Al Ustadz Azhari Asri
Mungkin
ada yang bertanya : “Kenapa dakwah Salafiyah sering membicarakan
kejelekan fulan dan fulan, kelompok ini dan kelompok itu. Apakah ini
bukan termasuk ghibah.” Ketahuilah wahai saudaraku, tidaklah semua
ghibah diharamkan. Ada jenis ghibah tertentu yang diperbolehkan. Imam An
Nawawi rahimahullah menjelaskan : “Ketahuilah bahwasanya ghibah
diperbolehkan bila untuk tujuan yang benar dan syar’i yang tidak mungkin
dapat dicapai (tujuan itu) kecuali dengannya.
Yang demikian itu dengan alasan enam sebab :
1. Karena terdhaliminya (seseorang).
2. Dalam rangka minta bantuan untuk merubah kemungkaran dan mengembalikan orang yang bermaksiat kepada kebenaran.
3. Minta fatwa.
4. Memperingatkan kaum Muslimin dari suatu kejelekan dan menasehati
mereka. Yang demikian meliputi beberapa bentuk di antaranya dengan
menerangkan kejelekan rawi-rawi hadits dan para saksi yang memiliki
kejelekan. Hal itu diperbolehkan berdasarkan ijma’ kaum Muslimin bahkan
wajib karena adanya kebutuhan … . Dan (bentuk lain) yaitu jika seseorang
melihat seorang penuntut ilmu mondar-mandir mendatangi mubtadi’ atau
seorang yang fasik, dia mengambil ilmu darinya dan dikhawatirkan si
penuntut ilmu itu terpengaruh dengannya maka wajib bagi orang tadi untuk
menasehatinya dengan menerangkan keadaan mubtadi’ tersebut. Dengan
syarat dia bermaksud memberi nasehat.
5. Adanya seseorang yang terang-terangan dengan kefasikannya dan kebid’ahannya.
6. Untuk pengenalan, (misalnya) seorang manusia terkenal dengan julukan
si kabur matanya, si buta, si pincang, dan yang lain maka diperbolehkan
memperkenalkan mereka dengan julukan-julukannya itu. Tetapi diharamkan
jika tujuannya untuk mencela dan merendahkan. Dan seandainya
memungkinkan untuk diperkenalkan dengan selain itu, itu lebih baik.”
Demikian
dinukil secara ringkas dari Kitab Riyadhush Shalihin bab ke-256, Bab
Perkara Diperbolehkan Berghibah halaman 525-527 tahqiq Syaikh Muhammad
Nashiruddin Al Albani rahimahullah.
Perhatikanlah jenis
keempat, Imam An Nawawi menyatakan bahwa ghibah diperbolehkan jika dalam
rangka memperingatkan kaum Muslimin dari suatu kejelekan dan untuk
menasehati mereka. Berapa banyak kitab-kitab para ulama yang membahas
kejelekan rawi-rawi hadits dan kelemahaan mereka, seperti Kitab Adh
Dhu’afa karya Imam Bukhari, Nasa’i, Al Uqaili, dan Ad Daraquthni. Kitab
Al Kamil fid Dhu’afa karya Ibnu Abi Hatim, Kitab Al Mughni fidh Dhu’afa
karya Imam Adz Dzahabi dan berbagai kitab lainnya yang berisi jarh
(kritikan) terhadap rawi-rawi hadits. Apakah kita menuduh para ulama
telah melakukan ghibah terhadap individu-individu tertentu atau
kelompok-kelompok tertentu. Na’udzu Billah.
“Ketahuilah,
bahwa menyebutkan kejelekan seseorang diharamkan jika tujuannya
semata-mata mencela, membongkar aib, dan merendahkan dia. Adapun jika di
situ ada maslahat bagi seluruh kaum Muslimin atau khususnya bagi
sebagian mereka dan bertujuan mencapai maslahat itu maka tidak
diharamkan tetapi mandub (disunnahkan).” Tegas Ibnu Rajab Al Hambali
dalam Al Farqu bainan Nashihah wat Ta’yir halaman 25.
