-->

17 Agustus 2012

Mengapa Anda Menolak Bid’ah Hasanah?



KATA PENGANTAR

Jika kita memperhatikan kenyataan kaum muslimin saat ini, terutama dalam masalah ibadah mereka, maka kita akan merasa terharu, dimana banyak sekali diantara mereka yang melakukan sesuatu dari ibadah apa yang tidak ada dasarnya, baik dalam Al Qur’an dan As Sunnah, maupun dalam amalan-amalan salaful ummah. Apa yang mereka kerjakan kebanyakan hanyalah dilandasi oleh perasaan, akal dan keinginan pribadi (hawa nafsu) mereka atau karena hanya bertaklid buta mengikuti adat kebiasaan (apa yang telah dirintis oleh orang-orang tua mereka). Karena itulah sehingga jika mereka ditanya tentang apa yang mereka lakukan itu, niscaya mereka akan menjawab: “Rasanya enak kalau kita melakukan yang seperti ini”. Atau “Menurut saya ini adalah sesuatu yang baik”, atau “Beginilah yang dilakukan orang-orang tua kita, apakah anda mau merubah apa yang telah dirintis dengan susah payah oleh orang-orang tua kita dahulu?”. Padahal mereka tidak menyadari bahwa jawaban-jawaban yang mereka sebutkan itu semua tidak ada bedanya dengan jawaban-jawaban orang-orang jahiliyyah dahulu ketika mereka ditanya, yang mana hal semacam itu telah dibantah oleh Alloh –subhanahu wa ta’ala- melalui lisan Rosululloh Muhammad –shallallohu ‘alaihi wa sallam- dengan ayat-ayatNya:

وَلَوِ اتَّبَعَ الْحَقُّ أَهْوَاءهُمْ لَفَسَدَتِ السَّمَاوَاتُ وَالْأَرْضُ وَمَن فِيهِنَّ بَلْ أَتَيْنَاهُم بِذِكْرِهِمْ فَهُمْ عَن ذِكْرِهِم مُّعْرِضُونَوَلَوِ اتَّبَعَ الْحَقُّ أَهْوَاءهُمْ لَفَسَدَتِ السَّمَاوَاتُ وَالْأَرْضُ وَمَن فِيهِنَّ بَلْ أَتَيْنَاهُم بِذِكْرِهِمْ فَهُمْ عَن ذِكْرِهِم مُّعْرِضُونَ
Andaikata kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit dan bumi ini, dan semua yang ada di dalamnya. Sebenarnya Kami telah mendatangkan kepada mereka kebanggaan (Al Qur’an) mereka tetapi mereka berpaling dari kebanggaan itu. (QS. Al Mu’minun: 71)

Dalam ayat yang lain Alloh berfirman :
وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ اتَّبِعُوا مَا أَنزَلَ اللَّهُ قَالُوا بَلْ نَتَّبِعُ مَا وَجَدْنَا عَلَيْهِ آبَاءنَا أَوَلَوْ كَانَ الشَّيْطَانُ يَدْعُوهُمْ إِلَى عَذَابِ السَّعِيرِ وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ اتَّبِعُوا مَا أَنزَلَ اللَّهُ قَالُوا بَلْ نَتَّبِعُ مَا وَجَدْنَا عَلَيْهِ آبَاءنَا أَوَلَوْ كَانَ الشَّيْطَانُ يَدْعُوهُمْ إِلَى عَذَابِ السَّعِيرِ
Dan apabila dikatakan kepada mereka: “Ikutilah apa yang diturunkan Allah”. Mereka menjawab: “(Tidak), tapi kami (hanya) mengikuti apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya”. Dan apakah mereka (akan mengikuti bapak-bapak mereka) walaupun syaitan itu menyeru mereka ke dalam siksa api yang menyala-nyala (neraka)? (QS. Luqman: 21)

Dalam ayat yang lain:
أَمْ لَهُمْ شُرَكَاء شَرَعُوا لَهُم مِّنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَن بِهِ اللَّهُ وَلَوْلَا كَلِمَةُ الْفَصْلِ لَقُضِيَ بَيْنَهُمْ وَإِنَّ الظَّالِمِينَ لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ أَمْ لَهُمْ شُرَكَاء شَرَعُوا لَهُم مِّنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَن بِهِ اللَّهُ وَلَوْلَا كَلِمَةُ الْفَصْلِ لَقُضِيَ بَيْنَهُمْ وَإِنَّ الظَّالِمِينَ لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah? Sekiranya tak ada ketetapan yang menentukan (dari Allah) tentulah mereka telah dibinasakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang zalim itu akan memperoleh azab yang amat pedih. (QS. Asy Syuura: 21)

Dalam kondisi mereka yang demikian maka merekapun kebanyakan terperangkap dalam jebakan fanatisme golongan yang membuat mereka merasa bahwa golongannyalah yang paling benar dan tidak mau menerima pendapat orang lain sekalipun apa yang dibawa oleh orang lain itu terdapat dalil-dalil yang akurat dan hujjah yang kuat baik itu dari Al Qur’an, As Sunnah maupun dari pemahaman salaful ummah ini (shahabat, tabi’in dan tabi’it tabi’in), serta ulama-ulama setelah mereka sampai saat ini yang mengikuti manhaj mereka dengan baik.


Karena itulah jika didatangkan kepada mereka apa-apa yang bertentangan dengan yang ada pada pemahaman golongan mereka, maka dengan serta merta mereka akan mengatakan: “Oh karena dia itu bermadzhab Syafi’i, oh karena dia itu bermadzhab Malikiy, oh karena dia itu aliran anu, oh karena dia itu orang NU, oh karena dia itu orang Muhammadiyyah, oh karena dia itu beraliran Wahhabiy”, dan perkataan-perkataan lainnya yang senada dengan itu.


Mereka tidak menyadari bahwa sikap mereka tersebut dikecam oleh Alloh –subhanahu wa ta’ala-, bahkan diancam dengan siksaan pedih di hari kiamat nanti.


Alloh –subhanahu wa ta’ala- berfirman:
وَمِنَ النَّاسِ مَن يَتَّخِذُ مِن دُونِ اللّهِ أَندَاداً يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ اللّهِ وَالَّذِينَ آمَنُواْ أَشَدُّ حُبّاً لِّلّهِ وَلَوْ يَرَى الَّذِينَ ظَلَمُواْ إِذْ يَرَوْنَ الْعَذَابَ أَنَّ الْقُوَّةَ لِلّهِ جَمِيعاً وَأَنَّ اللّهَ شَدِيدُ الْعَذَابِوَمِنَ النَّاسِ مَن يَتَّخِذُ مِن دُونِ اللّهِ أَندَاداً يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ اللّهِ وَالَّذِينَ آمَنُواْ أَشَدُّ حُبّاً لِّلّهِ وَلَوْ يَرَى الَّذِينَ ظَلَمُواْ إِذْ يَرَوْنَ الْعَذَابَ أَنَّ الْقُوَّةَ لِلّهِ جَمِيعاً وَأَنَّ اللّهَ شَدِيدُ الْعَذَابِ  إِذْ تَبَرَّأَ الَّذِينَ اتُّبِعُواْ مِنَ الَّذِينَ اتَّبَعُواْ وَرَأَوُاْ الْعَذَابَ وَتَقَطَّعَتْ بِهِمُ الأَسْبَابُإِذْ تَبَرَّأَ الَّذِينَ اتُّبِعُواْ مِنَ الَّذِينَ اتَّبَعُواْ وَرَأَوُاْ الْعَذَابَ وَتَقَطَّعَتْ بِهِمُ الأَسْبَابُ   وَقَالَ الَّذِينَ اتَّبَعُواْ لَوْ أَنَّ لَنَا كَرَّةً فَنَتَبَرَّأَ مِنْهُمْ كَمَا تَبَرَّؤُواْ مِنَّا كَذَلِكَ يُرِيهِمُ اللّهُ أَعْمَالَهُمْ حَسَرَاتٍ عَلَيْهِمْ وَمَا هُم بِخَارِجِينَ مِنَ النَّارِ وَقَالَ الَّذِينَ اتَّبَعُواْ لَوْ أَنَّ لَنَا كَرَّةً فَنَتَبَرَّأَ مِنْهُمْ كَمَا تَبَرَّؤُواْ مِنَّا كَذَلِكَ يُرِيهِمُ اللّهُ أَعْمَالَهُمْ حَسَرَاتٍ عَلَيْهِمْ وَمَا هُم بِخَارِجِينَ مِنَ النَّارِ
Dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah. Dan jika seandainya orang-orang yang berbuat zalim itu mengetahui ketika mereka melihat siksa (pada hari kiamat), bahwa kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya, dan bahwa Allah amat berat siksaan-Nya (niscaya mereka menyesal). (Yaitu) ketika orang-orang yang diikuti itu berlepas diri dari orang-orang yang mengikutinya, dan mereka melihat siksa; dan (ketika) segala hubungan antara mereka terputus sama sekali. Dan berkatalah orang-orang yang mengikuti: “Seandainya kami dapat kembali (ke dunia), pasti kami akan berlepas diri dari mereka, sebagaimana mereka berlepas diri dari kami.” Demikianlah Allah memperlihatkan kepada mereka amal perbuatannya menjadi sesalan bagi mereka; dan sekali-kali mereka tidak akan keluar dari api neraka. (QS. Al Baqarah: 165-167

Bahkan lebih dari itu Alloh –subhanahu wa ta’ala- katakan ketika menceritakan akibat bagi orang-orang kafir di hari kiamat yang disebabkan karena mereka hanya menuruti pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar mereka serta tidak mengindahkan Alloh dan RosulNya:
إِنَّ اللَّهَ لَعَنَ الْكَافِرِينَ وَأَعَدَّ لَهُمْ سَعِيراً إِنَّ اللَّهَ لَعَنَ الْكَافِرِينَ وَأَعَدَّ لَهُمْ سَعِيراً   خَالِدِينَ فِيهَا أَبَداً لَّا يَجِدُونَ وَلِيّاً وَلَا نَصِيراًخَالِدِينَ فِيهَا أَبَداً لَّا يَجِدُونَ وَلِيّاً وَلَا نَصِيراً   يَوْمَ تُقَلَّبُ وُجُوهُهُمْ فِي النَّارِ يَقُولُونَ يَا لَيْتَنَا أَطَعْنَا اللَّهَ وَأَطَعْنَا الرَّسُولَا يَوْمَ تُقَلَّبُ وُجُوهُهُمْ فِي النَّارِ يَقُولُونَ يَا لَيْتَنَا أَطَعْنَا اللَّهَ وَأَطَعْنَا الرَّسُولَا    وَقَالُوا رَبَّنَا إِنَّا أَطَعْنَا سَادَتَنَا وَكُبَرَاءنَا فَأَضَلُّونَا السَّبِيلَا وَقَالُوا رَبَّنَا إِنَّا أَطَعْنَا سَادَتَنَا وَكُبَرَاءنَا فَأَضَلُّونَا السَّبِيلَا    رَبَّنَا آتِهِمْ ضِعْفَيْنِ مِنَ الْعَذَابِ وَالْعَنْهُمْ لَعْناً كَبِيراً رَبَّنَا آتِهِمْ ضِعْفَيْنِ مِنَ الْعَذَابِ وَالْعَنْهُمْ لَعْناً كَبِيراً
Sesungguhnya Allah mela’nati orang-orang kafir dan menyediakan bagi mereka api yang menyala-nyala (neraka), mereka kekal di dalamnya selama-lamanya; mereka tidak memperoleh seorang pelindungpun dan tidak (pula) seorang penolong. Pada hari ketika muka mereka dibolak-balikan dalam neraka, mereka berkata: “Alangkah baiknya, andaikata kami ta’at kepada Allah dan ta’at (pula) kepada Rasul”. Dan mereka berkata.:”Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah menta’ati pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan (yang benar). Ya Tuhan kami, timpakanlah kepada mereka azab dua kali lipat dan kutuklah mereka dengan kutukan yang besar”. (QS. Al Ahzab: 64-68)

Itulah ayat-ayat yang menjelaskan bagaimana akibatnya orang-orang yang hanya mau fanatik terhadap golongan mereka saja, serta tidak mau merujuk kepada Al Qur’an dan As Sunnah sebagaimana yang difahami oleh salaful ummah ini (Shahabat, Tabi’in, dan Tabi’it Tabi’in), serta ulama-ulama setelah mereka sampai saat ini yang mengikuti manhaj mereka dengan baik. Dan masih banyak lagi ayat-ayat yang senada dengan itu.


