Pernakah
Anda mengalami saat-saat terindah dalam hidup Anda? Apakah yang Anda
rasakan pada saat itu? Bukankah Anda merasakan hati Anda sangat bahagia
sehingga Anda ingin seandainya saat-saat itu terulang kembali?
Setiap insan tentu pernah
merasakan saat-saat terindah dalam hidupnya, akan tetapi masing-masing
orang akan menjadikan saat terindah dalam hidupnya sesuai dengan apa
yang mendominasi hati dan jiwanya.
Orang yang sedang semangat
melakukan usaha perdagangan dan bisnis menganggap saat terindah adalah
ketika dia berhasil meraup keuntungan besar dan berlipat ganda dalam
bisnisnya. Orang yang berambisi besar untuk mendapatkan kedudukan dan
jabatan duniawi merasa saat yang terindah adalah ketika dia berhasil
menduduki jabatan tinggi dan penting dalam kariernya. Demikian pula,
orang yang sedang dimabuk cinta merasa bahwa saat terindah adalah ketika
cintanya diterima oleh sang kekasih dan ketika berjumpa dengannya.
Demikianlah sekilas gambaran
keadaan manusia dalam menilai saat-saat terindah dalam hidup mereka
Sekarang marilah kita perhatikan dan renungkan dengan seksama, manakah
di antara semua itu yang benar-benar merupakan kebahagiaan dan keindahan
yang sejati, sehingga orang yang mendapatkannya berarti sungguh dia
telah merasakan saat terindah dalam hidupnya?
Renungan tentang keindahan dan kebahagiaan hidup yang sejati
Imam Ibnul Qayyim berkata,
“Sesungguhnya bentuk-bentuk kebahagiaan (keindahan) yang diprioritaskan
oleh jiwa manusia ada tiga (macam):
1-
Kebahagiaan (keindahan) di luar zat (diri) manusia, bahkan keindahan
ini merupakan pinjaman dari selain dirinya, yang akan hilang dengan
dikembalikannya pinjaman tersebut. Inilah kebahagiaan (keindahan) dengan
harta dan kedudukan (jabatan duniawi).
Keindahan seperti ini adalah
seperti keindahan seseorang dengan pakaian (indah) dan perhiasannya,
tapi ketika pandanganmu melewati penutup dirinya tersebut maka ternyata
tidak ada satu keindahanpun yang tersisa pada dirinya!
Dalam sebuah kisah diceritakan
bahwa ada seorang ulama yang menumpang sebuah kapal laut bersama para
saudagar kaya, kemudian kapal tersebut pecah (dan tenggelam bersama
seluruh barang-barang muatan). Maka para saudagar tersebut serta merta
menjadi orang-orang yang hina dan rendah (karena harta mereka tenggelam
di laut) padahal sebelumnya mereka merasa mulia (bangga) dengan kekayaan
mereka. Sedangkan ulama tersebut sesampainya di negeri tujuan beliau
dimuliakan dengan berbagai macam hadiah dan penghormatan (karena ilmu
yang dimilikinya). Ketika para saudagar yang telah menjadi miskin itu
ingin kembali ke negeri mereka, mereka bertanya kepada ulama tersebut:
Apakah anda ingin menitip pesan atau surat untuk kaum kerabat anda? Maka
ulama itu menjawab: “Iya, sampaikanlah kepada mereka: Jika kalian ingin
mengambil harta (kemuliaan) maka ambillah harta yang tidak akan
tenggelam (hilang) meskipun kapal tenggelam, oleh karena itu jadikanlah
ilmu sebagai (barang) perniagaan (kalian)”.