Kita tidak akan tinggal diam ketika melihat kemungkaran-kemungkaran
atau penyimpangan-penyimpangan yang terjadi di tengah-tengah kaum
Muslimin. Kita harus memperingatkan kaum Muslimin agar berhati-hati dari
orang-orang yang menyimpang atau kelompok-kelompok yang menyimpang dari
Al Qur’an dan As Sunnah dengan pemahaman para Salafus Shalih dari
generasi shahabat, tabi’in, dan tabiut tabi’in.
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah berkata : “Sebagian mereka berkata kepada Imam
Ahmad bin Hanbal : ‘Sesungguhnya berat bagiku untuk mengatakan si fulan
begini dan begitu.’ Maka beliau berkata : ‘Kalau Anda diam dan akupun
diam, kapan orang yang tidak tahu akan tahu mana yang benar dan yang
salah.’” (Naqdur Rijal halaman 39)
Baiklah, yang menjadi sorotan
kita kali ini adalah penyimpangan aqidah Firqah Tabligh. Sejauh mana
kelompok yang bertambah subur dimana-mana ini menyimpang dari aqidah
yang benar, aqidah Ahlus Sunnah wal Jamaah.
Pemahaman Syahadat Menurut Jamaah Tabligh
Dalam
menafsirkan makna Laa Ilaaha Illallah terjadi kesalahan fatal (fatal
error) pada mereka. Mereka menafsirkan lafadh itu dengan makna Rububiyah
Allah. Yaitu bahwa Allah adalah Pencipta, Pemberi Rizqi, Pengatur Semua
Urusan dan Yang Menghidupkan serta Yang Mematikan. Memang benar Allah
demikian, tapi apakah makna seperti itu yang diajarkan oleh Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam ketika mendakwahi kaum musyrikin di jaman
beliau. Tidak! Mengapa. Karena kaum musyrikin yang hidup di masa beliau
Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam telah memiliki keyakinan yang demikian.
Allah kisahkan keadaan mereka itu dalam firman-Nya (yang artinya):
Katakanlah : “Siapakah yang memberi rizki kalian dari langit dan bumi
atau siapakah yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan dan
siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan
yang mati dari yang hidup dan siapakah yang mengatur segala urusan.”
Niscaya mereka akan menjawab : “Allah.” Maka katakanlah : “Mengapa
kalian tidak mau bertaqwa (kepada-Nya).” (QS. Yunus : 31)
Katakanlah
: “Kepunyaan siapakah bumi ini dan semua yang ada padanya jika mereka
mengetahui.” Mereka akan menjawab : “Kepunyaan Allah.” Katakanlah :
“Maka mengapa kalian tidak ingat.” Katakanlah : “Siapa yang mempunyai
langit yang tujuh dan yang mempunyai ‘Arsy yang besar.” Mereka akan
menjawab : “Milik Allah.” Katakanlah : “Maka apakah kalian tidak
bertakwa.” Katakanlah : “Siapakah yang di tangan-Nya berada kekuasaan
atas segala sesuatu sedang Dia melindungi tetapi tidak ada yang dapat
dilindungi dari (adzab)-Nya jika kalian mengetahui.” Mereka akan
menjawab : “Kepunyaan Allah.” Katakanlah : “(Kalau demikian) maka dari
jalan mana kalian ditipu.”(QS. Al Mukminun: 84-89)
Nah.
walau demikian Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam tetap memerangi
mereka. Mengapa. Karena mereka tidak mengakui bahwa Allah saja yang
berhak untuk diibadahi. Dan mereka tahu kalau mengucapkan syahadat
berati mereka mengkufuri semua sesembahan mereka. Syaikh Muhammad bin
Abdul Wahhab berkata : “Padahal mereka kaum musyrikin mengakui dan
bersaksi bahwa Allah adalah Pencipta dan Pemberi Rizki sendiri saja
tanpa sekutu. Dan tidak ada pemberi rizki kecuali Dia. Tidak ada yang
menghidupkan dan mematikan kecuali Dia. Tidak ada yang mengatur alam
kecuali Dia. Semua langit yang tujuh dan para penghuninya, bumi-bumi dan
para penghuninya semuanya adalah hamba-hamba-Nya dan dalam
kekuasaan-Nya dan kalau Anda menginginkan dalil bahwa mereka yang
diperangi oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam juga meyakini
seperti ini, bacalah ayat … .” (Kemudian beliau membawakan ayat-ayat
tadi). (Lihat Kasyfusy Syubuhat halaman 9-10, ta’liq Syaikh Muhammad bin
Shalih Al Utsaimin)
Pemahaman
menyimpang di atas terjadi pula pada Jamaah Tabligh ini. Mereka
menafsirkan kata Illah dalam syahadat dengan Rububiyah. Ini dinyatakan
oleh Syaikh Hammud dan dialaminya sendiri oleh beliau serta
teman-temannya yang lain ketika berdialog dengan salah seorang tokoh
mereka ketika ditanyakan tentang makna Illah dalam syahadat.
