Sekarang saya akan menyebutkan beberapa perkara yang perlu diluruskan.
1. Tuduhan Zaitun Rasmin bahwa Kami Tidak Mengetahui Definisi Sururiyah
Muhammad Zaitun Rasmin, Lc berkata dalam kasetnya dua tahun yang lalu (terhitung sebelum tahun 2002, ed),
“Dan sayang sekali, setelah ditanya-tanya oleh murid-muridnya sendiri
apa itu Sururiyah ternyata tidak bisa memberikan definisi yang jelas.”
Katanya, kita tidak bisa memberikan
definisi sururiyah padahal kesesatan-kesesatan yang saya bacakan dari
awal sampai akhir tadi adalah definisi dan ciri-ciri Sururiyah, semuanya
bahkan lebih. Maka ini jelas bahwa kami berucap semuanya dibangun di
atas ilmu, walhamdulillâh.
Dan semuanya dibangun dari perkataan para ulama besar. Kami tidak
mengarang perkataan dari kantong-kantong kami, kami hanya sebagai
penyampai yang menyampaikan apa-apa yang disampaikan oleh para ulama rahimahumullâhu ta’âlâ.
2. Tuduhan Zaitun Rasmin bahwa Kami Men-Jarh tanpa Ta’dil
Kemudian perkataannya yang lain bahwasanya dalam pelajaran-pelajaran kita, kalau kami mengajar di halaqoh-halaqoh itu yang dibahas adalah tentang tauhid, tapi kebanyakan pelajarannya jarh tanpa ta’dil, mengkritik tanpa memuji.
Padahal ikhwah yang hadir di pelajaran kami sebagai saksi bahwa pelajaran kami—walhamdulillâh—dihiasi
dengan tauhid, dihiasi dengan fiqh. Sedangkan pertanyaan-pertanyaan
yang seperti itu hanya dijawab pada saat saat tanya jawab, itu pun
kadang-kadang, jadi bukan itu terus perkataan kami.
Ada pertanyaan apa hukumnya ini, apa
hukum orang yang mengucapkan seperti ini, saya hanya melihat dan
menyimpannya sebab saya melihat bukan waktunya sekarang dan kami punya uslub—walhamdulillâh—dalam berdakwah kepada manusia dan menyampaikan al haq itu sesuai dengan tuntunan Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam.
3. Tuduhan Zaitun Rasmin bahwa Seorang Murid Kami Salah Manhaj
Muhammad Zaitun Rasmin, Lc, berkata,
“Makanya ada di antara murid mereka yang belajar di Al Birr kemudian mau
masuk ke Unhas.” Terus Zaitun bertanya kepadanya, “Di Unhas itu kan ikhtilath,
campur baur antara laki-laki dan perempuan sedangkan di Al Birr itu kan
tidak ada perempuan?” Kata Zaitun, “Orang ini—yang katanya murid
kami—bilang: “Ikhtilath itu kan maksiat, lebih ringan daripada bid’ah,” begitu perkataan akh ini.” Zaitun langsung mengomentari, “Astaghfirullâhal ‘azhim, ini adalah kesalahan dalam manhaj.”
Dari perkataannya ini saya ingin menyampaikan tiga perkara:
Pertama:
Dari sikap adil dan inshof kami
mengkritik kalian, saya mengambil dari buku-buku, tulisan-tulisan,
selebaran, dan yang dikasetkan dari kalian dan kami ambil dari
orang-orang besarnya saja dan hampir semuanya dari orang-orang yang
belajar di Universitas Islam Madinah. Semua yang saya kritik tadi hampir
semuanya saya ambil dari orang-orang yang pernah keluar ke Madinah
kecuali satu ada yang saya ambil dari Qasim Shabuni, ia tidak ke
Madinah.
Dan kami adil dalam hal ini, kami tidak
melihat kepada orang-orang yang ikut kepadanya atau murid-muridnya,
karena mungkin saja murid-muridnya salah berucap akibat salah memahami.
Mungkin saja gurunya benar dan kami tidak mengambil hal-hal yang seperti
itu walaupun banyak yang menyampaikan kepada saya. Sebab kadangkala ada
orang yang bertanya, “Ustadz, apa hukumnya begini, saya ada mendengar
begini,” ditanyakan kepada saya dan saya hanya menjawab sesuai dengan
konteks pertanyaan dan saya tidak ambil untuk menghukumi.
Kalau ada yang bertanya tentang hukum
sesuatu kemudian saya jawab dan saya ambil, maka itu namanya tidak adil.
Karena kami menganggap hal itu tidak adil maka dalam bantahan ini kami
tidak menyebutkannya. Tetapi mereka tidak adil di dalam mengkritik kami,
padahal mereka dengung-dengungkan di sana-sini tentang keharusan muwâzanah,
kalau membantah jangan sebutkan kejelekannya saja, sebutkan juga
kebaikannya. Mereka membantah kita di Unhas dua tahun yang lalu tidak
ada sedikit pun kebaikan kita yang disebut. Berarti muwâzanah ini manhaj khusus untuk membela kalian saja.
