Kemudian pendahuluan yang kedua bahwa di dalam segala sesuatu kita wajib berbuat adil dan inshof, ini adalah manhaj Islam. Kita berbuat adil dan tidak menzhalimi orang, kita menyebutkan mereka dengan keadilan. Allah subhânahu wa ta’âlâ memerintahkan kita untuk berbuat adil dalam firman-Nya,
إِنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ
وَاْلإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ
وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ.
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu)
berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan
Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia
memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.” (QS An Nahl: 90)
Maka kita diperintahkan dengan keadilan dan diperintahkan untuk berucap dengan keadilan. Dalam Al Qur’an Allah subhânahu wa ta’âlâ berfirman,
وَإِذَا قُلْتُمْ فَاعْدِلُوا وَلَوْ كَانَ ذَا قُرْبَى.
“Dan apabila kamu berkata, maka hendaklah kamu berlaku adil kendati pun dia adalah kerabat (mu).” (QS Al An’âm: 152)
Dan juga Allah subhânahu wa ta’âlâ berfirman,
وَلاَ يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلاَّ تَعْدِلُوا اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى.
“Dan janganlah sekali-kali kebencianmu
terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku
adillah, karena adil itu lebih dekat kepada taqwa.” (QS Al Ma-idah: 8)
Kita diperintahkan untuk berbuat adil dan tidak mengikuti hawa nafsu. Allah subhânahu wa ta’âlâ menegaskan,
فَلَا تَتَّبِعُوا الْهَوَى أَنْ تَعْدِلُوا.
“Dan janganlah karena sebab kalian mengikuti hawa nafsu menahan kalian untuk tidak berbuat adil.” (QS An Nisâ’: 135)
Kita diperintahkan untuk berbuat adil
pada segala sesuatu. Karena itulah kami berbicara di sini, ini
masalahnya adalah masalah agama sebagaimana yang saya akan bermatsal seperti perkataan ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallâhu ‘anhu:
فلما رأيت أمرا أمرا منكرا
“Tatkala saya melihat perkara tersebut adalah perkara yang mungkar, maka saya pun menyalakan tungkuku dan saya ambil apiku.”
Ini beliau ucapkan tatkala memberantas orang-orang Syi’ah Rafidhah yang meng-ilah-kan (mempertuhankan) ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallâhu ‘anhu.
Maka kalau perkara itu adalah perkara yang mungkar dan berbahaya bagi
umat dan ini adalah suatu perkara yang sangat bertentangan dan bertolak
belakang dengan manhaj Ahlus Sunnah, dengan Al Qur’an dan As Sunnah
sesuai dengan pemahaman para ulama Salaf, maka kita harus menerangkan
hal tersebut karena ini adalah masalah agama, bukan karena masalah
pribadi atau karena kebencian kepada seseorang dan seterusnya. Dan kita
berbicara dengan keadilan, walhamdulillâh.
Pendahuluan Ke-3: Tidak Boleh Menuduh tanpa Tabayyun & Tatsabbut
Karena itulah hal pokok ini mendorong
saya untuk menyampaikan pendahuluan yang ketiga yaitu bahwasanya di
antara prinsip Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang dituntunkan oleh Islam
adalah tidak boleh menuduh seseorang, ini adalah sesat, ini adalah ahlul
bid’ah, kecuali dengan argumen yang jelas dan
fakta yang sudah pasti. Ini adalah prinsip Ahlus Sunnah, siapa yang
berbicara selain dari ini maka bersiaplah menanggung dosa dari Allah subhânahu wa ta’âlâ dan harus dia pertanggungjawabkan kelak di kemudian hari. Allah subhânahu wa ta’âlâ mengancam di dalam firman-Nya:
وَلاَ تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولا.
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang
kamu tidak mempunyai pengetahuan (ilmu) tentangnya. Sesungguhnya
pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta
pertanggungjawaban.” (QS Al Isra: 36)
Dan kita dilarang berucap tanpa ilmu. Dalam firman-Nya Allah subhânahu wa ta’âlâ menyatakan:
قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ
مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَالإِثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ الْحَقِّ
وَأَن تُشْرِكُواْ بِاللهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا وَأَن
تَقُولُواْ عَلَى اللهِ مَا لاَ تَعْلَمُونَ.
“Katakanlah: “Tuhanku hanya mengharamkan
perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan
perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar,
(mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak
menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap
Allah apa yang tidak kamu ketahui.” (QS Al A’râf: 33)
Maka harus dibangun di atas ilmu bukan
hanya sekedar meraba-raba atau melihat tapi harus dibangun di atas
argumen yang jelas. Dan Allah subhânahu wa ta’âlâ berfirman di dalam ayat yang lain:
وَلاَ تَقُولُواْ لِمَا تَصِفُ
أَلْسِنَتُكُمُ الْكَذِبَ هَـذَا حَلاَلٌ وَهَـذَا حَرَامٌ لِّتَفْتَرُواْ
عَلَى اللهِ الْكَذِبَ إِنَّ الَّذِينَ يَفْتَرُونَ عَلَى اللهِ الْكَذِبَ
لاَ يُفْلِحُونَ.
