-->

27 Agustus 2012

Para Sahabat dan Tabi'in Menyatakan Allah Diatas Seluruh Makhluk-Nya



Alhamdulillah wa shalaatu wa salaamu ‘ala Rasulillah wa ‘ala aalihi wa shohbihi ajma’in.
Dalam serial kedua kami melanjutkan pembuktian mengenai keberadaan Allah di atas seluruh makhluk-Nya. Sedangkan dalam serial ketiga ini kami akan membuktikan melalui atsar para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para tabi’in mengenai keberadaan Allah di atas seluruh makhluk-Nya yang menjadi keyakinan yang disepakati oleh Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Semoga pembahasan ini dapat membuka hati abusalafy dan orang-orang semisalnya yang masih meragukan keberadaan Allah di atas seluruh makhluk-Nya.

Kesaksian Para Sahabat radhiyallahu ‘anhum

Pertama: Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma membenarkan seorang pengembala yang meyakini Rabbnya di atas langit.
Dalam hadits Zaid bin Aslam, dia berkata,

مر ابن عمر براع فقال هل من جزرة فقال ليس هاهنا ربها قال ابن عمر تقول له أكلها الذئب  قال فرفع رأسه إلى السماء وقال فأين الله فقال ابن عمر أنا والله أحق أن أقول أين الله واشترى الراعي والغنم فأعتقه وأعطاه الغنم
“(Suatu saat) Ibnu ‘Umar melewati seorang pengembala. Lalu beliau berkata,  “Adakah hewan yang bisa disembelih?” Pengembala tadi mengatakan, “Pemiliknya tidak ada di sini.” Ibnu Umar mengatakan, “Katakan saja pada pemiliknya bahwa ada serigala yang telah memakannya.” Kemudian pengembala tersebut menghadapkan kepalanya ke langit. Lantas mengajukan pertanyaan pada Ibnu Umar, ”Lalu di manakah Allah?”Ibnu ‘Umar malah mengatakan, “Demi Allah, seharusnya aku yang berhak menanyakan padamu ‘Di mana Allah?’.”
Kemudian setelah Ibnu Umar melihat keimanan pengembala ini, dia lantas membelinya, juga dengan hewan gembalaannya (dari Tuannya). Kemudian Ibnu Umar membebaskan pengembala tadi dan memberikan hewan gembalaan tadi pada pengembara tersebut.[1]

Kedua: Ibnu ‘Abbas meyakini Allah berada di atas langit yang tujuh.
Ibnu Abbas menemui ‘Aisyah ketika ia baru saja mati. Ibnu Abbas berkata padanya,
كنت أحب نساء رسول الله صلى الله عليه وسلم ولم يكن يحب إلا طيبا وأنزل الله براءتك من فوق سبع سموات
“Engkau adalah wanita yang paling dicintai oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tidaklah engkau dicintai melainkan kebaikan (yang ada padamu). Allah pun menurunkan perihal kesucianmu dari atas langit yang tujuh.”[2]

Begitu pula dalam riwayat lainnya, dari Ibnul Mubarok, dari Sulaiman At Taimi, dari Nadhroh, Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma mengatakan,
ينادي مناد بين يدي الساعة أتتكم الساعة - فيسمعه الأحياء والأموات - ثم ينزل الله إلى السماء الدنيا
Ketika hari kiamat ada yang menyeru, “Apakah datang pada kalian hari kiamat?” Orang yang hidup dan mati pun mendengar hal tersebut, kemudian Allah pun turun ke langit dunia.[3]

Dalam riwayat lainnya, Ibnu ‘Abbas mengatakan,
إذا نزل الوحي سمعت الملائكة صوتا كصوت الحديد
Jika wahyu turun, aku mendengar malaikat bersuara seperti suara besi.[4] Jika dikatakan bahwa wahyu itu turun dan wahyu itu dari Allah, ini menunjukkan bahwa Allah berada di atas karena sesuatu yang turunn pasti dari atas ke bawah.

Penulis berkata, “Dan banyak sekali perkataan sahabat yang menunjukkan bahwa mereka meyakini bahwa Allah berada di atas langit di atas ‘Arsy yaitu dapat dilihat dari hadits-hadits yang mereka bawakan sebagaimana ditunjukkan dalam  pembahasan kami serial kedua. Karena bagaimana mungkin para sahabat tersebut membawakan hadits tersebut dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun mereka tidak memahami dan meyakininya.”

