
Alhamdulillah wa shalaatu wa salaamu ‘ala Rasulillah wa ‘ala aalihi wa shohbihi ajma’in. Perlu diketahui bahwa syubhat atau berbagai kerancuan dari Abu Salafy cs
  yang menyatakan kebenciannya pada dakwah Ahlus Sunnah Salafiyah  
sebenarnya hanyalah warisan dari pemahaman aliran sesat Jahmiyah, akar  
dari pemahaman mereka. Para ulama secara tegas mewanti-wanti pemikiran  
sesat tersebut. Sampai-sampai Adz Dzahabi dalam kitabnya Al ‘Uluw lil  
‘Aliyyil Ghoffar membawakan berbagai perkataan ulama masa silam yang  
jelas-jelas menyatakan bahayanya pemikiran Jahmiyah. Itulah yang akan  
kami nukil dalam posting kali ini dan posting selanjutnya. Adz Dzahabi  
menyebutkan perkataan ulama besar tersebut untuk membantah perkataan  
Jahmiyah dan orang-orang yang mengikutinya, di mana mereka tidak  
meyakini Allah di atas langit, dan tidak meyakini Allah menetap tinggi  
di atas ‘Arsy-Nya.
Juga mungkin masih banyak di antara kita yang ragu dengan kurang  jelas 
dalam memahami ayat-ayat yang menyatakan bahwa Allah itu bersama  dengan
 kita atau Allah itu dekat. Semuanya terjawab pula dalam  penjelesan 
ulama-ulama besar berikut ini. Hanya Allah yang beri taufik  kepada Al Haq (kebenaran).
Al Auza’i Abu ‘Amr ‘Abdurrahman bin ‘Amr[1], Seorang Alim di Negeri Syam di Masanya Berbicara Mengenai Keyakinannya 
قال
 أبو عبد الله الحاكم أخبرني محمد بن علي  الجوهري ببغداد قال حدثنا 
إبراهيم بن الهيثم البلدي قال حدثنا محمد بن كثير  المصيصي قال سمعت 
الأوزاعي يقول كنا والتابعون متوافرون نقول إن الله  عزوجل فوق عرشه ونؤمن 
بما وردت به السنة من صفاته
Abu ‘Abdillah Al Hakim mengatakan, 
Muhammad bin Ali Al Jauhari telah  mengabarkan kepadaku di Bagdad. Ia 
mengatakan, Ibrahim bin Al Haitsam Al  Baladi telah menceritakan pada 
kami.  Ia mengatakan, Muhammd bin Katsir  Al Missisiy telah menceritakan
 pada kami. Ia berkata, aku mendengar Al  Auza’i mengatakan, “Kami dan 
pengikut kami mengatakan bahwa 
Allah ‘azza  wa jalla berada di atas ‘Arsy-Nya. Kami beriman terhadap sifat-Nya yang  ditunjukkan oleh As Sunnah.”
[2]
وروى أبو إسحاق الثعلبي المفسر قال سئل الأوزاعي عن قوله تعالى ثم استوى على العرش قال هو على عرشه كما وصف نفسه
Diriwayatkan
 dari Abu Ishaq Ats Tsa’labi –seorang pakar tafsir, ia  berkata, “Al 
Auza’i pernah ditanya mengenai firman Allah Ta’ala,
ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ
‘’Kemudian Allah menetap tinggi di atas ‘Arsy-Nya”. Al Auza’iy  mengatakan, “
Allah berada di atas ‘Arsy-Nya sebagaimana yang Dia sifati  bagi Diri-Nya.”
[3]
Muqothil bin Hayyan[4], Seorang Alim di Negeri Khurosan dan Sezaman dengan Al Auza’i Meyakini Keberadaan Allah di Atas  
روى
 عبد الله بن أحمد بن حنبل في كتاب السنة  له عن أبيه عن نوح بن ميمون عن 
بكير بن معروف عن مقاتل بن حيان في قوله  تعالى ما يكون من نجوى ثلاثة إلا 
هو رابعهم قال هو على عرشه وعلمه معهم
Diriwayatkan oleh Abdullah bin
 Ahmad bin Hambal dalam kitab As  Sunnah-nya, dari ayahnya (Imam Ahmad),
 dari Nuh bin Maimun, dari Bukair  bin Ma’ruf, dari Muqotil bin Hayyan. 
