-->

23 Agustus 2012

SEMBILAN TUDUHAN DUSTA TERHADAP SYAIKH AL-ALBANI


Oleh
Gholib Arif Nushoiroot


Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, sholawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Rasulullah.

Wa Ba’du.

Al-Albani rahimahullah, ahli hadits abad ini, dijuluki sebagai muhaddits As-Syam (ahli hadits negeri Syam) –andai saja dijuluki sebagai Muhadditsud Dunya (ahli hadits dunia)- tentu ia berhak menyandangnya, wa la uzakki’ ala Allahi ahada. Beliau sebagaimana ulama lainnya, pernah dilontarkan kepadanya tuduhan-tuduhan dan kedustaan-kedustaan.


Kedustaan dan tuduhan tersebut terangkum dalam sembilan point berikut ini:

1). (Al-Albani) ahli hadits yang tidak paham fikih
2). Tidak mengetahui ilmu ushul
3). Tidak memiliki guru.
4). Syad (ganjil), menyendiri dari pendapat umumnya masyarakat.
5). Tidak menghormati ulama, dan tidak mengetahui ketinggian kedudukan mereka.
6). Bermadzhab dzhoiri
7). Mutasahil (gampang/mudah) men-shahih-kan hadits
8). Keputusannya dalam menghukumi hadits-hadits berlawanan, satu sama lain.
9). Tidak perhatian dengan matan hadits.

Tuduhan-tuduhan dusta di atas pernah dilontarkan kepada mayoritas ulama hadits di sepanjang masa. Dan saya melihat hal ini perlu dipaparkan dan dijawab demi membela mereka seutuhnya. Dengan harapan agar amalan yang sedikit ini termasuk dalam bab berbakti kepada mereka.


[1]. Ahli Hadits Yang Tidak Paham Fikih

Ungkapan ini, bila dimaksudkan hanya sekedar untuk mensifati bahwa beliau (Syaikh Al-Albani,-pent) termasuk ulama ahli hadits yang piawai dan pakar dibidangnya, dan tidak ada maksud lain yang mengurangi ketinggian ilmu fikih beliau, maka ungkapan ini tidak perlu dijawab. Karena Imam Al-Albani merupakan salah satu ahli hadits abad ini yang dapat disaksikan keilmuannya, dan peran aktifnya di bidang hadits. Dan ini dapat dibuktikan bersama. Perkara tersebut –walhamdulillah- sepengetahuanku merupakan perkara yang tidak diperselisihkan oleh siapa saja (kecuali mereka yang hasad, dengki, dan iri dengan beliau,-pent).

Adapun jika ungkapan tersebut bermaksud untuk menggugurkan keilmuan Syaikh Al-Albani dalam bidang fikih hadits, penjelasan maknanya, pilihan-pilihannya, dan hasil tarjih beliau dalam masalah-masalahnya, maka ini adalah makna yang munkar dan batil. Dan dapat dijawab dengan pernyataan berikut ini.


Kita katakan kepada mereka : Apa sebenarnya arti fikih menurut kalian? Jika maksud kalian adalah menghafal masalah-masalah, matan-matan, dan masuk ke dalam permasalahan yang bersifat tidak nyata, tanpa mendasari semua itu dengan dalil yang shahih, maka Imam Al-Albani sungguh seorang yang amat jauh dari hal itu.


Dan jika maksud kalian adalah memahami dan mempelajari dalil-dalil dari Al-Qur’anul Karim dan As-Sunnah Ash-Shahihah dengan pemahaman para sahabat dan tabi’in, tanpa fanatik kepada seseorang kecuali kepada dalil, maka kami minta kepada kalian untuk mendatangkan sebuah dalil yang menunjukkan bahwa Imam Al-Albani tidak seperti itu.


Sesungguhnya kalimat “ahli hadits yang tidak paham fikih” dengan makna batil tersebut merupakan ungkapan setan yang bertujuan untuk merendahkan kadar dan kedudukan ahli hadits, dan bahwa seorang ahli fikih tidak memerlukan ilmu hadits.