Adapun
dalam hal tauhid Asma’ was Shifat, di kalangan orang-orang tabligh ada
yang berpemahaman Asy’ariyah dan Maturidiyah. Kedua madzhab ini termasuk
dalam madzhab yang menyelisihi aqidah Ahlus Sunnah wal Jamaah. (Al
Qaulul Baligh halaman 8 )
Pengingkaran Jamaah Tabligh Terhadap ‘Uluwullah
Dalam
kitab Al Qaulul Baligh halaman 42-43 disebutkan kisah seorang pemimpin
Jamaah Tabligh di Saudi Arabia yang beraqidah Maturidiyah dan
mengingkari ‘Uluwullah (sifat ketinggian bagi Allah di atas
makhluk-Nya). Syaikh Hammud At Tuwaijiri mengisahkan bahwa seorang guru
di Jama’atul Islamiyah Madinah mengirim surat kepadanya. Dalam surat
itu, guru tadi berkata : “Suatu kisah pernah saya alami, seseorang
datang menemuiku hendak mengingkari kritikan saya terhadap Jamaah
Tabligh. Aku berkata kepadanya : “Sesungguhnya
mereka berpemahaman sufi dan Maturidiyah, mereka enggan mensifati Allah
dengan sifat ‘Uluw.” Dia (seorang tablighi) berkata : “Apa buktinya.”
Aku berkata kepadanya : “Pergilah dan buktikan sendiri!” Maka dia pergi,
selang beberapa hari dia datang kepadaku dan berkata : “Apa yang anda
katakan bahwa mereka tidak mengakui bahwa Allah di atas dan bersemayam
(istiwa’) di atas ‘Arsy-Nya adalah benar. Aku bertanya kepadanya :
“Bagaimana Anda bisa tahu hal itu.” Dia berkata : “Aku mendatangi
seorang pimpinan Tabligh yang bernama Sa’id Ahmad, dia sangat percaya
kepadaku karena aku termasuk muridnya. Aku berkata kepadanya : ‘Aku
benar-benar tidak meragukan keyakinan kita bahwa Allah ada di setiap
tempat dan Dia tidak berada di atas langit. Akan tetapi dengan apa kita
membantah
orang yang mengatakan bahwa Allah di
atas langit.’ (Sa’id Ahmad) berkata : ‘Tinggalkanlah mereka dan tetaplah
di atas aqidahmu karena itulah yang benar!’
Perhatikanlah
pentolan Tabligh ini! Dia dengan tegas mengatakan bahwa Allah berada di
mana-mana dan tidak bersemayam di atas ‘Arsy-Nya. Bukankah keyakinan seperti ini menyimpang dari keyakinan Ahlus Sunnah wal Jamaah. Ahlus
Sunnah wal Jamaah meyakini bahwa Allah di atas seluruh makhluk-Nya,
beristiwa’ di atas ‘Arsy-Nya, berada di atas langit-Nya, di atas
makhluk-Nya, terpisah dari mereka, Dia mengetahui amalan-amalan mereka,
mendengar ucapan-ucapan mereka, melihat gerak dan diamnya mereka, tidak
ada yang tersembunyi bagi Allah sedikitpun. (Shifatullahi ‘Azza wa Jalla
halaman 186)
Betapa banyak ayat dalam Al Qur’an yang menjelaskan tentang ‘Uluwullah, di antaranya Allah berfirman (yang artinya)
“Sucikanlah nama Tuhanmu Yang Maha Tinggi.” (QS. Al A’la : 1)
“Dan Dialah yang berkuasa atas sekalian hamba-hamba-Nya.” (QS. Al An’am : 18)
“Apakah
kalian merasa aman terhadap Allah yang di atas langit bahwa Dia akan
menjungkirbalikkan bumi bersama kalian sehingga dengan tiba-tiba bumi
itu berguncang.” (QS. Al Mulk : 16)
“Tuhan Yang Maha Pemurah yang bersemayam di atas ‘Arsy-Nya.” (QS. Thaha : 5)
Juga dalam hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dijelaskan tentang ‘Uluwullah.