Ketika Muqotil membicarakan ayat,
مَا يَكُونُ مِنْ نَجْوَى ثَلَاثَةٍ إِلَّا هُوَ رَابِعُهُمْ
“
Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dia-lah keempatnya”  (QS. Al Mujadilah: 7), beliau mengatakan, “
Allah tetap berada di atas  ‘Arsy-Nya, sedangkan ilmu-Nya yang senantiasa bersama makhluk-Nya.”
[5]
وروى البيهقي بإسناده عن مقاتل بن حيان قال 
 بلغنا والله أعلم في قوله تعالى هو الأول والآخر هو الأول قبل كل شيء  
والآخر بعد كل شيء والظاهر فوق كل شيء والباطن أقرب من كل شيء وإنما قربه  
بعلمه وهو فوق عرشه مقاتل هذا ثقة إمام معاصر للأوزاعي ما هو بإبن سليمان  
ذاك مبتدع ليس بثقة
Diriwayatkan dari Al Baihaqi dengan sanad 
darinya, dari Muqotil bin  Hayyan. Ia berkata, “Allah-lah yang lebih 
memahami firman-Nya:
هُوَ الْأَوَّلُ وَالْآَخِرُ
Huwal awwalu wal akhiru … (Allah adalah Al Awwal dan Al Akhir …) (QS. Al Hadiid: 3). Makna 
Al Awwalu adalah sebelum segala sesuatu. 
Al Akhir adalah setelah segala sesuatu. 
Azh Zhohir adalah di atas segala sesuatu. 
Al Bathin adalah  lebih dekat dari segala sesuatu. 
Kedekatan Allah adalah dengan  ilmu-Nya. Sedangkan Allah sendiri berada di atas ‘Arsy-Nya.”
Adz Dzahabi mengatakan, “Muqotil adalah ulama yang tsiqoh dan dia adalah imam besar yang semasa dengan Al Auza’i.”
[6]
  
Sufyan Ats Tsauri[7], Ulama Besar di Masanya 
روى غير واحد عن معدان الذي يقول فيه ابن المبارك هو أحد الأبدال قال سألت سفيان الثوري عن قوله عزوجل وهو معكم أينما كنتم قال علمه
Diriwayatkan
 lebih dari satu orang dari Mi’dan, yang Ibnul Mubarok  juga mengatakan 
hal ini. Ia mengatakan bahwa ia bertanya pada Sufyan Ats  Tsauri 
mengenai firman Allah ‘azza wa jalla,
وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَا كُنْتُمْ
“
Dia (Allah) bersama kalian di mana saja kalian berada.”  (QS. Al Hadid: 4). Sufyan Ats Tsauri menyatakan bahwa 
yang dimaksudkan  adalah ilmu Allah (yang berada bersama kalian, 
bukan dzat Allah, pen).
[8]
Seorang Alim Besar Negeri Khurosan, Abdullah bin Al Mubarok Menyatakan Allah Berada di Atas Langit Ketujuh
صح
 عن علي بن الحسن بن شقيق قال قلت لعبد الله  بن المبارك كيف نعرف ربنا 
عزوجل قال في السماء السابعة على عرشه ولا نقول  كما تقول الجهمية إنه 
هاهنا في الأرض  فقيل هذا لأحمد بن حنبل فقال هكذا هو  عندنا
Telah 
shahih dari ‘Ali bin Al Hasan bin Syaqiq, dia berkata, “Aku  berkata 
kepada Abdullah bin Al Mubarok, bagaimana kita mengenal Rabb  kita ‘azza
 wa jalla. Ibnul Mubarok menjawab, “
Rabb kita berada di atas  langit ketujuh dan di atasnya adalah ‘Arsy.
 Tidak boleh kita mengatakan  sebagaimana yang diyakini oleh orang-orang
 Jahmiyah yang mengatakan  bahwa Allah berada di sini yaitu di muka 
bumi.” Kemudian ada yang  menanyakan tentang pendapat Imam Ahmad bin 
Hambal mengenai hal ini.  Ibnul Mubarok menjawab, “Begitulah Imam Ahmad 
sependapat dengan kami.”
