Pendahuluan yang pertama yang perlu kita
ketahui bahwa dalam segala sesuatu yang kita berselisih atau tidak
berselisih di dalamnya, kita wajib merujuk kepada Al Qur’an dan Sunnah
Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam sesuai dengan pemahaman para ulama Salaf.
Allah subhânahu wa ta’âlâ berfirman,
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَطِيعُوا
اللهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي اْلأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ
تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللهِ وَالرَّسُولِ إِنْ
كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ
وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً.
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah
ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu
benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu
lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS An Nisâ’: 59)
Dan juga Allah subhânahu wa ta’âlâ berfirman,
اتَّبِعُوا مَا أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ مِنْ رَبِّكُمْ وَلَا تَتَّبِعُوا مِنْ دُونِهِ أَوْلِيَاءَ قَلِيلاً مَا تَذَكَّرُونَ.
“Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu
dari Robbmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya.
Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (daripadanya).” (QS Al A’râf: 3)
Dan Allah subhânahu wa ta’âlâ mengingatkan tentang wajibnya taat kepada Rasul, dalam firman-Nya Allah subhânahu wa ta’âlâ menyatakan,
فَلاَ وَرَبِّكَ لاَ يُؤْمِنُونَ حَتَّى
يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لاَ يَجِدُوا فِي
أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا.
“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada
hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam
perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa
keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan
mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS An Nisâ’: 65)
Dan Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam bersabda dalam hadits yang diriwayatkan oleh imam Malik dalam Al Muwaththa` secara balâghon dan juga Imam Al Hakim dan dihasankan oleh Syaikh Al Albani rahimahullâhu ta’ala dalam Takhrijul Misykâh, beliau bersabda,
تَرَكْتُ فِيْكُمْ شَيْئَيْنِ لَنْ تَضِلُّوْا بَعْدَهُمَا كِتَابُ اللهِ وَسُنَّتِيْ.
“Saya tinggalkan pada kalian dua perkara, kalian tidak akan sesat di belakang keduanya (yaitu) Kitab Allah dan Sunnahku.”
Dan Allah subhânahu wa ta’âlâ mengancam orang-orang yang meninggalkan Al Qur’an dan As Sunnah, dalam firman-Nya Allah subhânahu wa ta’âlâ menyatakan,
إِنَّ الَّذِينَ يُحَادُّونَ اللهَ وَرَسُولَهُ أُولَئِكَ فِي اْلأََذَلِّينَ.
“Sesungguhnya orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, mereka termasuk orang-orang yang sangat hina.” (QS Al Mujâdilah: 20)
Dan juga Allah subhânahu wa ta’âlâ mengingatkan,
فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ.
“Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa adzab yang pedih.” (QS An Nûr: 63)
Dan di dalam hadits Ibnu ‘Umar radhiyâllahu ‘anhu yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud dan hasan dari seluruh jalan-jalannya, Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam bersabda,
إِذَا تَبَايَعْتُمْ بِالْعِيْنَةِ
وَأَخَذْتُمْ أَذْنَابَ الْبَقَرِ وَرَضِيْتُمْ بِالزَّرْعِ وَتَرَكْتُمُ
الْجِهَادَ سَلَّطَ اللهُ عَلَيْكُمْ ذُلاًّ لاَ يَنْزِعُهُ حَتَّى
تَرْجِعُوْا إِلَى دِيْنِكُمْ.
“Jika kalian telah berjual beli dengan cara Al ‘Inah
(salah satu praktik riba) dan telah sibuk dengan peternakan dan telah
ridha dengan pertanian dan kalian meningggalkan Al Jihad, maka Allah
akan timpakan kepada kalian suatu kehinaan dan tidak diangkat kehinaan
ini sampai kalian kembali kepada agama kalian.”
Dan dalam hadits yang dihasankan oleh Syaikh Al Albani dari seluruh jalannya, Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam bersabda,
وَجُعِلَ الذُّلُّ وَالصَّغَارُ عَلَى مَنْ خَالَفَ أَمْرِيْ.
“Dan telah dijadikan kehinaan dan kerendahan atas orang-orang yang menyelisihi perintahku.”
Sungguh kewajiban kita adalah kembali kepada Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam. Apabila kita menyeleweng, maka inilah sebab kebinasaan sebab penyimpangan. Abu Bakar radhiyâllahu ‘anhu dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Al Bukhari dan Imam Muslim beliau berkata,
لَسْتُ تَارِكًا شَيْئًا كَانَ رَسُوْلُ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعْمَلُ بِهِ إِلاَّ عَمِلْتُ بِهِ
إِنِّيْ أَخْشَى إِنْ تَرَكْتُ شَيْئًا مِنْ أَمْرِهِ أَنْ أَزِيْغَ.
“Saya tidaklah meninggalkan suatu perkara apapun yang Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam
mengerjakannya kecuali pasti saya melakukannya. Sesungguhnya saya takut
kalau saya tinggalkan sesuatu dari perkara beliau saya akan
menyimpang.”
