Selanjutnya juga merupakan gabungan dari dua bab pendek dari penulis Kitab Tauhid. Beliau
menjelaskan bahwa sikap merasa aman dari siksa Allah dan berputus asa
dari rahmat-Nya merupakan dosa besar, sebagaimana beliau bawakan
dalil-dalilnya dari Al-Qur’an dan hadits Rasulullah. Simak juga bab
pendek selanjutnya mengenai sikap sabar atas takdir Allah.
Merasa Aman Dari Siksa Allah Dan Berputus Asa Dari Rahmat-Nya
Firman Allah,
“Maka
apakah mereka merasa aman dari adzab Allah (yang tidak terduga-duga)?
Tiadalah yang merasa aman dari adzab Allah kecuali orang-orang yang
merugi.” (Al-A’raf: 99).
“Ibrahim berkata, "Tidak ada orang yang berputus asa dari rahmat Tuhannya, kecuali orang-orang yang sesat." (Al-Hijr:56).
Diriwayatkan
dari Ibnu ‘Abbas bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam ketika
ditanya tentang dosa-dosa besar, beliau menjawab,”Yaitu syirik kepada Allah, putus asa dari rahmat Allah, dan merasa aman dari makar Allah.”[1]
‘Abdurrazzaq meriwayatkan dari Ibnu Mas’ud, ia berkata, “Dosa-dosa
besar yang paling besar ialah syirik kepada Allah, merasa aman dari
siksa Allah, berputus harapan dari rahmat Allah dan berputus asa dari
pertolongan Allah.”
Kandungan Bab Ini
- Tafsiran ayat dalam surah Al-A’raf.[2]
- Tafsiran ayat dalam surah Al-Hijr.[3]
- Ancaman Keras Terhadap orang yang merasa aman dari siksa Allah.
- Ancaman Keras Terhadap orang yang berputus asa dari rahmat Allah.
Termasuk Iman Kepada Allah: Sabar Atas Segala Takdir-Nya
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
“Tidak
ada sesuatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali dengan izin
Allah. Dan barangsiapa yang beriman kepada Allah, niscaya Dia akan
memberi petunjuk kepada hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala
sesuatu.” (At-Taghabun: 11).
‘Alqamah[4] menafsirkan iman yang tersebut dalam ayat ini dengan mengatakan, “Yaitu:
seseorang yang ketika ditimpa musibah ia meyakini bahwa itu semua dari
Allah, maka ia pun ridha dan pasrah (atas takdirNya).“
Diriwayatkan dalam Shahih Muslim dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda, “Ada dua perkara yang masih dilakukan orang, padahal kedua-duanya adalah kufur, yaitu mencela keturunan dan meratapi orang mati.”
Al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan hadits marfu’ dari Ibnu Mas’ud,
“Tidak termasuk golongan kami orang yang memukul-mukul pipi, merobek-robek pakaian dan menyeru dengan seruan Jahiliyah.”
Diriwayatkan dari Anas bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,
“Apabila
Allah menghendaki kebaikan pada seorang hambaNya maka Dia menyegerakan
hukuman baginya di dunia; sedang apabila Allah menghendaki keburukan
pada seorang hambaNya maka Dia menangguhkan dosanya sampai Dia penuhi
balasannya nanti di hari Kiamat.” [4]
Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda , “Sungguh,
besarnya pahala setimpal dengan besarnya cobaan; dan sungguh Allah
Ta’ala apabila mencintai suatu kaum, diujiNya mereka dengan cobaan.
Untuk itu, barangsiapa yang ridha maka baginya keridhaan dari
Allah, sedang barangsiapa yang marah maka baginya kemarahan dari Allah.” [5]
Allah, sedang barangsiapa yang marah maka baginya kemarahan dari Allah.” [5]
Kandungan Bab Ini
- Tafsiran ayat dalam surah At-Taghabun. [6]
- Sabar terhadap segala cobaan termasuk iman kepada Allah.
- Ancaman keras terhadap orang yang memukul-mukul pipi, merobek-robek pakaian dan menyeru dengan seruan Jahiliyah [karena meratapi orang mati].
- Tanda apabila Allah menghendaki keburukan kepada hambaNya.
- Tanda kecintaan Allah kepada hambaNya.
- Dilarang bersikap marah dan tidak sabar atas cobaan yang diujikan Allah.
- Pahala bagi orang yang ridha atas cobaan yang menimpanya.
Catatan Kaki
[1] Hadits riwayat Al-Bazzar dan Ibnu Abi Hatim. Isnadnya hasan.
[2] Ayat ini menunjukkan bahwa merasa aman dari siksa adalah dosa besar yang haris dijauhi oleh orang mu’min.
[3]
Ayat ini menunjukkan bahwa bersikap putus asa dari rahmat Allah
termasuk pula dosa besar yang harus dijauhi. Dari kedua ayat, dapat
disimpulkan bahwa seorang mu’min harus memadukan antara dua sikap harap
dan khawatir. Harap akan rahmat Allah dan khawatir terhadap siksaNya.
[4]
‘Alqamah bin Qais bin ‘Abdullah bin Malik An-Nakha’i. Salah seorang
tokoh dari ulama tabi’in. Dilahirkan pada masa hidup Nabi. Meninggal
tahun 62H (681M).
[5] Hadits riwayat At-Tirmidzi dan Al-Hakim.
[6] Hadits hasan, menurut At-Tirmidzi.
[7] Ayat ini menunjukkan keutaman sabar atas segala takdir Allah yang
pahit, seperti musibah; dan menunjukkan pula bahwa amal termasuk dalam pengertian iman.
pahit, seperti musibah; dan menunjukkan pula bahwa amal termasuk dalam pengertian iman.