Ungkapan tersebut awalnya ketergelinciran dan bid’ah, akhirnya penghalalan (lepas diri) dan zindiq (kemunafikan). Dikatakan bid’ah, karena kita tidak pernah menemukannya dari salafush shalih. Dikatakan penghalalan dan zindiq, karena ucapan tersebut bisa mengakibatkan dibuangnya seluruh perkataan ulama. Yang kemudian bisa menggugurkan syari’at dan meghilangkan hukum-hukum Islam. Sehingga dikatakan sesekali : Hukum ini adalah perkataan fulan yang merupakan ahli hadits, dia bukan ahli fikih. Kemudian dikatakan lain kali ; Hukum ini adalah ucapan fulan yang merupakan ahli fikih, dia ahli hadits. Dan hasil akhirnya adalah berlepas diri dari hukum agama!!!


[2]. Tidak Mengetahui Ilmu Ushul

Tuduhan ini mana buktinya ? Dan realita yang ada di kitab-kitab Al-Albani adalah kebalikannya. Bahkan cerita yang popular dari biografi beliau, bahwasanya ia dahulu mengadakan dua kali kajian yang dihadiri oleh mahasiswa Universitas Islam Madinah dan sebagian staff dosen Universitas tersebut. Diantara kitab yang diajarkan oleh beliau di halaqah ilmiyah tersebut adalah kitab Ushulul Fikih karya Abdul Wahhab Khallaf.

Dan tuduhan ini –penafian kadar keilmuan ushul fikih beliau- ditelan mentah-mentah oleh sebagian mereka untuk mencela para ahli hadits, yang kemudian mereka gunakan untuk melemparkan tuduhan kepada para ahli hadits tersebut. Dan kepada mereka saya katakan : Termasuk perkara yang penting, harus diperhatikan poin-poin berikut.


a). Bahwasanya Sunnah Nabawiyyah merupakan petunjuk hukum-hukum yang ada dalam Al-Qur’an , sebagaimana yang dikatakan Imam Ahmad bin Hanbal dalam karyanya As-Sunnah riwayat Abdus : Setiap hukum dalam Al-Qur’an ditunjukkan oleh As-Sunnah, dijelaskannya dan ditunjukkan maksudnya. Dan dengan As-Sunnah bisa menghantarkan untuk mengetahui maknanya


b). Sesungguhnya ilmu ushul dibangun atas dasar petunjuk-petunjuk Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan menggunakan bahasa Arab, dengan memperhatikan adat masa diturunkannya syari’at. Dan perkara ini hanya diberikan kepada sahabat. Tidak ada yang ikut serta dan mengetahuinya kecuali mereka sendiri. Dan tidak pula ada jalan untuk sampai kepada hal tersebut kecuali dengan jalan mereka (para sahabat).


Apabila telah jelas dua poin di atas, maka ketahuilah, bahwa ahli hadits merupakan orang yang paling bahagia dengan kedua poin tersebut. tidak seorang pun yang lebih tahu dari mereka tentang kabar yang dibawa Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tidak seorang pun yang lebih tahu dari mereka tentang berita dari sahabat. Maka merekalah yang sebenarnya ahli ilmu ushul. Dan diantara manhaj mereka adalah menjadikan dalil-dalil Al-qur’an dan As-Sunnah sebagai dasar untuk membangun ilmu ushul. Bukankah para ulama ushul tidaklah beraktivitas kecuali untuk hal ini?


Dari sini engkau mengetahui, bahwa ahli hadits merekalah sebenarnya ulama ushul syariat ini, yang mengetahui kaedah-kaedah pengambilan hukum dari sela-sela usaha mereka untuk mengikuti apa yang datang dari sahabat dan tabi’in.


[3]. Tidak Memiliki Guru

Tuduhan ini terlalu tergesa-gesa untuk diucapkan. Sebab Syaikh Al-Albani pernah belajar beberapa ilmu alat dari ayahnya, seperti ilmu shorof. Beliau juga belakar darinya beberapa kitab madzhab Hanafi, seperti Mukhtashor Al-Qaduri. Darinya juga beliau belajar Al-Qur’an dan pernah menghatamkan riwayat Hafsh beserta tajwidnya.