Di antaranya kisah dialog Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam
dengan seorang budak wanita milik Mu’awiyah bin Al Hakam As Sulami
radliyallahu ‘anhu. Beliau bertanya kepada budak tersebut : “Di manakah
Allah.” Dia menjawab : “Di atas langit.” Beliau bertanya lagi :
“Siapakah aku.” Dia menjawab : “Engkau adalah Rasulullah.” Maka beliau
berkata (kepada Mu’awiyah) : “Merdekakanlah dia karena sesungguhnya dia
adalah seorang perempuan Mukminah.” (HR. Ahmad dan Muslim)
Bandingkanlah
antara budak wanita yang hidup di masa Rasulullah ini dengan tokoh
Tabligh tersebut. Meskipun statusnya sebagai budak tetapi dia lebih
pandai daripada tokoh Tabligh itu. Memang kesesatan itu tidak pandang
bulu. Allah Subhanahu wa Ta’ala menunjuki siapa yang Dia kehendaki dan
menyesatkan siapa yang Dia kehendaki pula. Syaikh Hammud At Tuwaijiri
mengomentari kisah tokoh Tabligh tadi : “Ini adalah penyimpangan
terbesar dalam aqidah orang-orang Tabligh, yaitu mengingkari ‘Uluwullah
di atas makhluk-Nya. Inilah madzhab Jahmiyah (para pengikut Jahm bin
Shafwan yang mengingkari sifat ‘Uluwullah, pent.) yang dikafirkan oleh
kebanyakan ulama Salaf.
Maka hendaknya orang-orang yang ingin bergabung dengan Jamaah Tabligh mengambil pelajaran dari kisah seorang pimpinan Jamaah mereka itu yang meyakini bahwa Allah berada di setiap tempat dan tidak berada di atas langit! Ini adalah kekufuran yang nyata karena bertentangan dengan dalil-dalil yang banyak dari Al Kitab, As Sunnah, dan ijma’ kaum Muslimin yang menyatakan bahwa Allah di atas seluruh makhluk-Nya dan Allah bersama makhluk dengan ilmu-Nya, pengawasan-Nya, dan peliputan-Nya. Hendaknya seorang Mukmin –yang menasehati dirinya– berhati-hati untuk bergabung dengan orang-orang Tabligh yang mengingkari ketinggian Allah di atas makhluk-Nya dan menyangka bahwa Allah berada di setiap tempat. Maha Tinggi Allah dari apa-apa yang dikatakan oleh orang-orang yang dhalim.” (Al Qaulul Baligh halaman 43-44)
Jamaah Tabligh Mengagung-agungkan Kuburan
Termasuk kesesatan Tabligh dalam hal aqidah adalah mereka mendatangi kuburan tokoh-tokoh mereka kemudian berdoa dan menanti ilmu laduni (kasyaf, ilmu menyingkap rahasia-rahasia tersembunyi), karamah-karamah, dan ikatan batin dengan orang-orang yang ada di kuburan itu. Bukti atas ucapan ini adalah sebagaimana disebutkan oleh Muhammad Aslam dalam kitabnya yang berjudul Jamaah Tabligh ‘Aqidatuha wa Afkaru Masyayikhiha. Pengarang berkata pada halaman 3 : “Bahwasanya tokoh utama orang-orang Tabligh, Muhammad Ilyas, duduk di belakang kuburan Abdul Quddus Al Kankuhi (seorang pemimpin tarikat Sufi beraliran Jistiyah) pada sebagian besar waktunya. Dan dia juga duduk berkhalwat (bersendiri) di dekat kuburan Sa’id Al Badayuni dan shalat jamaah di sana.” (Lihat Al Qaulul Baligh halaman 65)
Tidak diragukan lagi bahwa perbuatan tokoh mereka ini adalah perbuatan syirik bahkan menyerupai perbuatan Yahudi dan Nashara. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda (yang artinya): “Laknat Allah terhadap Yahudi dan Nashara, mereka menjadikan kuburan para Nabi mereka sebagai masjid.” (Aisyah berkata) : “Beliau memperingatkan apa yang mereka lakukan dan seandainya jika tidak ada (peringatan itu) niscaya kuburan beliau ditampakkan (ditinggikan) tetapi karena beliau takut kalau kuburannya dijadikan masjid (maka tidak ditampakkan).” (HR. Bukhari dan Muslim dari Aisyah radliyallahu‘anha)
