-->

27 Agustus 2012

Tauhid Tidaklah Sah Sampai Menyakini Allah di Atas Langit



Segala puji bagi Allah, Yang Menetap Tinggi Di Atas ‘Arsy-Nya, yang memiliki aswa’ dan shifat yang sempurna nan maha mulia. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik hingga akhir zaman. 

Dengan meminta pertolongan Allah Ta’ala, kami akan melanjutkan pembahasan tersebut. Saat ini kami akan memaparkan perkataan ulama pada thobaqoh lainnya (para ulama yang hidup sekitar tahun 200 H) seperti Imam Al Bukhari yang kami sarikan dari kitab Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar –karya Adz Dzahabi-. Semoga bermanfaat.

Al Muzanni[1]

أنبأنا ابن سلامة عن أبي جعفر الطرطوسي عن يحيى بن منده حدثنا أحمد بن الفضل أنبأ الياطرقاني سمعت أبا عمر السلمي سمعت أبا حفص الرفاعي سمعت عمرو بن تميم المكي قال سمعت محمد بن إسماعيل الترمذي سمعت المزني يقول لا يصح لأحد توحيد حتى يعلم أن الله على العرش بصفاته  قلت مثل أي شيء قال سميع بصير عليم قدير أخرجها ابن منده في تاريخه
Ibnu Salamah telah menceritakan pada kami, dari Abu Ja’far Ath Thurthusi, dari Yahya bin Mandah, Ahmad bin Al Fadhl telah menceritakan kepada kami, Al Yathuqorni telah menceritakan, aku mendengar ‘Umar As Sulami, aku mendengar Abu Hafsh Ar Rifa’i, aku mendengar ‘Amr bin Tamim Al Makki, ia berkata, aku mendengar Muhammad bin Isma’il At Tirmidzi, aku mendengar Al Muzanni berkata,
لا يصح لأحد توحيد حتى يعلم أن الله على العرش بصفاته
Ketauhidan seseorang tidaklah sah sampai ia mengetahui bahwa Allah berada di atas ‘Arsy-nya dengan sifat-sifat-Nya.” Aku pun berkata, “Sifat-sifat yang dimaksud semisal apa?” Ia berkata, “Sifat mendengar, melihat, mengetahui dan berkuasa atas segala sesuatu.” Ibnu Mandah mengeluarkan riwayat ini dalam kitab tarikhnya.[2]

Adz Dzahabi rahimahullah mengatakan, “Al Muzanni adalah seorang faqih di negeri Mesir ketika zamannya, dan beliau adalah di antara murid yang cerdas dari Imam Asy Syafi’i.”[3]

Pelajaran penting:
  1. Ketauhidan seseorang dipertanyakan jika ia tidak meyakini Allah di atas ‘Arsy-Nya, di atas seluruh makhluk-Nya.
  2. Jika murid Imam Asy Syafi’i saja berkeyakinan bahwa Allah ada di atas ‘Arsy, maka sudah barang tentu keyakinan murid sama halnya dengan gurunya. Bahkan sudah dikuatkan pula keyakinan yang sama dari Imam Asy Syafi’i tentang keberadaan Allah di atas ‘Arsy-Nya sebagaimana dalam tulisan yang telah lewat. Buah tak mungkin jatuh jauh dari pohonnya.
Muhammad bin Yahya Adz Dzuhliy[4]
قال الحاكم قرأت بخط أبي عمرو المستملي سئل محمد بن يحيى عن حديث عبد الله بن معاوية عن النبي ليعلم العبد أن الله معه حيث كان فقال يريد أن الله علمه محيط بكل ما كان والله على العرش
Al Hakim berkata, “Aku membacakan dengan tulisan pada Abu ‘Amr Al Mustahli, Muhammad bin Yahya ditanya mengenai hadits ‘Abdullah bin Mu’awiyah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
ليعلم العبد أن الله معه حيث كان
Supaya hamba mengetahui bahwa Allah bersama dirinya di mana saja ia berada.
Lantas Adz Dzuhliy mengatakan,
أن الله علمه محيط بكل ما كان والله على العرش
Ketahuilah ilmu Allah itu meliputi segala sesuatu, namun Allah tetap di atas ‘Arsy-Nya.[5]