Riya’
Memasuki bab selanjutnya dalam pembahasan Kitab Tauhid,
penulis ingin menjelaskan secara singkat mengenai riya’ yang merupakan
hal yang paling dikhawatirkan oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wa
sallam daripada fitnahnya Al-Masih ad-Dajjal. Ikuti penjelasan beliau
mengenai syirik kecil ini.
Tentang Riya’[1]
Firman Allah,
“Katakanlah,
"Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti kamu, yang
diwahyukan kepadaku: ‘Bahwa sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan
yang Esa’. Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya maka
hendaklah ia mengerjakan amal yang shalih dan janganlah ia
mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya’." (Al-Kahfi:110).
Diriwayatkan dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda, Allah berfirman: “Aku
adalah Sekutu Yang Maha Cukup, sangat menolak perbuatan syirik.
Barangsiapa yang mengerjakan sesuatu amal dengan dicampuri perbuatan
syirik kepadaKu, maka Aku tinggalkan dia dan (tidak Aku terima)
amal syiriknya itu.” (Hadits riwayat Muslim).
Diriwayatkan dari Abu Sa’id, bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda, “Maukah kamu aku beritahu tentang sesuatu, yang menurutku lebih aku khawatirkan terhadap kamu daripada Al-Masih Ad-Dajjal [2] Para
sahabat menjawab, "Baiklah ya Rasulullah." Beliau shallallahu’alaihi wa
sallam pun bersabda, Syirik tersembunyi, yaitu ketika seseorang berdiri
melakukan shalat, dia perindah shalatnya itu karena mengetahui ada
orang lain yang memperhatikannya.” (Hadits riwayat Imam Ahmad).
Kandungan Bab Ini
- Tafsiran ayat dalam surah Al-Kahfi[3]
- Masalah yang penting sekali, yaitu: bahwa amal shalih apabila dicampuri dengan sesuatu yang bukan Lillah, maka tidak diterima oleh Allah.
- Disebutkan alasan yang menyebabkan hal tersebut, yaitu bahwa Allah Ta’ala adalah Sembahan yang amat menolak perbuatan syirik karena sifat ke-MahacukupanNya.
- Alasan lainnya, bahwa Allah adalah Sekutu yang terbaik.
- Nabi shallallahu’alaihi wa sallam sangat khawatir apabila sahabatnya melakukan riya’.
- Tafsiran riya’, contohnya: seseorang melakukan shalat dengan niat Lillah, akan tetapi dia perindah shalatnya itu karena mengetahui ada orang lain yang memperhatikannya.
Catatan Kaki
[2] Al-Masih Ad-Dajjal ialah
seorang manusia pembohong terbesar yang akan muncul pada akhir zaman,
mengaku sebagai Al-Masih bahkan mengaku sebagai tuhan yang disembah.
Kehadirannya di dunia ini termasuk di antara tanda-tanda besar akan
tibanya hari Kiamat. Sedang keajaiban-keajaiban yang bisa dilakukannya
merupakan cobaan dari Allah untuk umat manusia yang masih hidup pada
masa itu.
Disebutkan dalam shahih Muslim
bahwa kemunculannya di dunia nanti selama 40 hari, di antara hari-hari
tersebut: sehari bagaikan setahun, sehari bagaikan sebulan, sehari
bagaikan seminggu, kemudian hari-hari lainnya sebagaimana biasa; atau
kalau kita jumlahkan sama dengan satu tahun, dua bulan dua minggu.
Hadits-hadits
tentang Ad-Dajjal ini telah diriwayatkan oleh banyak kalangan sahabat,
antara lain: Abu Bakar Ash-Shiddiq, Abu Hurairah, Mu’adz bin Jabal,
Jabir bin ‘Abdullah, Abu Sa’id Al-Khudri, An-Nawwas bin Sim’an, Anas bin
Malik, Ibnu ‘Umar, Ibnu ‘Abbas, ‘Aisyah, Ummu Salamah, Fathimah binti
Qais, dan lain-lain.
Masalah ini bisa dirujuk dalam:
· Shahih Al-Bukhari: Kitab Al-Fitan bab 26-27; Kitab At-Tauhid bab 27, 31.
· Shahih Muslim: Kitab Al-Fitan bab 20 – 25.
· Shahih At-Tirmidzi: Kitab Al-Fitan bab 55 – 62.
· Sunan Abu Dawud: Kitab Al-Malahin bab 14, 15.
· Sunan Ibnu Majah: Kitab Al-Fitan bab 33.
· Musnad Imam Ahmad: jilid 1 hal. 6-7; jilid 2 hal. 33, 37, 67, 104, 124, 131; jilid 5 hal. 27, 32, 43, 47.
· dan kitab-kitab koleksi hadits lainnya.
[3] Ayat ini menunjukkan bahwa amal ibadah tidak akan diterima oleh Allah kecuali bila memenuhi dua syarat:
1. Ikhlas semata-mata karena Allah, tidak ada syirik di dalamnya sekalipun syirik kecil seperti riya’.
2. Sesuai
dengan tuntunan Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam karena suatu
amal disebut shalih jika ada dasar perintahnya dalam agama.
Ayat ini mengisyaratkan pula bahwa ibadah itu tauqifiyah,
artinya berlandaskan pada ajaran yang dibawa Rasulullah
shallallahu’alaihi wa sallam, tidak menurut akal maupun hawa nafsu
seseorang.
0 komentar:
Posting Komentar