Sepintas,
prinsip pertama ajaran Jama’ah Tabligh atau dikenal juga Jama’ah
Khuruj atau Jama’ah Jaulah tampak seperti ajaran Tauhid. Betapa tidak,
sebab mereka mencantumkan judul prinsip tersebut dengan bunyi kalimat
thayyibah. Tidak ada lain makna kalimat thayyibah tersebut, kecuali
kalimat tauhid. Yaitu kalimat laa ilaaha illallah. Dan memanh benar,
yang mereka maksudkan sebagai kalimat tauhid, ialah kalimat laa ilaaha
illallah. Namun, benarkah ajaran tauhid Rasulullah yang mereka
maksudkan?.
Terlebih
jika melihat lima prinsip berikut. Seolah-olah prinsip ajaran Jama’ah
Tabligh ini terasa demikian bagus. Ditemui adanya prinsip shalat lima
waktu, prinsip ilmu dan dzikir, ada prinsip memuliakan tamu, ada
prinsip ikhlas dalam berniat, ada prinsip bertabligh (menyampaikan
dakwah) secara bersama-sama dengan cara khuruj (keluar untuk
berdakwah).
Syubhat
penyimpangan yang terbungkus dalam kalimat-kalimat nan indahini,
sebenarnya juga terlihat pada semua prinsip ajaran ahli bid’ah.
Bukankah lima prinsip ajaran Mu’tazilah, misalnya, juga terlihat
seolah-oleh benar dan indah?. Lima prinsip ajaran Mu’tazilah itu
seperti:
- Tauhid. Ternyata, maksudnya ialah menolak sifat-sifat Allah.
- Adil. Ternyata, maksudnya ialah mengingkari takdir Allah.
- Al
manzilah naina al manzilatain, ialah satu keadaan diantara dua
keadaan. Maksudnya, pelaku dosa besar itu tidak mungkin, tetapi tidak
kafir.
- Berlangsungnya ancaman Allah. Maksudnya, pelaku dosa besar pasti disiksa di dalam neraka dan kekal didalamnya.
- Amar
ma’ruf nahi mungkar. Ternyata maksudnya, ialah dibolehkannya melakukan
pembangkangan (pemberontakan) kepada penguasa muslim yang sah, hanya
lantaran pengusaha tersebut dianggap telah melakukan kedhaliman.
Tanpa memahami maksud-maksud yang dikandung dalam pinsip-prinsip tersebut, orang akan tertipu dengan keindahan bahasanya.
Begitulah
umumnya prinsip-prinsip yang ditawarkan oleh setiap ahli bid’ah,
termasuk jama’ah jaulah. Bahasa luarnya indah dan seakan menawan
kebenaran. Namun sebaliknya menyembunyikan penyimpangan dan kesesatan.
BAGAIMANA PRINSIF KALIMAT THAYYIBAH MENURUT JAMA’AH JAULAH?
Dalam
salah satu buku pegangan utama mereka, Fadha’il Al A’mal karya Maulana
Muhammad Zakariyya Al Kandahlawi yang di Indonesiakan menjadi Himpunan
Fadhilah Amal, Bab II tentang kalimat thayyibah, dapat dibongkar
rahasianya.
Ternyata
uraian kalimat thayyibah yang dikemukakan secara panjang lebar hingga
tiga pasal, hanya menerangkan tentang kalimat Laa Ilaaha Illallah
menurut versi ajaran Shufi. Tidak ditemukan sedikitpun ungkapan yang
menjelaskan hakikat sebenarnya dari makna kalimat thayyibah tersebut.
Yang
ditemukan ialah prinsip ajaran keshufian mereka. Yaitu ajaran dan
dorongan untuk berdzikir secara lisan saja, mengucapkan kalimat Laa
ilaaha Illallah. Sedikit tidak ditemukan uraian tentang, bagaimana
pengamalan sesungguhnya terhadap kalimat Laa ilaaha Illallah, melainkan
ajakan untuk tidak mencuri, berzina dan perbuatan-perbuatan maksiat
lainnya. Tanpa menyentuh sedikitpun, persoalan yang justru sangat
pokok. Yaitu keharusan menyingkiri thaghut dan mengingkari serta
menjauhi penyembahan terhadap kubur-kubur yang banayak dilakukan oleh
sebagian besar kaum muslimin di India, Pakistan dan Indonesia.
