Adapun jika orang tersebut memiliki ilmu tentang apa yang
dia ucapkan, dan dia tidak dipaksa, serta dia memang berniat mengucapkan
hal tersebut maka dia bisa (dikafirkan)”[9]. Adapun dalil dari ketiga syarat tersebut adalah :
1- Ilmu lawannya jahl, dalilnya kisah Dzatu Anwaat
Dari Abu Waqid al-Laitsi z dia berkata :
“Dahulu kami bepergian bersama Rasulullah r ke Hunain, sedangkan kami
baru saja keluar dari kekafiran. Orang-orang musryrikin memiliki sebuah
pohon bidara yang dinamakan Dzatu anwaat, mereka menggantungkan senjata
mereka di atasnya (untuk ngalap /mencari berkah). Ketika kami melewati
sebuah pohon bidara kami mengatakan kepada Nabi r : ‘Wahai Rasulullah,
buatkanlah untuk kami Dzatu Anwaat sebagaimana yang dimiliki oleh
orang-orang musyrikin dahulu !’ maka Nabi r bersabda : ‘Allahu Akbar,
ini adalah jalannya orang-orang terdahulu, demi Dzat yang jiwaku berada
ditangan-Nya, ini seperti ucapan Bani Israil kepada Musa :
اجْعَلْ لَنَا إِلَهًا كَمَا لَهُمْ آَلِهَةٌ
“Buatkanlah untuk kami sesembahan seperti mereka.” (QS.
Al-A’raf : 138) sungguh kalian akan mengikuti jalan orang-orang sebelum
kalian.” (HSR. Tirmidzi)
Ucapan dan permintaan (untuk mencari berkah kepada selain
Allah) dari para sahabat di atas adalah kekufuran. Tapi karena mereka
masih belum tahu hukum ucapan dan permintaan tersebut, karena mereka
baru masuk Islam, maka Nabi r tidak menvonis mereka kafir. Dari sinilah
kita dilarang seenaknya mengkafirkan kaum muslimin, khususnya para
penguasa tanpa memperhatikan dahulu syarat takfir di atas. Bisa jadi
penguasa yang berhukum dengan selain hukum Allah belum mengetahui apa
hukum perbuatan mereka tersebut.
2- Tidak dipaksa lawannya dipaksa, dalilnya kisah Ammar bin Yasir.
مَنْ كَفَرَ بِاللَّهِ مِنْ بَعْدِ إِيمَانِهِ إِلَّا مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِالْإِيمَانِ وَلَكِنْ مَنْ شَرَحَ بِالْكُفْرِ صَدْرًا فَعَلَيْهِمْ غَضَبٌ مِنَ اللَّهِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ
“Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman
(Dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal
hatinya tetap tenang dalam beriman (Dia tidak berdosa), akan tetapi
orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, Maka kemurkaan Allah
menimpanya dan baginya azab yang besar.” (QS.An-Nahl : 106)
3- Niat berbuat dan lawannya tidak ada niat (bukan disengaja), dalilnya orang yang mengatakan : “Ya Allah engkau adalah hambaku dan aku adalah Robbmu” (HR.Muslim)
Ucapan orang ini kufur karena menghina Allah, Robb semesta
alam, tapi karena orang tersebut mengucapkannya secara reflek/tidak
sengaja, maka Nabi r tidak menvonisnya kafir. Oleh karena itulah jangan
tergesa-gesa mengkafirkan kaum muslimin.
C- Kilas balik Pencetus Takfir
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah v mengatakan : “Kelompok
Khowarij adalah orang pertama yang mengkafirkan kaum muslimin, dan
mengatakan kafir bagi setiap pelaku dosa. Mereka mengkafirkan orang yang
menyelisihi bid’ah mereka, serta menghalalkan darah serta hartanya”[10]
Syaikh Sholeh bin Fauzan bin Abdillah Al-Fauzan v berkata :
“Yang pertama kali jatuh dalam jurang pengkafiran umat Islam adalah
Khowarij. Dan benih Khowarij ini, muncul pertama kali pada zaman Nabi r.