[9]
وروى عبد الله بن أحمد في الرد على الجهمية 
 بإسناده عن ابن المبارك أن رجلا قال له يا أبا عبد الرحمن قد خفت الله من 
 كثرة ما أدعو على الجهمية
قال لا تخف فإنهم يزعمون أن إلهك الذي في السماء ليس بشيء
Diriwayatkan
 dari Abudllah bin Ahmad ketika membantah pendapat  Jahmiyah dan beliau 
membawakan sandanya dari Ibnul Mubarok. Ia ceritakan  bahwa ada 
seseorang yang mengatakan pada Ibnul Mubarok, “Wahai Abu  ‘Abdirrahman 
(Ibnul Mubarok), sungguh pengenalan tentang Allah menjadi  samar karena 
pemikiran-pemikiran yang diklaim oleh Jahmiyah.” Ibnul  Mubarok lantas 
menjawab, “Tidak usah khawatir. Mereka mengklaim bahwa  Allah sebagai 
sesembahanmu yang sebenarnya berada di atas langit sana,  namun mereka 
katakan Allah tidak di atas langit.”
[10]
‘Abbad bin Al ‘Awwam[11], Muhaddits (Pakar Hadits) dari Daerah Wasith 
قال
 عباد بن العوام كلمت بشرا المريسي وأصحابه  فرأيت آخر كلامهم ينتهي إلى أن
 يقولوا ليس في السماء شيء  أرى أن لا  يناكحوا ولا يوارثوا
‘Abbad 
bin Al ‘Awwam mengatakan, “Aku pernah berkata Basyr Al Murosi  dan 
pengikutnya, aku pun melihat bahwa mereka mengatakan, “Tidak atas  
langit tidak ada sesuatu pun. Aku menilai bahwa orang semacam ini tidak 
 boleh dinikahi dan diwarisi.”
[12]
Syaikhul Islam Yazid bin Harun[13] 
قال
 الحافظ أبو عبد الرحمن بن الإمام أحمد في  كتاب الرد على الجهمية حدثني 
عباس العنبري أخبرنا شاذ بن يحيى سمعت يزيد بن  هارون وقيل له من الجهمية 
قال من زعم أن الرحمن على العرش استوى على خلاف  ما يقر في قلوب العامة فهو
 جهمي
Al Hafizh Abu ‘Abdirrahman bin Al Imam Ahmad dalam kitab 
bantahan  terhadap Jahmiyah, ia mengatakan, ‘Abbas Al Ambari telah 
menceritakan  padaku, ia mengatakan, Syadz bin Yahya telah menceritakan 
pada kami  bahwa ia mendengar Yazid bin Harun ditanya tentang Jahmiyah. 
Yazid  mengatakan, “Siapa yang mengklaim bahwa Allah Yang Maha Pengasih 
menetap  tinggi di atas ‘Arsy namun menyelisih apa yang diyakini oleh 
hati  mayoritas manusia, maka ia adalah Jahmi.”
[14]
Sa’id bin ‘Amir Adh Dhuba’i[15], Ulama Bashroh 
قال
 عبد الرحمن بن أبي حاتم حدثنا أبي قال  حدثت عن سعيد ابن عامر الضبعي أنه 
ذكر الجهمية فقال هم شر قولا من اليهود  والنصارى  قد إجتمع اليهود 
والنصارى وأهل الأديان مع المسلمين على أن الله  عزوجل على العرش وقالوا هم
 ليس على شيء
‘Abdurrahman bin Abi Hatim berkata, ayahku 
menceritakan kepada kami,  ia berkata aku diceritakan dari Sa’id bin 
‘Amir Adh Dhuba’I bahwa ia  berbicara mengenai Jahmiyah. Beliau berkata,
 “Jahmiyah lebih jelek dari  Yahudi dan Nashrani. Telah diketahui bahwa 
Yahudi dan Nashrani serta  agama lainnya bersama kaum muslimin 
bersepakat bahwa 
Allah ‘azza wa  jalla menetap tinggi di atas ‘Arsy. Sedangkan Jahmiyah, mereka katakan  bahwa Allah tidak di atas sesuatu pun.”
[16]
‘Abdurrahman bin Mahdi[17], Seorang Imam Besar 
ابن مهدي قال إن الجهمية أرادوا أن ينفوا أن يكون الله كلم موسى وأن يكون على العرش أرى أن يستتابوا فإن تابوا وإلا ضربت أعناقهم 
‘Abdurrahman
 bin Mahdi mengatakan bahwa Jahmiyah menginginkan agar  dinafikannya 
pembicaraan Allah dengan Musa, dinafikannya keberedaan  Allah menetap 
tinggi di atas ‘Arsy. Orang seperti ini mesti dimintai  taubat. Jika 
tidak, maka lehernya pantas dipenggal.
