Kesesatan yang kesembilan tentang masalah bai’at. Bai’at itu adalah sumpah setia. [1] Adapun masalah bai’at ini saya tidak ajukan kepada Syaikh Rabi’ bin Hadi Al Madkhali hafizhahullâh, yang saya ajukan hanya kesesatan-kesesatan yang di atas tadi.
Tetapi terakhir ini, saya periksa kembali
kaset-kaset ceramah Muhammad Zaitun Rasmin, Lc dan saya dapatkan Zaitun
berbicara ketika menyebutkan tentang bai’at. Ia berkata, “Bai’at itu di
awal-awal kali sebelum berdirinya yayasan.”
Saya tidak tahu ini yayasan apa yang
diinginkan, apakah Yayasan Wahdah Islamiyah atau Yayasan Fathul Mu’in,
jadi ia tetapkan adanya bai’at. Kemudian yang datang membawa surat
namanya Dahlan dan yang hadir ketika itu ustadz Khaidir bisa sebagai
saksi, ia ini 10 tahun di Wahdah Islamiyah dan ia mengakui ada bai’at di
Wahdah. Ia sebutkan bentuk bai’atnya: bai’at untuk mendengar dan taat,
komitmen dengan Al Qur’an dan As Sunnah; padahal bentuk bai’at yang
seperti ini adalah bentuk bai’at yang memberatkan dan menyelisihi sunnah
Nabi shallallâhu ‘alaihi wasallam. Beliau shallallâhu ‘alaihi wasallam
membai’at para sahabatnya dengan perkara yang sedikit, Jarir bin
‘Abdillah Al Bajali bai’atnya hanya mendengar dan taat serta menasihati
setiap muslim; itu pun disuruh ucapkan oleh Nabi, “Katakan: Sesuai
dengan kemampuanku”, sedangkan ini bai’atnya komitmen di atas Al Qur’an
dan Sunnah beratnya luar biasa, siapa yang bisa komitmen tiap hari?!
Yang namanya manusia seperti dikatakan oleh Nabi shallallâhu ‘alaihi wasallam:
إنكم تخطؤون بالليل والنهار
“Kalian ini bersalah siang dan malam.”
Maka tidak boleh menjamin diri dengan hal
bai’at tersebut karena ini adalah bentuk penyelisihan. Tetapi saya
tidak mengetahui dalam hal bai’at ini, apakah Dahlan yang salah
menyampaikan atau Zaitun yang tidak benar sehingga saya tinggalkan
masalah ini.
Kemudian dalam kaset itu juga setelah ia
menerangkan bahwa bai’at dulu itu begini dan begini, tidak kabur
pembicaraannya, kemudian ia berkata, “Tapi perlu diingat, bai’at itu
terbagi dua: pertama bai’at kepada Imamatul ‘Uzhma, yang kedua bai’at yang disebut dengan mu’ahadah. Bai’at kepada Imamatul ‘Uzhma
itulah yang disebut dengan bai’at untuk mendengar dan taat. Ketika
disebutkan secara mutlak seperti itu bai’at hanya diberikan kepada Imamatul ‘Uzhma yaitu Hakim Syar’i. Kemudian yang kedua, bai’at dalam artian mu’ahadah.”
Di sini ada talbis dan tadlis (pengkaburan dan penyamar-nyamaran), mallâhu bihi ‘alim (hanya Allah yang tahu betapa dalamnya hal tersebut). Dari nash
yang dinukil dari kaset ini seakan-akan ia tidak menyalahkan bai’at
ini. Ia menyebutkan bahwa bai’at tu terbagi dua: bai’at untuk mendengar
dan taat dan bai’at yang berarti mu’ahadah, dan ia tidak
meluruskan mana yang benar dan mana yang salah. Dan dua kalimat ini
sering didengung-dengungkan oleh ahlul bid’ah di mana-mana.