Semua yang kami kemukakan di atas kebanyakan disebabkan oleh karena kebanyakan diantara kaum muslimin masih berkeyakinan akan adanya suatu istilah dalam agama yang dikenal dengan nama “Bid’ah hasanah”.


Oleh karena itu penerjemah sangat tertarik untuk menerjemahkan buku ini, yang didalamnya, dibahas secara tuntas mengenai bid’ah hasanah, ada atau tidaknya, apakah boleh diterima atau tidak, serta bantahan terhadap syubhat-syubhat yang berhubungan dengannya yang selalu dijadikan sebagai hujjah oleh kaum muslimin, baik itu dikalangan masyarakat awam, orang terpelajar, maupun dikalangan para ulama.


Semoga buku terjemahan ini dapat bermanfaat bagi diri saya dan bagi kaum muslimin terutama bagi saudara-saudariku yang masih kesulitan atau bagi yang tidak mampu sama sekali untuk mempelajari masalah ini dari kitab aslinya. Dan semoga buku ini dapat menjadi amal jariyah setelah penulis dan penerjemah kembali kehadirat Alloh –subhanahu wa ta’ala-.


Tak lupa kepada semua pihak yang telah membantu penerjemah dalam menyelesaikan terjemahan ini. Terutama kepada ustadzku yang أحبه فى الله Al Ustadz Muahmmad Yusran Anshar, Lc. yang telah meluangkan waktunya untuk mengedit naskah terjemahan ini, dan sebagai orang yang pertama kalinya memperkenalkan kepada penerjemah bagaimana sebenarnya hakekat bid’ah tersebut saya ucapkan jazakumullohu khairan, wal hamdulillahi rabbil ‘alamiin.


Makassar,
Penerjemah: Abu Hafsh Muhammad Tasyrif Asbi Al Ambony, S.Ag.

MUQADDIMAH
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ اتَّقُواْ اللّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنتُم مُّسْلِمُونَيَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ اتَّقُواْ اللّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنتُم مُّسْلِمُونَ
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُواْ رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُم مِّن نَّفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيراً وَنِسَاء وَاتَّقُواْ اللّهَ الَّذِي تَسَاءلُونَ بِهِ وَالأَرْحَامَ إِنَّ اللّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيباً يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُواْ رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُم مِّن نَّفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيراً وَنِسَاء وَاتَّقُواْ اللّهَ الَّذِي تَسَاءلُونَ بِهِ وَالأَرْحَامَ إِنَّ اللّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيباً
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلاً سَدِيداًيَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلاً سَدِيداً  يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَن يُطِعْ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزاً عَظِيماً يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَن يُطِعْ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزاً عَظِيماً

Amma ba’du:
Sesungguhnya perkataan yang paling benar adalah kitabullah dan petunjuk yang paling baik adalah petunjuk Muhammad –shallallohu ‘alaihi wa sallam- dan sejelek-jelek perkara adalah yang baru dalam agama dan setiap perkara yang baru dalam agama adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah kesesatan dan setiap kesesatan (tempatnya) di neraka.

Selanjutnya:
“Bahwa sesungguhnya di antara bencana yang paling besar yang melanda ummat Islam hari ini adalah bid’ah yang tersebar disepanjang dunia Islam. Sedikit sekali tempat yang sunyi dari bencana itu dan sedikit sekali orang yang selamat dari padanya. Perkara bid’ah merupakan suatu perkara besar, begitu pula bahayanya. Ia merupakan sarana yang mengantar kepada kekufuran. Pelakunya merupakan penentang Alloh dalam hokum dan patut untuk tidak mendapatkan taufiq dari Alloh untuk bertaubat (sulit sekali untuk bertaubat dibanding pelaku dosa selainnya).

Abdulloh bin Abbas رضي الله عنه berkata:
إن أبغض الأمور إلى الله البدع
“Sesungguhnya perkara yang paling dibenci oleh Alloh adalah bid’ah”.

Sufyan Ats Tsaury رحمه الله berkata:
البدعة أحب إلى إبليس من المعصية، المعصية يتاب منها و البدعة لا يتاب منها
“Bid’ah itu lebih disenangi oleh iblis daripada kemaksiatan, sebab kemaksiatan itu (pelakunya) akan  (mudah) bertaubat daripadanya sedangkan pelaku bid’ah itu sulit sekali untuk bertaubat dari bid’ahnya”.

[Yang demikian disebabkan karena si pelaku bid’ah meyakini bahwa apa yang ia lakukan itu merupakan suatu kebaikan dan ia menganggapnya sebagai suatu pendekatan diri kepada Alloh عز و جل, karena itu dia tidak berfikir untuk bertaubat, sebagaimana firman Alloh تعالى:
أَفَمَن زُيِّنَ لَهُ سُوءُ عَمَلِهِ فَرَآهُ حَسَناً أَفَمَن زُيِّنَ لَهُ سُوءُ عَمَلِهِ فَرَآهُ حَسَناً
Maka apakah orang yang dijadikan (syaitan) menganggap baik pekerjaannya yang buruk lalu dia meyakini pekerjaan itu baik, (sama dengan orang yang tidak ditipu oleh syaitan) ? (Faathir: 8)

Hal ini berbeda dengan pelaku maksiat yang melihat dirinya telah melakukan suatu pengurangan (dosa) atas dirinya dan (mengetahui bahwa) perbuatannya itu jelek. Sehingga jika ia dinasihati untuk bertaubat niscaya ada harapan untuk ia segera untuk bertaubat dalam waktu singkat.


Walaupun demikian baik pelaku bid’ah maupun pelaku maksiat, jika keduanya mau bertaubat dari perbuatannya, niscaya Alloh akan mengampuni mereka. Dan Alloh adalah Yang Maha Penerima Taubat. Alloh pasti akan menerima taubat hamba-hambaNya dan memaafkan perbuatan-perbuatan buruk mereka. Semoga Alloh senantiasa memberikan keselamatan dan ampunan serta taufiq dan hidayahNya kepada kita semua. Aamiin.]


Dan diantara sebab-sebab terpenting yang menyebabkan tersebar luasnya bid’ah di negeri-negeri kaum muslimin adalah keyakinan kebanyakan mereka bahwa bid’ah itu ada yang diperbolehkan dan dapat diterima, yakni sebuah kebohongan yang mereka namakan dengan “bid’ah hasanah”, sehingga hampir-hampir tak seorangpun yang kita debat dalam bentuk bid’ah apapun, melainkan pasti akan segera menjawab: “Ini adalah bid’ah hasanah”.


Orang yang didebat tersebut jelas mengakui bahwa hal yang dibelanya itu merupakan suatu bid’ah, namun ia berpendapat bahwa itu merupakan bid’ah hasanah (yang baik), bertolak dari keyakinannya bahwa bid’ah itu ada dua macam, yakni: ‘ada bid’ah sayyi-ah (yang buruk) dan ada bid’ah hasanah (yang baik)”.


Alasan inilah yang menyebabkan saya (penulis) berkeinginan untuk turut serta dalam menjelaskan (kepada ummat ini), bahwa sesungguhnya
semua bid’ah itu adalah kesesatan dan tidak ada satupun yang hasanah (baik).

Permasalahan ini adalah permasalahan yang telah diperbincangkan oleh para ulama terdahulu dan telah banyak ulama masa kini yang membuat tulisan berkaitan dengan persoalan ini dalam berbagai tulisan yang bagus dan bermanfaat, penulis sendiri banyak mengambil pelajaran dari tulisan-tulisan itu untuk menyusun penulisan ini, hanya saja penulis menginginkan agar supaya tulisan ini menjadi suatu tulisan yang jelas dan mudah (difahami), lengkap dan dekat dari kebenaran.


Dalam sebagian tulisan yang membahas masalah ini terdapat ulasan yang panjang dan bertele-tele sehingga menjadi sulit untuk difahami bagi para pelajar. Pada sebagian tulisan yang lain terdapat pembahasan yang terlalul singkat dan ringkas sehingga tidak mampu mencapai sasaran yang diinginkan.


Ketahuilah bahwasanya kebanyakan  tulisan-tulisan yang ada ini, hanyalah disusun sebagai lampiran dari pembahasan seputar masalah bid’ah dan hukum-hukumnya, bukan merupakan suatu tulisan independen yang membahas permasalahan ini secara khusus. Dan bagaimanapun juga, tentu orang yang lebih duluan (membahas masalah ini) memiliki kelebihan karena senioritas mereka dalam membahas persoalan ini.


Dengan senioritas membahas persoalan ini merekapun menggapai keutamaan, sehingga mereka patut mendapat pujianku atas segala kebajikannya. Alloh-lah yang mampu memberi segala karunia dan kenikamatan, untukku dan untuk mereka di Hari Kemudian. Semoga Alloh selalu mencurahkan puncak kenikamatan, kepadaku dan kepada mereka serta kepada seluruh orang-orang yang beriman.


PASAL
DALIL-DALIL BAHWA SETIAP BID’AH SESAT DAN TIDAK ADA BID’AH HASANAH

1.    Firman Alloh سبحانه و تعالى :

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإِسْلاَمَ دِيناً الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإِسْلاَمَ دِيناً

Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni’mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. (Al Maa-idah: 3)

Malik bin Anas رحمه الله berkata: “Barang siapa yang melakukan suatu bid’ah dalam Islam yang dia menganggap baik bid’ah tersebut, maka sungguh ia telah menuduh bahwa Muhammad صلى الله عليه و سلم telah mengkhianati risalah ini. Sebab Alloh berfirman: “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni’mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. (Al Maa-idah: 3)”


Oleh sebab itu apa saja yang bukan merupakan agama pada hari itu, maka ia bukan termasuk agama pula pada hari ini” [Al I’tisham oleh Asy Syathibiy, 1/64]

Asy Syaukaniy berkata: “Maka jika Alloh telah menyempurnakan agamaNya sebelum NabiNya صلى الله عليه و سلم wafat, maka apa artinya pendapat bid’ah yang dibuat-buat oleh kalangan ahli bid’ah tesebut!?? Kalau memang hal tersebut merupakan agama menurut keyakinan mereka, maka berarti mereka telah beranggapan bahwa agama ini belum sempurna kecuali dengan tambahan pemikiran mereka, dan itu berarti pembangkangan terhadap Al Qur’an. Kemudian jika pemikiran mereka tersebut tidak termasuk dalam agama, maka apa manfaatnya mereka menyibukkan diri mereka dengan sesuatu yang bukan dari agama ini.”!?

Ini merupakan hujjah yang kokoh dan dalil yang agung yang selamanya tidak mungkin dapat dibantah oleh pemilik pemikiran tersebut. Dengan alasan itulah, hendaknya kita menjadikan ayat yang mulia ini sebagai langkah awal untuk menampar wajah-wajah ahli logika, membungkam mereka serta mematahkan hujjah-hujjah mereka.” [Al Qaulul Mufid Fii Adillatil Ijtihaad Wattaqliid, hal. 38, Merupakan bagian dari Risalah Assalafiyyah, Cet: Daar Al Kutub Al ‘Ilmiyyah.]