2- (Bentuk) kebahagiaan
(keindahan) yang kedua: kebahagiaan (keindahan) pada tubuh dan fisik
manusia, seperti kesehatan tubuh, keseimbangan fisik dan anggota badan,
keindahan rupa, kebersihan kulit dan kekuatan fisik. Keindahan ini
meskipun lebih dekat (pada diri manusia) jika dibandingkan dengan
keindahan yang pertama, namun pada hakikatnya keindahan tersebut di luar
diri dan zat manusia, karena manusia itu dianggap sebagai manusia
dengan ruh dan hatinya, bukan (cuma sekedar) dengan tubuh dan raganya,
sebagaimana ucapan seorang penyair:
Wahai orang yang (hanya) memperhatikan fisik, betapa besar kepayahanmu dengan mengurus tubuhmu
Padahal kamu (disebut) manusia dengan ruhmu bukan dengan tubuhmu
[1]Inilah keindahan semu dan palsu milik orang-orang munafik yang tidak dibarengi dengan keindahan jiwa dan hati, sehingga Allah Ta’ala mencela mereka dalam firman-Nya:
{وَإِذَا رَأَيْتَهُمْ تُعْجِبُكَ أَجْسَامُهُمْ وَإِنْ يَقُولُوا تَسْمَعْ لِقَوْلِهِمْ كَأَنَّهُمْ خُشُبٌ مُسَنَّدَةٌ}
“Dan
apabila kamu melihat mereka, tubuh-tubuh (penampilan fisik) mereka
menjadikan kamu kagum. Dan jika mereka berkata kamu mendengarkan
perkataan mereka. Mereka seakan-akan kayu yang tersandar” (QS al-Munafiqun: 4).
Artinya: mereka memiliki
penampilan rupa dan fisik yang indah, tapi hati dan jiwa mereka penuh
dengan keburukan, ketakutan dan kelemahan, tidak seperti penampilan
lahir mereka[2].
3- (Bentuk) kebahagiaan (keindahan) yang ketiga: inilah kebahagiaan (keindahan) yang sejati, keindahan rohani dalam hati dan jiwa manusia, yaitu keindahan dengan ilmu yang bermanfaat dan buahnya (amalan shaleh untuk mendekatkan kepada Allah Ta’ala).
Sesungguhnya kebahagiaan inilah
yang menetap dan kekal (pada diri manusia) dalam semua keadaan, dan
menyertainya dalam semua perjalanan (hidupnya), bahkan pada semua alam
yang akan dilaluinya, yaitu: alam dunia, alam barzakh (kubur) dan alam
tempat menetap (akhirat). Dengan inilah seorang hamba akan meniti tangga
kemuliaan dan derajat kesempurnaan”[3].
Berbahagialah dengan saat terindah dalam hidupmu!
Berdasarkan renungan tentang
keindahan dan kebahagiaan hidup di atas, maka jelaslah bahwa keindahan
dan kebahagiaan yang sejati dalam hidup manusia adalah dengan
mengamalkan amalan shaleh yang dicintai oleh Allah Ta’ala dan mengutamakannya di atas segala sesuatu yang ada di dunia ini.
Inilah keindahan dan kebahagiaan sejati yang direkomendasikan oleh Allah Ta’ala dalam firman-Nya,
{قُلْ بِفَضْلِ اللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَلِكَ فَلْيَفْرَحُوا هُوَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُونَ}
“Katakanlah:
“Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka
(orang-orang yang berilmu) bergembira (berbangga), kurnia Allah dan
rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa (kesenangan duniawi) yang
dikumpulkan (oleh manusia)” (QS Yunus:58).
Dalam ayat ini Allah Ta’ala
memerintahkan kepada orang-orang yang beriman agar mereka merasa bangga
(gembira dan bahagia) dengan anugerah yang Allah Ta’ala berikan
kepada mereka, dan Dia menyatakan bahwa anugerah dari-Nya itu lebih
indah dan mulia dari semua kesenangan dunia yang berlomba-lomba dikejar
oleh kebanyakan manusia ”Karunia Allah” dalam ayat ini ditafsirkan oleh
para ulama ahli tafsir dengan “keimanan”, sedangkan “Rahmat Allah”
ditafsirkan dengan “Al Qur-an”, yang keduanya (keimanan dan Al Qur-an)
adalah ilmu yang bermanfaat dan amalan shaleh, sekaligus keduanya merupakan petunjuk dan agama yang benar (yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam)[4].
Syaikh ‘Abdur Rahman as-Sa’di
berkata, “Kenikmatan (yang berupa) agama (iman) yang bergandengan dengan
kebahagiaan dunia dan akhirat (jelas) tidak bisa dibandingkan dengan
semua kenikmatan duniawi yang hanya sementara dan akan hilang”[5].
