Ini
adalah satu kaedah penting yang banyak dilalaikan oleh sebagian orang.
Maksud dari kaedah ini adalah, sesuatu itu dihukumi sebagai kekufuran
karena sesuatu itu termasuk jenis yang dihukumi nash atau ijma’ sebagai kekufuran. Bukan karena jumlah atau banyaknya sesuatu itu. Lebih jelasnya adalah sebagai berikut :
Seandainya
ada pertanyaan : Apa hukumnya orang yang sujud pada berhala meski hanya
sekali saja ?. Jawabnya adalah kafir akbar (yang dapat mengeluarkan
seseorang dari Islam). Kemudian jika ditanyakan : Apa hukumnya orang
yang semenjak lahir hingga meninggal dunia sujud pada berhala ?.
Jawabnya sama, kafir akbar. Lantas apa bedanya antara yang pertama
dengan kedua ?. Tidak ada bedanya, karena jenis perbuatan sujud pada
berhala itu merupakan kekufuran. Sujud hanya diperbolehkan dilakukan
kepada Allah, tidak kepada selain-Nya. Allah ta’ala berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ارْكَعُوا وَاسْجُدُوا وَاعْبُدُوا رَبَّكُمْ وَافْعَلُوا الْخَيْرَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Hai
orang-orang yang beriman, rukuklah kamu, sujudlah kamu, sembahlah
Tuhanmu dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan” [QS. Al-Hajj : 77].
أَوَلَمْ
يَرَوْا إِلَى مَا خَلَقَ اللَّهُ مِنْ شَيْءٍ يَتَفَيَّأُ ظِلالُهُ عَنِ
الْيَمِينِ وَالشَّمَائِلِ سُجَّدًا لِلَّهِ وَهُمْ دَاخِرُونَ
“Dan
apakah mereka tidak memperhatikan segala sesuatu yang telah diciptakan
Allah yang bayangannya berbolak-balik ke kanan dan ke kiri dalam keadaan
sujud kepada Allah, sedang mereka berendah diri?” [QS. An-Nahl : 48].
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
لَوْ كُنْتُ آمِرًا أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لِأَحَدٍ، لَأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا
“Seandainya
aku diperbolehkan memerintahkan seseorang untuk sujud kepada orang
lain, niscaya akan aku perintahkan seorang wanita untuk sujud kepada
suaminya” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 1159, Al-Bazzaar dalam Kasyful-Astaar no.
1466, Ibnu Hibbaan no. 4162, Al-Haakim 4/171-172, Al-Baihaqiy 7/291,
dan yang lainnya. Hadits ini mempunyai banyak jalan, dan dishahihkan
oleh Al-Albaaniy dalam Ash-Shahiihah no. 3366].
Dalam riwayat Ibnu Abi Syaibah :
لَا،
إنَّهُ لَا يَسْجُدُ أَحَدٌ لِأَحَدٍ وَلَوْ كُنْتُ آمِرًا أَحَدًا
يَسْجُدُ لِأَحَدٍ ؛ لَأَمَرْتُ النِّسَاءَ يَسْجُدْنَ لِأَزْوَاجِهِنَّ
“Jangan
!. Tidak boleh seseorang sujud kepada orang lain. Seandainya aku boleh
memerintahkan seseorang sujud kepada orang lain, niscaya aku akan
perintahkan para wanita untuk sujud kepada suami-suami mereka”.
An-Nawawiy rahimahullah berkata :
هي
قطع الإسلام ، ويحصل ذلك تارةً بالقول الذي هو كفرٌ ، وتارةً بالفعل ،
والأفعال الموجبة للكفر هي التي تصدر عن تعمُّد واستهزاءٍ بالدِّين صريحٌ ،
كالسُّجود للصَّنم أو للشمس ، وإلقاء المصحف في القاذورات
“Yaitu
memotong Islam. Dan hal itu terjadi kadangkala dengan perkataan yang
merupakan kekafiran, dan kadangkala dengan perbuatan. Berbagai perbuatan
yang mengkonsekuensikan kekafiran adalah yang terjadi karena
kesengajaan dan ejekan terhadap agama dengan terang-terangan. Seperti
sujud kepada berhala atau matahari, dan membuang mushhaf ke tempat sampah...” [Raudlatuth-Thaalibiin, 2/283].
Pertanyaan
lain : Apa hukumnya orang yang mengingkari satu ayat dari Al-Qur’an ?.
