-->

28 Agustus 2012

KLARIFIKASI ATAS TUDUHAN ZAITUN RASMIN



Sekarang saya akan menyebutkan beberapa perkara yang perlu diluruskan.

1. Tuduhan Zaitun Rasmin bahwa Kami Tidak Mengetahui Definisi Sururiyah

Muhammad Zaitun Rasmin, Lc berkata dalam kasetnya dua tahun yang lalu (terhitung sebelum tahun 2002, ed), “Dan sayang sekali, setelah ditanya-tanya oleh murid-muridnya sendiri apa itu Sururiyah ternyata tidak bisa memberikan definisi yang jelas.”
Katanya, kita tidak bisa memberikan definisi sururiyah padahal kesesatan-kesesatan yang saya bacakan dari awal sampai akhir tadi adalah definisi dan ciri-ciri Sururiyah, semuanya bahkan lebih. Maka ini jelas bahwa kami berucap semuanya dibangun di atas ilmu, walhamdulillâh. Dan semuanya dibangun dari perkataan para ulama besar. Kami tidak mengarang perkataan dari kantong-kantong kami, kami hanya sebagai penyampai yang menyampaikan apa-apa yang disampaikan oleh para ulama rahimahumullâhu ta’âlâ.

2. Tuduhan Zaitun Rasmin bahwa Kami Men-Jarh tanpa Ta’dil

Kemudian perkataannya yang lain bahwasanya dalam pelajaran-pelajaran kita, kalau kami mengajar di halaqoh-halaqoh itu yang dibahas adalah tentang tauhid, tapi kebanyakan pelajarannya jarh tanpa ta’dil, mengkritik tanpa memuji.
Padahal ikhwah yang hadir di pelajaran kami sebagai saksi bahwa pelajaran kami—walhamdulillâh—dihiasi dengan tauhid, dihiasi dengan fiqh. Sedangkan pertanyaan-pertanyaan yang seperti itu hanya dijawab pada saat saat tanya jawab, itu pun kadang-kadang, jadi bukan itu terus perkataan kami.
Ada pertanyaan apa hukumnya ini, apa hukum orang yang mengucapkan seperti ini, saya hanya melihat dan menyimpannya sebab saya melihat bukan waktunya sekarang dan kami punya uslubwalhamdulillâh—dalam berdakwah kepada manusia dan menyampaikan al haq itu sesuai dengan tuntunan Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam.

3. Tuduhan Zaitun Rasmin bahwa Seorang Murid Kami Salah Manhaj

Muhammad Zaitun Rasmin, Lc, berkata, “Makanya ada di antara murid mereka yang belajar di Al Birr kemudian mau masuk ke Unhas.” Terus Zaitun bertanya kepadanya, “Di Unhas itu kan ikhtilath, campur baur antara laki-laki dan perempuan sedangkan di Al Birr itu kan tidak ada perempuan?” Kata Zaitun, “Orang ini—yang katanya murid kami­—bilang: “Ikhtilath itu kan maksiat, lebih ringan daripada bid’ah,” begitu perkataan akh ini.” Zaitun langsung mengomentari, “Astaghfirullâhal ‘azhim, ini adalah kesalahan dalam manhaj.”
Dari perkataannya ini saya ingin menyampaikan tiga perkara:
Pertama:
Dari sikap adil dan inshof kami mengkritik kalian, saya mengambil dari buku-buku, tulisan-tulisan, selebaran, dan yang dikasetkan dari kalian dan kami ambil dari orang-orang besarnya saja dan hampir semuanya dari orang-orang yang belajar di Universitas Islam Madinah. Semua yang saya kritik tadi hampir semuanya saya ambil dari orang-orang yang pernah keluar ke Madinah kecuali satu ada yang saya ambil dari Qasim Shabuni, ia tidak ke Madinah.
Dan kami adil dalam hal ini, kami tidak melihat kepada orang-orang yang ikut kepadanya atau murid-muridnya, karena mungkin saja murid-muridnya salah berucap akibat salah memahami. Mungkin saja gurunya benar dan kami tidak mengambil hal-hal yang seperti itu walaupun banyak yang menyampaikan kepada saya. Sebab kadangkala ada orang yang bertanya, “Ustadz, apa hukumnya begini, saya ada mendengar begini,” ditanyakan kepada saya dan saya hanya menjawab sesuai dengan konteks pertanyaan dan saya tidak ambil untuk menghukumi.
Kalau ada yang bertanya tentang hukum sesuatu kemudian saya jawab dan saya ambil, maka itu namanya tidak adil. Karena kami menganggap hal itu tidak adil maka dalam bantahan ini kami tidak menyebutkannya. Tetapi mereka tidak adil di dalam mengkritik kami, padahal mereka dengung-dengungkan di sana-sini tentang keharusan muwâzanah, kalau membantah jangan sebutkan kejelekannya saja, sebutkan juga kebaikannya. Mereka membantah kita di Unhas dua tahun yang lalu tidak ada sedikit pun kebaikan kita yang disebut. Berarti muwâzanah ini manhaj khusus untuk membela kalian saja.
Kedua:
Saya heran sebenarnya, apakah ada di antara murid-murid kita yang berpikiran seperti ini. Maka saya cari yang pernah belajar di Al Birr, dan jumlahnya sedikit. Saya dapat satu orang ikhwah dan katanya ada yang mirip-mirip seperti itu tetapi tidak seperti itu lafazhnya.
Ketiga:
Di sini Zaitun berkata mengomentari perkataan akh yang belajar kepada kami bahwa maksiat itu lebih ringan daripada bid’ah, dengan perkataannya, “Astaghfirullâhal ‘azhim, ini adalah kesalahan dalam manhaj.”
Perkataan Zaitun ini adalah kebodohan dan ketidaktahuan dalam manhaj. Manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah sebagaimana yang dinukil oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullâh dalam Majmû’ Al Fatâwâ bahwa maksiat itu lebih ringan daripada bid’ah, ini sepakat para ulama. Jadi ini adalah manhaj, tapi akh ini salah dalam menerapkan. Jadi, dibedakan antara salah dalam manhaj dengan salah dalam menerapkan. Kalau tentang manhaj akh ini, manhajnya benar namun ia salah dalam menerapkan. Sama dengan orang yang punya jurus, jurusnya sudah benar tapi ia salah pukul orang, begitu perumpamaannya. Ini, manhajnya benar tetapi ia salah dalam menerapkannya.
Maka harus adil dalam menghukumi. Kalau salah dalam menerapkannya itu bukanlah perkara yang sangat dipersoalkan sebagaimana dengan perkara kalau ia salah dalam manhaj. Seperti Mu’adz bin Jabal radhiyallâhu ‘anhu ketika mengimami sholat bacaannya terlalu panjang. Memang benar dalam sholat kadang Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam membaca yang panjang dan sudah benar Mu’adz, hanya saja ia salah karena tidak melihat orang-orang yang ada di belakangnya. Jadi sudah benar apa yang ia lakukan tetapi salah dalam penerapan. Dan salah penerapan seperti ini ringan daripada salah dalam manhaj pada sekian banyak pokok manhaj sebagaimana kesalahan Wahdah Islamiyah.