Kesaksian Para Tabi’in rahimahumullah

Pertama: Pengakuan Ka’ab Al Ahbar[5] rahimahullah tentang pembicaraan keberadaan Allah dalam taurat
Dari Ka’ab Al Ahbar berkata bahwa Allah ‘azza wa jalla dalam taurat berfirman,

أنا الله فوق عبادي وعرشي فوق جميع خلقي وأنا على عرشي أدبر أمور عبادي ولا يخفى علي شيء في السماء ولا في الأرض
Sesungguhnya Aku adalah Allah. Aku berada di atas seluruh hamba-Ku. ‘Arsy-Ku berada di atas seluruh makhluk-Ku. Aku berada di atas ‘Arsyku. Aku-lah pengatur seluruh urusan hamba-Ku. Segala sesuatu di langit maupun di bumi tidaklah samar bagi-Ku. [6]

Kedua: Masruq[7] rahimahullah mengakui Allah berada di atas langit yang tujuh.
Masruq rahimahullah menceritakan dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha,
حدثتني الصديقة بنت الصديق حبيبة حبيب الله، المبرأة من فوق سبع سموات.
“’Aisyah -wanita yang shidiq anak dari orang yang shidiq (Abu Bakr), kekasih di antara kekasih Allah, yang disucikan oleh Allah yang berada  di atas langit yang tujuh.”[8]

Ketiga: ‘Ubaid bin ‘Umair[9] menceritakan bahwa Allah turun ke langit duni pada sepertiga malam terakhir.
‘Ubaid bin ‘Umair rahimahullah mengatakan,
ينزل الرب عزوجل شطر الليل إلى السماء الدنيا فيقول من يسألني فأعطيه من يستغفرني فأغفر له حتى إذا كان الفجر صعد الرب عزوجل أخرجه عبد الله بن الإمام أحمد في كتاب الرد على الجهمية تصنيفه
“Allah ‘azza wa jalla turun ke langit dunia pada separuh malam. Lalu Allah berkata, “Siapa saja yang memohon kepada-Ku, maka akan Kuberi. Siapa saja yang meminta ampun kepada-Ku, maka akan Kuampuni.” Jika fajar telah terbit, Allah pun naik.” Dikeluarkan oleh ‘Abdullah bin Imam Ahmad dalam kitab karyanya yang berisi bantahan terhadap Jahmiyah.[10]

Keempat: Qotadah As Sadusi[11] rahimahullah menceritakan tentang pengakuan Bani Israil.
Qotadah rahimahullah mengatakan bahwa Bani Israil berkata,
يا رب أنت في السماء ونحن في الأرض فكيف لنا أن نعرف رضاك وغضبك قال إذا رضيت استعملت عنكم عليكم خياركم وإذا غضبت إستعلمت عليكم شراركم هذا ثابت عن قتادة أحد الحفاظ الكبار
“Wahai Rabb, Engkau di atas langit dan kami di bumi, bagaimana kami bias tahu jika Engkau ridho dan Engkau murka?” Allah Ta’ala berfirman, “Jika Aku ridho, maka Aku akan memberikan kebaikan pada kalian. Dan jika Aku murka, maka Aku akan menimpakan kejelekan pada kalian.”[12]

Kelima: Malik bin Dinar mengakui Al Qur’an adalah kalamullah (firman Allah) dari atas ‘Arsy.
Dari Malik bin Dinar, beliau berkata,
خذوا فيقرأ ثم يقول : إسمعوا إلى قول الصادق من فوق عرشه
“Ambillah (Al Qur’an) ini. Lalu beliau membacanya, kemudian beliau mengatakan, ‘Hendaklah kalian mendengar perkataan Ash Shodiq (Yang Maha Jujur yaitu Allah) dari atas ‘Arsy-Nya’.”[13]

Keenam: Ulama besar Bashroh (Sulaiman At Taimiy) ketika ditanyakan mengenai keberadaan Allah
Harun bin Ma’ruf mengatakan, Dhomroh mengatakan pada kami dari Shodaqoh, dia berkata bahwa dia mendengar Sulaiman At Taimiy berkata,
لو سئلت أين الله لقلت في السماء
Seandainya aku ditanyakan di manakah Allah, maka aku menjawab (Allah berada) di atas langit.[14]

Ketujuh: Robi’ah bin Abi ‘Abdirrahman[15] rahimahullah ditanyakan mengenai istiwa’.
Sufyan Ats Tsauriy mengatakan bahwa ia pernah suatu saat berada di sisi Robi’ah bin Abi ‘Abdirrahman kemudian ada seseorang yang bertanya pada beliau,
الرحمن على العرش استوى كيف استوى
“Ar Rahman (yaitu Allah) beristiwa’ (menetap tinggi) di atas ‘Arsy, lalu bagaimana Allah beristiwa’?” Robi’ah menjawab,
الإستواء غير مجهول والكيف غير معقول ومن الله الرسالة وعلى الرسول البلاغ وعلينا التصديق
“Istiwa’ itu sudah jelas maknanya. Sedangkan hakikat dari istiwa’ tidak bisa digambarkan. Risalah (wahyu) dari Allah, tugas Rasul hanya menyampaikan, sedangkan kita wajib membenarkan (wahyu tersebut).”[16]

Kedelapan: Ayyub As Sikhtiyani[17] rahimahullah menanggapi orang yang mengatakan di atas langit tidak ada sesuatu pun.
Hamad bin Zaid mengatakan bahwa ia mendengar Ayyub As Sikhtiyani berbicara mengenai Mu’tazilah,
إنما مدار القوم على أن يقولوا ليس في السماء شيء
Mu’tazilah adalah asal muasal kaum yang mengatakan bahwa di atas langit tidak ada sesuatu apa pun.[18]

Penulis berkata, “Lihatlah bagaimana kesamaan abusalafy dan orang-orang semacamnya yang mengatakan bahwa Allah ada tanpa tempat. Atau mungkin mereka katakan bahwa Allah itu ada, namun bukan di atas langit. Bukankah hal ini sama dengan pendahulu mereka yaitu Mu’tazilah. Renungkanlah!

