Alhamdulillah wa shalaatu wa salaamu ‘ala Rasulillah wa ‘ala aalihi wa shohbihi ajma’in. Perlu diketahui bahwa syubhat atau berbagai kerancuan dari Abu Salafy cs
yang menyatakan kebenciannya pada dakwah Ahlus Sunnah Salafiyah
sebenarnya hanyalah warisan dari pemahaman aliran sesat Jahmiyah, akar
dari pemahaman mereka. Para ulama secara tegas mewanti-wanti pemikiran
sesat tersebut. Sampai-sampai Adz Dzahabi dalam kitabnya Al ‘Uluw lil
‘Aliyyil Ghoffar membawakan berbagai perkataan ulama masa silam yang
jelas-jelas menyatakan bahayanya pemikiran Jahmiyah. Itulah yang akan
kami nukil dalam posting kali ini dan posting selanjutnya. Adz Dzahabi
menyebutkan perkataan ulama besar tersebut untuk membantah perkataan
Jahmiyah dan orang-orang yang mengikutinya, di mana mereka tidak
meyakini Allah di atas langit, dan tidak meyakini Allah menetap tinggi
di atas ‘Arsy-Nya.
Juga mungkin masih banyak di antara kita yang ragu dengan kurang jelas
dalam memahami ayat-ayat yang menyatakan bahwa Allah itu bersama dengan
kita atau Allah itu dekat. Semuanya terjawab pula dalam penjelesan
ulama-ulama besar berikut ini. Hanya Allah yang beri taufik kepada Al Haq (kebenaran).
Al Auza’i Abu ‘Amr ‘Abdurrahman bin ‘Amr[1], Seorang Alim di Negeri Syam di Masanya Berbicara Mengenai Keyakinannya
قال
أبو عبد الله الحاكم أخبرني محمد بن علي الجوهري ببغداد قال حدثنا
إبراهيم بن الهيثم البلدي قال حدثنا محمد بن كثير المصيصي قال سمعت
الأوزاعي يقول كنا والتابعون متوافرون نقول إن الله عزوجل فوق عرشه ونؤمن
بما وردت به السنة من صفاته
Abu ‘Abdillah Al Hakim mengatakan,
Muhammad bin Ali Al Jauhari telah mengabarkan kepadaku di Bagdad. Ia
mengatakan, Ibrahim bin Al Haitsam Al Baladi telah menceritakan pada
kami. Ia mengatakan, Muhammd bin Katsir Al Missisiy telah menceritakan
pada kami. Ia berkata, aku mendengar Al Auza’i mengatakan, “Kami dan
pengikut kami mengatakan bahwa
Allah ‘azza wa jalla berada di atas ‘Arsy-Nya. Kami beriman terhadap sifat-Nya yang ditunjukkan oleh As Sunnah.”
[2]
وروى أبو إسحاق الثعلبي المفسر قال سئل الأوزاعي عن قوله تعالى ثم استوى على العرش قال هو على عرشه كما وصف نفسه
Diriwayatkan
dari Abu Ishaq Ats Tsa’labi –seorang pakar tafsir, ia berkata, “Al
Auza’i pernah ditanya mengenai firman Allah Ta’ala,
ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ
‘’Kemudian Allah menetap tinggi di atas ‘Arsy-Nya”. Al Auza’iy mengatakan, “
Allah berada di atas ‘Arsy-Nya sebagaimana yang Dia sifati bagi Diri-Nya.”
[3]
Muqothil bin Hayyan[4], Seorang Alim di Negeri Khurosan dan Sezaman dengan Al Auza’i Meyakini Keberadaan Allah di Atas
روى
عبد الله بن أحمد بن حنبل في كتاب السنة له عن أبيه عن نوح بن ميمون عن
بكير بن معروف عن مقاتل بن حيان في قوله تعالى ما يكون من نجوى ثلاثة إلا
هو رابعهم قال هو على عرشه وعلمه معهم
Diriwayatkan oleh Abdullah bin
Ahmad bin Hambal dalam kitab As Sunnah-nya, dari ayahnya (Imam Ahmad),
dari Nuh bin Maimun, dari Bukair bin Ma’ruf, dari Muqotil bin Hayyan.