Beliau pun pernah belajar dari Syaikh Sa’id Al-Burhani kitab Maraqi Al-Falah, sebuah kitab yang bermadzhab Hanafi, dan kitab Syudzurudz Dzahab di cabang ilmu nahwu serta beberapa kitab balaghah


Beliau juga pernah menghadiri seminar-seminar Al-Allamah Muhammad Bahjat Al-Baithar bersama beberapa ustadz dari Al-Majma Al-Islami Damaskus, diantaranya : Izzudin At-Tanukhi. Waktu itu mereka belajar kitab Al-Hamasah syairnya Abu Tammam.


Di akhir hayatnya, beliau sempat bertemu dengan Syaikh Muhammad Raghib Ath-Thabbakh. Beliau pun menyatakan takjub dengan Syaikh Al-Albani, dan menghadiahkan kepada beliau kitab Al-Anwar Al-Jaliyah Fi Mukhtashar Al-Atsbat Al-Hanbaliyah.


Apabila engkau tahu semua ini, maka jelas bagimu bahwa tuduhan dusta mereka “Al-Albani tidak memiliki guru” menyelisihi realita yang ada.


Dan tentunya tidak mengurangi kedudukan Syaikh meskipun hanya sedikit gurunya. Betapa banyak ulama yang hanya memiliki sedikit guru, dan itu tidak mempengaruhi kredibilitas keilmuannya. Bahkan diantara perawi hadits ada yang tidak meriwayatkan hadits kecuali dari dua atau tiga orang saja, bahkan ada juga yang berguru dari seorang Syaikh saja. Namun ternyata para ulama bersaksi akan kekuatan dan kesempurnaan hafalannya. Dan hal itu tidak menjadi alasan yang mencegah untuk mengambil ilmu dan meriwayatkan hadits dari mereka.


Adalah Abu Umar Ahmad bin Abdullah bin Muhammad Al-Lakhami yang terkenal dengan sebutan Ibnul Baji (wafat mendekati tahun 400H) yang merupakan penduduk daerah Isybilia. Dia adalah satu-satunya ulama dan ahli fikih yang ada pada waktu itu. Beliau mengumpulkan cabang ilmu hadits, fikih, dan keutamaan. Dan beliau menghafal dengan baik beberapa kitab-kitab sunnah dan penjelasan maknanya.


[4]. Syad (Ganjil), Menyendiri Dari Pendapat Umumnya Masyarakat

Ini juga merupakan tuduhan kosong belaka. Karena sesungguhnya ulama ahli hadits, begitu pula Al-Albani –wa laa uzaki ‘ala Allahi ahada- termasuk orang yang terasing yang menghidupkan sunnah-sunnah yang dimatikan oleh kebanyakan orang. Adapun istilah ahli hadits : Fulan sendirian dalam meriwayatkan hadits ini, ini tidak berarti bahwa ia tidak paham masalah dan tidak pula kita menayandarkan istilah gannjil kepadanya

Dalam kitab Al-Ihkam Fi Ushulil Ahkam (5/661-662) Abu Muhammad Ibnu Hazm berkomentar : Sesungguhnya batasan istilah ganjil adalah dengan menyelisihi kebenaran. Maka siapa saja yang menyelisihi kebenaran dalam suatu permasalahan maka ia termasuk ganjil dalam masalah tersebut, meskipun jumlahnya sebanyak penduduk muka bumi atau sebagiannya. Sedangkan Al-Jama’ah, secara keseluruhan mereka adalah ahlul haq, meskipun dimuka bumi tidak ada dari mereka kecuali seorang saja, maka ialah Al-Jama’ah, dan ini adalah secara globalnya. Meskipun hanya Abu Bakar dan Khadijah saja yang masuk Islam, maka mereka berdua adalah Al-Jama’ah. Sedangkan siapa saja dari penduduk bumi selain mereka berdua dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka mereka adalah ahlu ganjil (menyimpang) dan perpecahan.


