Asal Penamaan
Ibnul ‘Allan Asy Syafii mengatakan, “Penamaan bulan Syawal itu diambil dari kalimat Sya-lat al Ibil yang maknanya onta itu mengangkat atau menegakkan ekornya. Syawal dimaknai demikian, karena dulu orang-orang Arab menggantungkan alat-alat perang mereka, disebabkan sudah dekat dengan bulan-bulan haram, yaitu bulan larangan untuk berperang. (Dalil al Falihin li Syarh Riyadh al Shalihin – karya Muhammad bin ‘Allan al Shiddiqi al Syafii al Maki)
Seusai bulan syawal, orang akan memasuki bulan Dzul Qa’dah, Dzulhijjah, dan Muharam. Di tiga bulan ini, tidak dibolehkan terjadinya peperangan.
Ada juga yang mengatakan, disebut bulan Syawal, karena orang arab menganggap sial dengan bulan ini. Sehingga mereka melarang mengadakan acara pernikahan di bulan Syawal. Mereka sebut bulan ini dengan bulan Syawal karena para wanita menolak untuk dinikahi sebagaimana onta betina yang menolak sambil sya-lat (mengangkat) ekornya, setelah didekati onta jantan. (Lisanul ‘Arab, madah: sya-wa-la)
Catatan:
Banyak orang beranggapan bahwa syawal adalah bulan peningkatan, dalam arti peningkatan amal dan kebaikan. Barangkali anggapan ini didasari makna bahasa kata: syawal di atas. Akan tetapi, kurang tepat jika dikatakan bahwa sebab mengapa bulan ini dinamakan syawal adalah karena seusai ramadhan, manusia melakukan peningkatan dalam beramal dan berbuat baik. Karena nama bulan “syawal” sudah ada sejak zaman jahiliyah (sebelum datangnya islam), sementara masyarakat jahiliyah belum mengenal syariat puasa di bulan ramadhan. Dengan demikian, tidak terdapat hubungan antara makna bahasa tersebut dengan pemahaman bahwa syawal adalah bulan peningkatan dalam beramal. Allahu a’lam
Hadis Shahih Seputar Bulan Syawal
1. Dari Abu Ayyub radliallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Siapa yang berpuasa Ramadlan, kemudian diikuti puasa enam hari bulan Syawal maka itulah puasa satu tahun.” (HR. Ahmad & Muslim)
2. A’isyah radliallahu ‘anha mengatakan,
“Biasannya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam i’tikaf di hari terakhir bulan Ramadlan. Aku buatkan kemah untuk beliau. Setelah selesai shalat subuh, beliau memasukinya. Kemudian Hafshah minta izin Aisyah untuk membuat kemah, Aisyah-pun mengizinkannya. Katika Zainab melihatnya, dia-pun ikut membuat kemah. Di pagi harinya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat ada banyak kemah.
Beliau bertanya: Apa-apaan ini?
Setelah diberi tahu, beliau bersabda kepada para istrinya: “Apakah kalian menganggap ini baik?”
Kemudian beliau tidak i’tikaf di bulan itu, dan beliau i’tikaf pada sepuluh hari di bulan Syawal.” (HR. Al Bukhari & Muslim)
3. A’isyah radliallahu ‘anha mengatakan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahiku di bulan Syawal, dan beliau tinggal satu rumah denganku juga di bulan Syawal. Siapakah diantara istri beliau yang lebih beruntung dari pada aku.” (HR. Ahmad & Muslim)
Hadis Dhaif Seputar Syawal
1. Dari Muhammad bin Ibrahim At Taimy, bahwa Usamah bin Zaid radliallahu ‘anhu sering berpuasa di bulan-bulan haram. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,“Puasalah bulan syawal.”
