-->

20 Agustus 2012

HAL YANG PERLU DIPAHAMI DALAM MASALAH MENGKAFIRKAN



 
 
Ini adalah satu kaedah penting yang banyak dilalaikan oleh sebagian orang. Maksud dari kaedah ini adalah, sesuatu itu dihukumi sebagai kekufuran karena sesuatu itu termasuk jenis yang dihukumi nash atau ijma’ sebagai kekufuran. Bukan karena jumlah atau banyaknya sesuatu itu. Lebih jelasnya adalah sebagai berikut :
Seandainya ada pertanyaan : Apa hukumnya orang yang sujud pada berhala meski hanya sekali saja ?. Jawabnya adalah kafir akbar (yang dapat mengeluarkan seseorang dari Islam). Kemudian jika ditanyakan : Apa hukumnya orang yang semenjak lahir hingga meninggal dunia sujud pada berhala ?. Jawabnya sama, kafir akbar. Lantas apa bedanya antara yang pertama dengan kedua ?. Tidak ada bedanya, karena jenis perbuatan sujud pada berhala itu merupakan kekufuran. Sujud hanya diperbolehkan dilakukan kepada Allah, tidak kepada selain-Nya. Allah ta’ala berfirman :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ارْكَعُوا وَاسْجُدُوا وَاعْبُدُوا رَبَّكُمْ وَافْعَلُوا الْخَيْرَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, rukuklah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan” [QS. Al-Hajj : 77].
أَوَلَمْ يَرَوْا إِلَى مَا خَلَقَ اللَّهُ مِنْ شَيْءٍ يَتَفَيَّأُ ظِلالُهُ عَنِ الْيَمِينِ وَالشَّمَائِلِ سُجَّدًا لِلَّهِ وَهُمْ دَاخِرُونَ
“Dan apakah mereka tidak memperhatikan segala sesuatu yang telah diciptakan Allah yang bayangannya berbolak-balik ke kanan dan ke kiri dalam keadaan sujud kepada Allah, sedang mereka berendah diri?” [QS. An-Nahl : 48].
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
لَوْ كُنْتُ آمِرًا أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لِأَحَدٍ، لَأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا
Seandainya aku diperbolehkan memerintahkan seseorang untuk sujud kepada orang lain, niscaya akan aku perintahkan seorang wanita untuk sujud kepada suaminya” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 1159, Al-Bazzaar dalam Kasyful-Astaar no. 1466, Ibnu Hibbaan no. 4162, Al-Haakim 4/171-172, Al-Baihaqiy 7/291, dan yang lainnya. Hadits ini mempunyai banyak jalan, dan dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam Ash-Shahiihah no. 3366].
Dalam riwayat Ibnu Abi Syaibah :
لَا، إنَّهُ لَا يَسْجُدُ أَحَدٌ لِأَحَدٍ وَلَوْ كُنْتُ آمِرًا أَحَدًا يَسْجُدُ لِأَحَدٍ ؛ لَأَمَرْتُ النِّسَاءَ يَسْجُدْنَ لِأَزْوَاجِهِنَّ
Jangan !. Tidak boleh seseorang sujud kepada orang lain. Seandainya aku boleh memerintahkan seseorang sujud kepada orang lain, niscaya aku akan perintahkan para wanita untuk sujud kepada suami-suami mereka”.
An-Nawawiy rahimahullah berkata :
هي قطع الإسلام ، ويحصل ذلك تارةً بالقول الذي هو كفرٌ ، وتارةً بالفعل ، والأفعال الموجبة للكفر هي التي تصدر عن تعمُّد واستهزاءٍ بالدِّين صريحٌ ، كالسُّجود للصَّنم أو للشمس ، وإلقاء المصحف في القاذورات
“Yaitu memotong Islam. Dan hal itu terjadi kadangkala dengan perkataan yang merupakan kekafiran, dan kadangkala dengan perbuatan. Berbagai perbuatan yang mengkonsekuensikan kekafiran adalah yang terjadi karena kesengajaan dan ejekan terhadap agama dengan terang-terangan. Seperti sujud kepada berhala atau matahari, dan membuang mushhaf ke tempat sampah...” [Raudlatuth-Thaalibiin, 2/283].