Nantikan pembahasan kami selanjutnya. Kami akan menukil perkataan para ulama bahkan ijma’ (konsensus) para ulama Ahlus Sunnah yang menyatakan bahwa Allah berada di atas langit, di atas seluruh makhluk-Nya. Semoga semakin terbuka hati orang yang masih meragukan hal ini.

Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat.

Diselesaikan di sore saat Allah memberi berkah air dari langit, di Pangukan-Sleman, 2 Rabi’uts Tsani 1431 H (17/03/2010)
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal (Abu Rumaysho Al Ambony)
Artikel http://rumaysho.com


[1] Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar no. 311. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa sanad riwayat ini jayyid sebagaimana dalam Mukhtashor Al ‘Uluw no. 95, hal. 127.
[2] Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar no. 335.
[3] Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar no. 296. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa sanad riwayat ini shahih sesuai syarat Muslim sebagaimana dalam Mukhtashor Al ‘Uluw no. 94, hal. 126.
[4] Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar no. 295. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa periwayat hadits ini tsiqoh (terpercaya) sebagaimana dalam Mukhtashor Al ‘Uluw no. 93, hal. 126.
[5] Beliau adalah tabi’in senior termasuk thobaqoh kedua, meninggal dunia di akhir-akhir khalifah ‘Utsman. Ibnu Hajar mengatakan bahwa beliau adalah perowi yang tsiqoh (terpercaya).
[6] Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar no. 315. Adz Dzahabi mengatakan  bahwa sanadnya shahih. Begitu pula Ibnul Qayyim dalam Ijtima’ul Juyusy Al Islamiyah mengatakan bahwa riwayat ini shahih.
[7] Beliau adalah di antara kibar tabi’in (tabi’in senior), termasuk thobaqoh kedua. Ibnu Hajar mengatakan bahwa ia maqbul (diterima).
[8] Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar no. 317. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa riwayat ini shohih berdasarkan syarat Bukhari Muslim dan sanadnya sampai pada Abu Shofwan itu shahih. Lihat Mukhtashor Al ‘Uluw, hal. 128.
[9] Beliau adalah di antara kibar tabi’in (tabi’in senior), termasuk thobaqoh kedua. Ibnu Hajar mengatakan beliau disepakati ketsiqohannya.
[10] Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar no. 320.
[11] Beliau termasuk tabi’in, seorang pakar tafsir.
[12] Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar no. 336. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa sanad riwayat ini hasan. Lihat Mukhtashor Al ‘Uluw, hal. 131.
[13] Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar no. 348. Adz Dzahabi mengatakan diriwayatkan dalam Al Hilyah dengan sanad yang shahih. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa mengatakan riwayat ini hasan saja termasuk murah hati. Lihat Mukhtashor Al ‘Uluw, hal. 131.
[14] Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar no. 357. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa periwayat riwayat ini tsiqoh/terpercaya. Lihat Mukhtashor Al ‘Uluw, hal. 133.
[15] Beliau termasuk tabi’in junior dan merupakan guru Imam Malik.
[16] Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar no. 352. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa riwayat ini shahih. Lihat Mukhtashor Al ‘Uluw hal. 132.
[17] Beliau adalah seorang tabi’in junior, termasuk thobaqoh kelima. Beliau termasuk ulama besar dan ahli ibadah.
[18] Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar no. 354.





Di Manakah Allah (4), Empat Imam Madzhab Sepakat Bahwa Allah Berada Diatas Langit

Alhamdulillah wa shalaatu wa salaamu ‘ala Rasulillah wa ‘ala aalihi wa shohbihi ajma’in.
Pada kesempatan kali ini kita akan melanjutkan kembali pembuktian mengenai aqidah Allah berada di atas langit, di atas seluruh makhluk-Nya. Yang kita utarakan nanti adalah perkataan empat imam madzhab mengenai ideologi tersebut. Kita dapat saksikan bahwa empat imam madzhab sepakat dalam hal ini dan orang-orang semacam abusalafy yang menganut aqidah Jahmiyah yang melenceng jauh dari aqidah mereka-mereka ini. Semoga Allah senantiasa memberi taufik.