2.    Hadits dari Jabir bin Abdullah رضي الله عنه bahwasanya Rosululloh صلى الله عليه و سلم sering mengatakan dalam khutbahnya:

أما بعد فإن خير الحديث كتاب الله و خير الهدى هدى محمد و شر الأمور محدثاته و كل بدعة ضلالة

“Amma ba’du, sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah firman Alloh dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad صلى الله عليه و سلم dan seburuk-buruk perkara adalah yang dibuat-buat dan setiap bid’ah itu sesat”. [Hadits ini ditakhrij oleh Muslim, no. 867]

3.    Dari ‘Irbadh bin Saariyah رضي الله عنه ia berkata:

وعظنا رسول الله صلى الله عليه وسلم موعظة وجلت منها القلوب وذرفت منها العيون , فقلنا يل رسول الله كأنها موعظة مودعٍ فأوصنا , قال – أوصيكم بتقوى الله عزوجل , والسمع والطاعة وإن تأمر عليك عبد , فإنه من يعش منكم فسيرى اختلافاً كثيراً . فعليكم بسنتي وسنة الخلفاء الراشدين المهدين عضوا عليها بالنواجذ , وإياكم ومحدثات الأمور فإن كل بدعة ضلالةوعظنا رسول الله صلى الله عليه وسلم موعظة وجلت منها القلوب وذرفت منها العيون , فقلنا يل رسول الله كأنها موعظة مودعٍ فأوصنا , قال – أوصيكم بتقوى الله عزوجل , والسمع والطاعة وإن تأمر عليك عبد , فإنه من يعش منكم فسيرى اختلافاً كثيراً . فعليكم بسنتي وسنة الخلفاء الراشدين المهدين عضوا عليها بالنواجذ , وإياكم ومحدثات الأمور فإن كل بدعة ضلالة

Rasulullah telah memberi nasehat kepada kami dengan satu nasehat yang menggetarkan hati dan membuat airmata bercucuran”. kami bertanya ,”Wahai Rasulullah, nasihat itu seakan-akan nasihat dari orang yang akan berpisah selamanya (meninggal), maka berilah kami wasiat” Rasulullah bersabda, “Saya memberi wasiat kepadamu agar tetap bertaqwa kepada Alloh yang Maha Tinggi lagi Maha Mulia, tetap mendengar dan ta’at walaupun yang memerintahmu seorang hamba sahaya (budak). Sesungguhnya barangsiapa diantara kalian masih hidup niscaya bakal menyaksikan banyak perselisihan. karena itu berpegang teguhlah kepada sunnahku dan sunnah Khulafaur Rasyidin yang lurus (mendapat petunjuk) dan gigitlah dengan gigi geraham kalian. Dan jauhilah olehmu hal-hal baru karena sesungguhnya semua bid’ah itu sesat.” [Hadits ini dikeluarkan oleh Ahmad (4/126), Abu Dawud, no. 4607, At Tirmidziy, no. 2676 dan beliau mengatakan (hadits ini) hasan shahih, dan Ibnu Majah, no.44, Ad Darimiy, (1/44-45). Al Bazzaar berkata: Hadits ini Tsaabit Shahiih. Ibnu Abdil Barr berkata: (derajat) hadits ini seperti yang dikatakan oleh al Bazzaar, Jaami’u Bayaanil ‘Ilmi, hal. 549.]

Berkata Ibnu Rajab: “Perkataan beliau صلى الله عليه و سلم : “كل بدعة ضلالة” –setiap bid’ah itu adalah kesesatan- merupakan jawami’ul kalim (satu kalimat yang ringkas namun mempunyai arti yang sangat luas
-pent) yang meliputi segala sesuatu, kalimat itu merupakan salah satu dari pokok-pokok ajaran agama yang agung” [Jami’ul ‘ulum wal hikam, hal. 28)

Berkata Ibnu Hajar: “Perkataan beliau صلى الله عليه و سلم : “كل بدعة ضلالة” –setiap bid’ah itu adalah kesesatan-, merupakan suatu kaidah agama yang menyeluruh, baik itu secara tersurat maupun tersirat. Adapun secara tersurat, maka seakan-akan beliau bersabda: “Hal ini bid’ah hukumnya dan setiap bid’ah itu adalah kesesatan”, sehingga ia tidak termasuk bagian dari agama ini, sebab agama ini seluruhnya merupakan petunjuk. Oleh karena itu maka apabila telah terbukti bahwa suatu hal tertentu hukumnya bid’ah, maka berlakulah dua dasar hukum itu (setiap bid’ah sesat dan setiap kesesatan bukan dari agama), sehingga kesimpulannya adalah tertolak.”. [Fathul Baariy, (13/254)


Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin berkata: “Sesungguhnya perkataan beliau صلى الله عليه و سلم : “كل بدعة” –setiap bid’ah-,  merupakan ungkapan yang bersifat umum dan menyeluruh, karena diperkokoh dengan kata yang menunjukkan makna menyeluruh dan umum yang paling kuat, yakni kata كل (setiap)” [Al Ibdaa’ Fii Kamaalisy Syari’i Wa Khatarul Ibdaa’, hal. 13]


Beliau berkata pula: “ Maka setiap apa saja yang diklaim sebagai bid’ah hasanah, maka hendaklah dijawab dengan dalil ini. Dan atas dasar inilah, maka tak ada sedikitpun peluang bagi ahlul bid’ah untuk menjadikan bid’ah mereka itu sebagai bid’ah hasanah. Karena ditangan kita terhunus pedang pamungkas yang berasal dari Rosululloh صلى الله عليه و سلم, yakni kalimat “كل بدعة ضلالة” –setiap bid’ah itu adalah kesesatan-“.


Sesungguhnya pedang pamungkas ini dibuat dalam
“industri kenabian dan kerasulan”, bukan hasil ciptaan berbagai rumah produksi yang penuh kegoncangan, ia merupakan produk kenabian yang diciptakan secara optimal. Karena itulah tidak mungkin orang yang memiliki pedang pamungkas seperti ini akan mampu dihadapi oleh siapapun dengan suatu bid’ah yang dianggapnya sebagai bid’ah hasanah, padahal Rosululloh صلى الله عليه و سلم telah mengatakan: “كل بدعة ضلالة” –setiap bid’ah itu adalah kesesatan-. [Al Ibdaa’ Fii Kamaalisy Syari’i Wa Khatarul Ibdaa’]

4.    Dari ‘Aisyah رضي الله عنها berkata: Rosululloh صلى الله عليه و سلم bersabda:

من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد

Barangsiapa yang mengada-adakan sesuatu dalam urusan agama kami ini yang bukan dari kami, maka dia tertolak (Muttafaqun ‘Alaihi)

Asy Syaukaniy berkata: “Hadits ini merupakan salah satu dari kaidah-kaidah agama, sebab hadits ini mendasari hukum-hukum yang tiada terbatas. Dan betapa tegas hadits ini dan betapa jelas indikasinya terhadap kebathilan para fuqaha’ yang membagi bid’ah menjadi beberapa macam serta hanya menolak sebagian bid’ah saja tanpa ada dalil yang mengkhususkannya baik dalil aqly maupun dalil naqly”.


5.    Dari Abdullah bin ‘Ukaim bahwasanya ‘Umar رضي الله عنه berkata:

إن أصدق القيل قيل الله و إن أصدق الهدى هدى محمد و إن شر الأمور محدثاتها، ألا و إن كل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة و كل ضلالة فى النار

Sesungguhnya perkataan yang paling benar adalah firman Alloh dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad صلى الله عليه و سلم dan sesungguhnya seburuk-buruk perkara adalah perkara-perkara yang dibuat-buat (dalam agama). Ketahuilah bahwa sesungguhnya setiap perkara yang dibuat-buat (dalam agama) itu adalah bid’ah dan setiap bid’ah itu adalah kesesatan dan setiap kesesatan itu (tempatnya dineraka). [Dikeluarkan oleh Ibnul Wudhah dalam al Bida’, hal. 31 dan al Laalikaa’iy, hadits no. 100 (1/84)
6.    Abdullah bin Mas’ud رضي الله عنه berkata:

إتبعو و لا تبتدعوا فقد كفيتم و كل بدعة ضلالة

“Ber-ittiba’lah kamu kepada Rosululloh dan janganlah ber-ibtida’ (mengada-ada tanpa dalil), karena sesungguhnya agama ini telah dijadikan cukup buat kalian, dan setiap bid’ah itu adalah kesesatan” [Dikeluarkan oleh Ibnu Baththah dalam Al Ibaanah, no. 175 (1/327-328) dan Al Laalikaa’iy, no. 104 (1/86)

7.    Abdullah bin ‘Umar رضي الله عنهما berkata:

كل بدعة ضلالة و إن رأها الناس حسنة

“Setiap bid’ah itu adalah kesesatan, sekalipun manusia menganggapnya hasanah (baik)” [Al Ibaanah, no. 205 (1/339) Al Laalikaa’iy, no. 126 (1/92)

PASAL
SYUBHAT-SYUBHAT ORANG YANG MENGAKUI ADANYA BID’AH HASANAH BESERTA BANTAHANNYA
SYUBHAT PERTAMA:

Pemahaman mereka terhadap hadits:

من سن في الإسلام سنة حسنة فله أجرها و أجر من عمل بها بعده من غير أن ينقص من أجورهم شيئ و من سن في الإسلام سنة سيئة كان عليه وزرها و وزر من عمل بها من بعده من غير أن ينقص من أوزارهم شيئ

“Barangsiapa yang melakukan suatu perbuatan yang hasanah (baik) dalam Islam maka baginya pahala dari perbuatannya itu dan pahala dari orang yang melakukannya sesudahnya tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun. Dan barangsiapa yang melakukan suatu perbuatan yang sayyi-ah (buruk), maka baginya dosanya dan dosa dari orang yang melakukannya sesudahnya, tanpa mengurangi dosa mereka sedikitpun.” [Ditakhrij oleh Muslim, no. 1017] 

BANTAHAN:

Pertama: Bahwasanya makna من سن, adalah “barangsiapa yang melakukan suatu amalan sebagai penerapan dari ajaran syari’at yang ada, bukan orang yang melakukan suatu amalan sebagai penetapan suatu syari’at yang baru”. Karena itu maka yang dimaksud oleh hadits tersebut adalah beramal sesuai ajaran sunnah nabawiyyah yang ada.

Yang menunjukkan hal ini adalah
faktor penyebab disabdakannnya hadits itu, yakni sedekah yang disyari’atkan. [Sebab disebutkannya hadits tersebut adalah sebagai berikut: Dari Jabir bin Abdullah رضي الله عنه berkata: Rasulullah صلى الله عليه و سلم pernah berkhutbah kepada kami, lalu beliau memberi semangat kepada manusia untuk bersedekah, akan tetapi mereka berlambat-lambat untuk bersedekah sampai-sampai nampak kemarahan diwajah beliau kemudian datanglah seorang Anshar dengan sekantong (sedekah) lalu orang-orang (bersedekah) mengikutinya sehingga nampak keceriaan diwajah beliau, maka beliaupun bersabda: “Barang siapa…. dst.”. Lafazh hadits ini dari riwayat Ad Daarimiy, no. 514 (1/141) dan dalam riwayat Muslim lebih panjang dari ini.]

Kedua:
Bahwasanya orang yang mengatakan من سن في الإسلام سنة حسنة beliau juga yang mengatakan كل بدعة ضلالة. Tidak mungkin akan muncul dari mulut orang yang benar lagi dipercaya suatu perkataan yang mendustakan perkataan yang lain dari beliau sendiri, dan selamanya tidak mungkin perkataan Rasulullah صلى الله عليه و سلم saling bertentangan”. [Al Ibdaa’ Fii Kamaalisy Syar’I Wa Khatharil Ibtidaa’ oleh Ibnu ‘Utsaimin, hal. 19.]

Oleh karena itu kita tidak dibenarkan mengamalkan suatu hadits lalu berpaling dari hadits yang lain, sebab hal yang demikian merupakan ciri orang-orang yang beriman terhadap sebagian Al Kitab dan mengingkari sebagian yang lain.