Ketika Muqotil membicarakan ayat,
مَا يَكُونُ مِنْ نَجْوَى ثَلَاثَةٍ إِلَّا هُوَ رَابِعُهُمْ
“
Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dia-lah keempatnya” (QS. Al Mujadilah: 7), beliau mengatakan, “
Allah tetap berada di atas ‘Arsy-Nya, sedangkan ilmu-Nya yang senantiasa bersama makhluk-Nya.”
[5]
وروى البيهقي بإسناده عن مقاتل بن حيان قال
بلغنا والله أعلم في قوله تعالى هو الأول والآخر هو الأول قبل كل شيء
والآخر بعد كل شيء والظاهر فوق كل شيء والباطن أقرب من كل شيء وإنما قربه
بعلمه وهو فوق عرشه مقاتل هذا ثقة إمام معاصر للأوزاعي ما هو بإبن سليمان
ذاك مبتدع ليس بثقة
Diriwayatkan dari Al Baihaqi dengan sanad
darinya, dari Muqotil bin Hayyan. Ia berkata, “Allah-lah yang lebih
memahami firman-Nya:
هُوَ الْأَوَّلُ وَالْآَخِرُ
Huwal awwalu wal akhiru … (Allah adalah Al Awwal dan Al Akhir …) (QS. Al Hadiid: 3). Makna
Al Awwalu adalah sebelum segala sesuatu.
Al Akhir adalah setelah segala sesuatu.
Azh Zhohir adalah di atas segala sesuatu.
Al Bathin adalah lebih dekat dari segala sesuatu.
Kedekatan Allah adalah dengan ilmu-Nya. Sedangkan Allah sendiri berada di atas ‘Arsy-Nya.”
Adz Dzahabi mengatakan, “Muqotil adalah ulama yang tsiqoh dan dia adalah imam besar yang semasa dengan Al Auza’i.”
[6]
Sufyan Ats Tsauri[7], Ulama Besar di Masanya
روى غير واحد عن معدان الذي يقول فيه ابن المبارك هو أحد الأبدال قال سألت سفيان الثوري عن قوله عزوجل وهو معكم أينما كنتم قال علمه
Diriwayatkan
lebih dari satu orang dari Mi’dan, yang Ibnul Mubarok juga mengatakan
hal ini. Ia mengatakan bahwa ia bertanya pada Sufyan Ats Tsauri
mengenai firman Allah ‘azza wa jalla,
وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَا كُنْتُمْ
“
Dia (Allah) bersama kalian di mana saja kalian berada.” (QS. Al Hadid: 4). Sufyan Ats Tsauri menyatakan bahwa
yang dimaksudkan adalah ilmu Allah (yang berada bersama kalian,
bukan dzat Allah, pen).
[8]
Seorang Alim Besar Negeri Khurosan, Abdullah bin Al Mubarok Menyatakan Allah Berada di Atas Langit Ketujuh
صح
عن علي بن الحسن بن شقيق قال قلت لعبد الله بن المبارك كيف نعرف ربنا
عزوجل قال في السماء السابعة على عرشه ولا نقول كما تقول الجهمية إنه
هاهنا في الأرض فقيل هذا لأحمد بن حنبل فقال هكذا هو عندنا
Telah
shahih dari ‘Ali bin Al Hasan bin Syaqiq, dia berkata, “Aku berkata
kepada Abdullah bin Al Mubarok, bagaimana kita mengenal Rabb kita ‘azza
wa jalla. Ibnul Mubarok menjawab, “
Rabb kita berada di atas langit ketujuh dan di atasnya adalah ‘Arsy.
Tidak boleh kita mengatakan sebagaimana yang diyakini oleh orang-orang
Jahmiyah yang mengatakan bahwa Allah berada di sini yaitu di muka
bumi.” Kemudian ada yang menanyakan tentang pendapat Imam Ahmad bin
Hambal mengenai hal ini. Ibnul Mubarok menjawab, “Begitulah Imam Ahmad
sependapat dengan kami.”