Ketika Ummu Habibah dan Ummu Salamah menerangkan keadaan gereja yang berada di negeri Habasyah (Ethiopia), keduanya menyebutkan keindahannya dan gambar-gambar yang ada di dalamnya. Maka Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda (yang artinya):
“Mereka adalah suatu kaum yang jika ada seorang yang shalih meninggal di antara mereka, mereka membangun masjid di atas kuburannya dan mereka membuat gambar-gambar itu (gambar orang shalih tersebut). Mereka adalah sejelek-jelek makhluk di sisi
Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan : “Dengan sebab inilah Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam melarang menjadikan masjid-masjid di atas kuburan karena hal itu yang banyak menjerumuskan kebanyakan umat-umat ke dalam syirik akbar dan yang lebih rendah/hina dari itu. Sesungguhnya jiwa-jiwa manusia akan berbuat kesyirikan terhadap patung orang-orang shalih dan gambar-gambar yang dianggap sebagai mantera-mantera dan yang semacamnya. Kesyirikan karena adanya kuburan seseorang yang diyakini keshalihannya adalah lebih dekat kepada jiwa-jiwa manusia dibanding kesyirikan karena mengagungkan sebuah pohon atau sebuah batu. Oleh karena itu, Anda akan menjumpai orang-orang yang berbuat syirik, merendahkan diri, khusyu’, hening, dan menunaikan ibadah di kuburan-kuburan tersebut yang tidak mereka lakukan ketika berada di rumah-rumah Allah dan di waktu sahur. Di antara mereka ada yang sujud kepada kuburan itu. Dan kebanyakan mereka mengharapkan barakah shalat dan berdoa di tempa itu apa yang mereka tidak harapkan ketika di masjid-masjid. Karena kerusakan itulah Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam memutuskan penyebab utamanya. Hingga beliau melarang shalat di kuburan secara mutlak. Walaupun orang yang shalat di situ tidak mengharapkan barakah tempat tersebut sebagaimana ketika shalat di masjid. Sebagaimana beliau melarang shalat ketika matahari terbit dan ketika terbenam. Karena waktu-waktu itu adalah waktu shalat bagi kaum musyrikin kepada matahari. Maka beliau melarang umatnya shalat ketika itu meskipun ia tidak bermaksud sebagaimana tujuan kaum musyrikin, (hal ini dilakukan) dalam rangka menutup jalan menuju larangan. Adapun jika seseorang shalat di sisi kuburan dengan tujuan mencari barakah di tempat itu maka ini benar-benar menentang Allah dan Rasul-Nya, menyelisihi agama Rasul dan melakukan kebid’ahan dalam agama yang tidak pernah diizinkan oleh Allah. Karena kaum Muslimin telah sepakat –berdasarkan apa yang mereka ketahui dari agama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam– bahwa shalat di sisi kuburan adalah terlarang dan bahwasanya beliau Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam melaknat orang yang menjadikan kuburan sebagai tempat sujud. Karena termasuk kebid’ahan terbesar dan sebab-sebab perbuatan syirik adalah shalat di sisi kuburan, menjadikannya sebagai tempat sujud, dan membangun masjid-masjid di atasnya. Telah mutawatir dalil-dalil dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam akan larangan dan sikap keras beliau terhadap (orang yang) membangun masjid di atas kuburan dan sujud di sisinya … .” (Lihat Fathul Majid halaman 275-276)
Keterkaitan Jamaah Tabligh Dengan Jimat-Jimat
Di antara kesyirikan-kesyirikan yang tersebar di kalangan Jamaah Tabligh adalah menggantungkan jimat-jimat yang berisi mantera-mantera, nama-nama yang asing, nomor-nomor atau rumus-rumus yang aneh yang tidak terlepas dari permintaan, pertolongan, dan perlindungan kepada selain Allah. (Lihat Al Qaulul Baligh halaman 13)
