
Segala puji bagi Allah, Yang Menetap Tinggi Di Atas ‘Arsy-Nya.  
Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya  
serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik hingga akhir zaman. 
Dalam kesempatan kali ini, kami masih melanjutkan perkataan ulama  masa 
silam mengenai di manakah Allah. Pembahasan ini memang cukup  panjang. 
Namun ini semua kami torehkan dalam beberapa tulisan agar  semakin 
memperjelas manakah aqidah yang mesti diyakini oleh seorang  muslim 
dengan benar. Dari perkataan ulama masa silam yang akan kami  sebutkan, 
para pembaca Rumaysho.com dapat menilai di manakah letak  kekeliruan abu salafy cs yang menyatakan dengan bahwa Allah tidak di langit.
  Yang jelas aqidah yang beliau usung adalah aqidah orang-orang sesat di
  masa silam yaitu dari kalangan Jahmiyah, lalu beliau hidupkan kembali.
  Semoga tulisan kali ini pun dapat membongkar kedok Jahmiyah dan  
orang-orang yang mengikuti pemahaman menyimpang tersebut. Ya Allah, berilah kemudahan dan tolonglah kami.
Hisyam bin ‘Ubaidillah Ar Rozi[1], Ulama Hanafiyah, murid dari Muhammad bin Al Hasan 
Kita dapat saksikan dari perkataan beliau ini, bahwa orang yang masih  
ragu Allah di atas langit, ia dimintai taubatnya. Coba perhatikan  
secara seksama riwayat berikut ini.
قال ابن أبي حاتم حدثنا علي بن الحسن بن 
يزيد  السلمي سمعت أبي يقول سمعت هشام بن عبيد الله الرازي وحبس رجلا في 
التجهم  فجيء به إليه ليمتحنه فقال له أتشهد أن الله على عرشه بائن من خلقه
 فقال لا  أدري ما بائن من خلقه فقال ردوه فإنه لم يتب بعد
Ibnu Abi 
Hatim mengatakan, ‘Ali bin Al Hasan bin Yazid As Sulami  telah 
menceritakan kepada kami, ia berkata, ayahku berkata, “Aku pernah  
mendengar Hisyam bin ‘Ubaidillah Ar Rozi –ketika itu beliau menahan  
seseorang yang berpemikiran Jahmiyah, orang itu didatangkan pada beliau,
  lantas beliau pun mengujinya-. Hisyam bertanya padanya, “Apakah engkau
  bersaksi bahwa Allah berada di atas ‘Arsy-Nya, terpisah dari  
makhluk-Nya.” Orang itu pun menjawab, “Aku tidak mengetahui apa itu  
terpisah dari makhluk-Nya.” Hisyam kemudian berkata, “Kembalikanlah ia  
karena ia masih belum bertaubat.”
[2]
Pelajaran dari perkataan Hisyam ini:
- Keyakinan      Allah di atas langit wajib diyakini oleh setiap muslim.
- Orang      yang tidak meyakini hal ini setelah datang penjelasan yang begitu      gamblang, maka ia harus dimintai taubatnya.
- Perlu      dipahami bahwa jika kita katakan Allah di atas langit,  
bukan berarti Allah      di dalam langit atau menempel dengan ‘Arsy  
sehingga dapat dipahami bahwa      Allah berada di dalam makhluk. Ini  
justru pemahaman yang keliru. Yang      mesti dipahami bahwa Allah itu  
terpisah dari makhluk-Nya sehingga Allah      berada di atas semua  
makhluk-Nya dan bukan berada di dalam langit. Inilah      yang  
diisyaratkan dalam perkataan Hisyam di atas.