Di Yaman saya membaca, ahlul bid’ah yang
ada di sana berdalilkan tentang bai’at dengan itu juga, mereka tidak
menyebut bai’at tapi mu’ahadah, artinya mengambil janji. Dan ini persis perkataan Salman Al ‘Audah, Salman berkata dalam kasetnya yang berjudul Al Islam wal Hizbiyyah,
“Adapun pembicaraan tentang bai’at yang kita temukan di sebagian
jama’ah Islam, yang saya lihat bai’at ini paling rendah hukumnya makruh
karena menyerupai nadzar.” Misalnya dalam suatu jama’ah mengambil
bai’at untuk mendengar dan taat kepada pimpinan, ini artinya ia
mendirikan negara sendiri di bawah negara yang ia sendiri berada di
bawahnya. Perkataan Salman, bai’at yang seperti ini paling rendah
hukumnya makruh seperti nadzar, ini adalah talbis. Sebagaimana dimaklumi, nadzar itu terbagi dua: nadzar mutlak yang tidak butuh muqabil (balasan) dan ada nadzar yang butuh muqabil. Nadzar yang butuh muqabil hukumnya makruh menurut pendapat yang paling kuat dari dua pendapat para ulama sebab Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan tentangnya,
إِنَّمَا يُسْتَخْرَج مِنَ الْبَخِيل
“Sesungguhnya itu dikeluarkan dari kebakhilan.”
Katanya nadzar ini walaupun makruh tetapi
kalau ia sudah mengucapkannya dan telah terlaksana apa yang ia inginkan
maka wajib atasnya untuk melaksanakan nadzarnya. Sama dengan bai’at di
sini, katanya, hukumnya makruh tetapi kalau sudah masuk maka wajib untuk
dijalankan. Dan ini juga termasuk dari kategori talbisat dan memang kepandaian perkataan dalam uslub-uslub yang seperti ini.
Tidak boleh mengambil perjanjian dari siapapun, berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullâh dalam Majmû’ Al Fatâwâ,
“Tidaklah boleh bagi orang-orang yang mengajar untuk mengambil
perjanjian terhadap siapa pun untuk setuju dengan ia terhadap apa-apa
yang ia inginkan dan loyalitas terhadap apa-apa yang loyalitas dengan
hal tersebut dan mengambil permusuhan terhadap orang-orang yang
memusuhinya. Dan siapa yang melakukannya, maka ia menyerupai Jengis Khan
(Raja Mongol yang berusaha untuk menguasai Arab waktu itu).”
Dan ada lagi fatwa Syaikh Ahmad bin Yahya An Najmi rahimahullâh menyebutkan hal yang sama bahwa bai’at itu tidak diambil dalam dakwah.[2]
Maka yang terakhir di sini khusus tentang kesesatan Wahdah, setelah mendengar tadi ada tanzhim sirriyyah
kamudian ada bai’atnya untuk mendengar dan taat, sekarang saya mau
tanya dan ini saya belum tahu jawabannya, imam Wahdah Islamiyah itu
siapa?! Supaya kita juga bisa ikut membai’at kalau ia adalah memang
benar imam kaum muslimin (bukan hanya imam jama’ah/kelompok tertentu, ed), dan ini adalah pertanyaan yang harus dijawab oleh mereka, wallâhul musta’ân.
Saya kira ini sementara yang berkaitan dengan hal tersebut, dan perlu
diketahui saya masih mempunyai data-data yang lain tapi saya rasa ini
cukup.
Catatan Kaki:
[1]
Bai’at secara istilah adalah: berjanji untuk taat, seakan-akan seorang
yang berbai’at berjanji kepada amirnya untuk menyerahkan urusan dirinya
dan kaum muslimin, serta tidak mengganggunya sedikit pun. Dia menaatinya
pada apa yang diperintahkan amir dan menjadi tanggung jawabnya dalam
keadaan suka atau tidak suka. Dahulu ketka mereka membai’at amir dan
mengikatkan janjinya, mereka menjadikan tangan mereka di atas tangannya
(amir) untuk menguatkan janjinya, sehingga hampir menyerupai perbuatan
antara penjual dan pembeli, kemudian dikatakanlah bai’at, dari kata
dasar بَاعَ. Yang artinya bai’at berarti bersalaman tangan, inilah yang
ditunjukkan dalam pengertian bahasa dan syari’at. (Muqaddimah Ibnu Khaldun [1/220] Al Manhajut Taam fi Wujubi Bai’atil Hukam [12]) [ed]
[2] Majalah An Nashihah
volume 11 Tahun 1/1427 H/2006 M halaman 19-32 telah menguraikan “Sikap
Ahlus Sunnah wal Jama’ah tentang Bai’at dan Imamah” dari tulisan Syaikh
Muhammad bin Ramzan Al Hajiry hafizhahullâh. [ed]
1 komentar:
SebeLum menuduh, ada baiknya mentabayyun terLebih dahuLu kpd yg bersangkutan.. Anda mengaku saLaf? toLong cerminkan akhLak saLaf.. Kami pribadi kurang Lebih hampir 7 tahun di Wahdah IsLamiyah, tdk pernah berbai'at entah kpd siapapun asatidzah kami diLembaga..
Posting Komentar