Ketiga:
Bahwasanya Nabi صلى الله عليه و سلم mengatakan من سن (barangsiapa yang menerapkan sunnah pertama kali) dan beliau tidak mengatakan من إبتدع (barangsiapa yang mengadakan suatu agama yang baru dalam agama), dan beliau mengatakan في الإسلام (dalam Islam), sedangkan bid’ah itu bukan dari Islam. Beliau mengatakan حسنة (yang baik) sedangkan bid’ah bukan merupakan sesuatu yang baik. [Al Ibdaa’ Fii Kamaalisy Syar’I Wa Khatharil Ibtidaa’ oleh Ibnu ‘Utsaimin, hal. 20.]

Dan jelas sekali perbedaan antara Sunnah dan Bid’ah, sebab sunnah merupakan suatu jalan yang diikuti, sedangkan bid’ah itu merupakan suatu yang dibuat-buat dalam agama.


Keempat:
Tidak pernah dinukilkan dari seorangpun dari ulama salaf yang menafsirkan kata سنة حسنة dengan arti bid’ah yang diada-adakan oleh manusia dari diri mereka sendiri.

Kelima:
Bahwasanya makan من سن adalah: “Barangsiapa yang menghidupkan suatu sunnah yang pernah ada kemudian hilang lalu dihidupkan kembali”. Oleh karena itu maka jadilah kata “Sunnah” itu disandarkan kepada orang yang menghidupkan sunnah tersebut setelah sunnah ditinggalkan orang.
Dalilnya adalah hadits:

من أحيا سنة من سنتي فعمل بها الناس كان له مثل أجر من عمل مها لا ينقص من أجورهم شيْا و من ابتدع بدعة فعمل بها كان عليه أوزار من عمل بها لا ينقص من أوزار من عمل بها شيئا

“Barangsiapa menghidupkan salah satu sunnahku lalu orang-orang ikut mengamalkannya, maka ia mendapatkan pahala dari orang yang ikut mengamalkannya tanpa mengurangi pahala-pahala mereka sedikitpun. Dan barang siapa yang mengadakan suatu bid’ah lalu mengamalkannya, maka ia akan mendapatkan dosa dari orang yang ikut melakukannya, tanpa mengurangi dosa-dosa mereka sedikitpun.” [Sunan Ibnu Maajah, no. 209 dan dishahihkan oleh Al Albaniy.]

Keenam:
Bahwasanya perkataan beliau من سن سنة حسنة dan و من سن سنة سيئة tidak mungkin kita tafsirkan “menciptakan suatu yang baru”, sebab keberadaannya sebagai suatu yang baik atau buruk itu tidak mungkin diketahui kecuali melalui syari’at agama. Karena itulah maka yang dimaksud dengan sunnah dalam hadits tersebut haruslah baik menurut syara’ atau sebaliknya buruk menurut syara’. Maka pengertian itu hanya berlaku bagi bentuk sedekah yang telah disebutkan, adapun sedekah yang serupa dengannya merupakan bagian dari sunnah-sunnah yang telah disyari’atkan, sehingga tinggallah kedudukan “sunnah sayyi-ah (yang buruk)” itu ditafsirkan sebagai perbuatan maksiat yang keberadaannya menurut syara’ jelas-jelas maksiat, seperti membunuh, sebagaimana yang diperingatkan (oleh Nabi صلى الله عليه و سلم kepada kita-pent) dalam hadits mengenai Anak Adam, dimana beliau bersabda:

لأنه أول من سن القتل

“Sebab dialah yang pertama-tama melakukan sunnah membunuh” [Lihat Al I’tishaam, oleh Asy Syaathibiy, (1/236).]

Begitu pula bid’ah itu (dikatakan  sebagai suatu hal yang buruk
–pent.), sebab telah ada celaan dan larangan terhadapnya dari syara’. [Dikeluarkan oleh Al Bukhari, no. 2010]


SYUBHAT KEDUA:

Pemahaman mereka terhadap perkataan Umar bin Khaththab رضي الله عنه:

نعم البدعة هٰذه

“Inilah sebaik-baik bid’ah” [I’laamul Muwaqqi’iin, (2/282)] 

BANTAHAN:


Pertama:
Jika kita menerima, bahwa yang dimaksud oleh perkataan Umar رضي الله عنه adalah sebagaimana yang mereka inginkan dalam menganggap baik perbuatan bid’ah –sekalipun hal ini tidak bisa diterima- maka sesungguhnya tidak dibenarkan mengkonfrontasikan sabda Rasulullah صلى الله عليه و سلم dengan perkataan seorangpun dari manusia, siapapun dia, baik itu perkataan Abu Bakar رضي الله عنه sebagai orang terbaik diantara ummat sesudah nabiNya, dan tidak pula perkataan Umar رضي الله عنه, sebagai orang terbaik kedua pada ummat ini setelah Nabi Muhammad صلى الله عليه و سلم, juga tidak bisa dikonfrontasikan dengan ucapan siapapun.

Abdullah bin Abbas رضي الله عنهما berkata:

يوشك أن تتنزّل عليكم حجارة من السّماء أقول: قال رسول الله صلى الله عليه و سلم و تقولون قال أبو بكر و عمر

“Hampir-hampir batu-batu berjatuhan dari langit menimpa kalian, aku katakan ‘bersabda Rasulullah صلى الله عليه و سلم’ kalian justru mengatakan ‘berkata Abu Bakar dan Umar’.

Berkata Umar bin Abdul Aziz رحمه الله:

لا رأى لأحد مع سنّة سنّها رسول الله صلى الله عليه و سلم

“Tidaklah diterima pendapat seseorang jika telah ada suatu sunnah yang ditetapkan oleh Rasulullah صلى الله عليه و سلم.” [I’laamul Muwaqqi’iin]

Berkata Imam Asy Syafi’I رحمه الله:

اجمع المسلمون على أنّ من استبان له سنّة رسول الله صلى الله عليه و سلم لم يحلّ لها أن يدعها لقول أحد

“Telah sepakat (ulama) kaum muslimin bahwa barangsiapa yang telah jelas baginya sunnah Rosululloh صلى الله عليه و سلم, maka tidak halal baginya untuk meninggalkan sunnah tersebut hanya karena ada perkataan orang lain.” [Thabaqaatul Hanaabilah, (2/15) dan Al Ibaanah, (1/260)]

Berkata Imam Ahmad bin Hanbal رحمه الله:

من ردّ حديث النبيّ صلى الله عليه و سلم فهو على شفا هلكة

“Barangsiapa yang menolak hadits Nabi صلى الله عليه و سلم maka berarti dia telah berada dipinggir jurang kehancuran” [Ditakhrij oleh Al Bukhari, no. 1129] 

Kedua:
Bahwasanya ‘Umar رضي الله عنه mengeluarkan perkataan tersebut ketika beliau mengumpulkan orang-orang untuk shalat tarawih, dan shalat tarawih itu, bukanlah suatu bid’ah bahkan merupakan sunnah. Dalilnya adalah riwayat dari ‘Aisyah رضي الله عنها bahwasanya Rasulullah صلى الله عليه و سلم shalat dimasjid, lalu orang-orang mengikuti beliau, kemudian beliau shalat pada malam berikutnya maka banyak orang mengikuti beliau, kemudian mereka berkumpul pada malam ke-3 atau ke-4 tapi Rasulullah صلى الله عليه و سلم tidak keluar untuk shalat bersama mereka. Tatkala datang waktu pagi, beliau bersabda:

قد رأيت الذي صنعتم و لم يمنعني من الخروج ج إليكم إلا أني خشيت أن تفرض عليكم

“Sungguh aku telah melihat apa yang kalian perbuat (tadi malam), dan tidak ada yang menghalangiku untuk keluar kepada kalian melainkan karena aku khawatir jangan sampai ia akan diwajibkan kepada kalian”. Dan hal ini terjadi pada bulan Ramadhan (kata ‘Aisyah). [Al I’tisham, (1/250)]

Rasululllah صلى الله عليه و سلم telah menjelaskan sebab-sebab beliau meninggalkan jama’ah dalam shalat tarawih waktu itu. Tatkala ‘Umar رضي الله عنه melihat bahwa sebab-sebab yang menghalangi jama’ah tarawih itu sudah tiada, maka beliaupun melakukan kembali shalat tarawih secara berjama’ah. Dengan demikian maka apa yang dilakukan oleh ‘Umar رضي الله عنه itu ada asalnya dari perbuatan Rasulullah صلى الله عليه و سلم.


Ketiga:
Apabila telah terbukti bahwa apa yang dilakukan oleh ‘Umar رضي الله عنه itu bukanlah merupakan suatu bid’ah, lalu apa yang dimaksudkan dengan bid’ah dalam ucapan beliau tersebut?

Sesungguhnya kata bid’ah dalam ucapan beliau tersebut maksudnya adalah
bid’ah dalam pengertian bahasa bukan makna menurut syara’ (agama).

Bid’ah menurut bahasa adalah ما فعل على غير مثل سابق (apa saja yang dilakukan yang tidak ada contoh sebelumnya). Maka tatkala shalat (tarawih) tersebut tidak dilakukan pada masa Abu Bakar رضي الله عنه dan pada awal masa kekhalifahan ‘Umar رضي الله عنه, berarti bahwa ia merupakan suatu bid’ah
menurut tinjauan bahasa, yakni tidak ada contoh sebelumnya. Adapun menurut tinjauan syara’ (agama) tidaklah demikian, sebab perbuatan itu mempunyai dasar dari Rasulullah صلى الله عليه و سلم.

Berkata Asy Syathibiy: “Maka barangsiapa yang menamakannya sebagai “Bid’ah” dalam pengertian semacam itu, maka tidak ada perbedaan pendapat dalam segi penamaan (Istilah). Dan dengan demikian tidak boleh berdalil (dengan pengertian dari segi bahasa tersebut) untuk memperbolehkan melakukan perbuatan bid’ah, sebab hal tersebut merupakan salah satu dari bentuk pemutarbalikan fakta dari yang sebenarnya”. [Iqtidhaa-us Shiraathil Mustaqiim hal. 276]


Berikut ini akan kami nukilkan perkataan beberapa Imam sebagai bukti atas apa yang telah kami sebutkan:


1.    Ibnu Taimiyyah رحمه الله berkata: “Paling jauh dalam hal bahwa Umar menyebutkan sebagai bid’ah yang dianggap baik, namun merupakan penamaan menurut tinjauan bahasa saja, bukan menurut syara’. Karena bid’ah dalam pengertian bahasa meliputi segala apa yang dikerjakan pertama kali tanpa mempunyai contoh sebelumnya. Adapun bid’ah menurut syara’ adalah segala sesuatu yang tidak ada dalilnya dalam syara’. [Tafsiiru Ibni Katsiir, terhadap surat Al Baqarah ayat 117]


2.    Ibnu Katsiir رحمه الله berkata: “Bid’ah itu ada dua macam:
i.      Terkadang bid’ah tersebut adalah bid’ah menurut syara’, seperti sabda beliau صلى الله عليه و سلم:

فإن كل محدثة بدعة و كل بدعة ضلالة

“Karena sesungguhnya setiap perkara yang dibuat-buat (dalam agama) itu adalah bid’ah dan setiap bid’ah itu sesat”.

ii.     Terkadang bid’ah tersebut adalah bid’ah menurut bahasa, sebagaimana Amirul Mu’minin Umar bin Al Khaththab رضي الله عنه mengenai perbuatannya ketika mengumpulkan orang-orang untuk shalat tarawih dan secara terus-menerus: “inilah sebaik-baik bid’ah” [Jamii’ul ‘Ulum wal Hikam, no. 28 dengan sedikit perubahan.

3.    Ibnu Rajab berkata: “Adapun apa yang terdapat pada perkataan ulama salaf mengenai adanya anggapan baik terhadap sebagian bid’ah maka yang dimaksud adalah bid’ah maknawiyyah (bid’ah menurut bahasa) bukan syar’iyyah (menurut agama). Diantaranya adalah perkataan Umar رضي الله عنه: “Inilah sebaik-baik bid’ah.”