Sikap Keras Abu Hanifah[1] Terhadap Orang Yang Tidak Tahu Di Manakah Allah
Imam Abu Hanifah mengatakan dalam Fiqhul Akbar,
من انكر ان الله تعالى في السماء فقد كفر
“Barangsiapa yang mengingkari keberadaan Allah di atas langit, maka ia kafir.”[2]

Dari Abu Muthi’ Al Hakam bin Abdillah Al Balkhiy -pemilik kitab Al Fiqhul Akbar-[3], beliau berkata,
سألت أبا حنيفة عمن يقول لا أعرف ربي في السماء أو في الأرض فقال قد كفر لأن الله تعالى يقول الرحمن على العرش استوى وعرشه فوق سمواته  فقلت إنه يقول أقول على العرش استوى ولكن قال لا يدري العرش في السماء أو في الأرض  قال إذا أنكر أنه في السماء فقد كفر رواها صاحب الفاروق بإسناد عن أبي بكر بن نصير بن يحيى عن الحكم
Aku bertanya pada Abu Hanifah mengenai perkataan seseorang yang menyatakan, “Aku tidak mengetahui di manakah Rabbku, di langit ataukah di bumi?” Imam Abu Hanifah lantas mengatakan, “Orang tersebut telah kafir karena Allah Ta’ala sendiri berfirman,
الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى
“Allah menetap tinggi di atas ‘Arsy”.[4] Dan ‘Arsy-Nya berada di atas langit.” Orang tersebut mengatakan lagi, “Aku berkata bahwa Allah memang menetap di atas ‘Arsy.” Akan tetapi orang ini tidak mengetahui di manakah ‘Arsy, di langit ataukah di bumi. Abu Hanifah lantas mengatakan, “Jika orang tersebut mengingkari Allah di atas langit, maka dia kafir.”[5]

Imam Malik bin Anas[6], Imam Darul Hijroh Meyakini Allah di Atas Langit
Dari Abdullah bin Ahmad bin Hambal ketika membantah paham Jahmiyah, ia mengatakan bahwa Imam Ahmad mengatakan dari Syraih bin An Nu’man, dari Abdullah bin Nafi’, ia berkata bahwa Imam Malik bin Anas mengatakan,
الله في السماء وعلمه في كل مكان لا يخلو منه شيء
Allah berada di atas langit. Sedangkan ilmu-Nya berada di mana-mana, segala sesuatu tidaklah lepas dari ilmu-Nya.”[7]

Diriwayatkan dari Yahya bin Yahya At Taimi, Ja’far bin ‘Abdillah, dan sekelompok ulama lainnya, mereka berkata,
جاء رجل إلى مالك فقال يا أبا عبد الله الرحمن على العرش استوى كيف استوى قال فما رأيت مالكا وجد من شيء كموجدته من مقالته وعلاه الرحضاء يعني العرق وأطرق القوم فسري عن مالك وقال الكيف غير معقول والإستواء منه غير مجهول والإيمان به واجب والسؤال عنه بدعة وإني أخاف أن تكون ضالا وأمر به فأخرج
“Suatu saat ada yang mendatangi Imam Malik, ia berkata: “Wahai Abu ‘Abdillah (Imam Malik), Allah Ta’ala berfirman,
الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى
“Allah menetap tinggi di atas ‘Arsy”[8]. Lalu bagaimana Allah beristiwa’ (menetap tinggi)?” Dikatakan, “Aku tidak pernah melihat Imam Malik melakukan sesuatu (artinya beliau marah) sebagaimana yang ditemui pada orang tersebut. Urat beliau pun naik dan orang tersebut pun terdiam.” Kecemasan beliau pun pudar, lalu beliau berkata,
الكَيْفُ غَيْرُ مَعْقُوْلٍ وَالإِسْتِوَاءُ مِنْهُ غَيْرُ مَجْهُوْلٍ وَالإِيْمَانُ بِهِ وَاجِبٌ وَالسُّؤَالُ عَنْهُ بِدْعَةٌ وَإِنِّي أَخَافُ أَنْ تَكُوْنَ ضَالاًّ
“Hakekat dari istiwa’ tidak mungkin digambarkan, namun istiwa’ Allah diketahui maknanya. Beriman terhadap sifat istiwa’ adalah suatu kewajiban. Bertanya mengenai (hakekat) istiwa’ adalah bid’ah. Aku khawatir engkau termasuk orang sesat.” Kemudian orang tersebut diperintah untuk keluar.[9]

Inilah perkataan yang shahih dari Imam Malik. Perkataan beliau sama dengan robi’ah yang pernah kami sebutkan. Itulah keyakinan Ahlus Sunnah.