Pertanyaan lain : Apa hukumnya orang yang mengingkari satu ayat dari Al-Qur’an ?. Jawabnya adalah kafir. Kemudian ditanyakan : Apa hukumnya orang yang mengingkari seluruh ayat dalam Al-Qur’an ?. Jawabnya juga sama, kafir. Tidak ada bedanya antara mengingkari satu ayat, dua ayat, seratus ayat, atau bahkan seluruh ayat dalam Al-Qur’an; karena jenis perbuatan itu merupakan kekufuran. Allah ta’ala berfirman :
إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا بِالذِّكْرِ لَمَّا جَاءَهُمْ وَإِنَّهُ لَكِتَابٌ عَزِيزٌ
“Sesungguhnya orang-orang yang mengingkari Al Qur'an ketika Al Qur'an itu datang kepada mereka, (mereka itu pasti akan celaka), dan sesungguhnya Al Qur'an itu adalah kitab yang mulia” [QS. Fushshilat : 41].
أَفَتُؤْمِنُونَ بِبَعْضِ الْكِتَابِ وَتَكْفُرُونَ بِبَعْضٍ فَمَا جَزَاءُ مَنْ يَفْعَلُ ذَلِكَ مِنْكُمْ إِلا خِزْيٌ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَيَوْمَ الْقِيَامَةِ يُرَدُّونَ إِلَى أَشَدِّ الْعَذَابِ وَمَا اللَّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ
“Apakah kamu beriman kepada sebahagian Al-Kitab (Taurat) dan ingkar terhadap sebahagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian dari padamu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat” [QS. Al-Baqarah : 85].
وَمَا يَجْحَدُ بِآيَاتِنَا إِلا الْكَافِرُونَ
“Dan tidak adalah yang mengingkari ayat-ayat Kami selain orang-orang kafir” [QS. Al-Ankabuut : 47].
Dua contoh di atas merupakan penjelasan satu kaedah menurut Ahlus-Sunnah bahwasannya kekufuran adalah kekufuran berdasarkan jenis perbuatannya, bukan berdasarkan nisbahnya : sedikit atau banyaknya. Seandainya asal perbuatan, perkataan, atau keyakinan itu merupakan kekufuran, maka ia tidak berubah statusnya oleh nisbah/jumlahnya.
Kebalikan dari dua contoh di atas, seandainya ditanyakan : Apa hukumnya seseorang yang terbuai dengan hawa nafsu minum khamr sepanjang hidupnya namun ia senantiasa berharap agar Allah mengampuninya; kafir atau tidak kafir ?. Jawabnya tidak kafir, karena jenis perbuatan yang ia lakukan bukan merupakan kekafiran yang dapat mengeluarkannya dari Islam. Apalagi kalau ia minum khamr hanya sekali, dua kali, atau sebagian dari umurnya saja, tentu lebih pantas untuk dikatakan tidak kafir – meskipun harus kita katakan perbuatan itu termasuk dosa besar yang mengancam pelakunya adzab neraka.
Pertanyaan lain : Apa hukumnya seseorang yang mencuri sandal jepit sebanyak seribu kali; kafir atau tidak kafir ?. Jawabnya tidak kafir. Jika demikian, tentu saja lebih layak untuk tidak dikafirkan jika orang tersebut hanya mencuri sandal sekali saja. Tidak ada bedanya mencuri sandal sebanyak sekali, dua kali, seribu kali, atau lebih dari itu – selama ia tidak menghalalkan perbuatannya - ; hukumnya adalah tidak kafir, karena jenis perbuatan yang ia lakukan bukan termasuk perbuatan yang dapat mengkafirkan pelakunya. Inilah ‘aqidah Ahlus-Sunnah yang tidak mengkafirkan para pelaku dosa besar.
Jika telah jelas perbedaan di atas, maka kita dapat mendudukkan beberapa permasalahan kontemporer, salah satunya adalah masalah berhukum dengan selain hukum Allah ta’ala.
Asy-Syaikh ‘Abdul-Muhsin Al-‘Abbaad hafidhahullah pernah ditanya :
هل استبدال الشريعة الإسلامية بالقوانين الوضعية كفر في ذاته؟ أم يحتاج إلى الاستحلال القلبي والاعتقاد بجواز ذلك؟ وهل هناك فرق في الحكم مرة بغير ما أنزل الله، وجعل القوانين تشريعاً عاماً مع اعتقاد عدم جواز ذلك؟