Adz Dzahabi mengatakan, “Adz Dzuhli adalah ulama negeri Khurasan setelah Ishaq, kebenarannya tanpa diragukan lagi. Beliau adalah seorang pemimpin, seorang yang taat, dan seorang yang mulia.”[6]

Pelajaran penting:
Keyakinan Allah di atas ‘Arsy tidaklah bertentangan dengan keyakinan ilmu Allah yang maha luas dan kebersamaan Allah bersama hamba-Nya. Allah menetap tinggi di atas ‘Arsy sedangkan ilmu-Nya di mana-mana dan bukanlah Dzat-Nya.

Muhammad bin Isma’il Al Bukhari[7]
قال الإمام أبو عبد الله محمد بن إسماعيل في آخر الجامع الصحيح في كتاب الرد على الجهمية باب قوله تعالى وكان عرشه على الماء قال أبو العالية استوى إلى السماء إرتفع  وقال مجاهد في استوى علا على العرش  وقالت زينب أم المؤمنين رضي الله عنها زوجني الله من فوق سبع سموات
Imam Abu ‘Abdillah Muhammad bin Isma’il Al Bukhari berkata dalam akhir Al Jaami’ Ash Shohih dalam kitab bantahan kepada Jahmiyah, beliau membawakan Bab firman Allah Ta’ala,
وَكَانَ عَرْشُهُ عَلَى الْمَاءِ
Dan adalah singgasana-Nya (sebelum itu) di atas air.” (QS. Hud : 7)
Abul ‘Aliyah mengatakan bahwa maksud dari ‘istiwa’ di atas langit’ adalah naik.
Mujahid mengatakan bahwa istiwa’ adalah menetap tinggi di atas ‘Arsy.
Zainab Ummul Mukminin mengatakan, “Allah yang berada di atas langit ketujuh yang telah menikahkanku.”[8]

Pelajaran penting:
Imam pakar hadits yang terkemuka yang semua orang mengakui kitab shahihnya yaitu Al Jaami’ Ash Shohih menyatakan dengan tegas bahwa Allah menetap tinggi di atas ‘Arsy dengan menukil perkataan ulama salaf. Yang aneh adalah pendapat yang berseberangan dengan Imam Al Bukhari ini.

Abu Zur’ah Ar Rozi[9]
قال أبو إسماعيل الأنصاري مصنف ذم الكلام وأهله أنبا أبو يعقوب القراب أنبأنا جدي سمعت أبا الفضل إسحاق حدثني محمد ابن إبراهيم الأصبهاني سمعت أبا زرعة الرازي وسئل عن تفسير الرحمن على العرش استوى فغضب وقال تفسيره كما تقرأ  هو على عرشه وعلمه في كل مكان من قال غير هذا فعليه لعنة الله
Abu Isma’il Al Anshori –penulis Dzammul Kalam wa Ahlih-, Abu Ya’qub Al Qurob menceritakan, kakekku menceritakan pada kami, aku mendengar Abul Fadhl Ishaq, Muhammad bin Ibrohim Al Ash-bahani telah menceritakan padaku, aku mendengar Abu Zur’ah Ar Rozi ditanya mengenai tafsir firman Allah,
الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى
“(Yaitu) Rabb Yang Maha Pemurah yang menetap tinggi di atas 'Arsy .” (QS. Thoha : 5). Beliau lantas marah. Kemudian beliau pun berkata, “Tafsirnya sebagaimana yang engkau baca. Allah di atas ‘Arsy-Nya sedangkan ilmu Allah yang berada di mana-mana. Siapa yang mengatakan selain ini, maka dialah yang akan mendapat laknat Allah.”[10]