Maksudnya adalah bahwa perbuatan tersebut belum ada dengan cara demikian pada saat itu, namun sebelumnya ia mempunyai asal dari syari’at yang dijadikan rujukan. [Tafsiirul Manaar (9/660) melalui Ilmu Ushulul Bida’ oleh Ali Hasan, hal. 95]


4.    Muhammad Rasyid Ridha berkata: “Sesungguhnya kata bid’ah itu digunakan dalam dua makna:
i.    Penggunaan secara bahasa: maknanya adalah sesuatu yang baru yang belum ada contoh sebelumnya. Menurut makna ini, maka benarlah perkataan mereka yang menyatakan bahwa bid’ah itu bisa dihukumi dengan lima hukum syari’at (wajib, sunnah, dsb.)

Diantaranya adalah perkataan Umar رضي الله عنه saat mengumpulkan orang-orang untuk bermakmum kepada satu imam dalam shalat tarawih: “Inilah sebaik-baik bid’ah”.


ii.    Dalam pengertian Syar’i (Agama). Maknanya adalah: segala sesuatu dari urusan agama yang belum pernah diajarkan oleh Nabi صلى الله عليه و سلم pada masa beliau, seperti dalam masalah-masalah ‘Aqidah, Ibadah, dan pengharaman sesuatu secara syar’i. Inilah yang terdapat dalam hadits: فإن كل محدثة بدعة و كل بدعة ضلالة

Dan bid’ah menurut syara’ ini yang ada hanyalah kesesatan belaka, sebab Alloh تعالى telah menyempurnakan agamaNya dan telah mencukupkan dengan agama tersebut nikmatNya terhadap makhlukNya. Maka tak seorangpun setelah Nabi صلى الله عليه و سلم yang berhak menambah-nambah sesuatu terhadap agama ini, baik terhadap masalah aqidah, ibadah, maupun syi’ar-syi’ar agama. Begitu pula tidak boleh mengurangi sesuatupun dari agama ini maupun merubah tatacaranya, seperti mengubah-ubah shalat jahriyyah (yang dikeraskan suara didalamnya) menjadi sirriyyah (yang tidak dikeraskan suara didalamnya) atau sebaliknya. Demikian pula tidak boleh mengubah ibadah yang bersifat mutlak (umum) menjadi sesuatu yang dibatasi dengan waktu atau tempat terentu, atau mesti dilakukan secara kolektif atau perorangan tanpa ada dasarnya dari agama. [Ditakhrij oleh Ahmad dalam Al Musnad, (1/379).

SYUBHAT KETIGA:

Pemahaman mereka terhadap atsar:

ما رءاه المسلمون حسنا فهو عند الله حسن

“Apa saja yang dipandang baik menurut kaum muslimin, maka baik pula menurut pandangan Alloh”

BANTAHAN:


Pertama:
Bahwasanya tidak benar kalau atsar tersebut marfu’ sampai kepada Nabi صلى الله عليه و سلم, itu hanyalah perkataan Abdullah bin Mas’ud رضي الله عنه yang mauquf dari Ibnu Mas’ud saja.

Ibnul Qayyim berkata: “Sesungguhnya atsar ini bukanlah dari sabda Rasulullah صلى الله عليه و سلم, hanya orang-orang yang tidak memiliki ilmu pengetahuan tentang ilmu hadits sajalah yang menyandarkan perkataan tersebut kepada beliau صلى الله عليه و سلم. Atsar itu hanya merupakan perkataan Ibnu Mas’ud” [Al Furuusiyyah, oleh Ibnul Qayyim, hal. 167]


Berkata Ibnu ‘Abdil Hadiy: “Perkataan tersebut diriwayatkan secara marfu’ dari Anas dengan sanad yang sangat lemah sakali, dan yang benar adalah bahwa atsar tersebut hanya mauquf sampai pada Ibnu Mas’ud.” [Kasyful Khafaa’ oleh Al ‘Ajaluuny, (2/245)]


Az Zaila’iy berkata: “Atsar tersebut gharib marfu’, dan saya belum mendapatkan jalur riwayat kecuali secara mauquf dari Ibnu Mas’ud”. [Nashbur Raayah, (4/133)]


Berkata Al Albaniy: “Ia tidak punya dasar riwayat secara marfu’, riwayat itu hanyalah mauquf kepada Ibnu Mas’ud”. [As Silsilah Adh Dha’iifah, no. 533 (2/17)]


Saya katakan: Dan sebelum ini telah diperingatkan bahwa tidak boleh sabda Rasulullah صلى الله عليه و سلم dikonfrontasikan dengan perkataan seorang manusiapun, siapapun orangnya.


Kedua:
Bahwasanay huruf “ال” pada perkataan “المسلمون” berfungsi sebagai Al ‘Ahd (yang harus dikembalikan kepada sosok yang jelas), dan dalam hal ini kembali kepada para Shahabat sendiri, merekalah yang dimaksud oleh atsar tersebut sebagai “المسلمون” (kaum muslimin), sebagaimana yang bisa difahami dari alur kalimat atsar tersebut, yang berbunyi:

إن الله نظر في قلوب العباد فوجد قلب محمد صلى الله عليه وسلم خير قلوب العباد فاصطفاه لنفسه فابتعثه برسالته ثم نظر في قلوب العباد بعد قلب محمد فوجد قلوب أصحابه خير قلوب العباد فجعلهم وزراء نبيه يقاتلون على دينه فما رأى المسلمون حسنا فهو عند الله حسن وما رأوا سيئا فهو عند الله سيءإن الله نظر في قلوب العباد فوجد قلب محمد صلى الله عليه وسلم خير قلوب العباد فاصطفاه لنفسه فابتعثه برسالته ثم نظر في قلوب العباد بعد قلب محمد فوجد قلوب أصحابه خير قلوب العباد فجعلهم وزراء نبيه يقاتلون على دينه فما رأى المسلمون حسنا فهو عند الله حسن وما رأوا سيئا فهو عند الله سيء

“Sesungguhnya Alloh memandang hati para hambaNya lalu Dia dapati hati Muhammad صلى الله عليه و سلم sebagai hati yang terbaik dari para hambaNya lalu beliau dipilihNya dan diutuslah beliau sebagai RasulNya. Kemudian Alloh melihat hati hamba-hambaNya setelah hati Muhammad صلى الله عليه و سلم lalu Alloh dapati hati para Shahabat sebagai hati yang terbaik, maka mereka dijadikan sebagai menteri-menteri NabiNya. Mereka berperang dan berjuang diatas agamaNya. Maka apa saja yang dipandang baik menurut kaum muslimin (para shahabat tersebut) maka baik pula menurut Alloh, dan apa saja yang buruk menurut mereka maka buruk pula menurut Alloh”

Dalam riwayat lain ada tambahan:

و قد رءاى الصحابة جميعا أن يستخلفوا أبا بكر

“Dan seluruh Shahabat telah bersatu pendapat untuk mengangkat Abu Bakar sebagai Khalifah”.

Dengan demikian maka jelaslah bahwa yang dimaksud dengan
“kaum muslimin” dalam atsar tersebut adalah para shahabat. 

Dan diantara dalil yang menunjukkan hal tersebut adalah bahwa para imam pengarang kitab-kitab hadits memuat hadits (atsar tersebut) pada “Kitabus Shahabah”, sebagaimana yang dilakukan oleh  Al Hakim dalam kitab beliau “Al Mustadrak”. [Al Mustadrak (3/78)]. Beliau telah memuat atsar tersebut dalam kitab “Ma’rifatus Shahaabah”, dan beliau tidak mencantumkan redaksi awalnya akan tetapi beliau memulai dari potongan atsar yang artinya : “Maka apa saja yang dipandang baik… dst.”

Ini menunjukkan bahwasanya Abu Adillah Al Hakim رحمه الله memahami bahwa yang dimaksud dengan “kaum muslimin” pada atsar tersebut adalah para shahabat.


Kalau memang demikian, maka telah diketahui secara pasti bahwa para shahabat seluruhnya telah bersepakat mencela dan memandang buruk setiap “bid’ah”. Dan tidak pernah diriwayatkan dari salah seorangpun dari mereka yang menganggap baik salah satu dari bid’ah tersebut.


Ketiga:
Berdasarkan perkataan bahwa huruf ال disini bukan Alif Lam al’ahd yakni kembali kepada sosok tertentu, akan berfungsi sebagai ‘istighraq’, yakni meliputi keseluruhan kaum muslimin, maka yang dimaksudkan adalah ijma’ (para ulama), dan ijma’ itu adalah hujjah.

Al ‘Izz bin Abdus Salam berkata: ‘Jika hadits tersebut shahih, maka yang dimaksudkan dengan kata “المسلمون” tersebut adalah ahlul ijma’. Wallohu a’lam. [Fatawa Al ‘izz bin Abdis Salaam, hal. 42 no. 39]


Disini kami ajukan pertanyaan kepada orang yang berdalil dengan atsar tersebut bahwa ada yang dinamakan “bid’ah hasanah”:
“Apakah anda dapat mendatangkan suatu bid’ah yang disepakati oleh kaum muslimin bahwa ia adalah bid’ah hasanah?”

Itu merupakan kemustahilan tanpa diragukan lagi, sebab tidak ada satupun bid’ah yang telah disepakati oleh kaum muslimin bahwa ia adalah bid’ah hasanah, bahkan ijma’ kaum muslimin pada generasi awal menegaskan bahwa setiap bid’ah itu adalah sesat, pendapat itu masih tetap demikian hingga saat ini. Walhamdu lillah.


Keempat:
Bagaimana mereka berdalil dengan perkataan shahabat yang mulia ini tentang adanya suatu bid’ah hasanah padahal beliau adalah salah seorang diantara para shahabat yang paling tegas melarang dan memperingatkan tentang bid’ah.

Pada pembahasan sebelumnya telah kami nukilkan dari beliau ucapan beliau yang berbunyi:

إتبعوا و لا تبتدعوا فقد كفيتم و كل بدعة ضلالة

Ber-ittiba’lah kamu kepada Rasulullah صلّى الله عليه و سلّم dan janganlah kamu ber-ibtida’ (mengada-ada tanpa dalil), sesungguhnya kamu telah dicukupi dengan ittiba’ itu, dan setiap bid’ah itu adalah kesesatan. [Dikeluarkan oleh Ibnu Biththah dalam al Ibaanah, no. 175 (1/327-328) dan al Laalikaa’i, no. 104 (1/86).]

Dan perkataan beliau tentang larangan terhadap bid’ah sangat banyak sekali.

SYUBHAT KEEMPAT:

Dari Ghudhaif bin Al Harits berkata: “Abdul Malik bin Marwan menulis surat kepadaku. Dalam suratnya beliau berkata (kepadaku): “Wahai Abu Asma’, sesungguhnya kami telah mengumpulkan manusia untuk memasyarakatkan dua perkara”. Ghudhaif bertanya: “Apa itu?” Beliau menjawab: “Yakni mengangkat tangan di atas mimbar pada hari Jum’at dan menceritakan kisah-kisah pada setiap selesai shalat shubuh dan ashar.” Maka Ghudhaif berkata: “Ketahuilah bahwa kedua hal tersebut merupakan bid’ah yang terbaik menurutku namun aku tidak dapat menyambut perintah Anda untuk memasyarakatkan kedua budaya tersebut”. Ibnu Marwan bertanya: “Mengapa demikian ?” Jawab Ghudhaif : “Sebab Nabi صلّى الله عليه و سلّم bersabda:

ما أحدث قوم بدعة إلا رفع مثلها من السنة

“Tidaklah suatu kaum melakukan suatu bid’ah melainkan akan dihilangkan satu sunnah yang setara dengannya pula”[Dikeluarkan oleh Ahmad (4/105)]

Maka berpegang teguh dengan sunnah itu lebih baik daripada membuat suatu bid’ah”.