Jawabnya adalah kafir. Kemudian ditanyakan : Apa hukumnya orang yang
mengingkari seluruh ayat dalam Al-Qur’an ?. Jawabnya juga sama, kafir.
Tidak ada bedanya antara mengingkari satu ayat, dua ayat, seratus ayat,
atau bahkan seluruh ayat dalam Al-Qur’an; karena jenis perbuatan itu
merupakan kekufuran. Allah ta’ala berfirman :
إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا بِالذِّكْرِ لَمَّا جَاءَهُمْ وَإِنَّهُ لَكِتَابٌ عَزِيزٌ
“Sesungguhnya
orang-orang yang mengingkari Al Qur'an ketika Al Qur'an itu datang
kepada mereka, (mereka itu pasti akan celaka), dan sesungguhnya Al
Qur'an itu adalah kitab yang mulia” [QS. Fushshilat : 41].
أَفَتُؤْمِنُونَ
بِبَعْضِ الْكِتَابِ وَتَكْفُرُونَ بِبَعْضٍ فَمَا جَزَاءُ مَنْ يَفْعَلُ
ذَلِكَ مِنْكُمْ إِلا خِزْيٌ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَيَوْمَ
الْقِيَامَةِ يُرَدُّونَ إِلَى أَشَدِّ الْعَذَابِ وَمَا اللَّهُ بِغَافِلٍ
عَمَّا تَعْمَلُونَ
“Apakah
kamu beriman kepada sebahagian Al-Kitab (Taurat) dan ingkar terhadap
sebahagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian
dari padamu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari
kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Allah tidak
lengah dari apa yang kamu perbuat” [QS. Al-Baqarah : 85].
وَمَا يَجْحَدُ بِآيَاتِنَا إِلا الْكَافِرُونَ
“Dan tidak adalah yang mengingkari ayat-ayat Kami selain orang-orang kafir” [QS. Al-Ankabuut : 47].
Dua
contoh di atas merupakan penjelasan satu kaedah menurut Ahlus-Sunnah
bahwasannya kekufuran adalah kekufuran berdasarkan jenis perbuatannya,
bukan berdasarkan nisbahnya : sedikit atau banyaknya. Seandainya asal
perbuatan, perkataan, atau keyakinan itu merupakan kekufuran, maka ia
tidak berubah statusnya oleh nisbah/jumlahnya.
Kebalikan
dari dua contoh di atas, seandainya ditanyakan : Apa hukumnya seseorang
yang terbuai dengan hawa nafsu minum khamr sepanjang hidupnya namun ia
senantiasa berharap agar Allah mengampuninya; kafir atau tidak kafir ?.
Jawabnya tidak kafir, karena jenis perbuatan yang ia lakukan bukan
merupakan kekafiran yang dapat mengeluarkannya dari Islam. Apalagi kalau
ia minum khamr hanya sekali, dua kali, atau sebagian dari umurnya saja,
tentu lebih pantas untuk dikatakan tidak kafir – meskipun harus kita
katakan perbuatan itu termasuk dosa besar yang mengancam pelakunya adzab
neraka.
Pertanyaan
lain : Apa hukumnya seseorang yang mencuri sandal jepit sebanyak seribu
kali; kafir atau tidak kafir ?. Jawabnya tidak kafir. Jika demikian,
tentu saja lebih layak untuk tidak dikafirkan jika orang tersebut hanya
mencuri sandal sekali saja. Tidak ada bedanya mencuri sandal sebanyak
sekali, dua kali, seribu kali, atau lebih dari itu – selama ia tidak
menghalalkan perbuatannya - ; hukumnya adalah tidak kafir, karena jenis
perbuatan yang ia lakukan bukan termasuk perbuatan yang dapat
mengkafirkan pelakunya. Inilah ‘aqidah Ahlus-Sunnah yang tidak
mengkafirkan para pelaku dosa besar.
Jika
telah jelas perbedaan di atas, maka kita dapat mendudukkan beberapa
permasalahan kontemporer, salah satunya adalah masalah berhukum dengan
selain hukum Allah ta’ala.