Datang seseorang (Dzul Khuwaisiroh) kepada Nabi r disaat beliau sedang
membagikan harta rampasan perang, setelah datang dari Hunain. Orang itu
berkata : “Wahai Muhammad, berbuat adillah, karena engkau tidak berbuat
adil !” maka Rasulullah r bersabda : “Celaka engkau, siapa yang akan
adil jika aku tidak adil ?!” kemudian beliau bersabda : “Akan keluar
dari tulang rusuk orang ini sekelompok orang, yang kalian akan
meremehkan sholat kalian jika kalian bandingkan dengan sholat mereka.
Dan kalian juga akan meremehkan puasa kalian jika kalian bandingkan
dengan puasa mereka. Mereka keluar dari Islam sebagaimana keluarnya anak
panah menembus sasarannya” (HR. Bukhori)
Dan Khowarij inilah yang ikut andil dalam pengepungan rumah
Utsman y hingga beliau terbunuh, dan mereka jugalah yang membunuh Ali
bin Abi Tholib y. Pembunuhan terhadap Amirul Mukminin Ali bin Abi Tholib
yang dilakukan oleh Abdurrohman bin Muljam ini, mereka yakini sebagai
bentuk pendekatan diri kepada Allah, karena mereka menganggap telah bisa
membunuh orang kafir. Imron bin Hiththon Al-Khooriji (seorang tokoh khowarij) mengatakan :
يَا ضَرَبَةً مِنْ تَقِيٍّ مَا أَرَادَ بِهَا إِلاَّ لِيَبْلُغَ مِنْ ذِي اْلعَرْشِ رِضْوَانَا
إِنِّي َلأَذْكُرُهُ حِيْناً فَأَحْسِبُهُ أَوْفَى اْلبَرِيَّةِ عِنْدَ اللهِ مِيْزَانَا
Wahai sabetan (pedang) dari seorang yang bertakwa. Dia tidak menginginkan dengan (pembunuhan) itu
Melainkan untuk mencapai keridhoan dari (Allah) yang memiliki Arsy
Aku selalu mengingatnya dan aku menganggapnya
Sebagai orang yang paling berat timbangan (kebaikannya) disisi Allah
Subhanallahu, membunuh sahabat yang termasuk salah satu khulafa’ ar-rosyidin,
yang kita diperintahkan untuk mengikuti sunnahnya, dan beliau adalah
salah seorang yang diberi kabar gembira untuk masuk surga, dianggap oleh
Khowarij sebagai amal ibadah yang mulia. Maha benar Allah yang telah
berfirman :
قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُمْ بِالْأَخْسَرِينَ أَعْمَالًا (103) الَّذِينَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعًا
Artinya : ” Katakanlah:
“Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling
merugi perbuatannya?” Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya
dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka
berbuat sebaik-baiknya.” (QS. Al-Kahfi : 103-104)
Kalau ada yang memuji pembunuh Ali y, maka pembunuh Utsman
juga ada yang memujinya. Siapa dia ? Dialah tokoh Ikhwanul Muslimin
Sayyid Quthub. Dia mengatakan : “Dan yang terakhir, muncul pemberontakan
terhadap Utsman. Tercampur di dalamnya kebenaran dan kebatilan,
kebaikan dan kejahatan. Akan tetapi bagi yang melihat setiap perkara
dengan kaca mata Islam, serta merasakannya dengan semangat keIslaman,
maka dia akan menyatakan bahwa pemberontakan tersebut secara umum merupakan kebangkitan Islam.”[11]
Diantara sebab mengapa Khowarij mengkafirkan Ali y adalah
anggapan mereka, bahwa Ali tidak berhukum kepada hukum Allah. Mereka dan
anak cucunya (para teroris dan mujahidin gadungan) selalu mengkafirkan
para penguasa kaum muslimin dengan ayat :
إِنِ الْحُكْمُ إِلَّا لِلَّهِ
“Tidak ada hukum selain hukum Allah” (QS. Yusuf :40)
Dan firman-Nya :
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
“Barangsiapa yang tidak berhukum dengan hukum Allah maka mereka itu kafir” (QS. Al-Maidah : 44).