Kedua:
Saya heran sebenarnya, apakah ada di
antara murid-murid kita yang berpikiran seperti ini. Maka saya cari yang
pernah belajar di Al Birr, dan jumlahnya sedikit. Saya dapat satu orang
ikhwah dan katanya ada yang mirip-mirip seperti itu tetapi tidak
seperti itu lafazhnya.
Ketiga:
Di sini Zaitun berkata mengomentari perkataan akh yang belajar kepada kami bahwa maksiat itu lebih ringan daripada bid’ah, dengan perkataannya, “Astaghfirullâhal ‘azhim, ini adalah kesalahan dalam manhaj.”
Perkataan Zaitun ini adalah kebodohan dan
ketidaktahuan dalam manhaj. Manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah sebagaimana
yang dinukil oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullâh dalam Majmû’ Al Fatâwâ bahwa maksiat itu lebih ringan daripada bid’ah, ini sepakat para ulama. Jadi ini adalah manhaj, tapi akh ini salah dalam menerapkan. Jadi, dibedakan antara salah dalam manhaj dengan salah dalam menerapkan. Kalau tentang manhaj akh
ini, manhajnya benar namun ia salah dalam menerapkan. Sama dengan orang
yang punya jurus, jurusnya sudah benar tapi ia salah pukul orang,
begitu perumpamaannya. Ini, manhajnya benar tetapi ia salah dalam
menerapkannya.
Maka harus adil dalam menghukumi. Kalau
salah dalam menerapkannya itu bukanlah perkara yang sangat dipersoalkan
sebagaimana dengan perkara kalau ia salah dalam manhaj. Seperti Mu’adz
bin Jabal radhiyallâhu ‘anhu ketika mengimami sholat bacaannya terlalu panjang. Memang benar dalam sholat kadang Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
membaca yang panjang dan sudah benar Mu’adz, hanya saja ia salah karena
tidak melihat orang-orang yang ada di belakangnya. Jadi sudah benar apa
yang ia lakukan tetapi salah dalam penerapan. Dan salah penerapan
seperti ini ringan daripada salah dalam manhaj pada sekian banyak pokok
manhaj sebagaimana kesalahan Wahdah Islamiyah.
4. Tuduhan Zaitun Rasmin bahwa Kami Membantah Tanpa Menasihati Dulu
Ketika dua orang utusan Wahdah Islamiyah
datang ke rumah saya di Baji Rupa, keduanya berkata, “Kenapa tidak
dinasihati dulu kalau punya kesalahan?” Maka saya sebutkan itu tadi
kaidah apakah harus dinasihati dulu atau tidak (lihat pendahuluan ke-9, ed). Dan di antara hal yang saya sebutkan bahwa Syaikh Ibnu Al ‘Utsaimin rahimahullâh mengkafirkan Yusuf Al Qaradhawi dan belum dinasihati terlebih dulu.
Perkataan saya ini ketika didengar oleh
Zaitun dan langsung ia berkata mengingkari, “Saya tidak menyangka hal
tersebut seperti ini, karena itulah sangat membahayakan anak-anak muda
kita kalau mendengar hal-hal yang seperti ini. Makanya saya berusaha
untuk telepon untuk bertanya apa betul Syaikh Ibnu Al ‘Utsaimin ngomong
seperti itu, kami telepon ke Qasim tapi tidak nyambung akhirnya kita
telepon ke salah seorang dosen yang tinggal di situ yang dulu di
Madinah, dan kata dosen itu, kami tidak tahu.” (Mungkin dosen ini
orang-orang yang semisal dia).
Maka sekarang saya akan bawakan nash dari kaset ucapan Syaikh Ibnu Al ‘Utsaimin huruf per huruf dan nash kaset ini dinukil oleh salah seorang Syaikh di Yaman yang termasuk murid-murid Syaikh Muqbil, juga dalam ta’liq beliau terhadap kitab Syaikh Muqbil sebagai bantahan terhadap Yusuf Al Qaradhawi judulnya Iskatul Kalbil Âwi ‘ala Yusuf bin ‘Abdillah Al Qoradhawi,
artinya “Membuat Diam Anjing yang Menggonggong si Yusuf bin ‘Abdillah
Al Qaradhawi”, dan perlu Antum ketahui penggunaan kalimat ini oleh
Syaikh Muqbil itu sudah diberikan pendalilan sebelumnya karena banyaknya
kesesatannya. Bayangkan, kalimat ini yang Antum akan dengar, orang yang
masih punya sedikit rasa keislaman akan mengingkari kalimat ini.
Yusuf Al Qaradhawi berkata dalam suatu
kaset—dan perlu diketahui kaset ini telah saya dengar di Yaman tapi saya
tidak punya kasetnya di sini, saya hanya menukil dari kitab ini, saya
dengar kasetnya di Yaman dan akh yang hadir di majelis Syaikh
waktu itu namanya Shalih Al Bakri yang memberitahukan langsung kepada
saya dan ia mendengar langsung dari Syaikh Ibnu Al ‘Utsaimin. Yusuf Al
Qaradhawi berkata dalam khutbah yang kedua pada saat khutbah Jum’at,
“Wahai saudara-saaudara sekalian, sebelum
saya meninggalkan tempat ini, saya hendak menyampaikan satu kalimat
tentang hasil Pemilu di Israel. Dulu orang-orang Arab menaruh harapan
kepada kesuksesan (Perez) dan ia sekarang telah jatuh, inilah yang kita
puji dari Israel.