Maka bukanlah maksud dari istilah ganjil adalah seorang ulama yang menyelisihi jama’ah ulama lainnya. Bukanlah arti ganjil menyelisihi perbuatan yang sering diamalkan atau tersebar luas di masyarakat. Betapa banyak permasalahan yang dipegang teguh oleh ulama dengan pendapat yang menyendiri, seperti Abu Hanifah, Malik, dan juga Ahmad. Dan hal itu tidak dianggap sebagai aib bagi mereka, tidak mengurangi kefakihan mereka apalagi menghalang-halanginya, juga tidak menjadikan mereka disifati ganjil atau menyendiri.


Bagaimana mungkin bisa disifati dengan ganjil orang yang memurnikan peneladanan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam


Bahkan sebelum ulama yang menyelisihi sunnah atau atsar tidak dikatakan oleh ulama yang lain dengan ucapan : Mereka ganjil, mereka menyendiri. Adalah Al-Hafizh Ibnu Abi Syaibah (wafat 235H) di dalam kitabnya Al-Mushshannaf mengarang sebuah judul : Bantahan untuk Abu Hanifah. Beliau mengawalinya dengan perkataan : Ini adalah permasalahan yang Abu Hanifah menyelisihi berita yang telah datang dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam


Adalah Al-Laits bin Sa’ad berkata : Aku pernah menghitung permasalahan Malik bin Anas yang berjumlah tujuh puluh, seluruhnya menyelisihi sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dalam semua permasalahan itu ia berpendapat dengan akalnya. Komentar Al-Laits : Dan aku pernah menuliskan ini untuknya. Cerita atsar ini ada dalam kitab Jami’u Bayanil Ilmu wa Fadhlihi 92/148).


Kemudian kapankah amalan kebanyakan orang menjadi hujjah secara mutlak dalam syari’at ini, yang mana dalil-dalil ditolak karenanya ? Dosa apa yang dilakukan para ahli hadits dan Al-Albani tatkala mereka berpegang dengan hadits yang telah jelas bagi mereka derajat keshahihannya, dan tidak pernah nampak perkataan kuat yang menyelisihinya, kemudian mereka mengamalkannya, dan mengajak orang lain untuk menghidupkan sunnah yang dikandung oleh hadits itu. Maha Suci Allah!, mereka bukannya diberikan ucapan terima kasih malah dicela, kemudian dijuluki dengan gelar ganjil atau menyendiri!


[5].Tidak Menghormati Ulama Dan Tidak Mengatahui Ketinggian Kedudukan Mereka.

Adapun perkataan tersebut, maka hanya tuduhan yang tidak berdalil. Bahkan realita yang ada adalah kebalikannya. Penyebab tuduhan itu adalah prasangka salah sebagian orang yang mengira bahwa Syaikh Al-Albani tatkala mengamalkan hadits shahih yang belum pernah diketahui seorang yang menyelisihinya, mereka mengira bahwa perbuatan beliau tersebut menjatuhkan kredibilitas para ulama yang tidak mengamalkannya, dan berarti beliau tidak menghormati mereka. Parasangka salah tersebut tidak perlu terlalu diperhitungkan, dengan alasan sebagai berikut:

Tentu beda antara memurnikan amalan untuk mengikuti Rasulullah dan menjatuhkan perkataan ulama lain. Maksud dari mengikuti Rasulullah yaitu tidak mendahulukan perkataan seseorang dari ucapan beliau, siapapun orangnya. Akan tetapi, pertama engkau melihat keabsahan hadits. Apabila hadits tersebut shahih, maka yang kedua engkau harus memahami maknanya. Jika sudah jelas (maknanya) bagimu maka engkau tidak boleh menyimpang darinya, meskipun semua orang di timur bumi dan baratnya menyelisihimu.


Dan diantara perkataan berharga Syaikh Al-Albani sebagaimana dalam As-Silsilah Ash-Shahihah, ketika mengomentari hadits nomor 221, beliau berkata :


Ambil dan peganglah hadits Rasulullah. Gigitlah ia dengan gigi geraham. Jauhilah olehmu pendapat-pendapat orang, sebab dengan adanya hadits maka pendapat menjadi batal, dan jika datang sungai Allah (dalil naqli) maka hilanglah sungai akal (dalil aqli).