BANTAHAN:
Pertama: Bahwasanya riwayat tersebut tidak kuat bahkan lemah. Dalam sanadnya terdapat dua cacat:

1.    Ada perawi yang bernama Abu Bakar bin Abdullah bin Abi Maryam, ia dha’if (lemah), dilemahkan oleh Ahmad bin Hanbal, Yahya bin Ma’in, Abu Zur’ah, Abu Hatim, An Nasaa-I dan Daruquthniy. [Lihat Tahdzibul Kamal, (33/108)]


Berkata Ibnu Hajar dalam “at Taqriib” : (dia) dha’if. [At Taqriib, no. 7974]


2.    Ada perawi bernama Baqiyyah bin Al Walid dan dia telah melakukan ‘an-anah (meriwayatkan dengan lafazh عن
pent). Kata Ibnu Hajar: “Ia banyak meriwayatkan hadits dengan tadlis (manipulasi sanad) dari para perawi yang dha’if dan majhul”. [Ta’riif Ahlut Taqdiis, hal. 121]

Dan Ibnu Hajar telah menyebutkan namanya dalam peringkat ke-empat dari orang-orang yang suka melakukan tadlis, sedangkan mereka (orang-orang  pada peringkat ini
–pent) sedikitpun hadits-hadits mereka tidak dapat dipakai sebagai hujjah, kecuali bila secara tegas mengatakan bahwa mereka mendengar langsung riwayat yang mereka sebutkan, karena mereka telah banyak melakukan tadlis terhadap perawi-perawi yang lemah dan majhul. Dan tadlis yang dilakukan oleh Baqiyyah tersebut merupakan salah satu dari bentuk tadlis yang paling buruk, yakni “tadlis taswiyah”. Karena itulah maka periwayatannya tidak diterima kecuali jika didapati adanya pernyataan tegas dari masing-masing perawi mendengar dari perawi lain dari pertama sampai ke perawi yang terakhir, makanya tidak cukup jika ia sendiri yang mengatakan bahwa ia mendengar langung dalam periwayatannya, sebab perawi yang dia sembunyikan (namanya) terkadang terjadi dari arah isnad yang lain. Bagaimana tidak, dalam riwayat ini justru dia sendirilah yang (meriwayatkan dengan) lafazh عن !?

Kedua:
Seandainya riwayat tersebut dianggap shahih, maka sesungguhnya telah kami sebutkan berulang-ulang bahwasanya tidak boleh perkataan Rasulullah صلّى الله عليه و سلّم dikonfrontasikan dengan perkataan seorang manusiapun siapapun dia.

Ketiga:
Bahwasanya Ghudhaif bin Al Harits ini diperselisihkan statusnya sebagai shahabat. Sebagian ulama menghitungnya dalam kelompok shahabat dan yang lain menghitungnya dalam kelompok tabi’in. [Lihat Asadul Ghaabah (4/340), Siyaru A’laamin Nubalaa’ (3/453) dan Al Ishaabah (3/453)]

Keempat:
Bahwasanya Ghudhaif bin Al Harits menolak penerimaan terhadap bid’ah tersebut, beliau membantahnya sekalipun ia hasanah (baik), dimana beliau tidak mau mengambil bid’ah tersebut.

Kelima:
Bahwasanya perkataan beliau (yang artinya) “ini adalah sebaik-baik bid’ah kalian”, merupakan suatu hal yang nisbiy (relative), yakni dia lebih ringan keburukannya dan lebih sedikit pelanggarannya (terhadap syari’at –pent).

Berkata Ibnu Hajar: “Maka jika model inilah jawaban seorang shahabat terhadap suatu perkara yang ada asalnya dalam sunnah, lalu bagaimana lagi (dengan penolakan beliau terhadap perkara) yang tidak ada asalnya sama sekali dalam sunnah, dan bagaimana pula jika (bid’ah yang dilakukan itu) mengandung hal-hal yang bertentangan dengan sunnah…!?” [Fathul Baariy, (13/254)]


Keenam:
Ghudhaif bin Al Harits berdalil untuk meninggalkan bid’ah tersebut dengan hadits

ما أحدث قوم بدعة إلا رفع مثلها من السنة

“Tidaklah suatu kaum melakukan suatu bid’ah melainkan akan dihilangkan satu sunnah yang setara dengannya pula”[Dikeluarkan oleh Ahmad (4/105)]

Oleh karena itu jika sekiranya bid’ah tersebut “hasanah”, maka tidak mungkin dengan keberadaannya akan menghilangkan suatu sunnah yang semisalnya, sebab terangkatnya suatu sunnah itu merupakan suatu bencana sedangkan tidak mungkin kita akan dihukum dengan bencana dikarenakan terjadinya suatu kebaikan.

SYUBHAT KELIMA:

Perkataan Imam Syafi’i رحمه الله:

البدعة بدعتان بدعة محمودة و بدعة مذمومة فما واقف السنّة فهو محمود و ما خالف السنّة فهو مذموم

“Bid’ah itu ada dua, bid’ah mahmudah (terpuji/hasanah) dan bid’ah madzmumah (tercela/dhalalah). Yang sesuai dengan As Sunnah adalah terpuji dan yang menyalahi As Sunnah itu adalah tercela”. [Hilyatul Auliyaa’ (9/113)]

Beliau رحمه الله juga mengatakan bahwa:

المحدثات ضربان ما أحدث يخالف كتابا أو سنّة أو أثرا أو إجماعا فهذه بدعة الضلال و ما أحدث من الخير لا يخالف شيْا من ذلك ڤهذه محدثة غير مذموم

Al Muhdatsaat (perkara-perkara yang baru) itu ada dua macam. Pertama adalah apa-apa yang baru diadakan yang menyelisihi Al Qur’an atau As Sunnah atau Atsar atau Ijma’, maka ini adalah bid’ah dhalalah. Dan yang kedua adalah apa-apa yang diada-adakan yang merupakan sesuatu yang baik yang tidak bertentangan sedikitpun dengan (keempat perkara yang telah disebuktan diatas) itu, maka ini adalah perkara baru yang tidak tercela. [Manaaqibus Syaafi’i, oleh Al Baihaqi 1/468 dan Al Baa’its oleh Abu Syaamah, hal. 94] 

BANTAHAN:

Pertama: Kita tidak dibenarkan untuk menantang perkataan Rasulullah صلّى الله عليه و سلّم dengan perkataan orang lain, siapapun dia. Perkataan Rosululloh صلّى الله عليه و سلّم adalah merupakan hujjah (bantahan) terhadap perkataan siapa saja dan bukan sebaliknya bahwa perkataan Rasulullah صلّى الله عليه و سلّم dibantah oleh perkataan orang lain.
Abdullah bin Abbas رضي الله عنه  berkata:

ليس أحد إلا و يؤخذ من رأيه و يترك ما خلا النّبيّ صلّى الله عليه و سلم

Tidak ada seorangpun melainkan perkataanya dapat ditolak dan dapat diterima kecuali perkataan Nabi صلّى الله عليه و سلّم (tidak dapat ditolak perkataan beliau). [Fatawa Asy Syaatib, 1/138 dan beliau berkata: “Perkataan ini diambil oleh Mujahid dari Ibnu Abbas dan Imam Malik mengambil perkataan ini dari keduanya sehingga beliau terkenal dengan perkataan ini”.

Kedua:
Bahwa jika kita memperhatikan perkataan Imam Syafi’i dengan seksama, maka tidak kita ragukan lagi bahwa yang beliau maksudkan dengan “bid’ah mahmudah” itu adalah makna secara bahasa bukan makna menurut syara’ (istilah agama), dengan dalil bahwa setiap bid’ah yang terjadi dalam agama maka sudah tentu ia akan bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah.

Sungguh Imam Syafi’i telah membatasi kata bid’ah mahmudah dengan sesuatu yang tidak menyelisihi Al Kitab dan As Sunnah. Sedangkan setiap bid’ah yang terjadi terhadap agama pasti menyelisihi firman Alloh سبحانه و تعالى:

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ

Pada hari ini telah Ku sempurnakan untuk kamu agamamu (Al Maaidah: 3)

Dan juga bertentangan dengan sabda Nabi صلّى الله عليه و سلّم :

من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو ردّ. (رواه البخاريّ و مسلم عن عا ئشة رضي الله عنها

“Barangsiapa yang mengada-adakan sesuatu dalam urusan agama kami ini apa-apa yang bukan dari agama, maka ia tertolak (HR. Bukhari dan Muslim dari ‘Aisyah رضي الله عنها)

Dan bertentangan pula dengan ayat-ayat maupun hadits-hadits yang lain.


Ibnu Rajab berkata: “Yang dimaksudkan oleh Imam Syafi’i رحمه الله mengenai apa yang telah kami kemukakan, bahwasanya bid’ah yang tercela adalah apa-apa
yang tidak mempunyai asal dalam syari’at sebagai tempat kembali kepadanya, dan inilah yang dimaksud dengan “bid’ah” menurut syari’at. Adapun bid’ah mahmudah (yang baik) yakni yang sesuai dengan sunnah, yaitu apa-apa yang ada asalnya berupa sunnah sebagai tempat merujuk kepadanya, dan yang dimaksudkan oleh beliau tersebut hanyalah merupakan pengertian bid’ah secara bahasa, bukan menurut syara’ sebab ia sesuai sunnah. [Jaami’ul ‘Ulum walhikam 6/28]

Dan bid’ah menurut bahasa yang dimaksudkan oleh Imam Syafi’i yang beliau katakana “bahwa bid’ah itu mahmudah” seperti penulisan hadits dan shalat tarawih, maka yang demikian ini cocok dinamakan sebagai “bid’ah” menurut bahasa, sebab tidak ada contoh sebelumnya. Adapun secara syari’at, maka tidak benar
sebab ia mempunyai asal dari sunnah.
Sebagai kesimpulan bahwasanya setiap “bid’ah” itu dikatakan sebagai “bid’ah” yang mahmudah, terkadang ia bukan merupakan bid’ah akan tetapi ia disangka sebagai bid’ah, atau kemungkinan ia merupakan bid’ah, maka ini pasti sayyi’ah (buruk) sebab bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah.