Imam Asy Syafi’i[10] -yang menjadi rujukan mayoritas kaum muslimin di Indonesia dalam masalah fiqih- meyakini Allah berada di atas langit
Syaikhul Islam berkata bahwa telah mengabarkan kepada kami Abu Ya’la Al Kholil bin Abdullah Al Hafizh, beliau berkata bahwa telah memberitahukan kepada kami Abul Qosim bin ‘Alqomah Al Abhariy, beliau berkata bahwa Abdurrahman bin Abi Hatim Ar Roziyah telah memberitahukan pada kami, dari Abu Syu’aib dan Abu Tsaur, dari Abu Abdillah Muhammad bin Idris Asy Syafi’i (yang terkenal dengan Imam Syafi’i), beliau berkata,
القول في السنة التي أنا عليها ورأيت اصحابنا عليها اصحاب الحديث الذين رأيتهم فأخذت عنهم مثل سفيان ومالك وغيرهما الإقرار بشهادة ان لااله الا الله وان محمدا رسول الله وذكر شيئا ثم قال وان الله على عرشه في سمائه يقرب من خلقه كيف شاء وان الله تعالى ينزل الى السماء الدنيا كيف شاء وذكر سائر الاعتقاد
“Perkataan dalam As Sunnah yang aku dan pengikutku serta pakar hadits meyakininya, juga hal ini diyakini oleh Sufyan, Malik dan selainnya : “Kami mengakui bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah dengan benar kecuali Allah. Kami pun mengakui bahwa Muhammad adalah utusan Allah.” Lalu Imam Asy Syafi’i mengatakan, “Sesungguhnya Allah berada di atas ‘Arsy-Nya yang berada di atas langit-Nya, namun walaupun begitu Allah pun dekat dengan makhluk-Nya sesuai yang Dia kehendaki. Allah Ta’ala turun ke langit dunia sesuai dengan kehendak-Nya.” Kemudian beliau rahimahullah menyebutkan beberapa keyakinan (i’tiqod) lainnya.[11]

Imam Ahmad bin Hambal[12] Meyakini Allah bukan Di Mana-mana, namun di atas ‘Arsy-Nya
Adz Dzahabiy rahimahullah mengatakan, “Pembahasan dari Imam Ahmad mengenai ketinggian Allah di atas seluruh makhluk-Nya amatlah banyak. Karena beliaulah pembela sunnah, sabar menghadapi cobaan, semoga beliau disaksikan sebagai ahli surga. Imam Ahmad mengatakan kafirnya orang yang mengatakan Al Qur’an itu makhluk, sebagaimana telah mutawatir dari beliau mengenai hal ini. Beliau pun menetapkan adanya sifat ru’yah (Allah itu akan dilihat di akhirat kelak) dan sifat Al ‘Uluw (ketinggian di atas seluruh makhluk-Nya).”[13]

Imam Ahmad bin Hambal pernah ditanya,
ما معنى قوله وهو معكم أينما كنتم و ما يكون من نجوى ثلاثه الا هو رابعهم قال علمه عالم الغيب والشهاده علمه محيط بكل شيء شاهد علام الغيوب يعلم الغيب ربنا على العرش بلا حد ولا صفه وسع كرسيه السموات والأرض
Apa makna firman Allah,
وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَا كُنْتُمْ
Dan Allah bersama kamu di mana saja kamu berada.[14]
مَا يَكُونُ مِنْ نَجْوَى ثَلَاثَةٍ إِلَّا هُوَ رَابِعُهُمْ
Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dia-lah keempatnya.[15]
Yang dimaksud dengan kebersamaan tersebut adalah ilmu Allah. Allah mengetahui yang ghoib dan yang nampak. Ilmu Allah meliputi segala sesuatu yang nampak dan yang tersembunyi. Namun Rabb kita tetap menetap tinggi di atas ‘Arsy, tanpa dibatasi dengan ruang, tanpa dibatasi dengan bentuk. Kursi-Nya meliputi langit dan bumi. Kursi-Nya pun meliputi langit dan bumi.”

Diriwayatkan dari Yusuf bin Musa Al Ghadadiy, beliau berkata,
قيل لأبي عبد الله احمد بن حنبل الله عز و جل فوق السمآء السابعة على عرشه بائن من خلقه وقدرته وعلمه بكل مكان قال نعم على العرش و لايخلو منه مكان
Imam Ahmad bin Hambal pernah ditanyakan, “Apakah Allah ‘azza wa jalla berada di atas langit ketujuh, di atas ‘Arsy-Nya, terpisah dari makhluk-Nya, sedangkan kemampuan dan ilmu-Nya di setiap tempat (di mana-mana)?” Imam Ahmad pun menjawab, “Betul sekali. Allah berada di atas ‘Arsy-Nya, setiap tempat tidaklah lepas dari ilmu-Nya.”[16]

Abu Bakr Al Atsrom mengatakan bahwa Muhammad bin Ibrahim Al Qoisi mengabarkan padanya, ia berkata bahwa Imam Ahmad bin Hambal menceritakan dari Ibnul Mubarok ketika ada yang bertanya padanya,
كيف نعرف ربنا
“Bagaimana kami bisa mengetahui Rabb kami?” Ibnul Mubarok menjawab,
في السماء السابعة على عرشه
Allah di atas langit yang tujuh, di atas ‘Arsy-Nya.” Imam Ahmad lantas mengatakan,
هكذا هو عندنا
“Begitu juga keyakinan kami.”[17]

Tidak Perlu Disangsikan Lagi
Itulah perkataan empat Imam Madzhab yang jelas-jelas perkataan mereka meyakini bahwa Allah berada di atas langit, di atas seluruh makhluk-Nya. Bahkan sebenarnya ini adalah ijma’ yaitu kesepakatan atau konsensus seluruh ulama Ahlus Sunnah. Lantas mengapa aqidah ini perlu diragukan oleh orang yang jauh dari kebenaran?