Sekedar pengetahuan, -setahu saya- tidak ada sebuah permasalahan yang dipilih oleh Al-Albani kecuali pernah dikatakan oleh para ulama sebelumnya. Beliau senantiasa antusias menyebutkan ulama salaf yang sependapat dengannya. Beliau juga antusias mengamalkan pendapat yang sejalan dengan dalil


Syaikh Al-Albani selalu merujuk ke perkataan ulama, mengambil pelajaran darinya, juga mengambil faedah dari perkataan tersebut tanpa fanatik ataupun taklid. Beliau berkata di muqaddimah kitab sifat shalat Nabi.


Adapun merujuk ke perkataan mereka –yakni ulama- , mengambil faedah darinya, memanfaatkannya untuk mencari kebenaran dari permasalahan yang mereka perselisihkan yang tiada dalilnya dari Al-Qut’an dan As-Sunnah, atau untuk membantu memahami permasalahan yang butuh kejelasan, maka ini adalah sesuatu yang tidak kami ingkari. Bahkan kami memerintahkan dan menyarankan hal tersebut, sebab manfaat darinya bisa diharapkan bagi orang yang meniti jalan hidayah dengan Al-Kitab dan As-Sunnah.


Tersisa isyarat tentang permasalahan kerasnya Syaikh dalam membantah orang yang menyelisihinya. Realita yang ada menyatakan bahwa permasalahan ini bersifat relatif, setiap orang berbeda satu sama lain. Sebagian dari mereka menyebutnya dengan istilah sifat obyektif dalam membahas, sekedar mencari kebenaran tanpa basa-basi. Sedangkan yang lainnya menyebutnya dengan istilah keras dan tidak berlemah lembut. Bagaimanapun juga, sudah sepantasnya tidak dihindari poin-poin berikut ini.


a). Bahwasanya sebagian dari mereka meminta kepada Syaikh untuk lemah- lembut dalam membantahnya hingga batas kewajaran. Anehnya, mereka meminta kepada Syaikh untuk membantahnya dengan aturan tertentu yang mereka sendiri tidak dipergunakan ketika membantah orang-orang yang berbeda pendapat dengan mereka.


b). Sikap keras demi memperjuangkan kebenaran bukan berarti kebatilan, sehingga tidak ada alasan untuk tidak menerima kebenaran tersebut


c). Bahwasanya berlemah-lembut untuk memperjuangkan kabatilan bukan berarti kebenaran.


d). Dan terkadang bersikap keras merupakan sikap hikmah dalam berdakwah.


Tentang sikap keras yang dituduhkan kepada Syaikh, beliau memiliki komentar tentang itu di As-Silsilah Adh-Dha’ifah, jilid pertama halaman 27.


[6]. Bermadzhab Dzohiri

Tuduhan ini juga perlu bukti. Adapun sifat yang disandarkan kepada ahli hadits bahwa mereka termasuk ahli dzahir, ini merupakan kata-kata yang terdengar setiap masa. Oleh karena itu disandarkannya sifat tersebut kepada Syaikh Al-Albani bukanlah suatu yang aneh, sebab beliau termasuk ahli hadits.

Untuk menghilangkan kesamaran yang telah merasuki otak sebagian orang, perlu dipaparkan beberapa pertanyaan berikut.


Apakah Syaikh pernah berkata terus terang di kitab-kitabnya bahwa ia bermadzhab dzahiri?


Apakah Syaikh yang hanya sekedar menukil perkataan dari kitab Ibnu Hazm bisa dikatakan bermadzhab dzahiri?


Perlu diketahui bahwa Syaikh Al-Albani di beberapa tempat dari kitabnya mencela keras Ibnu Hazm Adz-Dzahiri. Di kitab Tamamul Minnah, halaman 160 beliau berkomentar : Untuk menyelisihi pendapat yang dipegang oleh Ibnu Hazm.


Pada kitab yang sama, halaman 162 beliau berkata : Saya merasa heran dengan Ibnu Hazm seperti kebiasaannya berpegang teguh dengan madzhab Dzahiri.


Diantara karangan Syaikh, ada sebuah kitab yang membantah Ibnu Hazm dalam masalah alat musik. Oleh karenanya, maka ahli hadits –termasuk Al-Albani- termasuk orang yang paling jauh dari kesalahan-kesalahan yang ulama catat dari madzhab Dzahiriyah.