Kemudian Usamah meninggalkan puasa bulan-bulan haram, dan beliau selalu berpuasa bulan syawal sampai beliau meninggal. (HR. Ibn Majah dan didhaifkan Syaikh Al Albani, karena sanadnya terputus)
2. Hadist: “Barangsiapa yang shalat pada malam idul fitri seratus rakaat, setiap rakaat dia membaca Al Fatihah sekali dan surat Al Ikhlas sepululh kali….”(Hadis palsu, sebagaimana keterangan Ibnul Jauzi dalam Al Maudlu’at, 2/130 dan As Syaukani dalam Al Fawaid Al Majmu’ah, hal.52)
3. Hadist : “Siapa yang shalat empat rakaat setelah shalat idul fitri, di rakaat pertama dia membaca Al Fatihah…seolah dia telah membaca semua kitab yang Allah turunkan kepada para nabinya.” (Hadis palsu, sebagaimana keterangan Ibnul Jauzi dalam Al Maudlu’at, 2/130 dan As Syaukani dalam Al Fawaid Al Majmu’ah, hal.52).
4. Hadist: “Termasuk sunnah, shalat dua belas rakaat setelah shalat idul fitri, dan enam rakaat setelah idul adha.” (Hadis palsu, sebagaimana keterangan As Syaukani dalam Al Fawaid Al Majmu’ah, hal. 52)
5. Hadist: “Siapa yang menghidupkan empat malam (dengan beribadah) maka dia wajib masuk surga: malam tarwiyah (tanggal 8 Dzulhijjah), malam ‘arafah (tanggal 9 Dzulhijjah), malam idul adha, dan malam idul fitri.” (Hadis palsu, sebagaimana keterangan Ibnul Jauzi dalam Al Ilal Al Mutanahiyah, 2/78, dan Al Albani dalam Silsilah hadis Dlaif)
Amalan Sunah di Bulan Syawal
Pertama, Shalat hari raya (id) di lapangan
Ummu ‘Athiyah radliallahu ‘anha mengatakan,”Kami diperintahkan untuk mengajak keluar gadis yang baru baligh, gadis-gadis pingitan, dan orang-orang haid untuk menghadiri shalat idul fitri dan idul adha…”(HR. Al Bukhari & Muslim)
Kedua, puasa sunah 6 hari
Dari Abu Ayyub radliallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa yang berpuasa Ramadlan, kemudian diikuti puasa enam hari bulan Syawal maka itulah puasa satu tahun.” (HR. Ahmad & Muslim)
Tata cara puasa 6 hari bulan Syawal
Ulama berselisih pendapat tentang tata cara yang paling baik dalam melaksanakan puasa 6 hari di bulan Syawal:
Pendapat pertama, dianjurkan untuk menjalankan puasa syawal secara berturut-turut, sejak awal bulan. Ini adalah pendapat Imam Syafi’i dan Ibnul Mubarok. Pendapat ini didasari sebuah hadis, namun hadisnya lemah.
Pendapat kedua, tidak ada beda dalam keutamaan, antara dilakukan secara berturut-turut dengan dilakukan secara terpisah-pisah. Ini adalah pendapat Imam Waki’ dan Imam Ahmad.
Pendapat ketiga, tidak boleh melaksanakan puasa persis setelah idul fitri. Karena itu adalah hari makan dan minum. Namun sebaiknya puasanya dilakukan sekitar tengah bulan. Ini adalah pendapat Ma’mar, Abdurrazaq, dan diriwayatkan dari Atha’. (Lathaiful Ma’arif, hlm. 244)
Ketiga, i’tikaf
Dianjurkan bagi orang yang terbiasa melakukan i’tikaf, kemudian karena satu dan lain hal, dia tidak bisa melaksanakan i’tikaf di bulan Ramadlan maka dianjurkan untuk melaksanakannya di bulan Syawal, sebagai bentuk qadla sunnah.