Nu’aim bin Hammad Al Khuza’i[3], Al Hafizh (pakar hadits)
قال محمد بن مخلد العطار حدثنا الرمادي قال 
 سألت نعيم ابن حماد عن قول الله تعالى هو معكم قال معناه أنه لا يخفى عليه
  خافية بعلمه ألا ترى قوله ما يكون من نجوى ثلاثة إلا هو رابعهم الآية
Muhammad
 bin Mukhlid Al ‘Aththor, ia mengatakan, Ar Romadi  menceritakan kepada 
kami, ia berkata, “Aku berkata pada Nu’aim bin  Hammad mengenai firman 
Allah Ta’ala,
هُوَ مَعَكُمْ
“Allah bersama kalian.” (QS. Al Hadiid: 4). Nu’aim bin Hammad  mengatakan bahwa maksud ayat tersebut adalah, “T
idak ada sesuatu pun  dari ilmu Allah yang samar dari-Nya. Tidakkah kalian memperhatikan  firman Allah,
مَا يَكُونُ مِنْ نَجْوَى ثَلَاثَةٍ إِلَّا هُوَ رَابِعُهُمْ
“Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dia-lah keempatnya.” (QS. Al Mujadilah: 7)
[4]
Pelajaran penting dari perkataan Nu’aim bin Hammad:
Makna Allah itu bersama kalian adalah dengan 
ilmu-Nya dan bukan  dengan Dzat Allah. Sehingga ayat semacam ini bukan menunjukkan Allah  berada di mana-mana.
Basyr Al Haafi[5], Ulama yang Begitu Zuhud di Masanya
Disebutkan oleh Adz Dzahabi,
له عقيدة رواها ابن بطة في كتاب الإبانة وغيره فمما فيها والإيمان بأن الله على عرشه استوى كما شاء وأنه عالم بكل مكان
Basyr
 Al Haafi memilki pemahaman aqidah yang disebutkan oleh Ibnu  Battoh 
dalam Al Ibanah dan selainnya, di antara perkataan beliau adalah:  
“Beriman bahwa Allah menetap tinggi (beristiwa’) di atas ‘Arsy-Nya  
sebagaimana yang Allah kehendaki. Namun meski begitu, 
ilmu Allah di  setiap tempat.”
[6]
Pelajaran penting dari Basyr Al Haafi adalah:
Allah
 itu menetap tinggi di atas ‘Arsy. Meskipun jauh, Allah tetap  
mengetahui setiap tempat di muka bumi karena ilmu-Nya yang Maha Luas.
Ahmad bin Nashr Al Khuza’i[7]
قال إبراهيم الحربي فيما صح عنه قال أحمد بن نصر وسئل عن علم الله فقال علم الله معنا وهو على عرشه
Ibrahim Al Harbi berkata mengenai perkataan shahih darinya, yaitu  Ahmad bin Nashr berkata ketika ditanya mengenai ilmu Allah, 
“Ilmu Allah  selalu bersama kita, sedangkan Dzat-Nya tetep menetap tinggi di atas  ‘Arsy-Nya.” [8]
Pelajaran penting dari Ahmad bin Nashr adalah:
Allah tetap menetap tinggi di atas ‘Arsy-Nya bukan di mana-mana, sedangkan yang bersama kita adalah ilmu Allah.
Qutaibah bin Sa’id[9], Ulama Besar Khurosan
قال أبو أحمد الحاكم وأبو بكر النقاش المفسر
  واللفظ له حدثنا أبو العباس السراج قال سمعت قتيبة بن سعيد يقول هذا قول 
 الأئمة في الإسلام والسنة والجماعة نعرف ربنا في السماء السابعة على عرشه 
 كما قال جل جلاله الرحمن على العرش استوى وكذا نقل موسى بن هارون عن قتيبة
  أنه قال نعرف ربنا في السماء السابعة على عرشه
Abu Ahmad Al Hakim 
dan Abu Bakr An Naqosy Al Mufassir (dan ini lafazh  dari Abu Bakr), ia 
berkata, Abul ‘Abbas As Siroj telah menceritakan  pada kami, ia berkata,
 aku mendengar Qutaibah bin Sa’id berkata, “Ini  adalah perkataan para 
ulama besar Islam, Ahlus Sunnah wal Jama’ah: Kami  meyakini bahwa Rabb 
kami berada di atas langit ketujuh di atas ‘Arsy-Nya  sebagaimana Allah 
Ta’ala berfirman,
الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى
“
Ar Rahman (yaitu Allah) menetap tinggi di atas ‘Arsy.”
[10]
وكذا نقل موسى بن هارون عن قتيبة أنه قال نعرف ربنا في السماء السابعة على عرشه
Begitu
 pula dinukil dari Musa bin Harun dari Qutaibah, ia berkata,  “Kami 
meyakini bahwa Rabb kami berada di atas langit ketujuh, di atas  
‘Arsy-Nya.”