Inilah kebahagiaan hakiki bagi
hati dan jiwa manusia, yang digambarkan oleh Imam Ibnul Qayyim dalam
ucapan beliau, “Semua perintah Allah (dalam agama Islam), hak-Nya
(ibadah) yang Dia wajibkan kepada hamba-hamba-Nya, serta semua hukum
yang disyariatkan-Nya (pada hakekatnya) merupakan qurratul ‘uyuun
(penyejuk pandangan mata), serta kesenangan dan kenikmatan bagi hati
(manusia), yang dengan (semua) itulah hati akan terobati, (merasakan)
kebahagiaan, kesenangan dan kesempurnaan di dunia dan akhirat. Bahkan
hati (manusia) tidak akan merasakan kebahagiaan, kesenangan dan
kenikmatan yang hakiki kecuali dengan semua itu. Sebagaimana firman
Allah Ta’ala,
{يا
أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَتْكُمْ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَشِفَاءٌ
لِمَا فِي الصُّدُورِ وَهُدىً وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ، قُلْ بِفَضْلِ
اللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَلِكَ فَلْيَفْرَحُوا هُوَ خَيْرٌ مِمَّا
يَجْمَعُونَ}
“Hai
manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Rabbmu dan
penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk
serta rahmat bagi orang-orang yang beriman. Katakanlah: “Dengan karunia
Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Karunia
dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa (kesenangan duniawi) yang
dikumpulkan (oleh manusia)” (QS.Yuunus:57-58)”[6].
Maka berdasarkan semua ini, berarti saat yang paling indah dalam hidup seorang manusia adalah ketika Allah Ta’ala
melimpahkan taufik-Nya kepadanya untuk mengikuti jalan Islam dan
memberi petunjuk kepadanya untuk memahami dan mengamalkan petunjuk-Nya
guna mencapai keridhaan-Nya.
Inilah pernyataan yang disampaikan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada shahabat yang mulia, Ka’ab bin Malik, ketika Allah Ta’ala menurunkan ayat al-Qur’an[7] tentang diterima-Nya taubat shahabat ini dan dua orang shahabat lainnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya dengan wajah yang berseri-seri karena gembira, “Berbahagialah dengan hari terindah yang pernah kamu lalui sejak kamu dilahirkan ibumu”[8].
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menamakan hari diterimanya taubat seorang hamba oleh Allah Ta’ala sebagai hari/saat yang terindah dalam hidupnya
karena taubat itulah yang menyempurnakan keislaman seorang hamba, maka
ketika dia masuk Islam itulah awal kebahagiaannya dan ketika Allah Ta’ala menerima taubatnya itulah penyempurna dan puncak kebahagiaannya, sehingga hari itu adalah saat terindah dalam hidupnya[9].
Imam Ibnul Qayyim berkata,
“Dalam hadits ini terdapat argumentasi (yang menunjukkan) bahwa hari
yang paling indah dan utama bagi seorang hamba secara mutlak adalah
ketika dia bertaubat kepada Allah dan Allah menerima taubatnya.…Kalau
ada yang bertanya: Bagaimana (mungkin) hari ini (dikatakan) lebih baik
daripada hari (ketika) dia masuk Islam? Jawabannya: hari ini adalah
penyempurna dan pelengkap hari (ketika) dia masuk Islam, maka hari
(ketika) dia masuk Islam adalah awal kebahagiaanya, sedangkan hari
taubatnya adalah penyempurna dan pelengkap kebahagiaanya, wallahu musta’aan[10].
Senada dengan hadits di atas,
ucapan sahabat yang mulia, Anas bin Malik yang menggambarkan kegembiraan
para shahabat ketika mendengar sebuah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
Anas bin Malik berkata, “Maka kami (para shahabat ) tidak pernah
merasakan suatu kegembiraan setelah (kegembiraan dengan) Islam melebihi
kegembiraan kami tatkala mendengar sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Engkau (akan dikumpulkan di surga) bersama orang yang kamu cintai”. Maka aku mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
Abu bakar radhiyallahu'anhu dan Umar radhiyallahu'anhu, dan aku
berharap akan bersama mereka (di surga nanti) dengan kecintaanku kepada
mereka meskipun aku belum mampu melakukan seperti amal perbuatan mereka”[11].