Bahkan Syaikh berbicara dengan terus-terang tidak hanya pada satu tempat, dan yang paling popular adalah di muqaddimah kitab Sifat Shalat Nabi bahwasanya dalam manhajnya, beliau bersandar kepada hadits-hadits dan atsar, tidak keluar dari keduanya, menghargai para imam dan mengambil manfaat dari fikih mereka.


[7]. Mutasahil (Gampang/Mudah) Menshahihkan Hadits

Hal ini bersifat relatif, berbeda sesuai dengan masing-masing orang. Barangsiapa yang mutasyaddid (terlalu keras/mempersulit) ia melihat orang lain mutasahil, dan siapa yang mutasahil ia melihat orang lain mutasyaddid. Dan yang menjadi pegangan dalam mengetahui yang benar dalam masalah ini adalah dengan banyak membaca, berusaha mengetahui keadaan, dan saling membandingkan satu sama lain.

Sejumlah permasalahan yang disandarkan kepada Al-Albani bahwa ia mutasahil diantaranya.


a). Menghasankan hadits dha’if dengan banyaknya jalan.

b). Menerima hadits seorang perawi yang tidak diketahui keadaannya, dan bersandar pada tautsiq Ibnu Hibban (rekomendasi beliau untuk perawi hadits)
c). Beliau menerima dan memberikan rekomendasi kepada beberapa perawi yang lemah.

Semua jenis hadits lemah dapat menerima penguat dan pendukung, hadits tersebut akan naik derajatnya dengan banyaknya jalan, kecuali hadits yang pada sanadnya terdapat perawi yang pendusta dan pemalsu hadits, perawi hadits yang tertuduh berdusta, dan perawi hadits yang berada pada derajat ditinggalkan (seperti perawi yang sangat buruk hafalannya), hadits syadz (ganjil, menyelisihi hadit lainnya), dan hadits munkar.


Adapun menerima hadits dari seorang perawi yang tidak diketahui keadaannya dan bersandar kepada tautsiq Ibnu Hibban, ini merupakan permasalahan yang disandarkan kepada Syaikh Al-Albani tanpa dalil yang shahih yang mendukungnya. Dan yang benar, bahwa tidak hanya pada satu tempat Syaikh Al-Albani membantah orang yang bersandar kepada tautsiq Ibnu Hibban dan beliau mensifatinya dengan kata-kata mutasahil


Beliau juga telah menulis pada muqaddimah kitab Tamamul Minnah, halaman 20-26, kaedah yang kelima dengan judul “Tidak dibolehkannya bersandar dengan Tautsiq Ibnu Hibban”.


Permasalahan rekomendasi beliau kepada beberapa perawi yang lemah merupakan tuduhan semata, dimana mereka (yang melontarkan tuduhan tersebut) tidak mampu mendatangkan seorang perawi yang disepakati bersama kelemahannya, lalu datanglah Al-Albani dan memberinya rekomendasi tersebut.


[8]. Keputusannya Dalam Menghukumi Hadits-Hadits Sering Berlawanan Satu Sama Lain.

Dakwaan tersebut merupakan kebodohan atau pura-pura bodoh dengan realita yang ada. Ketahuilah wahai saudaraku –semoga Allah senantiasa menjagamu-, termasuk perkara yang diketahui bersama, menurut ahlu sunnah wal jama’ah bahwa sifat ishmah (terbebas dari kesalahan) tidak mungkin bisa disandang kepada seorangpun dari umat ini kecuali kepada Nabi. Dan kita –segala puji dan karunia hanya milik Allah- meyakini akan dasar ini. Tidak mungkin Al-Albani menyandang sifat ma’shum sebagaimana para ulama yang lainnya.

Akan tetapi, apakah hanya dengan melakukan kesalahan dan memiliki pendapat yang kontradiksi seorang alim dinyatakan gugur dan terlepas darinya gelar keilmuannya? Saya kira, tidak ada seorang ulama yang adil yang berpendapat demikian.


