Oleh
Ustadz Abu Minhal, Lc
Pengagungan kuburan dan komplek makam sudah menjadi kebiasaan sebagian
masyarakat, bahkan menjadi bagian praktek keagamaan mereka yang tak
terpisahkan dengan kehidupan sehari-hari. Di antaranya, dengan
membuatkan bangunan makam dan memperindahnya, menjadikannya sebagai
tempat shalat, mengkhatamkan baca al-Qur`ân di sampingnya dan
memanjatkan doa kepada penghuni kubur (bukan kepada Allâh Azza wa
Jalla).
Menilik sejarah generasi Salaf, pantas dikatakan bahwa praktek-praktek
ibadah di atas masuk dalam kategori bid’ah, satu perbuatan dalam
beragama yang tidak pernah diperbuat oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi
wa sallam dan generasi terbaik umat Islam.
“Semua itu adalah perkara baru, belum pernah tersebar (dikenal) kecuali
pasca tiga generasi paling utama (generasi Sahabat, Tâbi’in dan Tâbi’it
Tâbi’in)” [1].
Pada tiga generasi pertama ini, tidak ditemukan petunjuk dan pembicaraan
satu pun terkait pengagungan terhadap kubur sebagaimana disaksikan
sekarang.[2] Dahulu tidak ada yang mengatakan, berdoa di kuburan Fulan
akan dikabulkan, pergilah ke kuburan Fulan agar Allâh Azza wa Jalla
memudahkan urusanmu, atau mengadakan perjalanan khusus ke kubur yang
sering dikenal dengan wisata reliji. Bahkan dahulu tidak ada istilah
safar syaddul rihâl (menempuuh perjalanan jauh) yang bertujuan
menziarahi kubur Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ini termasuk
istilah asing yang belum dikenal sebelumnya. Justru dipandang sebagai
tindakan berlebihan. Sebab yang tepat dan masyru ialah berziarah
(mengunjungi) Masjid Nabawi. Kitab-kitab Ulama terdahulu pun tidak ada
yang membahas tema khusus berjudul ziyâratu qabrin Nabiyyi (ziarah kubur
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam)[3] .
Fenomena tersebut baru mulai muncul dan menyebar pada abad keempat,
setelah berlalunya tiga generasi pertama umat yang dipuji oleh
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Pada awalnya, berkembang pada
sekte Syiah (Rafidhah) semata. Selanjutnya, ketika sekte ini berhasil
membangun negara-negara kecil berasaskan Syiah dan Batiniyah, seperti
rejim ‘Ubaidiyah, Qarâmithah, dan Ismâ’iliyah, penyebaran tradisi
pengagungan kuburan kian meluas.
Penyebarannya kian bertambah manakala tarekat-tarekat Sufiyah ikut
mengadopsi tradisi Syiah (baca: bukan Ahlus Sunnah) ini. Hampir seluruh
negeri kaum Muslimin terkena dampak buruknya. Akibatnya, masyarakat
merasa asing dengan petunjuk-petunjuk Nabi dan orang-orang yang komitmen
dengannya.
Di negeri ini, masyarakat diajak untuk mengagungkan kuburan, dengan
berbagai dalih seperti penghormatan tokoh dan mengenang jasa-jasa
baiknya melalui acara Haul yang diadakan secara besar-besaran.
Wisata-wisata reliji dengan tujuan makam-makam orang-orang yang dianggap
sebagai wali tetap kebanjiran peminat. Bahkan sebagian orang memang
berniat untuk mengunjungi kuburan-kuburan dengan menumpuk harapan
mendapatkan solusi hidup, kemudahan rejeki, kedatangan jodoh dan
lainnya. Wallâhul musta’ân.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Aku tidak
mengenal (adanya riwayat) dari seorang Sahabat Nabi, generasi Tabi’i
maupun seorang imam terkenal yang memandang disunnahkannya mendatangi
kuburan untuk berdoa (kepada penghuni kubur, red). Tidak ada seorang pun
meriwayatkan sesuatu tentang itu, baik (riwayat) dari Nabi, Sahabat
maupun dari seorang imam yang terkenal”.
Beliau rahimahullah menambahkan, “Kemunculan dan penyebarannya ketika
pemerintahan Bani ‘Abbâsiyah melemah, umat saling berpecah-belah, banyak
orang zindiq yang mampu memperdaya umat Islam, slogan ahli bid’ah
menyebar. Yaitu, pada masa pemerintahkan al-Muqtadir di penghujung tahun
300an. Pada masa itu, telah muncul Qarâmithah ‘Ubaidiyah di Maroko.
Kemudian mereka menginjakkan kaki ke negeri Mesir…”.
Mereka membangun kompleks pemakaman ‘Ali di Najef, padahal sebelumnya,
tidak ada seorang pun yang mengatakan kubur Sahabat ‘Ali Radhiyallahu
anhu berada di sana. Sebab ‘Ali dikuburkan di lingkungan istana di kota
Kufah. Tujuan mereka ialah mengobrak-abrik ajaran Islam yang berasaskan
tauhîdullâh. Selanjutnya, mereka memalsukan banyak hadits perihal
keutamaan menziarahi pemakaman, berdoa dan shalat di sana. Orang-orang
zindiq ini dan para pengikutnya lebih menghormati dan mengagungkan
tempat-tempat pemakaman, daripada masjid-masjid [4].
Imam adz-Dzahabi rahimahullah berkata, “Orang yang pertama kali
menyusupkan bid’ah pengagungan kuburan ialah rejim Ubaidiyah di Mesir,
Qarâmithah dan Syiah (yang jelas bukan termasuk Ahlus Sunnah, red)”[5]
Kesimpulan
Budaya pengagungan kubur secara berlebihan sampai meminta pengharapan
kepada penghuninya berasal dari golongan Syiah yang sering memusuhi
Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Adalah salah, bila seorang Muslim melakukan
pengagungan seperti yang telah dipaparkan di atas. Rasûlullâh Muhammad n
telah menetapkan apa saja yang dilakukan ketika berziarah ke kubur,
yaitu mengucapkan salam, melepas alas kaki, mendoakan penghuni kubur,
selain bertujuan untuk mengingatkan akhirat kepada kita. Wallâhu a’lam.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun XV/Syaban 1432/2011M.
Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8
Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Dirâsâtun fil Ahwâ wal Furûqi wal Bida’i wa Mauqifis Salafi minhâ, DR. Nâshir al-‘Aql hlm. 274
[2]. Silahkan lihat Iqtidhâ Shirâthil Mustaqîm 2/728
[3]. Silahkan lihat Âdâb wa Ahkâm Ziyâratil Madînah al-Munawwarah, DR. Shâleh as-Sadlân, Dâr Balansiyah hlm. 11
[4]. Lihat al-Fatâwâ 27/167,168
[5]. Siyar A’lâmin Nubâlâ 10/16
23 Agustus 2012
SYIAH DAN GOLONGAN BATINIYAH, PENCETUS BUDAYA PENGAGUNGAN KUBUR
15.33
Unknown
Diberdayakan oleh Blogger.