[18]
Wahb bin Jarir[19], Ulama Besar Bashroh 
محمد
 بن حماد قال سمعت وهب بن جرير يقول إياكم  ورأي جهم فإنهم يحاولون أنه ليس
 شيء في السماء وما هو إلا من وحي إبليس ما  هو إلا الكفر
Muhammad 
bin Hammad mengatakan bahwa ia mendengar Wahb bin Jarir  berkata, 
“Waspadalah dengan pemikiran Jahmiyam. Sesungguhnya mereka  memalingkan 
makna bahwa di atas langit sesuatu pun (berarti Allah tidak  di atas 
langit, pen). Sesungguhnya pemikiran semacam ini hanyalah wahyu  dari 
Iblis. Perkataan semacam tidak lain hanyalah 
perkataan kekufuran.”
[20]
Al Qo’nabi[21], Ulama Besar di Masanya 
قال
 بنان بن أحمد كنا عند القعنبي رحمه الله  فسمع رجلا من الجهمية يقول 
الرحمن على العرش استوى فقال القعنبي من لا يوقن  أن الرحمن على العرش 
استوى كما يقر في قلوب العامة فهو جهمي أخرجهما عبد  العزيز القحيطي في 
تصانيفه والمراد بالعامة عامة أهل العلم كما بيناه في  ترجمة يزيد بن هارون
 إمام أهل واسط ولقد كان القعنبي من أئمة الهدى حتى لقد  تغالى فيه بعض 
الحفاظ وفضله على مالك الإمام
Bunan bin Ahmad mengatakan, “Aku 
pernah berada di sisi Al Qo’nabi, ia  mendengar seorang yang berpahaman 
Jahmiyah menyebutkan firman Allah,
الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى
“
Ar Rahman (yaitu Allah) menetap tinggi di atas ‘Arsy.”
[22]
  Al Qo’nabi lantas mengatakan, “Siapa yang tidak meyakini Ar Rahman  
(yaitu Allah) menetap tinggi di atas ‘Arsy sebagaimana diyakini oleh  
para ulama, maka ia adalah Jahmi.”
[23]
Al Humaidi[24]
  (Abdullah bin Az Zubair Al Qurosyi Al Asadi Al Humaidi), Ulama Besar  
Makkah, Murid dari Sufyan bin ‘Uyainah, Guru dari Imam Al Bukhari 
Al Humaidi mengatakan,
أصول السنة عندنا فذكر أشياء ثم قال وما نطق
  به القرآن والحديث مثل وقالت اليهود يد الله مغلولة غلت أيديهم ومثل قوله
  والسموات مطويات بيمينه وما أشبه هذا من القرآن والحديث لا نزيد فيه ولا 
 نفسره ونقف على ما وقف عليه القرآن والسنة ونقول الرحمن على العرش استوى  
ومن زعم غير هذا فهو مبطل جهم
Aqidah yang paling pokok yang kami 
yakini (lalu beliau menyebutkan  beberapa hal): Ayat atau hadits yang 
menyebutkan (misalnya tangan Allah,  pen),
وَقَالَتِ الْيَهُودُ يَدُ اللَّهِ مَغْلُولَةٌ غُلَّتْ أَيْدِيهِمْ
“
Orang-orang Yahudi berkata: "Tangan Allah terbelenggu", sebenarnya tangan merekalah yang dibelenggu”
[25]
Semisal pula firman Allah,
وَالسَّماوَاتُ مَطْوِيَّاتٌ بِيَمِينِهِ
“
Dan langit digulung dengan tangan kanan-Nya”
[26],
  dan juga ayat dan hadits yang semisal itu, kami tidak akan menambah 
dan  kami tidak akan menafsirkan (bagaimanakah hakekat sifat tersebut). 
Kami  cukup berdiam diri sebagaimana yang dituntunkan Al Quran dan Hadits  Nabawi (yang tidak menyebutkan hakekatnya). Kami pun meyakini,
الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى
“
Ar Rahman (yaitu Allah) menetap tinggi di atas ‘Arsy.”
[27] Barangsiapa yang tidak meyakini seperti ini, maka dialah Jahmiyah yang penuh kebatilan.