Hadits yang agung ini menunjukkan bahwa saat-saat yang terindah bagi orang-orang yang sempurna imannya, para shahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah ketika mereka mendapat hidayah untuk menempuh jalan Islam dan ketika mereka memahami serta mengamalkan petunjuk Allah Ta’ala untuk mencapai ridha-Nya dan masuk ke dalam surga-Nya.
Saat yang paling indah di akhirat kelak adalah ketika bertemu Allah Ta’ala
Allah Ta’ala berfirman,
{فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا}
“Barangsiapa
yang mengharapkan perjumpaan dengan Rabbnya (Allah Ta’ala) maka
hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia
mempersekutukan Allah dengan apapun dalam beribadah kepada-Nya” (QS al-Kahfi:110).
Inilah saat terindah yang dinanti-nantikan oleh orang-orang yang beriman dan bertakwa kepada Allah Ta’ala, yaitu saat ketika bertemu dengan-Nya untuk mendapatkan balasan kebaikan dan kemuliaan dari-Nya[12].
Dalam sebuah doa dari Imam Hasan al-Bashri: “Ya
Allah, jadikanlah sebaik-baik amalan kami sebelum ajal (menjemput)
kami, dan jadikanlah sebaik-baik hari (bagi) kami adalah hari ketika
kami berjumpa dengan-Mu”[13].
Mereka inilah orang-orang yang mencintai perjumpaan dengan Allah Ta’ala maka Allah pun mencintai perjumpaan dengan mereka, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Barangsiapa yang mencintai perjumpaan dengan Allah maka Allah mencintai perjumpaan dengannya“[14].
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menggambarkan kegembiraan orang yang bertakwa ketika bertemu Allah Ta’ala dengan amal shaleh yang mereka lakukan di dunia, dalam sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Orang yang berpuasa akan merasakan dua kegembiraan; kegembiraan ketika berbuka puasa dan kegembiraan ketika berjumpa dengan Rabbnya (Allah Ta’ala)”[15].
Kemudian, saat yang paling indah bagi orang-orang yang beriman ketika berjumpa dengan Allah Ta’ala
adalah saat mereka memandang wajah-Nya yang maha mulia. Inilah
kenikmatan tertinggi yang Allah janjikan bagi mereka yang melebihi
besarnya kenikmatan lainnya yang ada di surga. Allah Ta’ala berfirman,
{لِلَّذِينَ
أَحْسَنُوا الْحُسْنَى وَزِيَادَةٌ وَلا يَرْهَقُ وُجُوهَهُمْ قَتَرٌ وَلا
ذِلَّةٌ أُولَئِكَ أَصْحَابُ الْجَنَّةِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ}
“Bagi
orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan
tambahannya (melihat wajah Allah Ta’ala). Dan muka mereka tidak ditutupi
debu hitam dan tidak (pula) kehinaan. Mereka itulah penghuni surga,
mereka kekal di dalamnya” (QS Yuunus:26).
Arti “tambahan” dalam ayat ini ditafsirkan langsung oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits yang shahih, yaitu kenikmatan melihat wajah Allah Ta’ala, dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling memahami makna firman Allah Ta’ala[16].
Dalam hadits yang shahih dari seorang sahabat yang mulia, Shuhaib bin Sinan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika penghuni surga telah masuk surga, Allah Ta’ala
Berfirman: “Apakah kalian (wahai penghuni surga) menginginkan sesuatu
sebagai tambahan (dari kenikmatan surga)? Maka mereka menjawab: Bukankah
Engkau telah memutihkan wajah-wajah kami? Bukankah Engkau telah
memasukkan kami ke dalam surga dan menyelamatkan kami dari (azab)
neraka? Maka (pada waktu itu) Allah Membuka hijab (yang menutupi
wajah-Nya Yang Maha Mulia), dan penghuni surga tidak pernah mendapatkan
suatu (kenikmatan) yang lebih mereka sukai dari pada melihat (wajah)
Allah Ta’ala”. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca ayat tersebut di atas[17].