أنبأنا أحمد بن أبي الخير عن يحيى بن يونس أنبأنا أبو طالب اليوسعي أنبأنا أبو إسحاق البرمكي أنبأنا علي بن عبد العزيز قال حدثنا عبد الرحمن بن أبي حاتم قال سألت أبي وأبا زرعة رحمهما الله تعالى عن مذهب أهل السنة في أصول الدين وما أدركا عليه العلماء في جميع الأمصار وما يعتقدان من ذلك فقالا أدركنا العلماء في جميع الأمصار حجازا وعراقا ومصرا وشاما ويمنا فكان من مذهبهم أن الله تبارك وتعالى على عرشه بائن من خلقه كما وصف نفسه بلا كيف أحاط بكل شيء علما
Ahmad bin Abul Khoir telah menceritakan kepada kami, dari Yahya bin Yunus, Abu Tholib menceritakan pada kami, Abu Ishaq Al Barmaki telah menceritakan pada kami, ‘Ali bin ‘Abdul ‘Aziz telah menceritakan pada kami, ia berkata bahwa ‘Abdurrahman bin Abu Hatim telah menceritakan pada kami, bahwa dia bertanya pada ayahnya dan Abu Zur’ah mengenai aqidah Ahlus Sunnah dalam ushuluddin dan apa yang dipahami oleh keduanya mengenai perkataan para ulama di berbagai negeri dan apa saja keyakinan mereka.
Abu Hatim dan Abu Zur’ah berkata,
Yang kami ketahui bahwa ulama di seluruh negeri di Hijaz, ‘Iraq, Mesir, Syam, Yaman; mereka semua meyakini bahwa Allah Tabaroka wa Ta’ala berada di atas ‘Arsy-nya, terpisah dari makhluk-Nya sebagaimana yang Allah sifati pada diri-Nya sendiri dan tanpa kita ketahui hakikatnya. Sedangkan ilmu Allah meliputi segala sesuatu.[11]

Pelajaran penting:
Dari perkataan Abu Zur’ah Ar Rozi, kita dapat menyaksikan para ulama di berbagai negeri sepakat (berijma’) bahwa Allah menetap tinggi di atas ‘Arsy sedangkan ilmu Allah yang berada di mana-mana. Maka yang harus dibilang aneh adalah orang yang menyelisihi kesepakatan ulama ini. Bahkan Abu Zur’ah menyatakan bahwa siapa saja yang menyelisihi keyakinan ini, dialah yang pantas mendapatkan laknat Allah.

Abu Hatim Ar Rozi[12]
قال الحافظ أبو القاسم الطبري وجدت في كتاب أبي حاتم محمد بن إدريس بن المنذر الحنظلي مما سمع منه يقول مذهبنا وإختيارنا إتباع رسول الله وأصحابه والتابعين من بعدهم والتمسك بمذاهب أهل الأثر مثل الشافعي وأحمد وإسحاق وأبي عبيد رحمهم الله تعالى ولزوم الكتاب والسنة ونعتقد أن الله عزوجل على عرشه بائن من خلقه ليس كمثله شيء وهو السميع البصير
Al Hafizh Abul Qosim Ath Thobari mengatakan bahwa beliau mendapati dalam kitab Abu Hatim Muhammad bin Idris bin Al Mundzir Al Hanzholi, perkataan yang didengar darinya, Abu Hatim mengatakan,
“Pilihan kami adalah mengikuti Rasulullah, para sahabat, para tabi’in dan yang setelahnya. Kami pun berpegang dengan madzhab Ahlus Sunnah semacam Asy Syafi’i, Ahmad , Ishaq, Abu ‘Abdillah rahimahumullah. Kami pun konsekuen dengan Al Kitab dan As Sunnah. Kami meyakini bahwa Allah ‘azza wa jalla menetap tinggi di atas ‘Arsy, terpisah dari makhluk-Nya. Tidak ada yang semisal dengan-Nya, Dialah (Allah) yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”

Lantas Abu Hatim Ar Rozi menyebutkan perkataan,
وعلامة أهل البدع الوقيعة في أهل الأثر وعلامة الجهمية أن يسموا أهل السنة مشبهة
“Di antara tanda ahlul bid’ah adalah berbagai tuduhan keliru yang mereka sematkan pada Ahlus Sunnah. Tanda Jahmiyah adalah mereka menyebut Ahlus Sunnah dengan musyabbihah (orang yang menyerupakan Allah dengan makhluk).”[13]

Pelajaran penting:
Lihatlah bagaimana penjelasan Abu Hatim di sini. Jika kita menyatakan bahwa Allah berada di atas langit atau menetap tinggi di atas ‘Arsy, maka di sini bukan berarti Allah itu berada dalam makhluk (berada dalam langit) atau butuh pada makhluk. Inilah yang banyak disangkakan sebagian orang. Dikira jika kita menyatakan Allah berada di atas langit, itu berarti Allah berada di dalam langit. Ini sungguh sangkaan keliru.