Ini bukti ijma’ ulama yang dibawakan oleh Ishaq bin Rohuwyah.
قال أبو بكر الخلال أنبأنا المروذي حدثنا محمد بن الصباح النيسابوري حدثنا أبو داود الخفاف سليمان بن داود قال قال إسحاق بن راهويه قال الله تعالى الرحمن على العرش استوى إجماع أهل العلم أنه فوق العرش استوى ويعلم كل شيء في أسفل الأرض السابعة
“Abu Bakr Al Khollal mengatakan, telah mengabarkan kepada kami Al Maruzi. Beliau katakan, telah mengabarkan pada kami Muhammad bin Shobah An Naisaburi. Beliau katakan, telah mengabarkan pada kami Abu Daud Al Khonaf Sulaiman bin Daud. Beliau katakana, Ishaq bin Rohuwyah berkata, “Allah Ta’ala berfirman,
الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى
“Allah menetap tinggi di atas ‘Arsy”[18]. Para ulama sepakat (berijma’) bahwa Allah berada di atas ‘Arsy dan beristiwa’ (menetap tinggi) di atas-Nya. Namun Allah Maha Mengetahui segala sesuatu yang terjadi di bawah-Nya, sampai di bawah lapis bumi yang ketujuh.[19]

Adz Dzahabi rahimahullah ketika membawakan perkataan Ishaq di atas, beliau rahimahullah mengatakan,
اسمع ويحك إلى هذا الإمام كيف نقل الإجماع على هذه المسألة كما نقله في زمانه قتيبة المذكور
“Dengarkanlah perkataan Imam yang satu ini. Lihatlah bagaimana beliau menukil adanya ijma’ (kesepakatan ulama) mengenai masalah ini. Sebagaimana pula ijma’ ini dinukil oleh Qutaibah di masanya.”[20]

Sanggahan: Abu Salafy Cuma Asal Nuduh
Kami sedikit mencuplik ucapan beliau dalam postingan di blognya dengan judul “Kaum Mujassimah Berbohong Atas Nama Imam Malik”. Beliau membawakan nukilan berikut ini ketika menerangkan ucapan Imam Malik di atas.

Ibnu Lubbân dalam menafsirkan ucapan Imam Maliki di atas mengatakan, seperti disebutkan dalam Ithâf as Sâdah al Muttaqîn,2/82:
كيف غير معقول أي كيف من صفات الحوادث وكل ما كان من صفات الحوادث فإثباته في صفات الله تعالى ينافي ما يقتضيه العقل فيجزم بنفيه عن الله تعالى ، قوله : والاستواء غير مجهول أي أنه معلوم المعنى عند أهل اللغة ، والإيمان به على الوجه اللائق به تعالى واجب ؛ لأنه من الإيمان بالله وبكتبه ، والسؤال عنه بدعة ؛ أي حادث لأن الصحابة كانوا عالمين بمعناه اللائق بحسب وضع اللغة فلم يحتاجوا للسؤال عنه ، فلما جاء من لم يحط بأوضاع لغتهم ولا له نور كنورهم يهديه لصفات ربه يسأل عن ذلك، فكان سؤاله سببا لاشتباهه على الناس وزيغهم عن المراد.
“Kaif tidak masuk akal, sebab ia termasuk sifat makhluk. Dan setiap sifat makhluk maka jika ditetapkan menjadi sifat –ta’ala- pasti menyalai apa yang wajib bagi-Nya berdasarkan hukum akal sehat, maka ia harus dipastikan untuk ditiadaakan dari Allah –ta’ala-. Ucapan beliau, “Istiwâ’ tidak majhûl” yaitu ia telah diketahui oleh ahli bahasa apa maknanya. Beriman sesuai dengan makna yang layak bagi Allah adalah wajib hukumnya, sebab ia termasuk beriman kepada Allah dan kitab-kitab-Nya. Dan “bertanya tentangnya adalah bid’ah” yaitu sesuatu yang dahulu tidak pernah muncul, sebab di masa sahabat, mereka sudah mengetahui maknanya yang layak sesuai dengan pemaknaan bahasa. Karenanya mereka tidak butuh untuk menanyakannya. Dan ketika datang orang yang tidak menguasai penggunaan bahasa mereka dan tidak memiliki cahaya seperti cahaya para sahabat yang akan membimbing mereka untuk mengenali sifat-sifat Tuhan mereka, muncullah pertanyaan tentangnya. Dan pertanyaan itu menjadi sebab kekaburan atas manusia dan penyimpangan mereka dari yang apa yang dimaksud.”