Adz Dzahabi setelah membawakan perkataan Qutaibah, beliau mengatakan,  
“Inilah Qutaibah sudah dikenal kebesarannya dalam ilmu dan  
kejujurannya, beliau menukil adanya ijma’ (kesepakatan ulama) mengenai  
keyakinan Allah di atas langit”. 
[11]
Pelajaran dari Qutaibah bin Sa’id:
Adanya
 penukilan ijma’ (kesepakatan ulama) mengenai keyakinan Ahlus  Sunnah 
wal Jama’ah bahwa Allah berada di ketinggian di atas ‘Arsy-Nya.  Setelah
 ini kita juga akan menemukan nukilan ijma’ dari 
Ishaq bin Rohuwyah.
Abu Ma’mar Al Qutai’iy[12], Guru dari Imam Bukhari dan Imam Muslim
نقل ابن أبي حاتم في تأليفه عن يحيى بن 
زكرياء  عن عيسى عن أبي شعيب صالح الهروي عن أبي معمر إسماعيل بن إبراهيم 
أنه قال  آخر كلام الجهمية أنه ليس في السماء إله
Dinukil dari Ibnu 
Abi Hatim dalam karyanya, dari Yahya bin Zakariya,  dari ‘Isa, dari Abu 
Syu’aib Sholih Al Harowiy, dari Abu Ma’mar Isma’il  bin Ibrohim, beliau 
berkata, “Akhir dari perkataan Jahmiyah: Di atas  langit (atau di 
ketinggian) tidak ada Allah yang disembah.”
[13]
Pelajaran dari Abu Ma’mar Al Qutai’iy:
Keyakinan
 di atas langit tidak ada siapa-siapa itulah keyakinan sesat  dari 
Jahmiyah, yang lalu diusung kembali oleh orang belakangan semacam  Abu 
Salafy cs.
 ‘Ali bin Al Madini[14], Imam Para Pakar Hadits
قال شيخ الإسلام أبو إسماعيل الهروي أنبأنا 
 محمد بن محمد بن عبد الله حدثنا أحمد بن عبد الله سمعت محمد بن إبراهيم بن
  نافع حدثنا الحسن بن محمد بن الحارث قال سئل علي بن المديني وأنا أسمع ما
  قول أهل الجماعة قال يؤمنون بالرؤية وبالكلام وأن الله عزوجل فوق السموات
  على عرشه استوى
Syaikhul Islam Abu Isma’il Al Harowi mengatakan, 
Muhammad bin  Muhammad bin ‘Abdillah menceritakan kepada kami, Ahmad bin
 Abdillah  menceritakan kepada kami, aku mendengar Muhammad bin Ibrahim 
bin Naafi’  mengatakan, Al Hasan bin Muhammad bin Al Harits menceritakan
 kepada  kami, ia berkata, ‘Ali bin Al Madini ditanya dan aku pun 
mendengarnya,  “Apa perkataan dari Ahlul Jama’ah (Ahlus Sunnah)?” ‘Ali 
bin Al Madini  mengatakan, “Mereka (Ahlus Sunnah) beriman pada ru’yah 
(Allah akan  dilihat), mereka beriman bahwa Allah berbicara dan Allah 
berada di atas  langit, menetap tinggi (beristiwa’) di atas ‘Arsy-Nya.”
فسئل عن قوله تعالى ما يكون من نجوى ثلاثة 
إلا  هو رابعهم فقال اقرأ ما قبله ألم تر أن الله يعلم قد أكثر البخاري في 
 صحيحه عن علي بن المديني وقال ما استصغرت إلا بين يدي ابن المديني مات في 
 ذي القعدة سنة أربع وثلاثين ومائتين
Ali bin Al Madini juga ditanya mengenai firman Allah Ta’ala,
مَا يَكُونُ مِنْ نَجْوَى ثَلَاثَةٍ إِلَّا هُوَ رَابِعُهُمْ
“
Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dia-lah keempatnya.” (QS. Al Mujadilah: 7). Beliau pun menjawab, “Cobalah baca awal ayatnya,
أَلَمْ تَرَ أَنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ
“
Tidakkah kamu perhatikan, bahwa sesungguhnya Allah mengetahui.” (QS. Al Mujadilah: 7)
[15]
Pelajaran dari Ali bin Al Madini:
Lihatlah
 pelajaran yang sangat berharga dari ulama Robbani. Sebagian  orang 
mengira maksud surat Al Mujadilah ayat 7 adalah Allah di  mana-mana. 