[9]
وروى عبد الله بن أحمد في الرد على الجهمية
بإسناده عن ابن المبارك أن رجلا قال له يا أبا عبد الرحمن قد خفت الله من
كثرة ما أدعو على الجهمية
قال لا تخف فإنهم يزعمون أن إلهك الذي في السماء ليس بشيء
Diriwayatkan
dari Abudllah bin Ahmad ketika membantah pendapat Jahmiyah dan beliau
membawakan sandanya dari Ibnul Mubarok. Ia ceritakan bahwa ada
seseorang yang mengatakan pada Ibnul Mubarok, “Wahai Abu ‘Abdirrahman
(Ibnul Mubarok), sungguh pengenalan tentang Allah menjadi samar karena
pemikiran-pemikiran yang diklaim oleh Jahmiyah.” Ibnul Mubarok lantas
menjawab, “Tidak usah khawatir. Mereka mengklaim bahwa Allah sebagai
sesembahanmu yang sebenarnya berada di atas langit sana, namun mereka
katakan Allah tidak di atas langit.”
[10]
‘Abbad bin Al ‘Awwam[11], Muhaddits (Pakar Hadits) dari Daerah Wasith
قال
عباد بن العوام كلمت بشرا المريسي وأصحابه فرأيت آخر كلامهم ينتهي إلى أن
يقولوا ليس في السماء شيء أرى أن لا يناكحوا ولا يوارثوا
‘Abbad
bin Al ‘Awwam mengatakan, “Aku pernah berkata Basyr Al Murosi dan
pengikutnya, aku pun melihat bahwa mereka mengatakan, “Tidak atas
langit tidak ada sesuatu pun. Aku menilai bahwa orang semacam ini tidak
boleh dinikahi dan diwarisi.”
[12]
Syaikhul Islam Yazid bin Harun[13]
قال
الحافظ أبو عبد الرحمن بن الإمام أحمد في كتاب الرد على الجهمية حدثني
عباس العنبري أخبرنا شاذ بن يحيى سمعت يزيد بن هارون وقيل له من الجهمية
قال من زعم أن الرحمن على العرش استوى على خلاف ما يقر في قلوب العامة فهو
جهمي
Al Hafizh Abu ‘Abdirrahman bin Al Imam Ahmad dalam kitab
bantahan terhadap Jahmiyah, ia mengatakan, ‘Abbas Al Ambari telah
menceritakan padaku, ia mengatakan, Syadz bin Yahya telah menceritakan
pada kami bahwa ia mendengar Yazid bin Harun ditanya tentang Jahmiyah.
Yazid mengatakan, “Siapa yang mengklaim bahwa Allah Yang Maha Pengasih
menetap tinggi di atas ‘Arsy namun menyelisih apa yang diyakini oleh
hati mayoritas manusia, maka ia adalah Jahmi.”
[14]
Sa’id bin ‘Amir Adh Dhuba’i[15], Ulama Bashroh
قال
عبد الرحمن بن أبي حاتم حدثنا أبي قال حدثت عن سعيد ابن عامر الضبعي أنه
ذكر الجهمية فقال هم شر قولا من اليهود والنصارى قد إجتمع اليهود
والنصارى وأهل الأديان مع المسلمين على أن الله عزوجل على العرش وقالوا هم
ليس على شيء
‘Abdurrahman bin Abi Hatim berkata, ayahku
menceritakan kepada kami, ia berkata aku diceritakan dari Sa’id bin
‘Amir Adh Dhuba’I bahwa ia berbicara mengenai Jahmiyah. Beliau berkata,
“Jahmiyah lebih jelek dari Yahudi dan Nashrani. Telah diketahui bahwa
Yahudi dan Nashrani serta agama lainnya bersama kaum muslimin
bersepakat bahwa
Allah ‘azza wa jalla menetap tinggi di atas ‘Arsy. Sedangkan Jahmiyah, mereka katakan bahwa Allah tidak di atas sesuatu pun.”
[16]
‘Abdurrahman bin Mahdi[17], Seorang Imam Besar
ابن مهدي قال إن الجهمية أرادوا أن ينفوا أن يكون الله كلم موسى وأن يكون على العرش أرى أن يستتابوا فإن تابوا وإلا ضربت أعناقهم
‘Abdurrahman
bin Mahdi mengatakan bahwa Jahmiyah menginginkan agar dinafikannya
pembicaraan Allah dengan Musa, dinafikannya keberedaan Allah menetap
tinggi di atas ‘Arsy. Orang seperti ini mesti dimintai taubat. Jika
tidak, maka lehernya pantas dipenggal.