Kita berharap negara kita bisa seperti
negara ini (Israel), yaitu karena kelompok kecil seorang penguasa bisa
jatuh, dan rakyatlah yang menentukan hukum tanpa ada hitung-hitungan
persentase yang kita kenal di negara kita 99,99 %. Sesungguhnya semua
ini adalah kedustaan dan tipuan. Seandainya Allah memampakkan diri
kepada manusia, maka Dia tidak akan mampu mencapai persentase suara
seperti ini. Kami mengucapkan selamat kepada Israel atas apa yang telah
diperbuatnya.”
Syaikh Ibnu Al ‘Utsaimin ditanya tentang
perkataan Yusuf Al Qaradhawi, “Seandainya Allah menampakkan dirinya
kepada manusia.” Syaikh menjawab,
نعوذ بالله، هذا يجب عليه أن يتب هذا وإلا
فهو مرتد لأنه جعل المخلوق أعلى من الخالق فعليه أن يتوب إلى الله فإن تاب
فالله يقبل عنه ذلك وإلا وجب على حكام المسلمين أن يضربو عنقه
“Na’ûdzu billâh, orang ini wajib
untuk bertaubat, kalau tidak maka ia murtad karena telah menjadikan
makhluq lebih tinggi dari Penciptanya. Maka wajib baginya untuk
bertaubat kepada Allah, jika ia bertaubat kepada Allah maka itu akan
diterima-Nya dan jika tidak maka wajib atas pemerintah muslim untuk
memenggal lehernya.”
Maka ini adalah fatwa Syaikh Ibnu Al ‘Utsaimin dalam kaset terekam.
Adapun Syaikh Muqbil bin Hadi Al Wadi’i rahimahullâh,
beliau berkata, “Kalau yang ia inginkan mengutamakan orang Yahudi ini
di atas Allah maka ia kafir keluar dari Islam tapi kalau ia ingin selain
itu maka ini adalah perkara yang lain dan hal ini merupakan kesesatan
yang nyata.”
Kemudian setelah itu beliau berkata,
“Engkau wahai Yusuf Al Qaradhawi, engkau telah kafir atau mendekati
kekufuran,” tergantung maksud ia mengucapkannya.
Maka itu tadi fatwa Syaikh Ibnu ‘Utsaimin
dan adapun Syaikh Muqbil beliau tidak langsung mengkafirkannya tapi
beliau merinci apa maksud pengucapannya, dan ini termasuk kedetailan dan
para ulama berijtihad dalam hal ini.
Dan banyak lagi masalah yang berkaitan
dengan Yusuf Al Qaradhawi, di dalam buku Syaikh Muqbil ini banyak sekali
dan yang mengarang kitab untuk membantah Yusuf Al Qaradhawi itu sudah
banyak. Saya punya buku di rumah yang judulnya Raf’ul Litsâm ‘an Mukhâlâfatil Qaradhawi li Syari’atil Islâm
karya Syaikh Ahmad bin Muhammad bin Manshur Al ‘Udaini Al Yamani.
Terjemahan judulnya, “Membuka Penutup Muka untuk Menunjukkan
Penyelisihan-penyelisihan Yusuf Al Qaradhawi Terhadap Syari’at Islam”.
Kitab ini diberi rekomendasi oleh Syaikh Ahmad bin Yahya An Najmi (Mufti
Saudi Arabia Bagian Selatan), Syaikh Muqbil bin Hadi Al Wadi’i, Syaikh
Muhammad bin ‘Abdil Wahhab Al Wushabi—yang dikatakan oleh Syaikh Muqbil
bahwa beliau ini pantas untuk menjadi mufti negeri Yaman. Dalam buku itu
disebutkan berbagai macam kesesatan Yusuf Al Qaradhawi yang diambil
dari buku-bukunya, tulisannya, dan perkataannya. Demikianlah Ahlus
Sunnah dari dulu sampai sekarang, mereka tidak berbicara kecuali
memiliki data-data yang kongkret dan lengkap.
Di sini yang saya perlu ingatkan bahwa
tatkala seseorang itu menyelisihi syari’at maka hendaknya kita
menimbangnya tidak dengan menggunakan perasaan akan tetapi dengan ilmu.
Perhatikanlah bahwa yang berbicara di sini adalah para ulama besar dan
kita sendiri tidak punya komentar. Itu tadi adalah komentar para ulama
besar rahimahumullâhu ta’âlâ amwâtahum wa hafizha man ahyahum (semoga Allah merahmati yang telah meninggal dari mereka dan menjaga yang masih hidup dari mereka).
0 komentar:
Posting Komentar