Ketiga:
Bahwasanya yang diketahui dari imam Syafi’i رحمه الله, bahwasanya beliau adalah orang yang sangat tinggi semangatnya dalam mengikuti Rasulullah صلّى الله عليه و سلم dan sangat marah terhadap orang yang menolak hadits Rasulullah صلّى الله عليه و سلم, sebagaimana yang disebutkan dari beliau ketika beliau ditanya tentang masalah tersebut, beliau berkata: “Telah diriwayatkan dalam masalah ini begini dan begini dari Nabi صلّى الله عليه و سلم, maka berkatalah seorang penanya: “Wahai Abu Abdillah apakah kamu mengatakan sebagaimana yang dikatakan oleh hadits tersebut? Maka Imam Syafi’i pun terperanjat dan bergetar seraya berkata:

يا هذا أيّ أرض تقلّني و أيّ سماء تظلني إذا رويت عن رسول الله صلّى الله عليه و سلم حديثا فلم أقل به نعم على السمع و البصر

“Aduhai bumi yang mana lagi yang akan kupijak dan langit mana yang akan menaungiku jika aku meriwayatkan dari Nabi صلّى الله عليه و سلم suatu hadits lalu aku tidak berfatwa dengannya? Tentu aku akan menjunjung tinggi sabda beliau صلّى الله عليه و سلم. [Shifatush Shafwah, 2/256]

Bagaimana mungkin kita berprangsangka terhadap beliau yang telah kita kenal seperti itu komitmennya terhadap sunnah, bahwa beliau akan menyelisihi sabda Nabi صلّى الله عليه و سلم:
كل بدعة ضلالة “Setiap bid’ah itu sesat”. Bahkan sudah sepantasnya untuk kita membawa perkataan beliau kepada kemungkinan yang tidak ada pertentangan dengan ucapan Rasulullah صلّى الله عليه و سلم, yakni bahwa yang beliau maksudkan adalah “bid’ah” dalam makna bahasa.
Sungguh Imam Syafi’i pernah berkata:

إذا وجدتم في كتابي خلاف سنّة رسول الله صلى الله عليه و سلم فقولوا بها و دعوا ما قلته

Jika kalian mendapati di dalam kitabku sesuatu yang bertentangan dengan sunnah Rosululloh صلّى الله عليه و سلم maka berkatalah kalian dengan sunnah tersebut  dan tinggalkanlah apa yang kukatakan.” [Siyaru A’laamin Nubalaa’ 10/34]

Beliau mengatakan pula:

كل حديث عن رسول الله صلى الله عليه و سلم فهو قولي و إن لم تسمعوه مني

Setiap hadits dari Nabi صلّى الله عليه و سلم adalah perkataanku, sekalipun kalian tidak mendengarnya dariku” [ Siyaru A’laamin Nubalaa’]

Beliau juga mengatakan:

كل ما قلت فكان عن رسول الله صلى الله عليه و سلم خلاف قولي مما يصحّ فحديث رسول الله صلى الله عليه و سلم أولى و لا تقلّدوني

Apa saja yang kukatakan lalu datang dari Rosululloh صلّى الله عليه و سلم sesuatu yang shahih yang menyalahi perkataanku  maka hadits Rasululloh صلّى الله عليه و سلم lebih utama (dari perkataanku), maka janganlah kalian bertaqlid kepadaku” [Hilyatul Auliyaa’ 9/107 dan Siyar 10/33]

Dan dilain perkataan beliau:
كل مسألة صحّ فيها الخبر عن رسول الله صلى الله عليه و سلم عند أهل النقل بخلاف ما قلت فإني راجع عنها في حياتي و بعد موتي

“Setiap masalah yang telah shahih khabarnya dari Rasululloh صلّى الله عليه و سلم menurut ahli naql (ulama hadits) yang menyelisihi apa yang kukatakan, maka aku bersedia untuk menanggalkan perkataanku, baik ketika aku masih hidup maupun setelah aku mati”. [Tawaalayt Ta’siis hal. 108]

SYUBHAT KEENAM: 

Perkataan Al ‘Iz-bin Abdus Salam رحمه الله tentang “bid-’ah,” bahwa:
“Bid’ah itu terbagi kepada bid’ah yang wajib, bid’ah yang haram, bid’ah yang sunnah bid’ah yang makruh dan bid’ah yang mubah. Dan cara untuk mengetahui hal tersebut, maka bid’ah tersebut harus dikembalikan kepada kaidah-kaidah syari’at. Maka jika bid’ah tersebut masuk dalam kaidah yang wajib, maka itulah yang dinamakan dengan bid’ah wajibah, apabila ia masuk pada kaidah yang haram, maka itulah bid’ah muharramah. Jika ia masuk dalam kaidah sunnah, maka itulah bid’ah mandubah (sunnah) dan jika ia masuk dalam kaidah mubah, maka itulah bidah yang mubah”. [Qawaa’idul Ahkaam, 2/173] 

BANTAHAN:

Pertama: Sesungguhnya kita tidak diperbolehkan untuk memperhadapkan sabda Rasulullah صلى الله عليه و سلم dengan perkataan seorangpun dari manusia, siapapun orangnya. Dan hal ini telah saya peringatkan berulang kali sebelumnya.

Kedua:
  Berkata Imam Asy-Syathiby رحمه الله : “Sesungguhnya pembagian tersebut adalah pembagian yang di ada-adakan, tidak ada satupun dalil syar’i yang mendukungnya, bahkan pembagian itu sendiri saling bertolak belakang, sebab hakikat bid’ah adalah jika sesuatu itu tidak memiliki dalil yang syar’i, tidak berupa dalil dari nas-nas syar’i, dan juga tidak terdapat dalam kaidah-kaidahnya. Sebab seandainya disana terdapat dalil syar’i tentang wajibnya, atau sunnahnya, atau bolehnya, niscaya tidak mungkin bid’ah itu ada, dan niscaya amalan tersebut masuk dalam amalan-amalan secara umum yang diperintahkan, atau yang diberikan pilihan. Karena itu maka mengumpulkan beberapa hal tersebut sebagai suatu bid’ah, dan antara keberadaan dalil-dalil yang menunjukkan wajibnya, atau sunnahnya, atau bolehnya, maka semua itu merupakan pengumpulan antara dua hal yang saling menafikan”.[Al I’tisham, 1/246]

Ketiga:
Bahwasanya bid’ah yang dimaksudkan oleh Al-’lzz bin Abdus Salam رحمه الله adalah bid’ah menurut pengertian bahasa, bukan menurut pengertian syara’. Dan yang menunjukan hal tersebut (bahwa ia adalah bid’ah menurut bahasa- pent) adalah contoh-contoh yang dipaparkan terhadap pembagian-pembagian tersebut.
  • Maka bid’ah yang wajib beliau contohkan dengan menekuni ilmu nahwu yang dengannya firman Allah dan sabda Rasul-Nya صلى الله عليه و سلم difahami. Apakah kata menekuni ilmu nahwu itu merupakan bid’ah menurut syari’at? Ataukah ia termasuk kepada kaidah yang mengatakan:

ما لا يتمّ الواجب إلا به فهو واجب

“Sesuatu yang tidak akan sempurna suatu kewajiban kecuali dengan adanya sesuatu tersebut, maka sesuatu itu hukumnya wajib”
Ketahuilah bahwasanya mungkin dapat kita katakan mengenai ilmu nahwu, bahwa ia merupakan bid’ah menurut tinjauan bahasa, akan tetapi hukum-hukum syar’i itu ditetapkan dengan pengertian-pengertian menurut syari’at, bukan dengan menggunakan pengertian-pengertian menurut bahasa.
  • Sebagai contoh bagi bid’ah yang mandubah (sunnah), beliau mencontohkannya dengan shalat tarawih, pembangunan sekolah-sekolah, dan pembicaraan mengenai tasawwuf yang terpuji. Semua itu bukanlah merupakan bid’ah di dalam agama. Shalat tarawih telah ada contohnya dari perbuatan Nabi صلى الله عليه و سلم, sebagaimana yang telah kita bicarakan dalam pembahasan tentang syubhat ketiga.
Sedangkan pembangunan sekolah-sekolah adalah wasilah (sarana) untuk menuntut ilmu dan keutamaan ilmu serta mengajarkannya tidak dapat kita pungkiri, serta pembicaraan tentang tasawwuf terpuji telah diketahui sebagai bagian dari nasihat.
  • Adapun bagi bid’ah yang mubah (boleh), beliau memberikan contoh yang banyak terhadap kelezatan-kelezatan. Dan hal ini bukanlah merupakan bid’ah menurut agama, bahkan jika ia sampai kepada derajat israf (berlebih-lebihan), maka ia termasuk kepada hal yang diharamkan, yang masuk dalam suatu bentuk kemaksiatan, bukan termasuk bid’ah. Dan ada perbedaan antara kemaksiatan dan bid’ah. Imam Asy-Syathibiy telah membahas contoh-contoh tersebut dalam pembahasan yang panjang. [Al I’tisham, 1/246]
Keempat: Bahwasanya telah ada riwayat mengenai Al-’Izz bin Salam Rahimahullah bahwa beliau adalah orang yang dikenal sebagai pemberantas bid’ah dan orang yang sangat melarang hal tersebut serta mentahdzir (memperingati) dan bahaya bid’ah. Sungguh beliau pernah melarang beberapa hal yang dinamakan oleh ahli bid’ah dengan bid’ah hasanah. Akan kami kemukakan contoh-contohnya kemudian.

Syihabuddin Abu Syaamah -salah seorang murid dari Al-’lzz- berkata: “Beliau adalah orang yang paling berhak menjadi khathib dan imam, beliau telah menyingkirkan banyak bid’ah yang pernah dilakukan oleh para khatib dengan pukulan pedang di atas mimbar, dan lain-lain, beliau pernah mengungkapkan kebathilan dua shalat pada pertengahan bulan sya’ban (nishfu sya’ban), dan beliau melarang keduanya”. [Thabaqaat Asy Syafi’iyyah oleh Imam As Subki, 8/210)]


Dibawah ini akan kami kutip perkataan beliau yang menujukkan bahwa beliau adalah orang yang memerangi dan melarang bid’ah, yang di antaranya adalah apa yang dinamakan orang dengan “bid’ah hasanah”, namun demikian Al-’lzz bin Salam tetap mengingkarinya. Di antaranya adalah:
Bahwasanya beliau pernah ditanya tentang bersalam-salaman setelah selesai shalat shubuh dan ashar, maka beliaupun berkata :
“Bersalam-salamn setelah shalat subuh dan ashar adalah merupakan salah satu dari bid’ah, kecuali bagi orang yang baru datang yang belum sempat bertemu dan berjabatan tangan dengannya sebelum shalat, sebab bersalam-salaman disyari’atkan oleh agama  ketika baru bertemu. Dan adalah Nabi صلى الله عليه و سلم biasanya setelah shalat berdzikir dengan dzikir-dzikir yang syar’i dan beristighfar 3x kemudian bubar dari shalatnya. Dan diriwayatkan bahwa beliau membaca; (yang artinya:) “Wahai Tuhanku jauhkanlah dari adzab-Mu di hari Engkau membangkitkan hamba-hamba-Mu.” Dan segala kebaikan hanyalah dengan mengikuti Rasulullah صلى الله عليه و سلم. [Fataawaa Al ‘Izz Ibnu Abdissalaam, hal. 46, no. 15, Cet. Daarulbaaz]
Dan beliau juga pernah berkata:

و لا يستحبّ رفع اليدين فى الدعاء إلا فى المواطن الّتى رفع فيها رسول الله صلّى الله عليه و سلّم يديه و لا يمسح وحهه بيديه عقب الدعاء إلاّ جاهل

“Dan tidaklah disukai (disunnahkan mengangkat kedua tangan ketika berdo’a, kecuali pada tempat-tempat yang padanya Rasulullah صلى الله عليه و سلم mengangkat kedua tangannya, dan tidak ada orang yang mengusapkan kedua tangannya kewajahnya setelah berdo’a melainkan orang yang jahil”. [Ibid, hal. 47]
Dan beliau berkata : “Dan tidak disyari’atkan membaca shalawat kepada Rasulullah صلى الله عليه و سلم dalam do’a Qunut, dan shalawat kepada Nabi صلى الله عليه و سلم tidak boleh ditambah atau dikurangi sedikitpun”[1]

Ketika mengornentari perkataan beliau ini, Syaikh Al-Albany berkata: “Di dalam perkatan beliau ini terdapat isyarat bahwasanya kita tidak memperluas istilah bid’ah hasanah, sebagaimana yang dilakukan dan dikatakan oleh orang-orang disaat ini.


Saya katakan : “Dari apa yang telah dibahas, maka menjadi jelaslah bahawasanya yang dimaksudkan oleh Ai-’lzz bin Abdus Salam dalam pembagian beliau terhadap bid’ah adalah
bid’ah secara bahasa, bukan merupakan pengertian bid’ah menurut agama.”

Disana masih ada lagi nash yang shahih dari beliau mengenai apa yang beliau maksudkan dengan bid’ah hasanah, dimana beliau berkata ketika membantah Ibnu Shalah mengenai shalat ragha’ib: “Kemudian beliau -ibnu Shalah- mengaku bahwasanya shalat ragha’ib itu merupakan bid’ah yang dibuat-buat, maka kami berhujjah kepada beliau kalau begitu dengan sabda Rasulullah صلى الله عليه و سلم,

و شر الأمور محدثاتها و كلّ بدعة ضلالة

artinya: “Dan sejelek-jelek perkara adalah perkara yang baru (dalam agama), dan setiap bid’ah itu sesat.