Karena itulah benar-benar harus komitmen di atas Al Qur’an dan Sunnah Nabi shallallâhu ‘alaihi wasallam
pada segala sesuatu yang kita lakukan. Dalam menyampaikan ilmu, dalam
berdakwah, dalam menyampaikan nasihat kepada umat atau dalam bentuk
bantahan ilmiah dan lain-lainnya, semuanya harus dibangun di atas Al
Qur’an dan As Sunnah serta tentunya juga di atas pemahaman para ulama
Salaf. Ini qaid (batasan) yang sangat penting, sebab tidak ada
yang berselisih bahwa kita merujuk kepada Al Qur’an dan As Sunnah
kecuali mungkin orang-orang Al Qur’aniyyun yang mengatakan,
“Kami hanya mengambil dari Al Qur’an, tidak mengambil dari hadits,” yang
ada sebagiannya di Indonesia, itu oleh para ulama tidak dianggap
sebagai umat Islam, sebab tidak mengambil landasan Al Qur’an dan As
Sunnah sedangkan As Sunnah itu landasan kedua yang wajib diterima, siapa
yang menolaknya berarti itu kafir keluar dari Islam. Dan berdusta kalau
mereka mengambil Al Qur’an, berpegang teguh dengan Al Qur’an, padahal
Al Qur’an mengatakan,
وَمَا ءَاتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا.
“Dan apa saja yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah.” (QS Al Hasyr: 7)
Ini Al Qur’an memerintahkan, mengapa mereka tidak mengambil As Sunnah dari Nabi kalau mengaku benar-benar mengikuti Al Qur’an?
Jadi, mungkin setiap kelompok sepakat bahwa yang kita ikuti adalah Al Qur’an dan As Sunnah Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam, tetapi semua ini harus dikaitkan dengan pemahaman para ulama Salaf radhiyallâhu ‘anhum dari kalangan para sahabat dan tabi’in dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik.
Allah subhânahu wa ta’âlâ menegaskan, mengancam dalam firman-Nya bagi orang yang menyelisihi jalan mereka,
وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا
تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ
نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا.
“Dan barangsiapa yang menentang Rasul
sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan
orang-orang mu’min, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang
telah dikuasinya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan
Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (QS An Nisâ’: 115)
Dan juga Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam memuji mereka dalam hadits mutawatir yang diriwayatkan oleh Imam Al Bukhari dan Imam Muslim dari ‘Imran bin Husain dan ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallâhu ‘anhuma beliau menegaskan,
خَيْرٌ النَّاسِ قَرْنِيْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ.
“Sebaik-baik manusia adalah manusia yang hidup di zamanku, kemudian manusia yang hidup setelahnya kemudian manusia setelahnya.”
Dan dalam Sunan Abi Dawud dari sahabat Abu Hurairah radhiyâllahu ‘anhu, Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam bersabda:
إِفْتَرَقَتِ الْيَهُوْدُ عَلَى إِحَدَى
وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً وَافْتَرَقَتِ النَّصَارَى عَلَى ثْنَتَيْنِ
وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً وَسَتَفْتَرِقُ أُمَّتِيْ عَلَى ثَلاَثٍ
وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً كُلُّهَا فِي النَّارِ. قِيْلَ : يَا رَسُوْل الله,
مَنْ هُمْ ؟ قَالَ: هِيَ الْجَمَاعَةُ.
“’Telah terpecah orang-orang Yahudi
menjadi 71 golongan, dan telah terpecah orang-orang Nashara menjadi 72
golongan, dan umatku akan terpecah menjadi 73 golongan.’ Maka ditanyakan
kepada beliau: ‘Ya Rasulullah, siapakah mereka?’ Beliau menjawab:
‘Mereka adalah Al Jama’âh.’”
Pertanyaannya, “Siapakah mereka?” bermakna ingin mengetahui siapa orangnya. Tetapi Nabi shallallâhu ‘alaihi wasallam
tidak menjawab dengan orang, karena orang itu akan meninggal, akan
tetapi dijawab dengan sifat, ciri, karakteristik. Kata beliau, mereka
adalah orang-orang yang berada di atas Al Jama’âh.
Diterangkan di dalam riwayat yang
lain—yang walaupun dalam sanadnya ada rawi yang bernama ‘Abdurrahman bin
Ziyad bin An’um (dan ia lemah haditsnya), tetapi menurut ulama ahli
hadits hadits ini bisa dihasankan dari seluruh jalan-jalannya—dalam
riwayat ini disebutkan,
مَا أَنَا عَلَيْهِ الْيَوْمَ وَأَصْحَا بِيْ
“Mereka itu adalah orang-orang yang berada di atas apa-apa yang saya berada di atasnya pada hari ini dan para sahabatku.”
Jadi ukurannya, siapa saja yang berada di atas Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam
di atas pemahaman para sahabat, di atas pemahaman para ulama Salaf,
mereka inilah orang-orang yang mengikuti Islam dengan baik. Mereka
inilah yang dinamakan dengan Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Mereka inilah
yang dikatakan Salafi, yang dikatakan Ath Tha`ifah Al Manshurah, Al Firqotun Najiyah, Al Ghuroba’,
dan lain-lainnya dari penamaan yang syar’iyah bagi mereka. Tidak
terbatas dengan siapapun, tidak terbatas Salafi itu hanya di Makassar
saja. Tetapi siapa yang berpegang dengan Kitab Allah subhânahu wa ta’âlâ dan sunnah Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam
sesuai dengan pemahaman para ulama Salaf maka ia inilah yang dikatakan
Salafi Ahlus Sunnah wal Jama’ah walaupun dia orang Indonesia, orang
Eropa, orang Amerika, orang Arab, orang Yaman dan lain-lainnya.
Maka ini adalah pendahuluan yang pertama dan hendaknya kita jadikan sebagai titik dan tolak ukur dalam dalam menyampaikan muhadharah ini.
0 komentar:
Posting Komentar