Dalam hadits ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan bahwa kenikmatan melihat wajah Allah Ta’ala adalah kenikmatan yang paling mulia dan agung serta melebihi kenikmatan-kenikmatan di surga lainnya[18].
Imam Ibnu Katsir berkata:
”(Kenikmatan) yang paling agung dan tinggi (yang melebihi semua)
kenikmatan di surga adalah memandang wajah Allah yang maha mulia, karena
inilah “tambahan” yang paling agung (melebihi) semua (kenikmatan) yang
Allah berikan kepada para penghuni surga. Mereka berhak mendapatkan
kenikmatan tersebut bukan (semata-mata) karena amal perbuatan mereka,
tetapi karena karunia dan rahmat Allah” [19].
Dalam hadits lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menggandengkan kenikmatan tertinggi ini dengan sifat kekasih Allah Ta’ala yang disebutkan dalam hadits di atas, yaitu selalu merindukan perjumpaan dengan Allah Ta’ala. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam doa beliau, “(Ya
Allah) aku meminta kepada-Mu kenikmatan memandang wajah-Mu (di akhirat
nanti) dan aku meminta kepada-Mu kerinduan untuk bertemu dengan-Mu
(sewaktu di dunia), tanpa adanya bahaya yang mencelakakan dan fitnah
yang menyesatkan”[20].
Imam Ibnul Qayyim dalam kitab beliau “Ighaatsatul lahafaan”[21] menjelaskan keterkaitan dua hal ini, yaitu bahwa kenikmatan tertinggi di akhirat ini (melihat wajah Allah Ta’ala) adalah balasan yang Allah Ta’ala berikan kepada orang yang selalu mengharapkan dan merindukan pertemuan dengan Allah Ta’ala,
yaitu kekasih-Nya yang telah merasakan kesempurnaan dan kemanisan iman,
yang wujudnya berupa perasaan tenang dan bahagia ketika mendekatkan
diri dan berzikir kepada-Nya.
Atau dengan kata lain, orang
yang akan menjumpai saat yang paling indah dan dinanti-nantikan di
akhirat ini, yaitu saat melihat wajah Allah Ta’ala yang maha mulia, adalah orang yang ketika di dunia dia merasakan bahwa saat terindah dalam hidupnya adalah ketika dia beribadah dan mendekatkan diri kepada Zat yang dicintainya, Allah Ta’ala.
Nasehat dan penutup
Demikianlah gambaran saat-saat paling indah bagi para kekasih Allah Ta’ala di dunia dan akhirat, bandingkanlah dengan saat-saat yang dianggap paling indah oleh mayoritas manusia sekarang ini.
Kemudian tanyakan kepada diri kita sendiri: apakah yang kita anggap sebagai saat terindah dalam hidup kita?
Maka
berbahagialah hamba Allah yang menjadikan saat terindah dalam hidupnya
ketika dia beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala. Berbahagialah dengan kabar gembira dari Allah Ta’ala berikut ini:
{إِنَّ
الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا تَتَنزلُ
عَلَيْهِمُ الْمَلائِكَةُ أَلا تَخَافُوا وَلا تَحْزَنُوا وَأَبْشِرُوا
بِالْجَنَّةِ الَّتِي كُنْتُمْ تُوعَدُونَ نَحْنُ أَوْلِيَاؤُكُمْ فِي
الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الآخِرَةِ وَلَكُمْ فِيهَا مَا تَشْتَهِي
أَنْفُسُكُمْ وَلَكُمْ فِيهَا مَا تَدَّعُونَ نزلا مِنْ غَفُورٍ رَحِيمٍ}
“Sesungguhnya
orang-orang yang mengatakan: “Rabb kami adalah Allah” kemudian mereka
meneguhkan pendirian mereka (beristiqamah), maka malaikat akan turun
kepada mereka (dengan memberi kabar gembira): “Janganlah kamu merasa
takut dan bersedih hati; dan bergembiralah dengan (memperoleh) surga
yang telah dijanjikan Allah kepadamu. Kamilah penolong-penolongmu dalam
kehidupan dunia dan di akhirat; di dalamnya (surga) kamu memperoleh apa
yang kamu inginkan dan memperoleh (pula) apa yang kamu minta”. Sebagai
hidangan (balasan yang kekal bagimu) dari (Allah) Yang Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang” (QS Fushilat: 30-32).