[28]
Kritik: Tidak Tepat Menerjemahkan Istiwa’ dengan “Bersemayam”
Ketika menafsirkan firman Allah Ta’ala dalam surat Thoha ayat 5,
الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى
Ada yang menafsirkan: “Ar Rahman (yaitu Allah) bersemayam di atas ‘Arsy”. Kata istiwa’ di sini diartikan dengan bersemayam.
Penulis (Abu Rumaysho) berkata, “Pemaknaan seperti ini tidak tepat  
karena orang awam malah akan memahami bahwa Allah itu bersemayam (yang  
berarti duduk) di singgasana sebagaimana raja. Akibatnya bisa terjadi  
tasybih (menyerupakan sifat Allah dengan sifat makhluk) dalam sifat  
istiwa’ ini. Yang benar makna istiwa’ sebagaimana dijelaskan oleh Abul  
‘Aliyah dan Mujahid yang dinukil oleh Imam Al Bukhari dalam kitab  
shahihnya:
قَالَ أَبُو الْعَالِيَةِ ( اسْتَوَى إِلَى السَّمَاءِ ) ارْتَفَعَ
Abul ‘Aliyah mengatakan bahwa maksud dari ‘istiwa’ di atas langit’ adalah 
irtafa’a (naik).
. وَقَالَ مُجَاهِدٌ ( اسْتَوَى ) عَلاَ عَلَى الْعَرْشِ
Mujahid mengatakan mengenai istiwa’ adalah ‘
alaa (menetap tinggi) di atas ‘Arsy.
Salah paham dalam menafsirkan hal ini, akhirnya membuat sebagian  orang 
salah paham dengan istiwa’ Allah. Semoga bisa jadi kritikan  berharga.“
Kesimpulan dari pembahasan ini:
Para
 ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah dari masa ke masa telah  menyepakati 
(berijma’) bahwa Allah berada di atas ‘Arsy. Dan tidak ada  satu pun 
dari mereka yang menyatakan bahwa Allah tidak berada di atas  ‘Arsy-Nya.
 Tidak mungkin seorang pun yang bisa menukil dari para ulama  yang ada 
yang menyatakan bahwa Allah tidak di atas ‘Arsy-Nya baik secara  nash 
(dalil tegas) atau secara zhahir (dalil yang mengandung makna  lebih 
kuat).
Pembuktian dari ulama-ulama Ahlus Sunnah dari masa ke masa masih  
berlanjut pada posting selanjutnya insya Allah. Begitu pula berbagai  
kerancuan yang dikemukakan oleh pengikut Jahmiyah tentang istiwa’ Allah,
  Allah ada tanpa tempat, dan lainnya masih berlanjut dalam posting  
selanjutnya.
Semoga Allah memberi kemudahan.
Diselesaikan ketika waktu Dhuha di Panggang-GK, 26 Rabi’ul Akhir 1431 H (10/04/2010),
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal (Abu Rumaysho Al Ambony)
Artikel 
www.rumaysho.com
[1] Al Auza’i hidup sebelum tahun 157 H.
[2]
  Dikeluarkan oleh Al Baihaqi dalam Kitab Al Asma’ wa Ash Shifat. Lihat 
 Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar, 136. Ibnu Taimiyah sebagaimana dalam Al 
 Aqidah Al Hamawiyah menyatakan bahwa sanadnya shahih, sebagaimana pula 
 hal ini diikuti oleh muridnya (Ibnul Qayyim) dalam Al Juyusy Al  
Islamiyah.
[3] Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar, 137
[4] Muqotil bin Hayyan semasa dengan Imam Al Auza’i, beliau hidup sebelum tahun 150 H.
[5]
  Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar, 137. Syaikh Al Albani mengatakan 
 bahwa riwayat ini hasan. Perkataan ini dikatakan dalam kitab As Sunnah 
 (hal. 71), dikeluarkan oleh Abu Daud dalam Masa-ilnya (hal. 263) dari  
Imam Ahmad. Juga diriwayatkan dari Al Lalika-i (2/92/1), Al Baihaqi  
(hal. 430-431). Dari riwayatnya tersebut, juga dikatakan dari Adh  
Dhohak. Riwayat ini juga adalah riwayat Al Ajuri (hal. 289). Lihat  
Mukhtashor Al ‘Uluw, hal. 138.