4. Tuduhan Zaitun Rasmin bahwa Kami Membantah Tanpa Menasihati Dulu

Ketika dua orang utusan Wahdah Islamiyah datang ke rumah saya di Baji Rupa, keduanya berkata, “Kenapa tidak dinasihati dulu kalau punya kesalahan?” Maka saya sebutkan itu tadi kaidah apakah harus dinasihati dulu atau tidak (lihat pendahuluan ke-9, ed). Dan di antara hal yang saya sebutkan bahwa Syaikh Ibnu Al ‘Utsaimin rahimahullâh mengkafirkan Yusuf Al Qaradhawi dan belum dinasihati terlebih dulu.
Perkataan saya ini ketika didengar oleh Zaitun dan langsung ia berkata mengingkari, “Saya tidak menyangka hal tersebut seperti ini, karena itulah sangat membahayakan anak-anak muda kita kalau mendengar hal-hal yang seperti ini. Makanya saya berusaha untuk telepon untuk bertanya apa betul Syaikh Ibnu Al ‘Utsaimin ngomong seperti itu, kami telepon ke Qasim tapi tidak nyambung akhirnya kita telepon ke salah seorang dosen yang tinggal di situ yang dulu di Madinah, dan kata dosen itu, kami tidak tahu.” (Mungkin dosen ini orang-orang yang semisal dia).
Maka sekarang saya akan bawakan nash dari kaset ucapan Syaikh Ibnu Al ‘Utsaimin huruf per huruf dan nash kaset ini dinukil oleh salah seorang Syaikh di Yaman yang termasuk murid-murid Syaikh Muqbil, juga dalam ta’liq beliau terhadap kitab Syaikh Muqbil sebagai bantahan terhadap Yusuf Al Qaradhawi judulnya Iskatul Kalbil Âwi ‘ala Yusuf bin ‘Abdillah Al Qoradhawi, artinya “Membuat Diam Anjing yang Menggonggong si Yusuf bin ‘Abdillah Al Qaradhawi”, dan perlu Antum ketahui penggunaan kalimat ini oleh Syaikh Muqbil itu sudah diberikan pendalilan sebelumnya karena banyaknya kesesatannya. Bayangkan, kalimat ini yang Antum akan dengar, orang yang masih punya sedikit rasa keislaman akan mengingkari kalimat ini.
Yusuf Al Qaradhawi berkata dalam suatu kaset—dan perlu diketahui kaset ini telah saya dengar di Yaman tapi saya tidak punya kasetnya di sini, saya hanya menukil dari kitab ini, saya dengar kasetnya di Yaman dan akh yang hadir di majelis Syaikh waktu itu namanya Shalih Al Bakri yang memberitahukan langsung kepada saya dan ia mendengar langsung dari Syaikh Ibnu Al ‘Utsaimin. Yusuf Al Qaradhawi berkata dalam khutbah yang kedua pada saat khutbah Jum’at,
“Wahai saudara-saaudara sekalian, sebelum saya meninggalkan tempat ini, saya hendak menyampaikan satu kalimat tentang hasil Pemilu di Israel. Dulu orang-orang Arab menaruh harapan kepada kesuksesan (Perez) dan ia sekarang telah jatuh, inilah yang kita puji dari Israel.
Kita berharap negara kita bisa seperti negara ini (Israel), yaitu karena kelompok kecil seorang penguasa bisa jatuh, dan rakyatlah yang menentukan hukum tanpa ada hitung-hitungan persentase yang kita kenal di negara kita 99,99 %. Sesungguhnya semua ini adalah kedustaan dan tipuan. Seandainya Allah memampakkan diri kepada manusia, maka Dia tidak akan mampu mencapai persentase suara seperti ini. Kami mengucapkan selamat kepada Israel atas apa yang telah diperbuatnya.”