Namun lihat bagaimanakah sanggahan dari Ali bin Al Madini?  Cobalah baca
 awal ayat, itulah yang dimaksud. Jadi yang dimaksud adalah 
 ilmu Allah yang di mana-mana dan bukan Dzat Allah.
Ishaq bin Rohuwyah[16], Ulama Besar Khurosan
قال حرب بن إسماعيل الكرماني قلت لإسحاق بن 
 راهويه قوله تعالى ما يكون من نجوى ثلاثة إلا هو رابعهم كيف تقول فيه قال 
 حيث ما كنت فهو أقرب إليك من حبل الوريد وهو بائن من خلقه
ثم ذكر عن ابن المبارك قوله هو على عرشه بائن من خلقه
ثم قال أعلى شيء في ذلك وأبينه قوله تعالى الرحمن على العرش استوى رواها الخلال في السنة عن حرب
Harb bin Isma’il Al Karmani, ia berkata bahwa ia berkata pada Ishaq bin Rohuwyah mengenai firman Allah,
مَا يَكُونُ مِنْ نَجْوَى ثَلَاثَةٍ إِلَّا هُوَ رَابِعُهُمْ
“
Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dia-lah keempatnya.” (QS. Al Mujadilah: 7). Bagaimanakah pendapatmu mengenai ayat tersebut?”
Ishaq bin Rohuwyah menjawab, “Dia itu lebih dekat (dengan ilmu-Nya)  dari urat lehermu. 
Namun Dzat-Nya terpisah dari makhluk. Kemudian beliau  menyebutkan perkataan Ibnul Mubarok, “Allah berada di atas ‘Arsy-Nya,  terpisah dari makhluk-Nya.”
Lalu Ishaq bin Rohuwyah mengatakan, “Ayat yang paling gamblang dan paling jelas menjelaskan hal ini adalah firman Allah Ta’ala,
الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى
“
Ar Rahman (yaitu Allah) menetap tinggi di atas ‘Arsy.”
[17]
Al Khollal meriwayatkannya dalam As Sunnah dari Harb.
[18]
قال أبو بكر الخلال أنبأنا المروذي حدثنا 
محمد  بن الصباح النيسابوري حدثنا أبو داود الخفاف سليمان بن داود قال قال 
إسحاق  بن راهويه قال الله تعالى الرحمن على العرش استوى إجماع أهل العلم 
أنه فوق  العرش استوى ويعلم كل شيء في أسفل الأرض السابعة اسمع ويحك إلى 
هذا الإمام  كيف نقل الإجماع على هذه المسألة كما نقله في زمانه قتيبة 
المذكور
“Abu Bakr Al Khollal mengatakan, telah mengabarkan kepada 
kami Al  Maruzi. Beliau katakan, telah mengabarkan pada kami Muhammad 
bin Shobah  An Naisaburi. Beliau katakan, telah mengabarkan pada kami 
Abu Daud Al  Khonaf Sulaiman bin Daud. Beliau katakana, Ishaq bin 
Rohuwyah berkata,  “Allah Ta’ala berfirman,
الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى
“Allah menetap tinggi di atas ‘Arsy”
[19].
  Para ulama sepakat (berijma’) bahwa Allah berada di atas ‘Arsy dan  
beristiwa’ (menetap tinggi) di atas-Nya. Namun Allah Maha Mengetahui  
segala sesuatu yang terjadi di bawah-Nya, sampai di bawah lapis bumi  
yang ketujuh.
[20]
Adz Dzahabi rahimahullah ketika membawakan perkataan Ishaq di atas, beliau rahimahullah mengatakan,
اسمع ويحك إلى هذا الإمام كيف نقل الإجماع على هذه المسألة كما نقله في زمانه قتيبة المذكور
“Dengarkanlah
 perkataan Imam yang satu ini. Lihatlah bagaimana beliau  menukil adanya
 ijma’ (kesepakatan ulama) mengenai masalah ini.  Sebagaimana pula ijma’
 ini dinukil oleh Qutaibah di masanya.”