[18]
Wahb bin Jarir[19], Ulama Besar Bashroh
محمد
بن حماد قال سمعت وهب بن جرير يقول إياكم ورأي جهم فإنهم يحاولون أنه ليس
شيء في السماء وما هو إلا من وحي إبليس ما هو إلا الكفر
Muhammad
bin Hammad mengatakan bahwa ia mendengar Wahb bin Jarir berkata,
“Waspadalah dengan pemikiran Jahmiyam. Sesungguhnya mereka memalingkan
makna bahwa di atas langit sesuatu pun (berarti Allah tidak di atas
langit, pen). Sesungguhnya pemikiran semacam ini hanyalah wahyu dari
Iblis. Perkataan semacam tidak lain hanyalah
perkataan kekufuran.”
[20]
Al Qo’nabi[21], Ulama Besar di Masanya
قال
بنان بن أحمد كنا عند القعنبي رحمه الله فسمع رجلا من الجهمية يقول
الرحمن على العرش استوى فقال القعنبي من لا يوقن أن الرحمن على العرش
استوى كما يقر في قلوب العامة فهو جهمي أخرجهما عبد العزيز القحيطي في
تصانيفه والمراد بالعامة عامة أهل العلم كما بيناه في ترجمة يزيد بن هارون
إمام أهل واسط ولقد كان القعنبي من أئمة الهدى حتى لقد تغالى فيه بعض
الحفاظ وفضله على مالك الإمام
Bunan bin Ahmad mengatakan, “Aku
pernah berada di sisi Al Qo’nabi, ia mendengar seorang yang berpahaman
Jahmiyah menyebutkan firman Allah,
الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى
“
Ar Rahman (yaitu Allah) menetap tinggi di atas ‘Arsy.”
[22]
Al Qo’nabi lantas mengatakan, “Siapa yang tidak meyakini Ar Rahman
(yaitu Allah) menetap tinggi di atas ‘Arsy sebagaimana diyakini oleh
para ulama, maka ia adalah Jahmi.”
[23]
Al Humaidi[24]
(Abdullah bin Az Zubair Al Qurosyi Al Asadi Al Humaidi), Ulama Besar
Makkah, Murid dari Sufyan bin ‘Uyainah, Guru dari Imam Al Bukhari
Al Humaidi mengatakan,
أصول السنة عندنا فذكر أشياء ثم قال وما نطق
به القرآن والحديث مثل وقالت اليهود يد الله مغلولة غلت أيديهم ومثل قوله
والسموات مطويات بيمينه وما أشبه هذا من القرآن والحديث لا نزيد فيه ولا
نفسره ونقف على ما وقف عليه القرآن والسنة ونقول الرحمن على العرش استوى
ومن زعم غير هذا فهو مبطل جهم
Aqidah yang paling pokok yang kami
yakini (lalu beliau menyebutkan beberapa hal): Ayat atau hadits yang
menyebutkan (misalnya tangan Allah, pen),
وَقَالَتِ الْيَهُودُ يَدُ اللَّهِ مَغْلُولَةٌ غُلَّتْ أَيْدِيهِمْ
“
Orang-orang Yahudi berkata: "Tangan Allah terbelenggu", sebenarnya tangan merekalah yang dibelenggu”
[25]
Semisal pula firman Allah,
وَالسَّماوَاتُ مَطْوِيَّاتٌ بِيَمِينِهِ
“
Dan langit digulung dengan tangan kanan-Nya”
[26],
dan juga ayat dan hadits yang semisal itu, kami tidak akan menambah
dan kami tidak akan menafsirkan (bagaimanakah hakekat sifat tersebut).
Kami cukup berdiam diri sebagaimana yang dituntunkan Al Quran dan Hadits Nabawi (yang tidak menyebutkan hakekatnya). Kami pun meyakini,
الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى
“
Ar Rahman (yaitu Allah) menetap tinggi di atas ‘Arsy.”
[27] Barangsiapa yang tidak meyakini seperti ini, maka dialah Jahmiyah yang penuh kebatilan.