[6]
  Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar, 137. Syaikh Al Albani mengatakan 
 bahwa dalam sanad yang disebutkan oleh Al Baihaqi (hal. 430-431)  
terdapat Ismail bin Qutaibah. Ibnu Abi Hatim tidak memberikan penilaian 
 positif (ta’dil) atau negatif (jarh) terhadapnya. Telah diriwayatkan  
pula oleh Abu Muhammad Abdullah bin Muhammad bin Musa Al Ka’bi, rowi  
dari atsar ini darinya. Beliau merupakan guru dari Al Hakim. Lihat  
Mukhtashor Al ‘Uluw, hal. 138.
[7] Sufyan Ats Tsauri hidup pada tahun 97-161 H.
[8] Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar, 137-138.
[9]
  Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar, 149. Riwayat ini dishahihkan oleh
  Ibnu Taimiyah dalam Al Hamawiyah dan Ibnul Qayyim dalam Al Juyusy. 
Lihat  Mukhtashor Al ‘Uluw, hal. 152.
[10]
  Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar, 150. Syaikh Al Albani mengatakan 
 dikeluarkan dalam As Sunnah (hal. 7) dari Ahmad bin Nashr, dari Malik, 
 telah mengabarkan kepadaku seseorang dari Ibnul Mubarok. Seluruh  
periwayatnya tsiqoh (terpercaya) kecuali yang tidak disebutkan namanya. 
 Lihat Mukhtashor Al ‘Uluw, hal. 152.
[11] ‘Abbad bin Al ‘Awwam hidup sekitar tahun 185 H.
[12] Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar, 151.
[13] Yazid bin Harun hidup sebelum tahun 206 H.
[14]
  Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar, 157. Abdullah bin Ahmad  
mengeluarkan dalam As Sunnah (hal. 11-12) dari jalannya. Namun Adz  
Dzahabi menyebutkan dari selain kitab itu yaitu dalam kitab Ar Rodd  
‘alal Jahmiyah (bantahan terhadap Jahmiyah), Abdullah berkata, Abbas bin
  Al ‘Azhim Al Ambari telah mengabarkan pada kamim Syadz bin Yahya telah
  menceritakan pada kami. Juga riwayat ini dikeluarkan oleh Abu Daud 
dalam  Masail (hal. 268), ia berkata, Ahmad bin Sinan telah menceritakan
 pada  kami, ia berkata: Aku mendengar Syadz bin Yahya. Lihat Mukhtashor
 Al  ‘Uluw, hal. 168.
[15] Sa’id bin ‘Amir Adh Dhuba’iy hidup pada tahun 122-208 H.
[16] Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar, hal. 157 dan Mukhtashor Al ‘Uluw hal. 168.
[17] ‘Abdurrahman bin Mahdi hidup pada tahun 125-198 H.
[18]
  Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar, hal. 159. Dikeluarkan pula oleh  
Abdullah (hal. 10-11) dari jalannya, disebutkan secara ringkas. Ibnul  
Qayyim menshahihkan riwayat ini dalam Al Juyusy. Lihat Mukhtashor Al  
‘Uluw hal. 170.
[19] Wahb bin Jarir meninggal tahun 206 H.
[20]
  Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar, hal. 159. Atsar ini dishahihkan  
oleh Ibnul Qayyim dalam Al Juyusy. Lihat Mukhtashor Al ‘Uluw, hal. 170.
[21] Al Qo’nabi meninggal tahun 221 H.
[22] QS. Thoha: 5.
[23]
  Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar, hal. 166. Bunan bin Ahmad tidak  
mengapa, sejarah hidupnya disebutkan di Tarikh Bagdad. Mukhtashor Al  
‘Uluw, hal. 178.
[24] Al Humaidi meninggal tahun 219 H.
[25] QS. Al Maidah: 64.
[26] QS. Az Zumar: 67
[27] QS. Thoha: 5.
[28]
  Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar, hal. 168. Ibnu Taimiyah telah  
menshahihkan atsar ini dari Al Humaidi dalam Kitabnya “Mufashol Al  
I’tiqod”. Lihat Mukhtashor Al ‘Uluw hal. 180.
 
1 komentar:
Sunni : “Afwan yaa akhi. Apakah definisi tauhid itu?”
Salafi : “Tauhid adalah engkau menunjuk ke arah langit seraya bersaksi bahwa tiada Tuhan melainkan di atas langit.”
Posting Komentar