Diriwayatkan juga bahwa Imam Malik berkata:
الرحمن على العرش استوى كما وصف به نفسه ولا يقال كيف ، وكيف عنه مرفوع…
“Ar Rahmân di atas Arys beristiwâ’ sebagaimana Dia mensifati Diri-Nya. Dan tidak boleh dikatakan: Bagaimana? Dan bagaimana itu terangkat dari-Nya… “ (Lebih lanjut baca: Ithâf as Sâdah,2/82, Daf’u Syubah at Tasybîh; Ibnu al Jawzi: 71-72)

Pernyataan di atas benar-benar tamparan keras ke atas wajah-wajah kaum Mujassimah!
Penulis berkata, “Perkataan Imam Malik itu benar adanya. Begitu pula penjelasan dari Ibnu Lubban itu benar. Maksud perkataan mereka berdua adalah bahwa makna Istiwa’ itu sudah diketahui, sedangkan bagaimana dan hakekat Allah itu beristiwa’ itu tidak diketahui karena memang kita tidak diberitahu tentang hal tersebut. Kami khawatir abusalafy sendiri sebenarnya tidak memahami apa yang dimaksudkan oleh Imam Malik dan Ibnu Libban. Sampai-sampai dalam tulisan lain abusalafy menuduh yang bukan-bukan. Dalam tulisan lain yang abusalafy berkata:

Itulah yang benar-benar terjadi! Mazhab Wahhabi/Salafy “ngotot” menyebarkan dan meyakinkan kaum Muslimin bahwa Allah itu berbentuk… bersemayam, duduk di atas Arsy-Nya yang dipikul oleh delapan kambing hutan atau dipikul empat malaikat yang rupa dan bentuk mereka beragam, ada yang menyerupai seekor singa dan yang lainnya menyerupai bentuk binatang lain… dan lain sebagainya dari akidah ketuhanan yang menggambarkan  Allah itu berbentuk dan menyandang sifat-sifat makhluk-Nya..

Penulis menjawab, “Siapa yang katakan bahwa sifat Allah itu dapat digambarkan bentuknya? Mana buktinya?” Beliau juga menuduh kami, “Allah duduk di atas Arsy-Nya yang dipikul oleh delapan kambing hutan atau dipikul empat malaikat yang rupa dan bentuk mereka beragam, ada yang menyerupai seekor singa dan yang lainnya menyerupai bentuk binatang lain”. Penulis menjawab, “Mana buktinya kami pernah menyatakan demikian? Dalam kitab mana? Ini sungguh tuduhan dan klaim dusta yang mengada-ada. Beliau pun tidak berani menunjukkan bukti dari tuduhan yang beliau bawakan.”

Semoga beliau bisa membedakan menetapkan sifat Allah dan menyebutkan bagaimana hakekat sifat tersebut. Coba renungkan dengan baik-baik perkataan Ishaq bin Rohuwyah yang pernah kami bawakan di postingan pertama serial ini. Beliau rahimahullah mengatakan, “Yang disebut tasybih (menyerupakan Allah dengan makhluk), jika kita mengatakan, ‘Tangan Allah sama dengan tanganku atau pendengaran-Nya sama dengan pendengaranku.’ Inilah yang disebut tasybih. Namun jika kita mengatakan sebagaimana yang Allah katakan yaitu mengatakan bahwa Allah memiliki tangan, pendengaran dan penglihatan; dan kita tidak sebut, ‘Bagaimana hakikat tangan Allah, dsb?’ dan tidak pula kita katakan, ‘Sifat Allah itu sama dengan sifat kita (yaitu tangan Allah sama dengan tangan kita)’; seperti ini tidaklah disebut tasybih. Karena ingatlah Allah Ta’ala berfirman,
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha Mendengar dan Melihat.” (QS. Asy Syuro: 11)[21]

Jadi ingatlah bahwa menyatakan Allah beristiwa’ (menetap tinggi) di atas ‘Arsy, di atas langit ketujuh bukan berarti kita menyerupakan Allah dengan makhluk. Namun kita yakini sifat Allah itu jauh berbeda dengan makhluk-Nya, karena itulah perbedaan Allah yang memiliki sifat kemuliaan dan makhluk yang selalu dipenuhi kehinaan. Itulah memang karakter busuk dari Jahmiyah, asal menuduh yang bukan-bukan. Bagi setiap orang yang menetapkan sifat Allah, maka dituduhlah Mujassimah. Jauh-jauh hari, Ahmad bin Abdul Halim Al Haroni telah mengisyaratkan,
فالمعتزلة والجهمية ونحوهم من نفاة الصفات يجعلون كل من أثبتها مجسما مشبها ومن هؤلاء من يعد من المجسمة والمشبهة من الأئمة المشهورين كمالك والشافعي وأحمد وأصحابهم كما ذكر ذلك أبو حاتم صاحب كتاب الزينة وغيره
“Mu’tazilah, Jahmiyah dan semacamnya yang menolak sifat Allah, mereka menyebut setiap orang yang menetapkan sifat bagi Allah sebagai mujassimah atau musyabbihah. Bahkan di antara mereka menyebut para Imam besar yang telah masyhur (seperti Imam Malik, Imam Asy Syafi’i, Imam Ahmad dan pengikut setia mereka) sebagai mujassimah atau musyabbihah (yang menyerupakan Allah dengan makhluk). Sebagaimana hal ini disebutkan oleh Abu Hatim, penulis kitab Az Zinah dan ulama lainnya.”[22]