“Dan janganlah kamu mengatakan terhadap
apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta “Ini halal dan ini
haram”, untuk mengada-adakan kedustaan terhadap Allah. Sesungguhnya
orang-orang yang mengada-adakan kedustaan terhadap Allah tidak akan
beruntung.” (QS An Nahl: 116)
Dan kita diperintahkan untuk tatsabbut, meminta keterangan, mencari fakta yang jelas, tidak mengambil data yang simpang-siur. Allah subhânahu wa ta’âlâ berfirman:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَأٍ فَتَبَيَّنُوا.
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti.” (QS Al Hujurât: 6)
Di sini kita diperintahkan untuk tabayyun, dalam suatu qira’at (bacaan) فتثبتوا (fa tatsabbatu) maka ber-tatsabbut-lah kalian.
Dan berbicara tanpa ilmu adalah suatu perkara yang sangat berbahaya. Dalam hadits Abu Hurairah radhiyallâhu ‘anhu yang diriwayatkan oleh Imam Al Bukhari dan Imam Muslim, Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam mengancam,
إِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ
مَا يَتَبَيَّنُ مَا فِيْهَا يُهْوَى بِهَا فِي النَّارِ أَبْعَدَ مَا
بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغُرِبِ.
“Sesungguhnya seorang hamba berbicara
dengan suatu kalimat yang ia tidak mencari kejelasan apa yang ada di
dalamnya, maka disebabkan hal itu ia dilemparkan ke dalam neraka sejauh
antara timur dan barat”.
Dan juga dalam hadits Ibnu ‘Umar radhiyallâhu ‘anhu yang diriwayatkan oleh Imam Al Bukhari dan Imam Muslim, Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam bersabda,
مَنْ قَالَ لأَخِيْهِ يَا كَافِرُ إِنْ كَانَ كَمَا قَالَ وَإِلاَّ حَارَتْ عَلَيْهِ
“Barangsiapa mengatakan kepada
saudaranya: ‘Wahai kafir’ kalau memang demikian, (tidak apa-apa) dan
kalau tidak, maka kalimat itu akan kembali kepadanya.” (Dan semisal
dengannya hadits Abu Dzar radhiyallâhu ‘anhu dalam riwayat Muslim)
Dan termasuk di dalamnya perkataan, “Kamu ya sesat, kamu ya mubtadi’.”
Karena itulah perlu dipahami oleh setiap dari kita, bahwa pembicaraan
ini dibangun di atas ketaqwaan dan kita mengetahui bahwa menzhalimi
seseorang adalah perkara yang sangat berbahaya dan dosanya besar. Karena
itulah tentang kesesatan Wahdah Islamiyah, saya tidak uraikan kecuali
dari kaset-kaset mereka, tulisan mereka dalam bentuk selebaran, dan
lain-lainnya yang pasti dari mereka dan apa-apa yang sudah tampak jelas.
Dengan khabar yang mustafidh atau persaksian yang pasti, tidak sembarangan.
Saya banyak mendapat masukan perkataan
murid-muridnya yang ikut perkataan yang sangat berbahaya, misalnya ada
yang mengatakan Syaikh Al Albani katanya itu adalah Mu’tazilah.
Bagaimana mungkin Syaikh Al Albani yang imam besar di zaman ini
dikatakan Mu’tazili?! Perkataan ini terlontar di antara muridnya dan ini
tersebar di Kendari, tapi berhubung dari murid-muridnya maka saya tidak
menganggapnya, sebab bukan ustadznya.
Dan saya tidak boleh menzhalimi mereka,
mungkin saja mereka salah paham. Kalau muridnya yang saya cerca kemudian
diikutkan juga ustadznya, ini bukan keadilan. Akan tetapi kita
mengambil dari tulisan mereka dan dari orang-orang atas mereka. Kemudian
tulisan-tulisan ini, hanya dari orang-orang di atasnya, di tingkatan
ustadz-ustadznya yang sudah pernah ke Universitas Islam Madinah dan
beberapa orang yang memang sudah ditokohkan di kalangan atas. Adapun
bawahannya, saya tidak melihat sama sekali kepada mereka. Dan alhamdulillâh
ini adalah sikap adil yang dipegang oleh Ahlus Sunnah dari dulu sampai
sekarang yang mereka bila membantah dan mengkritik semuanya dengan data
yang pasti. Dan mereka adalah orang yang paling takut kepada Allah subhânahu wa ta’âlâ dan paling bertaqwa kepada Allah subhânahu wa ta’âlâ
serta paling mengetahui bahwa mana perkara yang berbahaya dan yang
tidak, mana yang belum harus disampaikan dan yang sudah harus
disampaikan, dan seterusnya.
0 komentar:
Posting Komentar