[28]
Kritik: Tidak Tepat Menerjemahkan Istiwa’ dengan “Bersemayam”
Ketika menafsirkan firman Allah Ta’ala dalam surat Thoha ayat 5,
الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى
Ada yang menafsirkan: “Ar Rahman (yaitu Allah) bersemayam di atas ‘Arsy”. Kata istiwa’ di sini diartikan dengan bersemayam.
Penulis (Abu Rumaysho) berkata, “Pemaknaan seperti ini tidak tepat
karena orang awam malah akan memahami bahwa Allah itu bersemayam (yang
berarti duduk) di singgasana sebagaimana raja. Akibatnya bisa terjadi
tasybih (menyerupakan sifat Allah dengan sifat makhluk) dalam sifat
istiwa’ ini. Yang benar makna istiwa’ sebagaimana dijelaskan oleh Abul
‘Aliyah dan Mujahid yang dinukil oleh Imam Al Bukhari dalam kitab
shahihnya:
قَالَ أَبُو الْعَالِيَةِ ( اسْتَوَى إِلَى السَّمَاءِ ) ارْتَفَعَ
Abul ‘Aliyah mengatakan bahwa maksud dari ‘istiwa’ di atas langit’ adalah
irtafa’a (naik).
. وَقَالَ مُجَاهِدٌ ( اسْتَوَى ) عَلاَ عَلَى الْعَرْشِ
Mujahid mengatakan mengenai istiwa’ adalah ‘
alaa (menetap tinggi) di atas ‘Arsy.
Salah paham dalam menafsirkan hal ini, akhirnya membuat sebagian orang
salah paham dengan istiwa’ Allah. Semoga bisa jadi kritikan berharga.“
Kesimpulan dari pembahasan ini:
Para
ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah dari masa ke masa telah menyepakati
(berijma’) bahwa Allah berada di atas ‘Arsy. Dan tidak ada satu pun
dari mereka yang menyatakan bahwa Allah tidak berada di atas ‘Arsy-Nya.
Tidak mungkin seorang pun yang bisa menukil dari para ulama yang ada
yang menyatakan bahwa Allah tidak di atas ‘Arsy-Nya baik secara nash
(dalil tegas) atau secara zhahir (dalil yang mengandung makna lebih
kuat).
Pembuktian dari ulama-ulama Ahlus Sunnah dari masa ke masa masih
berlanjut pada posting selanjutnya insya Allah. Begitu pula berbagai
kerancuan yang dikemukakan oleh pengikut Jahmiyah tentang istiwa’ Allah,
Allah ada tanpa tempat, dan lainnya masih berlanjut dalam posting
selanjutnya.
Semoga Allah memberi kemudahan.
Diselesaikan ketika waktu Dhuha di Panggang-GK, 26 Rabi’ul Akhir 1431 H (10/04/2010),
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal (Abu Rumaysho Al Ambony)
Artikel
www.rumaysho.com
[1] Al Auza’i hidup sebelum tahun 157 H.
[2]
Dikeluarkan oleh Al Baihaqi dalam Kitab Al Asma’ wa Ash Shifat. Lihat
Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar, 136. Ibnu Taimiyah sebagaimana dalam Al
Aqidah Al Hamawiyah menyatakan bahwa sanadnya shahih, sebagaimana pula
hal ini diikuti oleh muridnya (Ibnul Qayyim) dalam Al Juyusy Al
Islamiyah.
[3] Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar, 137
[4] Muqotil bin Hayyan semasa dengan Imam Al Auza’i, beliau hidup sebelum tahun 150 H.
[5]
Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar, 137. Syaikh Al Albani mengatakan
bahwa riwayat ini hasan. Perkataan ini dikatakan dalam kitab As Sunnah
(hal. 71), dikeluarkan oleh Abu Daud dalam Masa-ilnya (hal. 263) dari
Imam Ahmad. Juga diriwayatkan dari Al Lalika-i (2/92/1), Al Baihaqi
(hal. 430-431). Dari riwayatnya tersebut, juga dikatakan dari Adh
Dhohak. Riwayat ini juga adalah riwayat Al Ajuri (hal. 289). Lihat
Mukhtashor Al ‘Uluw, hal. 138.