[21]
Pelajaran berharga dari Ishaq bin Rohuwyah:
- Kalau
      kita katakan Allah di atas langit atau di atas ‘Arsy-Nya,  bukan 
berarti      Allah di dalam langit atau menempel pada ‘Arsy.  Lihatlah 
penjelasan      gamblang dari Ishaq bin Rohuwyah bahwa Allah  itu 
terpisah dari      makhluk-Nya, sehingga menunjukkan bahwa Allah  bukan 
berada di dalam      langit.
- Ini      menunjukkan bahwa pengertian langit tidak selamanya dengan 
 bentuk langit      yang ada di benak kita karena langit sekali lagi 
bisa  bermakna ketinggian.      Jadi jika kita katakan Allah fis samaa’,
 itu  juga bisa berarti Allah di ketinggian.      Karena ini juga 
menunjukkan  bahwa Allah tidak bersatu dengan makhluk.      Mohon bisa 
dipahami.
- Pengertian      Allah itu bersama hamba tidak melazimkan bahwa Allah
  berada di mana-mana.      Allah tetap menetap tinggi di atas 
‘Arsy-Nya,  di atas seluruh makhluk-Nya,      sedangakan yang berada di 
mana-mana  adalah ilmu Allah. Dan sekali lagi,      bukan Dzat Allah.
- Sudah      ada dua nukilan ijma’ (kesepakatan ulama) yang menyatakan
  bahwa Allah berada      di atas langit, di atas seluruh makhluk-Nya.  
Sebelumnya pula kami sudah      sebutkan adanya ijma’ yang diklaim oleh 
 Qutaibah dan sekarang oleh Ishaq      bin Rohuwyah. Lalu masihkah  
keyakinan ijma’ ini disangsikan? 
Pembahasan ini kami cukupkan dulu untuk sementara waktu. Masih banyak  
perkataan ulama yang kami nukil lagi dalam posting selanjutnya,  
terutama dari ulama pakar hadits semacam Bukhari, Abu Zur’ah dan  
lainnya. Semoga Allah mudahkan.
Semoga pelajaran-pelajaran berharga yang kami sajikan dalam tulisan  
kali ini bisa sebagai sepercik hidayah bagi yang ingin meraihnya. Hanya 
 Allah yang beri taufik.
Diselesaikan di waktu Maghrib, Jum’at - 9 Jumadil Awwal 1431 H (23/04/2010), Panggang-GK
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel 
www.rumaysho.com
[1] Hisyam bin ‘Ubaidillah Ar Rozi meninggal tahun 221 H.
[2]
  Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar, hal. 169. Riwayat ini juga dikeluarkan 
 oleh Al Haruwi dalam “Dzammul Kalam” (1/120). Lihat Mukhtashor Al 
‘Uluw,  hal. 181.
[3] Nu’aim bin Hammad Al Khuza’i hidup pada tahun 146-228 H.
[4] Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar, hal. 171-172. Sanad riwayat ini shahih. Lihat Mukhtashor Al ‘Uluw, hal. 184.
[5] Basyr Al Haafi hidup pada tahun 151-227 H.
[6] Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar, hal. 172. Lihat Mukhtashor Al ‘Uluw, hal. 185.
[7] Ahmad bin Nashr Al Khuza’i meninggal tahun 231 H.
[8] Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar, hal. 173. Lihat Mukhtashor Al ‘Uluw, hal. 186-187.
[9] Qutaibah bin Sa’id hidup tahun 150-240 H.
[10] QS. Thoha: 5.
[11] Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar, hal. 174. Lihat Mukhtashor Al ‘Uluw, hal. 187.
[12] Abu Ma’mar Al Qutai’iy meninggal tahun 236 H.
[13] Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar, hal. 174-175. Lihat Mukhtashor Al ‘Uluw, hal. 188.
[14] ‘Ali bin Al Madini meninggal tahun 234 H.
[15] Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar, hal. 175. Lihat Mukhtashor Al ‘Uluw, hal. 188-189.
[16] Ishaq bin Rohuwyah hidup antara tahun 166-238 H
[17] QS. Thoha: 5.
[18] Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar, hal. 177. Lihat Mukhtashor Al ‘Uluw, hal. 191
[19] QS. Thaha: 5.
[20] Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghofar, hal. 179. Lihat Mukhtashor Al ‘Uluw, hal. 194.
[21] Idem
 
0 komentar:
Posting Komentar