Tidakkah mereka mengetahui bahwa memakai jimat-jimat hukumnya haram dan termasuk syirik asghar. Bahkan bisa menjadi syirik akbar jika seandainya orang yang memakainya bergantung sepenuhnya kepada jimat-jimat tersebut. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda (yang artinya): “Barangsiapa menggantungkan jimat-jimat maka sungguh dia telah berbuat syirik.” (HR. Ahmad dan Al Hakim dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam As Shahihah nomor 492)
Dan sungguh keras ancaman Allah Subhanahu wa Ta’ala terhadap orang-orang yang berbuat syirik. Allaah berfirman (yang artinya): “Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah maka pasti Allah mengharamkan padanya Surga dan tempatnya ialah di neraka, tidaklah ada bagi orang yang dhalim itu seorang penolong pun.” (QS. Al Maidah : 72)
Penutup
Dari sejumlah penyimpangan-penyimpangan yang telah disebutkan di atas, cukup bagi kita untuk menilai sampai sejauh mana jamaah ini menyeleweng dari aqidah Ahlus Sunnah wal Jamaah. Ahlus Sunnah wal Jamaah sangatlah memperhatikan perbaikan perkara aqidah di tengah umat ini. Bahkan yang pertama kali mereka (Ahlus Sunnah) dakwahkan adalah bagaimana mengaplikasikan penghambaan seseorang kepada Allah semata dan menjauhkannya dari segala kesyirikan dan penghambaan kepada selainAllah.
Adapun Jamaah Tabligh tidak menghiraukan sama sekali perkara aqidah. Sehingga tak heran kalau mereka tidak memahami makna hakiki dari kalimat tauhid Laa Ilaaha Illallah. Bahkan mereka (Jamaah Tabligh) menghalang-halangi orang-orang yang berdakwah kepada tauhid dan menganggap dakwah tauhid adalah dakwah pemecah-belah umat.
Asas dakwah Jamaah Tabligh dibangun di atas kejahilan dan kebodohan. Mereka menghalang-halangi para pemuda untuk menuntut ilmu agama dan menganggap bahwa ilmu agama itu bisa didapatkan dengan melakukan khuruj fi sabilihim (keluar berdakwah di jalan mereka bukan di jalan Allah) tanpa mendatangi para ulama dan menuntut ilmu dari mereka. Akibatnya, kesyirikan-kesyirikan, khurafat-khurafat, dan kebid’ahan-kebid’ahan tumbuh subur di kalangan mereka. Dan hasil dari dakwah yang berdiri di atas kebodohan adalah kebodohan pula, tidak ada yang lain.
Maka penulis menasehatkan kepada seluruh pembaca agar berhati-hati dari Jamaah Tabligh atau seluruh jamaah-jamaah yang menyimpang dari manhaj Ahlus Sunnah wal Jamaah As Salafiyah Al Firqatun Najiyah Ath Tha’ifah Al Manshurah. Di hadapan kita banyak dai-dai yang mengajak kepada kesesatan sebagaimana yang digambarkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam ketika menafsirkan ayat : “Dan bahwasanya inilah jalanku yang lurus maka ikutilah dia dan janganlah kalian mengikuti jalan-jalan yang lain karena jalan-jalan itu akan mencerai-beraikan kalian dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepada kalian agar kalian bertakwa.” (QS. Al An’am : 153)
Ibnu Mas’ud radliyallahu ‘anhu berkata : Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam menggaris sebuah garis dengan tangannya kemudian berkata : “Inilah jalan Allah yang lurus.” Kemudian beliau menggaris sejumlah garis di sebelah kanan dan kiri garis itu kemudian bersabda : “Dan inilah jalan-jalan,tidaklah setiap jalan kecuali terdapat syaitan yang mengajak kepadanya.” (HR. Ahmad, Nasa’i, dan Al Hakim dan dishahihkan oleh Al Hakim dan disepakati oleh Adz Dzahabi)
Wallahu A’lam Bish Shawab.
Sumber: assunnah.
Judul Asli: Borok-borok Aqidah Tabligh
0 komentar:
Posting Komentar