Dari A’isyah, beliau menceritakan i’tikafnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian di pagi harinya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat ada banyak kemah para istrinya. Beliau bertanya: Apa-apaan ini? Setelah diberi tahu, beliau bersabda kepada para istrinya: “Apakah kalian menganggap ini baik?” kemudian beliau tidak i’tikaf di bulan itu, dan beliau i’tikaf pada sepuluh hari di bulan Syawal.” (HR. Al Bukhari & Muslim)
Abu Thayib abadi mengatakan,”I’tikaf beliau di bulan Syawal sebagai ganti (qadla) untuk i’tikaf bulan Ramadlan yang beliau tinggalkan…”(Aunul Ma’bud-syarah Abu Daud, 7/99)
Keempat, membangun rumah tangga (campur antara suami-istri)
A’isyah radliallahu ‘anha mengatakan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahiku di bulan Syawal, dan beliau tinggal satu rumah (campur) denganku juga di bulan Syawal. Siapakah diantara istri beliau yang lebih beruntung dari pada aku. A’isyah suka jika wanita dinikahi bulan Syawal.” (HR. Ahmad & Muslim)
An Nawawi mengatakan, “Dalam hadis ini terdapat anjuran untuk menikah dan membangun rumah tangga (campur) di bulan Syawal. Para ulama madzhab kami (syafi’iyah) menegaskan anjuran hal ini. Mereka berdalil dengan hadis ini…”(Dikutip dari Tuhfatul Ahwadzi, 4/ 182)
Diantara hikmah dianjurkannya menikah di bulan Syawal adalah menyelisihi keyakinan dan kebiasaan masyarakat jahiliyah.
Imam An Nawawi mengatakan, “Tujuan A’isyah menceritakan hal ini adalah dalam rangka membantah anggapan jahiliyah dan keyakinan tahayul orang awam di zamannya. Mereka membenci acara pernikahan di bulan syawal, karena diyakini membawa sial. Ini adalah keyakinan yang salah, tidak memilliki landasan, dan termasuk kebiasaan jahiliyah, dimana mereka beranggapan sial dengan bulan syawal…”(Dikutip dari Tuhfatul Ahwadzi, 4/ 182)
Bid’ah-bid’ah di Bulan Syawal
Pertama, Anggapan sial terhadap bulan syawal
Orang jahiliyah menganggap bahwa bulan syawal adalah bulan sial. Anggapan ini didasari kebiasaan onta yang tidak mau kawin ketika bulan Syawal. Onta betina menolak dengan mengangkat ekornya ketika didekati onta jantan. Ummul Mukminin, A’isyah radliallahu ‘anha telah membantah anggapan ini dengan menceritakan pernikahan beliau dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sehingga setelah islam datang, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat, menghilangkan tahayul jahiliyah ini.
Kedua, keyakinan sebagian orang akan dianjurkannya menghidupkan malam id
Sebagian kaum muslimin meyakini dianjurkannya menghidupkan malam id. Mereka berdalil dengan sebuah hadist, “Barangsiapa yang menghidupkan malam idul fitri maupun idul adha maka hatinya tidak akan mati, dimana semua hati itu mati.” Hadis ini adalah hadis yang dlaif. Hadis ini memliki dua jalur, yang satu statusnya maudlu (palsu) dan satu statusnya dlaif sekali, sebagaimana penjelasan Syaikh Al Albani.
Oleh karena itu, tidak dibolehkan mengkhususkan malam id untuk melakukan berbagai kegiatan ibadah. Karena menganggap adanya keistimewaan satu malam tertentu untuk ibadah, tanpa dalil yang shahih adalah bid’ah.
Ketiga, mengkhususkan ziarah kubur ketika id
Perbuatan ini, disamping bertolak belakang dengan latar belakang disyariatkannya hari raya -yaitu menampakkan kebahagiaan dan kegembiraan- akan menimbulkan duka dan rasa sedih, dan bertolak belakang dengan petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kebiasaan ulama. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang untuk menjadikan kuburan sebagai tempat hari raya (perayaan), sebagimana sabda beliau, “Janganlah engkau jadikan kuburanku sebagai id.” (HR. Abu Daud, Ahmad dan dishahihkan Al Albani).
Mengkhususkan ziarah kubur di waktu tertentu atau pada momen tertentu termasuk bentuk menjadikan kuburan sebagai tempat hari raya. Demikian penjelasan para ulama. (Ahkamul Janaiz, hal. 219)
***
Artikel muslimah.or.id
Penulis: Ust. Ammi Nur Baits
0 komentar:
Posting Komentar