Itulah tuduhan Jahmiyah. Kami tutup tulisan berikut ini dengan menyampaikan perkataan Abu Nu’aim Al Ash-bahani, penulis kitab Al Hilyah. Beliau rahimahullah, “Metode kami (dalam menetapkan sifat Allah) adalah jalan hidup orang yang mengikuti Al Kitab, As Sunnah dan ijma’ (konsensus para ulama). Di antara i’tiqod (keyakinan) yang dipegang oleh mereka (para ulama) bahwasanya hadits-hadits yang shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menetapkan Allah berada di atas ‘Arsy dan mereka meyakini bahwa Allah beristiwa’ (menetap tinggi) di atas ‘Arsy-Nya. Mereka menetapkan hal ini tanpa melakukan takyif (menyatakan hakekat sifat tersebut), tanpa tamtsil (memisalkannya dengan makhluk) dan tanpa tasybih (menyerupakannya dengan makhluk). Allah sendiri terpisah dari makhluk dan makhluk pun terpisah dari Allah. Allah tidak mungkin menyatu dan bercampur dengan makhluk-Nya. Allah menetap tinggi di atas ‘Arsy-Nya di langit sana dan bukan menetap di bumi ini bersama makhluk-Nya.”[23]

Semoga tulisan kali ini bias sebagai renungan bagi orang yang mencari kebenaran. Nantikan serial selanjutnya. Kami akan menyebutkan perkataan ulama Ahlis Sunnah yang menyanggah pemahaman Jahmiyah semacam abusalafy yang menyatakan “Allah itu ada tanpa tempat”. Semoga Allah mudahkan.
Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat.

Diselesaikan di Pangukan, Sleman, 12 Rabi’ul Akhir 1431 H (27/03/2010)
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal (Abu Rumaysho Al Ambony)
Artikel http://rumaysho.com


[1] Imam Abu Hanifah hidup pada tahun 80-150 H.
[2] Lihat Itsbatu Shifatul ‘Uluw, Ibnu Qudamah Al Maqdisi, hal. 116-117, Darus Salafiyah, Kuwait, cetakan pertama, 1406 H. Lihat pula Mukhtashor Al ‘Uluw, Adz Dzahabiy, Tahqiq: Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani, hal. 137, Al Maktab Al Islamiy.
[3] Syaikh Al Albani rahimahullah memberikan pelajaran cukup berharga dalam Mukhtashor Al ‘Uluw, perkataan Adz Dzahabi di sini menandakan bahwa kitab Fiqhul Akbar bukanlah milik Imam Abu Hanifah, dan ini berbeda dengan berbagai anggapan yang telah masyhur di kalangan Hanafiyah. (Lihat Mukhtashor Al ‘Uluw, hal. 136)
[4] QS. Thaha: 5.
[5] Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghofar, Adz Dzahabi, hal. 135-136, Maktab Adhwaus Salaf, Riyadh, cetakan pertama, 1995.
[6] Imam Malik hidup pada tahun 93-179 H.
[7] Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar, hal. 138.
[8] QS. Thaha: 5.
[9] Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghofar, hal. 378.
[10] Imam Asy Syafi’I hidup pada tahun 150-204 H.
[11] Lihat Itsbatu Shifatul ‘Uluw, hal. 123-124. Disebutkan pula dalam Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghofar, hal.165
[12] Imam Ahmad bin Hambal hidup pada tahun 164-241 H.
[13] Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghofar, hal. 176. Lihat pula Mukhtashor Al ‘Uluw, hal. 189.
[14] QS. Al Hadiid: 4
[15] QS. Al Mujadilah: 7
[16] Lihat Itsbat Sifatil ‘Uluw, hal. 116
[17] Lihat Itsbat Sifatil ‘Uluw, hal. 118
[18] QS. Thaha: 5.
[19] Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghofar, hal. 179. Lihat Mukhtashor Al ‘Uluw, hal. 194.
[20] Idem
[21] Lihat Mukhtashor Al ‘Uluw, hal. 67.
[22] Minhajus Sunnah Nabawiyah fii Naqdi Kalamisy Syi’ah wal Qodariyah, Ahmad bin Abdul Halim Al Haroni, 2/44, Muassasah Qurthubah, cetakan pertama, tahun 1406 H.
[23] Dinukil dari Majmu’ Al Fatawa, Ahmad bin Abdul Halim Al Haroni, 5/60, Darul Wafa’, cetakan ketiga, 1426 H.

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.