[6]
Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar, 137. Syaikh Al Albani mengatakan
bahwa dalam sanad yang disebutkan oleh Al Baihaqi (hal. 430-431)
terdapat Ismail bin Qutaibah. Ibnu Abi Hatim tidak memberikan penilaian
positif (ta’dil) atau negatif (jarh) terhadapnya. Telah diriwayatkan
pula oleh Abu Muhammad Abdullah bin Muhammad bin Musa Al Ka’bi, rowi
dari atsar ini darinya. Beliau merupakan guru dari Al Hakim. Lihat
Mukhtashor Al ‘Uluw, hal. 138.
[7] Sufyan Ats Tsauri hidup pada tahun 97-161 H.
[8] Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar, 137-138.
[9]
Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar, 149. Riwayat ini dishahihkan oleh
Ibnu Taimiyah dalam Al Hamawiyah dan Ibnul Qayyim dalam Al Juyusy.
Lihat Mukhtashor Al ‘Uluw, hal. 152.
[10]
Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar, 150. Syaikh Al Albani mengatakan
dikeluarkan dalam As Sunnah (hal. 7) dari Ahmad bin Nashr, dari Malik,
telah mengabarkan kepadaku seseorang dari Ibnul Mubarok. Seluruh
periwayatnya tsiqoh (terpercaya) kecuali yang tidak disebutkan namanya.
Lihat Mukhtashor Al ‘Uluw, hal. 152.
[11] ‘Abbad bin Al ‘Awwam hidup sekitar tahun 185 H.
[12] Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar, 151.
[13] Yazid bin Harun hidup sebelum tahun 206 H.
[14]
Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar, 157. Abdullah bin Ahmad
mengeluarkan dalam As Sunnah (hal. 11-12) dari jalannya. Namun Adz
Dzahabi menyebutkan dari selain kitab itu yaitu dalam kitab Ar Rodd
‘alal Jahmiyah (bantahan terhadap Jahmiyah), Abdullah berkata, Abbas bin
Al ‘Azhim Al Ambari telah mengabarkan pada kamim Syadz bin Yahya telah
menceritakan pada kami. Juga riwayat ini dikeluarkan oleh Abu Daud
dalam Masail (hal. 268), ia berkata, Ahmad bin Sinan telah menceritakan
pada kami, ia berkata: Aku mendengar Syadz bin Yahya. Lihat Mukhtashor
Al ‘Uluw, hal. 168.
[15] Sa’id bin ‘Amir Adh Dhuba’iy hidup pada tahun 122-208 H.
[16] Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar, hal. 157 dan Mukhtashor Al ‘Uluw hal. 168.
[17] ‘Abdurrahman bin Mahdi hidup pada tahun 125-198 H.
[18]
Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar, hal. 159. Dikeluarkan pula oleh
Abdullah (hal. 10-11) dari jalannya, disebutkan secara ringkas. Ibnul
Qayyim menshahihkan riwayat ini dalam Al Juyusy. Lihat Mukhtashor Al
‘Uluw hal. 170.
[19] Wahb bin Jarir meninggal tahun 206 H.
[20]
Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar, hal. 159. Atsar ini dishahihkan
oleh Ibnul Qayyim dalam Al Juyusy. Lihat Mukhtashor Al ‘Uluw, hal. 170.
[21] Al Qo’nabi meninggal tahun 221 H.
[22] QS. Thoha: 5.
[23]
Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar, hal. 166. Bunan bin Ahmad tidak
mengapa, sejarah hidupnya disebutkan di Tarikh Bagdad. Mukhtashor Al
‘Uluw, hal. 178.
[24] Al Humaidi meninggal tahun 219 H.
[25] QS. Al Maidah: 64.
[26] QS. Az Zumar: 67
[27] QS. Thoha: 5.
[28]
Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar, hal. 168. Ibnu Taimiyah telah
menshahihkan atsar ini dari Al Humaidi dalam Kitabnya “Mufashol Al
I’tiqod”. Lihat Mukhtashor Al ‘Uluw hal. 180.
1 komentar:
Sunni : “Afwan yaa akhi. Apakah definisi tauhid itu?”
Salafi : “Tauhid adalah engkau menunjuk ke arah langit seraya bersaksi bahwa tiada Tuhan melainkan di atas langit.”
Posting Komentar