Baiklah, barang siapa yang banyak kesalahannya, yang mana kesalahannya lebih dominan dari pada pendapat benarnya, niscaya gugurlah hujjah darinya, dan hilanglah sifat kuat hafalannya. Apabila terwujudkan hal ini, maka ketahuilah bahwa semua hadits yang disandarkan kepada Al-Albani dengan hukum yang saling berlawanan tidak mempengaruhi ketsiqohan beliau dan ketsiqohan ilmunya di sisi ulama yang adil –segala puji hanya untuk Allah-. Karena prosentasi hadits-hadits yang disebutkan dan telah dihukumi oleh Al-Albani dengan hukum yang kontradiksi dibanding hadits-hadits yang lainnya, hanya sedikit dan tidak diperhitungkan, serta tidak mampu mengotori bahtera ilmunya. Karena air apabila sudah mencapai dua kullah tidak akan membawa sifat kotor. Dan penyandaran kontradiksi ini merupakan tuduhan iri dengki yang mayoritasnya merupakan penipuan kotor belaka.


Apabila diteliti penyandaran tersebut, tidak akan selamat kecuali sangat sedikit sekali, dan semua itu tidak keluar dari keadaan-keadaan beikut ini.


a). Hadits-hadits yang dihukumi berbeda oleh Syaikh setelah nampak jelas baginya ilmu yang benar.


b). Hadits-hadits yang dihukumi oleh beliau dengan melihat kepada jalannya, kemudian beliau menemukan jalan yang lainnya.


c). Hadits-hadits yang dihukumi oleh beliau dengan dasar pendapat yang rajih (kuat) sesuai keadaan perawi tersebut, kemudian beliau mengoreksi kembali ijtihadnya dan menemukan hukum yang berbeda.


d). Hadits-hadits yang tidak mempunyai cacat, kemudian nampak cacatnya menurut beliau.


e). Hadits-haditys yang tidak diketahui adanya syahid (penguat) dan mutaba’ah (penguat), kemudian beliau mengetahuinya


Saya sarankan para pembaca untuk merujuk ke kitab ‘Al-Anwar Al-Kasyifah Li Tanaqudhat Al-Khassaf Az-Zifah”, yang menguak kesesatan, penyimpangan dan sikap sembrono yang ada di dalamnya


[9]. Tidak Perhatian Dengan Matan Hadits

Inipun dusta semata dan kebatilan yang tidak berdasar. Kenyataan yang ada di kitab Syaikh, membatalkan tuduhan tersebut. Oleh sebab itu saya akan mendatangkan sebuah hadits yang dikritik habis matannya oleh Al-Albani setelah dikritisi habis sanadnya

Diantaranya hadits kedua dari kitab Silisilah Al-Ahadits Ad-Dha’ifah. Hadits tersebut berbunyi.


“Barangsiapa yang shalatnya belum mampu menahan dirinya dari perbuatan keji dan munkar, niscaya tidak akan bertambah dari Allah kecuali jarak yang semakin jauh”.


Setelah Syaikh mengomentari sanad hadits, beliau menuju ke matan hadits seraya berkata.


Matan hadits ini tidak sah, sebab zhahirnya mencakup orang yang melakukan shalat lengkap dengan syarat dan rukun-rukunnya. Yang mana syari’at ini menghukuminya sah. Meskipun orang yang melakukan shalat tersebut terus menerus melakukan beberapa maksiat, maka bagaimana mungkin hanya karena itu, shalatnya tidak akan menambah kecuali jarak yang semakin jauh. Hal ini tidak masuk akal dan tida disetujui oleh syari’at ini, dst…


Dengan ini usailah tujuan kami, dan segala puji hanya untuk Allah yang dengan-Nya sempurnalah segala kebaikan.


[Sumber, Al-Intishar Li Ahlil Hadits, karangan Syaikh Muhammad bin Umar Baazmul]


[Disalin dari majalah Adz-Dzakhiirah Al-Islamiyyah Vol 6 No 7 Edisi 32 - 1428H. Dialihbahasakan oleh Abu Musa Al-Atsari Lc, dari situs sahab.net. Penerbit Ma’had Ali Al-Irsyad Surabaya, Alamat Jl Sidotopo Kidul No. 51 Surabaya]

Diberdayakan oleh Blogger.