Syaikh Ibnu Al ‘Utsaimin ditanya tentang perkataan Yusuf Al Qaradhawi, “Seandainya Allah menampakkan dirinya kepada manusia.” Syaikh menjawab,
نعوذ بالله، هذا يجب عليه أن يتب هذا وإلا فهو مرتد لأنه جعل المخلوق أعلى من الخالق فعليه أن يتوب إلى الله فإن تاب فالله يقبل عنه ذلك وإلا وجب على حكام المسلمين أن يضربو عنقه
Na’ûdzu billâh, orang ini wajib untuk bertaubat, kalau tidak maka ia murtad karena telah menjadikan makhluq lebih tinggi dari Penciptanya. Maka wajib baginya untuk bertaubat kepada Allah, jika ia bertaubat kepada Allah maka itu akan diterima-Nya dan jika tidak maka wajib atas pemerintah muslim untuk memenggal lehernya.”
Maka ini adalah fatwa Syaikh Ibnu Al ‘Utsaimin dalam kaset terekam.
Adapun Syaikh Muqbil bin Hadi Al Wadi’i rahimahullâh, beliau berkata, “Kalau yang ia inginkan mengutamakan orang Yahudi ini di atas Allah maka ia kafir keluar dari Islam tapi kalau ia ingin selain itu maka ini adalah perkara yang lain dan hal ini merupakan kesesatan yang nyata.”
Kemudian setelah itu beliau berkata, “Engkau wahai Yusuf Al Qaradhawi, engkau telah kafir atau mendekati kekufuran,” tergantung maksud ia mengucapkannya.
Maka itu tadi fatwa Syaikh Ibnu ‘Utsaimin dan adapun Syaikh Muqbil beliau tidak langsung mengkafirkannya tapi beliau merinci apa maksud pengucapannya, dan ini termasuk kedetailan dan para ulama berijtihad dalam hal ini.
Dan banyak lagi masalah yang berkaitan dengan Yusuf Al Qaradhawi, di dalam buku Syaikh Muqbil ini banyak sekali dan yang mengarang kitab untuk membantah Yusuf Al Qaradhawi itu sudah banyak. Saya punya buku di rumah yang judulnya Raf’ul Litsâm ‘an Mukhâlâfatil Qaradhawi li Syari’atil Islâm karya Syaikh Ahmad bin Muhammad bin Manshur Al ‘Udaini Al Yamani. Terjemahan judulnya, “Membuka Penutup Muka untuk Menunjukkan Penyelisihan-penyelisihan Yusuf Al Qaradhawi Terhadap Syari’at Islam”. Kitab ini diberi rekomendasi oleh Syaikh Ahmad bin Yahya An Najmi (Mufti Saudi Arabia Bagian Selatan), Syaikh Muqbil bin Hadi Al Wadi’i, Syaikh Muhammad bin ‘Abdil Wahhab Al Wushabi—yang dikatakan oleh Syaikh Muqbil bahwa beliau ini pantas untuk menjadi mufti negeri Yaman. Dalam buku itu disebutkan berbagai macam kesesatan Yusuf Al Qaradhawi yang diambil dari buku-bukunya, tulisannya, dan perkataannya. Demikianlah Ahlus Sunnah dari dulu sampai sekarang, mereka tidak berbicara kecuali memiliki data-data yang kongkret dan lengkap.
Di sini yang saya perlu ingatkan bahwa tatkala seseorang itu menyelisihi syari’at maka hendaknya kita menimbangnya tidak dengan menggunakan perasaan akan tetapi dengan ilmu. Perhatikanlah bahwa yang berbicara di sini adalah para ulama besar dan kita sendiri tidak punya komentar. Itu tadi adalah komentar para ulama besar rahimahumullâhu ta’âlâ amwâtahum wa hafizha man ahyahum (semoga Allah merahmati yang telah meninggal dari mereka dan menjaga yang masih hidup dari mereka).

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.