Yahya bin Mu’adz Ar Rozi[14]
قال أبو إسماعيل الأنصاري في الفاروق بإسناد إلى محمد بن محمود سمعت يحيى بن معاذ يقول إن الله على العرش بائن من خلقه أحاط بكل شيء علما لا يشذ عن هذه المقالة إلا جهمي يمزج الله بخلقه
Abu Isma’il Al Anshori berkata dalam Al Faruq dengan sanad sampai ke Muhammad bin Mahmud, aku mendengar Yahya bin Mu’adz berkata, “Sesungguhnya Allah di atas ‘Arsy, terpisah dari makhluk-Nya. Namun ilmu Allah meliputi segala sesuatu. Tidak ada yang memiliki perkataan nyleneh selain Jahmiyah. Jahmiyah meyakini bahwa Allah bercampur dengan makhluk-Nya.”[15]

Pelajaran penting:
Perkataan Yahya di atas menunjukkan bahwa pendapat Jahmiyah yang tidak meyakini Allah menetap tinggi di atas ‘Arsy adalah keyakinan yang nyleneh, alias aneh.

Penutup
Masih banyak lagi perkataan ulama masa silam semacam dari ulama pakar hadits yang belum kami sebutkan. Insya Allah perkataan lainnya akan kami lanjutkan pada tulisan selanjutnya. Semoga Allah mudahkan.
Intinya, pernyataan orang-orang yang menyatakan Allah tidak di atas langit, adalah pernyataan “basi”, pernyataan semacam itu hanyalah mengadopsi pendapat Jahmiyah yang para ulama banyak mencelanya. Semoga dengan perkataan ulama yang kami nukilkan ini bisa membuka hati setiap orang yang masih ragu tentang keberadaan Allah di atas seluruh makhluk-Nya.
Hanya Allah yang beri taufik.

Artikel www.rumaysho.com
Panggang-GK, 2 Rajab 1431 H (14/06/2010)
Al Faqir Ilallah: Muhammad Abduh Tuasikal


[1] Al Muzanni meninggal dunia pada tahun 264 H dalam usia 80-an tahun.
[2] Syaikh Al Albani mengatakan, “Dari jalur yang dibawakan oleh penulis (Adz Dzahabi) dengan sanadnya terdapat perowi yang tidak aku kenal semisal ‘Amr bin Tamim Al Makki.” (Mukhtashor Al ‘Uluw, hal. 201)
[3] Lihat Al ‘Uluw, hal. 186 dan Mukhtashor Al ‘Uluw, hal. 201.
[4] Adz Dzuhli meninggal dunia pada tahun 258 H.
[5] Syaikh Al Albani mengatakan, “Riwayat ini dibawakan oleh penulis dari Muhammad bin Nu’aim, aku sendiri tidak mengenalnya.”  (Lihat Mukhtashor Al ‘Uluw, hal. 202)
[6] Lihat Al ‘Uluw, hal. 186 dan Mukhtashor Al ‘Uluw, hal. 202.
[7] Imam Al Bukhari hidup dari tahun 194-256 H.
[8] Lihat Al ‘Uluw, hal. 186 dan Mukhtashor Al ‘Uluw, hal. 202.
[9] Abu Zur’ah meninggal tahun 264 H.
[10] Lihat Al ‘Uluw, hal. 187-188 dan Mukhtashor Al ‘Uluw, hal. 203.
[11] Lihat Al ‘Uluw, hal. 188 dan Mukhtashor Al ‘Uluw, hal. 204.
[12] Abu Hatim Ar Rozi meninggal dunia tahun 277 H.
[13] Lihat Al ‘Uluw, hal. 189-190 dan Mukhtashor Al ‘Uluw, hal. 206-207.
[14] Yahya bin Mu’adz meninggal dunia tahun 258 H.
[15] Lihat Al ‘Uluw, hal. 190 dan Mukhtashor Al ‘Uluw, hal. 207-208.

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.