Imam Al-hafidz Abu Bakr Muhammad bin Al-Husein Al-Ajurri v
berkata : “Diantara syubhat Khowarij adalah (berpegangnya mereka
dengan-pent) firman Allah I : “Barang siapa yang tidak berhukum dengan apa-apa yang diturunkan Allah maka mereka itu adalah orang-orang kafir”. Mereka membacanya bersama firman Allah : ‘Namun orang-orang kafir itu mempersekutukan (sesuatu) dengan Tuhan mereka”
(Surat Al-an’am : 1). Apabila mereka melihat seorang hakim yang tidak
berhukum dengan kebenaran, mereka berkata : Orang ini telah kafir, dan
barangsiapa yang kafir, maka dia telah mempersekutukan Tuhannya. Maka
mereka para pemimpin-pemimpin itu adalah orang-orang musyrik”[12].
Al-Imam Al-Qodhi Abu Ya’la v berkata dalam masalah iman : “Khowarij berhujjah dengan firman Allah ta’ala : “Dan barang siapa yang tidak berhukum dengan hukum Allah maka mereka itu adalah orang-orang kafir”.
Dzohir dalil mereka ini, mengharuskan pengkafiran para pemimpin yang
dzolim, dan ini adalah perkataan Khowarij, padahal yang dimaksudkan
dengan ayat ini adalah orang-orang yahudi”[13].
Abu Hayyan v berkata dalam tafsirnya : “Khowarij berdalil
dengan ayat ini untuk menyatakan, bahwa orang yang berbuat maksiat
kepada Allah itu kafir, mereka mengatakan : Ayat ini, adalah nash untuk
setiap orang yang tidak berhukum dengan hukum Allah, bahwa dia itu
kafir”[14].
Abu Abdillah Al-Qurthubi v menukil perkataan dari Al-
Qusyairi v : “Madzhabnya Khowarij adalah barangsiapa yang mengambil uang
suap dan berhukum dengan selain hukum Allah maka dia kafir”[15]
Wahai kaum muslimin, sadarlah akan bahaya pemikiran mereka !
Para kholifah dari kalangan sahabat saja, mereka bantai, meskipun
dengan nama jihad, apalagi kita !!! Semoga Allah menjauhkan kita dari
pemikiran Khowarij, dan semoga Allah membasmi mereka semuanya, Amin Ya Robbal ‘Alamin.
Majalah Adz-Dzakhiirah Al-Islamiyyah Ed 23, hal. 4-10
[1] Akan datang sebentar lagi penjelasan singkat mengenai Khowarij.
[2] Hilyatul auliya’ 2/246
[3] Syarhuth Thohawiyah 2/432
[4] Al-Mufhim 3/111
[5] Majmu’ al-fatawa : 23/345
[6] Majmu’ al-fatawa 3/229
[7] Ar-roddu ‘alal Bakri 2/494
[8] Minhajul haq wal ittiba’ oleh Syaikh Ibnu Sahman.
[9] Majmu’ Fatawa 14/118
[10] Majmu’ al-Fatawa 7/279.
[11] Al-’Adaalah Al-Ijtima’iyah hal.160
[12] Asy-Syariah (1/342).
[13] Masaaailil Iman (340-341) dan telah lewat perkataan ini.
[14] Al-Bahrul Muhith (3/493).
[15] Al-Jami’ Li Ahkamil Qur’an (6/191).
0 komentar:
Posting Komentar