“Apakah mengganti syari’at Islam dengan undang-undang buatan adalah kekafiran secara dzatnya ?. Ataukah ia membutuhkan adanya istihlaal (penghalalan) dalam hati dan keyakinan diperbolehkannya hal itu ?. Apakah ada perbedaan antara berhukum dengan selain hukum Allah dengan perbuatan menjadikan undang-undang sebagai tasyrii’ ‘aam[1] bersamaan dengan keyakinannya akan ketidakbolehan perbuatan tersebut ?.
Beliau hafidhahullah menjawab :
يبدو أنه لا فرق بين الحكم في مسألة، أو عشرة، أو مئة، أو ألف – أو أقل أو أكثر - لا فرق؛ ما دام الإنسان يعتبر نفسه أنه مخطئ، وأنه فعل أمراً منكراً، وأنه فعل معصية، وانه خائف من الذنب، فهذا كفر دون كفر. وأما مع الاستحلال – ولو كان في مسألة واحدة، يستحل فيها الحكم بغير ما أنزل الله، يعتبر نفسه حلالاً-؛ فإنه يكون كافراً
“Tidak ada perbedaan antara berhukum satu permasalahan, sepuluh permasalahan, seratus permasalahan, atau seribu permasalahan – atau lebih sedikit atau lebih banyak dari itu - . Tidak ada bedanya, selama seseorang menganggap dirinya bersalah, menganggap dirinya telah melakukan perkara munkar dan maksiat, dan ia takut akan dosa (atas perbuatannya). Ini adalah kekufuran di bawah kekufuran (kufrun duuna kufrin)[2]. Adapun jika perbuatan itu disertai dengan penghalalan (istihlaal)[3] - meskipun hanya dalam satu permasalahan saja, yang ia menghalalkan berhukum dengan selain hukum Allah dan dirinya menganggapnya halal – maka ia dihukumi kafir” [Disampaikan dalam pelajaran Syarh Sunan Abi Daawud di Masjid Nabawiy, tanggal 16-11-1420 H].
Catatan untuk perenungan :
Tersisa satu kemusykilan dalam bab ini (bagi saya), yaitu mengenai hukum meninggalkan shalat karena malas dan meremehkan, terutama mereka yang menyatakan kekafirannya. Beberapa ulama mengatakan kekafiran itu baru jatuh jika meninggalkan seluruh shalat sepanjang hidupnya atau dengan kata lain : tidak pernah shalat sama sekali. Jika menilik kaedah di atas, seandainya meninggalkan shalat itu adalah kekafiran menurut jenisnya, maka tidak ada bedanya meninggalkan sekali shalat, dua kali shalat, seratus kali shalat, seribu kali shalat, atau lebih dari itu; semuanya itu dihukumi dengan kekafiran (keluar dari Islam). Jika tidak pernah shalat sepanjang hidupnya adalah syarat jatuhnya kekafiran, maka bagaimana halnya dengan seorang muslim yang hanya shalat sekali saja, kemudian ia meninggalkannya selama belasan atau puluhan tahun hingga ajal menjemputnya ?. Apakah shalat yang ia lakukan sekali di awal kehidupannya bisa melepaskan status kekafiran karena ia meninggalkan shalat selama belasan atau bahkan puluhan tahun setelahnya ?. Sangat musykil, setidaknya bagi saya......
Ini saja yang dapat saya tuliskan. Tulisan ini banyak mengambil faedah dari penjelasan Asy-Syaikh Khaalid bin ‘Abdillah Al-Mishriy hafidhahullah sebagaimana dipublikasikan di sini.
Wallaahu a’lam.
Semoga ada manfaatnya.
[abul-jauzaa’ – ciomas permai, ciapus, ciomas, bogor].


[1]      Gambarannya adalah :
أن يحكم بغير ما أنزل الله ويجعلَ هذا الحكمَ عامّاً على كلِّ من تحته
“Berhukum dengan selain hukum Allah dan menjadikan hukum tersebut umum berlaku bagi setiap orang yang ada di bawahnya” [Al-Hukmu bi-Ghairi Maa Anzalallaah oleh Bundar bin Naayif Al-‘Utaibiy, hal. 34].
[2]      Kufur ashghar yang tidak mengeluarkan seseorang dari Islam.
[3]      Silakan baca penjelasannya di : http://abul-jauzaa.blogspot.com/2011/08/istihlaal.html.

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.