Kalaupun
dalam kitab itu disebutkan keharusan untuk bertauhid dan meninggalkan
syirik serta ikhlas beramal, tetapi penyebutan isu sangat global.
Padahal dalam kalimat tauhid tersebut mengandung dua konsekwensi besar.
Pertama, menghamba hanya kepada Allah saja. Kedua, menolak dan
mengingkari thaghut, termasuk penyembahan terhadap kuburan para wali.
Dua konsekwensi tauhid ini mewujud secara nyata dalam kata-kata, sikap
dan perbuatan sehari-hari. Allah berfirman: “Karena itu barang siapa
yang ingkar kepada taghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya
ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan
putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS. Al Baqarah:
256). Padahal kenyataannya, mereka memang tidak peduli dengan tauhid
yang benar ini.
Syaikh
Hamud bin Abdullah At Tuwaijiri, dengan menukil perkataan Ustadz
Saifur Rahman Ad Dahlawi –bahkan menegaskan- bahwa Jama’ah Tabligh
menyelewengkan semua nash Al Qur’an dan Sunnah yang memerintahkan
supaya mengingkari thaghut. Disebutkan diantara prinsipnya, bahwa
mereka sangat menjauhi, bahkan melarang secara kasar orang yang
menyatakan pengingkaran terhadap thaghut dan pengingkaran terhadap
kemungkaran. Alasan mereka, karena hal itu akan melahirkan penentangan
dan tidak membawa kebaikan [2].
Dalam kitab Fadhail Al A’mal, justru disebutkan tafsir Shufi ketika
mengetengahkan faidah dari hadis Abu Hurairah tentang orang yang paling
berbahagia mendapat syafa’at Nabi. Yaitu orang yang mengucapkan Laa
Ilaaha Illallah dengan ikhlas dari dalam hatinya.
Penulis
kitab Fadhail Al A’mal menjelaskan faidahnya, yaitu (hanya ditekan
pada): Pertama, orang yang dengan penuh keikhlasan telah masuk Islam
dan sama sekali tidak memiliki amalan lain kecuali membaca kalimat thayyibah.
Telah jelas, bahwa ia akan betuntung karena memperoleh syafa’at di
akhirat nanti..… Kedua, orang-orang yang menjaga wirid mereka dengan
penuh keikhlasan dan mereka beramal shalih [3].
Bukankah
itu merupakan ajaran tharikat sesat? Sama sekali tidak menyinggung,
bagaimana realisasi yang sebenarnya dari kalimat tauhid; yaitu
memberikan segala macam peribadatan kepada Allah saja dan mengingkari
penyembahan kepada selain Allh dengan cara apapun. Itulah sebabnya, di
dalam tubuh jama’ah mereka terdapat kebebasan untuk memilih aqidah,
bisa Quburiyah, bisa Asy’ariyah, bisa mu’tazilah dan boleh yang
lainnya. Yang penting, masing-masing anggota bersedia melakukan khuruj
rutin dan memiliki loyalitas terhadap jama’ah. Tak peduli apapun
aqidahnya.
Sebenarnya,
bantahan terhadap prinsip-prinsip ajaran mereka sangat banyak. Namun
kiranya cukuplah sekelumit bantahan terhadap prinsip pertama mereka
saja. Sebab yang sekelumit itu, sudah cukup membuka tabir rahasia
kesalahan mereka yang mendasar. Jika dalam hal yang mendasar saja sudah
salah, maka runtuhlah keseluruhan bangunan ajaran mereka. Termasuk
ajaran khuruj yang merupakan manipulasi terhadap makna nash-nash Al
Qur’an dan Sunnah serta amalan para sahabat. Kuruj merupakan kegiatan
pokok yang sebenarnya hanya didasarkan mimpi khayalan dari imam mereka.