Dalam ayat lain, Allah berfirman:
{أَلا
إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ لا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلا هُمْ يَحْزَنُونَ *
الَّذِينَ آمَنُوا وَكَانُوا يَتَّقُونَ، لَهُمُ الْبُشْرَى فِي الْحَيَاةِ
الدُّنْيَا وَفِي الآخِرَةِ، لا تَبْدِيلَ لِكَلِمَاتِ اللَّهِ، ذَلِكَ
هُوَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ}
“Ketahuilah,
sesungguhnya wali-wali (kekasih) Allah itu, tidak ada kekhawatiran bagi
mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Yaitu) orang-orang yang
beriman dan mereka selalu bertakwa. Bagi mereka berita gembira di
dalam kehidupan di dunia dan di akhirat. Tidak ada perobahan bagi
kalimat-kalimat (janji-janji) Allah. Yang demikian itu adalah kemenangan
yang besar” (QS Yunus: 62-64).
Akhirnya, kami menutup tulisan ini dengan memohon kepada Allah Ta’ala
agar Dia senantiasa melimpahkan taufik-Nya kepada kita untuk
mendapatkan kebaikan dari-Nya di dunia dan akhirat, sesungguhnya Dia
Maha Mendengar lagi Maha Mengabulkan doa.
وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين
Artikel www.muslim.or.id
[1] Mulai dari sini sampai akhir paragraf ini adalah keterangan tambahan dari penulis. [2] Lihat “Tafsir Ibnu Katsir” (4/472), “Tafsir al-Qurthubi” (18/124-125) dan “Fathul Qadiir” (7/226).
[3] Kitab “Miftaahu daaris sa’aadah” (1/107-108).
[4] Lihat keterangan Ibnul Qayyim dalam kitab “Miftahu daaris sa’aadah” (1/51).
[5] Kitab “Taisiirul Kariimir Rahmaan” (hal. 366).
[6] Kitab “Ighaatsatul lahfaan” (hal. 75-76 – Mawaaridul amaan).
[7] QS at-Taubah:118.
[8] HSR al-Bukhari (no. 4156) dan Muslim (no. 2769).
[9] Lihat kitab “Fathul Baari” (8/122).
[10] Kitab “Zaadul ma’aad” (3/511).
[11] HSR al-Bukhari (no. 3485) dan Muslim (no. 2639).
[12] Lihat kitab “Fathul Baari” (4/118).
[13] Dinukil oleh Imam Harits bin Abi Usamah dalam “Musnad al-Harits” (2/756- Bugyatul baahits).
[14] HSR al-Bukhari (no. 6142) dan Muslim (no. 2683).
[15] HSR al-Bukhari (no. 7054) dan Muslim (no. 1151).
[16] Lihat kitab “syarhul ‘aqiidatil waashithiyyah” (1/452).
[17] HSR Muslim dalam “Shahih Muslim” (no. 181).
[18] Lihat kitab “syarhul ‘aqiidatil waashithiyyah” (1/453).
[19] Kitab “Tafsir Ibnu Katsir” (4/262).
[20]
HR An Nasa-i dalam “As Sunan” (3/54 dan 3/55), Imam Ahmad dalam “Al
Musnad” (4/264), Ibnu Hibban dalam “Shahihnya” (no. 1971) dan Al Hakim
dalam “Al Mustadrak” (no. 1900), dishahihkan oleh Ibnu Hibban, Al Hakim,
disepakati oleh Adz Dzahabi dan Syaikh Al Albani dalam “Zhilaalul
jannah fii takhriijis sunnah” (no. 424).
[21] Hal. 70-71 dan hal. 79 (Mawaaridul amaan, cet. Daar Ibnil Jauzi, Ad Dammaam, 1415 H).
0 komentar:
Posting Komentar