Dan telah dikecualikan dalam hadits tersebut bid’ah hasanah dari bid’ah dhalalah, yakni semua bid’ah yang tidak menyelisihi As-Sunnah, bahkan ia sesuai dengan sunnah maka jenis bid’ah yang lain masuk pada keumuman Sabda beliau صلى الله عليه و سلم:

و شر الأمور محدثاتها و كلّ بدعة ضلالة

artinya: “Dan sejelek-jelek perkara adalah perkara yang baru (dalam agama), dan setiap bid’ah itu sesat.

[Musaajalatu “Amaliyyah Bainal Imaamain Al Jaliilain Al ‘Izz bin Abdissalaam dan Ibnu Shalah, hal. 31]


Di sini kami katakan : Perkara yang ada kesesuaian dengan As-Sunnah, apakah boleh kita katakan sebagai bid’ah menurut agama ? Maka perhatikanlah perkataan Al-’Izz mengenai pengertian bid’ah hasanah, yakni : “
Tidak menyelisihi Sunnah, bahkan sejalan dengan As-Sunnah itu sendiri.” !!, maka apa saja yang sesuai dengan As-Sunnah sudah pasti tidak ternasuk dalam kategori bid’ah menurut syari’at, namun terkadang merupakan bid’ah menurut pengertian secara bahasa. Maka sudah sangat jelas apa yang dimaksudkan oleh Al-’Izz dengan bid’ah hasanah, bid’ah wajibah, bid’ah mustahabbah (sunnah) dan bid’ah mubahah (boleh) adalah bid’ah secara makna bahasa. Adapun secara istilah agama, maka semua bid’ah itu sesat. Dan dari sini jelaslah bahwa perkataan bid’ah hasanah dalam agama merupakan salah satu di antara sebab-sebab utama terjadinya pembauran antara makna secara bahasa dan istilah agama terhadap makna bid’ah yang terdapat di dalam atsar-atsar, serta perkataan sebagian ahli ilmu. Maka barangsiapa yang diberi taufiq untuk dapat membedakan antara ini dan itu, maka syubbhat-syubhat tersebut akan hilang dari dirinya dan menjadi jelaslah baginya permasalahan tersebut.


[1]
Mungkin yang beliau maksudkan adalah qunut di shalat subuh, sebab beliau bermadzhab Syafi’i, sedangkan mereka mengatakan bahwa hal tersebut disyari’atkan. Kalau tidak, maka sesungguhnya shalawat dalam do’a qunut pada shalat witir merupakan perbuatan Ubay bin Ka’ab رضي الله عنه . (Ditakhrij oleh Ibnu Khuzaimah dalam kitab Shahihnya, hal. 1100. Lihat pula Shifat Shalat Nabi صلى الله عليه و سلم oleh Al Albani, hal. 160 pada catatan kaki.


PENUTUP


Setelah menyebutkan dalil-dalil yang menunjukkan bahwasanya bid’ah itu seluruhnya jelek dan buruk, dan setelah mendiskusikan syubhat¬syubhat orang-orang yang mengatakan ada bid’ah hasanah dan membatalkannya, maka menjadi jelaslah bahwa perkataan tentang adanya bid’ah hasanah adalah perkataan bathil yang bertentangan dengan nash-nash dan atsar-atsar (dari para sahabat,pent), maka pada bagian penutup ini akan saya sebutkan sepuluh kalimat, jika satu saja yang akan saya sebutkan dan ini diperhatikan dengan baik, maka sudah cukup untuk menjelaskan tentang kebathilan perkataan tentang bid'ah hasanah, apalagi kalau seluruhnya dirampungkan, dan bagaimana pula jika ditopang dengan nash-nash terdahulu.


Dengan demikian maka tidak akan tersisa sedikitpun syubhat bagi pelaku bid'ah dan tidak pula ada peluang baginya untuk berkomentar.


Pertama:
Bahwasanya dalil-dalil tentang celaan terhadap bid'ah sangat banyak, dan semuanya datang dalam bentuk mutlaq (umum), tidak terdapat di dalamnya pengecualian sedikitpun dan tidak pula terdapat di dalamnya sesuatu yang menghendaki (yang terkandung makna) bahwa dalam bid'ah itu ada yang berupa petunjuk (dan ada yang merupakan kesesatan,pent) dan tidak pula terdapat di dalamnya perkataan :"setiap bid'ah itu sesat", kecuali yang begini dan begini, dan tidak pula perkataan yang semakna dengannya. Seandainya ada bid'ah yang dipandang oleh syara' sebagai bid'ah hasanah niscaya akan disebutkan dalam suatu ayat ataupun dalam hadits, namun tidak ada, maka ini menunjukkan bahwa dalil-dalil tersebut secara keseluruhan, pada hakikatnya bersifat umum dan menyeluruh yang tidak seorangpun dapat menyelisihi tuntutannya.

Kedua:
Bahwasanya telah di tetapkan dalam ushul ilmiah bahwa setiap kaidah kulliyyah atau dalil syar'i kulliyi jika terulang pada banyak tempat dan waktu yang berbeda-beda serta bermacam-macam kondisi dan belum dihubungkan dengan suatu qarinah atau pengkhususan, maka dalil tersebut, tetap pada apa yang di kehendaki oleh lafazhnya yang bersifat umum dan mutlaq. Hadis-hadits yang mencela dan memperingatkan tentang bid'ah termasuk dalam bentuk seperti ini .

Sungguh Nabi صلى الله علیھ و سلم sering mengulang-ulang di atas mimbar terhadap sejumlah kaum muslimin dalam banyak waktu dan kondisi yang bermacam-macam bahwa: "setiap bid'ah itu sesat". Dan tidak terdapat dalam suatu ayat maupun hadits suatu taqyid takhshish (penghususan), dan juga tidak terdapat, sesuatupun yang bisa dipahami darinya yang menyelisihi kenyataan kulliyyah dari keumuman yang terdapat di dalamnya, sehingga hal tersebut secara jelas menunjukkan dalil (hadits) tersebut masih tetap dipahami menurut keumuman dan kemutlakannya


Ketiga:
Salafus shaleh dari Para sahabat, tabi’in dan orang-orang setelah mereka telah sepakat mencela, menjelekkan dan lari dari bid'ah orang-orang yang melakukan bid'ah, mereka tidak pernah berhenti, dan tidak pernah mereka memberikan pengecualian terhadap masalah tersebut, sehingga ijma tersebut -sesuai dengan penelitian dan pengkajian yang mendalam- merupakan ijma' yang kuat yang menunjukkan secara jelas bahwasanya bid'ah itu seluruhnya buruk dan tak ada satupun yang baik.

Keempat:
Bahwasanya hal-hal yang berkaitan dengan bid'ah dengan sendirinya menghendaki demikian, sebab ini merupakan bahagian dari bab penentangan terhadap pembuat syari'at dan membuat syari'at baru, dan setiap apa saja yang terkumpul di dalam hal seperti ini, mustahil akan terbagi menjadi baik dan buruk, dan ada di antaranya sesuatu yang dipuji dan ada yang dicela, sebab akal sehat dan dalil syari'at tidak ingin menganggapnya baik.

Kelima:
Bahwasanya perkataan tentang bid'ah hasanah membuka peluang bagi perbuatan bid'ah terhadap pelakunya, dan tidak mungkin bersamaan dengan hal itu orang tersebut akan menolak suatu bid'ah apapun, sebab setiap ahlul bid'ah itu pasti akan menganggap bahwa bid'ah yang di lakukannya itu "hasanah" (baik). Sehingga orang-orang Rafidhah akan mengatakan bahwa bid'ah mereka itu "hasanah", demikian pula Mu'tazilah, Jahmiyyah, Khawarij dan lain-lain. Karena itulah maka wajib bagi kita untuk membantah mereka semua dengan hadits yang artinya : "setiap bid'ah itu sesat".

Keenam:
Apakah standar untuk megatakan bahwa bid'ah itu baik? Dan siapakah yang menjadi rujukannya? Jika dikatakan bahwa standarnya adalah kesesuaiannya dengan syari'at, maka kita katakan bahwa pada asalnya apa yang sesuai dengan syari'at itu bukanlah bid'ah. Dan jika dikatakan bahwa yang menjadi rujukan adalah akal, maka kita katakan bahwa akal itu berbeda-beda dan bertingkat-tingkat. Kalau begitu apa yang menjadi rujukan dalam masaalah tersebut dan yang mana yang di terima hukumnya? Sebab setiap pelaku bid'ah akan menganggap bahwa bid'ahnya itu hasanah menurut akal.

Ketujuh:
Dikatakan kepada orang yang menganggap baik bid'ah: "jika penambahan dalam agama itu dibolehkan atas nama bid'ah hasanah, maka orang yang menghapus atau mengurangi sesuatu dari agama ini juga dapat dianggap baik dengan mengatasnamakan "bid'ah hasanah" tersebut. Dan tidak ada bedanya antara dua hal tersebut, sebab bid'ah itu terkadang berupa perbuatan atas sesuatu atau meninggalkan sesuatu, sehingga nantinya agama ini akan di hilangkan disebabkan penambahan dan pengurangan tersebut, dan cukuplah hal ini dikatakan sebagai suatu kesesatan.

Kedelapan:
Sebahagian mereka mengatakan, seandainya di dalam syari'at ini ada bid'ah hasanah, maka sesungguhnya kita akan melakukan bid'ah untuk meninggalkan bid'ah hasanah tersebut dan kami melihat meninggalkannya lebih bermanfaat bagi agama kita di dunia dan lebih menyatukan kalimat kita serta lebih menjauhkan kita dari perpecahan dan perselisihan. Maka jika perkataan kami ini ada dalilnya, maka tidak boleh diselisihi, namun bila tidak ada dalilnya, maka itu berarti bahwa ia adalah bid'ah hasanah, dan bid'ah hasanah itu bisa diamalkan menurut kalian. Karena itulah maka bid'ah menurut seluruh syari'at adalah bathil, dan inilah yang kita inginkan.

Kesembilan:
Bahwasanya perkataan tentang adanya "bid'ah hasanah" akan mernbawa kepada penyimpangan dan pengrusakan terhadap agama, sebab setiap kali datang suatu kelompok, mereka akan menambah-nambah ibadah dalam agama dan mereka akan menamakannya dengan "bid'ah hasanah", dan dengan perkataan tersebut bid'ah-bid'ah akan menjadi banyak dan semakin bertambah dalam ibadah-ibadah yang telah disyari'atkan, sehingga agama ini akan berubah dan akan rusak sebagaimana rusaknya agama-agama terdahulu. Karena itu wajib bagi kita untuk menutup semua pintu-pintu bid'ah sebagai usaha pemeliharaan terhadap agama dari berbagai penyimpangan.

Kesepuluh:
Barangsiapa yang mengetahui bahwasanya Rasul صلى الله علیھ و سلم adalah orang yang paling tahu tentang kebenaran dan orang yang paling fasih dalam berbicara dan menjelaskan sesuatu, maka dia akan tahu pula bahwasanya sungguh telah terkumpul pada diri beliau صلىاللهعلیھوسلم kesempurnaan pengetahuan terhadap kebenaran, bahwa beliau memiliki kemampuan yang sempurna untuk menjelaskan kebenaran dan kesempurnaan kehendak untuk itu. Dan bersamaan dengan kesempurnaan ilmu, kemampuan dan kehendak tersebut maka wajib adanya apa yang diinginkan/dituntut dalam bentuk yang paling sempurna. Dengan demikian orang tersebut akan tau bahwasanya perkataan beliau صلىاللهعلیھوسلم adalah perkataan yang paling "baliigh" (jelas), paling lengkap dan merupakan penjelas yang paling agung terhadap urusan-urusan agama ini.
_______________________

Sumber: 
http://abangdani.wordpress.com/
Download Ebook "Mengapa Anda Menolak Bid’ah Hasanah"  Klik Disini.

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.