Lihat tulisan di bagian lain.
Adapun
berkaitan dengan syubhat yang mereka lancarkan, berkenaan dengan fatwa
Syaikh Al ‘Allamah Abdul Aziz bin Bas, yang katanya merekomendasi
gerakan mereka, amaka Syaikh Rabi’ bin Hadi Al Madkhali
telah menjelaskan duduk perkaranya secara jelas dalam rangka membantah
dan menghilangkan syubhat mereka. Ini bisa dilihat dalam kumpulan fatwa
para ulama yang beliau kumpulkan seputar Jama’ah Tabligh.
Syaikh
Rabi’ bin Hadi A Madkhali menjelaskan, ketika Syaikh Bin Baz dan
Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin memuji gerakan Jama’ah Tabligh,
adalah lantaran ada seorang anggita Jama’ah Tabligh yang bertanya
kepada Beliau, sambil menceritakan hal-ahal yang kelihatannya baik-baik
saja tentang jama’ah ini. Sehingga –tentu- Beliau memujinya. Tetapi
pada fatwa paling akhir, Beliau menjelaskan persoalan yang sebenarnya.
Intinya, tidak boleh khuruj bersama mereka, kecuali orang yang berilmu
dengan tujuan mengingkari kemungkaran mereka dan mengajari mereka jalan
yang lurus. Jika untuk maksid mengikuti saja ajaran mereka., maka tidak
boleh. Sebab Jama’ah Tabligh yang berasal dari India ini memiliki
beberapa khurafat, bid’ah dan kesyirikan.
Risalah
Syaikh Rabi ini sudah di Indonesiakan dengan judul Fatwa Ulama Seputar
Jama’ah Tabligh. Diterbitkan oleh Pustaka Al Haura’, Jigyakarta.
Sayangnya risalah terjemahan ini ditutup dengan surat-menyurat yang
dilakukan antara Syaikh Sa’d Al Hushain dengan Imam Jama’ah Tabligh
In’am Al Hasan, yang diakhiri dengan jawaban surat dari In’am Al Hasan,
tanpa ada kesimpulan yang jelas. Sehingga mengesankan, seakan-akan
jawaban In’am Al Hasan tidak terbantahkan. Padahal yang dikemukakannya
adalah gaya bahasa dengan jurus mengelak, supaya kebatilan Jama’ah
Tabligh tertutupi. Karena itu haruslah waspada. Yang perlu dilihat ialah
dalil serta kebenaran, dan bukan hawa nafsu pembelaan membabi buta.
Demikian
secara ringkas. Kaum muslimin hendaknya jangan sampai terbawa kepada
segala gerakan yang tampak pada lahirnya membawa rahmat, namun
–ternyata- disebaliknya menyimpan laknat, termasuk diantaranya ialah
Jama’ah Tabligh. Hidup ini hanyalah untuk menghamba kepada Allah dengan
mengikuti jejak Nabi.
Kaitanya
dengan hidup bersama, kaum muslimin harus menjaga keutamaan persatuan
umat islam berdasarkan prinsip ajaran yang haq; prinsip ajaran yang
diajarkan oleh Ahlu Sunnah wal Jama’ah. Hidup ini bukan untuk
bertualang mengikuti Jama’ah-jama’ah yang ujung-ujungnya menyimpang
dari jalan kebenaran. Jama’ah-jama’ah yang justru memecah belah umat.
Wallahu waliyyu at taufoq.
Dipublikasikan oleh : ibnuramadan.wordpress.com
________________________
Footnote:
[1] Dari Majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun VII/1423H/2003M
[2] Lihat al-Qaul al-Baligh fi at-Tahdzir min Jama’ati at-Tabligh, Daar ash-Shumai, Hal. 154
[3] Lihat Himpunan Fadhilah A-Amal , hal 4570458
0 komentar:
Posting Komentar