Asy-Syaikh ‘Abdul-Muhsin Al-‘Abbaad hafidhahullah pernah ditanya :
هل
استبدال الشريعة الإسلامية بالقوانين الوضعية كفر في ذاته؟ أم يحتاج إلى
الاستحلال القلبي والاعتقاد بجواز ذلك؟ وهل هناك فرق في الحكم مرة بغير ما
أنزل الله، وجعل القوانين تشريعاً عاماً مع اعتقاد عدم جواز ذلك؟
“Apakah mengganti syari’at Islam dengan undang-undang buatan adalah kekafiran secara dzatnya ?. Ataukah ia membutuhkan adanya istihlaal
(penghalalan) dalam hati dan keyakinan diperbolehkannya hal itu ?.
Apakah ada perbedaan antara berhukum dengan selain hukum Allah dengan
perbuatan menjadikan undang-undang sebagai tasyrii’ ‘aam[1] bersamaan dengan keyakinannya akan ketidakbolehan perbuatan tersebut ?.
Beliau hafidhahullah menjawab :
يبدو
أنه لا فرق بين الحكم في مسألة، أو عشرة، أو مئة، أو ألف – أو أقل أو أكثر
- لا فرق؛ ما دام الإنسان يعتبر نفسه أنه مخطئ، وأنه فعل أمراً منكراً،
وأنه فعل معصية، وانه خائف من الذنب، فهذا كفر دون كفر. وأما مع الاستحلال –
ولو كان في مسألة واحدة، يستحل فيها الحكم بغير ما أنزل الله، يعتبر نفسه
حلالاً-؛ فإنه يكون كافراً
“Tidak
ada perbedaan antara berhukum satu permasalahan, sepuluh permasalahan,
seratus permasalahan, atau seribu permasalahan – atau lebih sedikit atau
lebih banyak dari itu - . Tidak ada bedanya, selama seseorang
menganggap dirinya bersalah, menganggap dirinya telah melakukan perkara
munkar dan maksiat, dan ia takut akan dosa (atas perbuatannya). Ini
adalah kekufuran di bawah kekufuran (kufrun duuna kufrin)[2]. Adapun jika perbuatan itu disertai dengan penghalalan (istihlaal)[3]
- meskipun hanya dalam satu permasalahan saja, yang ia menghalalkan
berhukum dengan selain hukum Allah dan dirinya menganggapnya halal –
maka ia dihukumi kafir” [Disampaikan dalam pelajaran Syarh Sunan Abi Daawud di Masjid Nabawiy, tanggal 16-11-1420 H].
Catatan untuk perenungan :
Tersisa satu kemusykilan dalam bab ini (bagi saya), yaitu mengenai hukum meninggalkan shalat karena malas dan meremehkan,
terutama mereka yang menyatakan kekafirannya. Beberapa ulama mengatakan
kekafiran itu baru jatuh jika meninggalkan seluruh shalat sepanjang
hidupnya atau dengan kata lain : tidak pernah shalat sama sekali. Jika
menilik kaedah di atas, seandainya meninggalkan shalat itu adalah
kekafiran menurut jenisnya, maka tidak ada bedanya meninggalkan sekali
shalat, dua kali shalat, seratus kali shalat, seribu kali shalat, atau
lebih dari itu; semuanya itu dihukumi dengan kekafiran (keluar dari
Islam). Jika tidak pernah shalat sepanjang hidupnya adalah syarat
jatuhnya kekafiran, maka bagaimana halnya dengan seorang muslim yang
hanya shalat sekali saja, kemudian ia meninggalkannya selama belasan
atau puluhan tahun hingga ajal menjemputnya ?. Apakah shalat yang ia
lakukan sekali di awal kehidupannya bisa melepaskan status kekafiran
karena ia meninggalkan shalat selama belasan atau bahkan puluhan tahun
setelahnya ?. Sangat musykil, setidaknya bagi saya......
Ini
saja yang dapat saya tuliskan. Tulisan ini banyak mengambil faedah dari
penjelasan Asy-Syaikh Khaalid bin ‘Abdillah Al-Mishriy hafidhahullah sebagaimana dipublikasikan di sini.
Wallaahu a’lam.
Semoga ada manfaatnya.
[abul-jauzaa’ – ciomas permai, ciapus, ciomas, bogor].
[1] Gambarannya adalah :
أن يحكم بغير ما أنزل الله ويجعلَ هذا الحكمَ عامّاً على كلِّ من تحته
“Berhukum dengan selain hukum Allah dan menjadikan hukum tersebut umum berlaku bagi setiap orang yang ada di bawahnya” [Al-Hukmu bi-Ghairi Maa Anzalallaah oleh Bundar bin Naayif Al-‘Utaibiy, hal. 34].
[2] Kufur ashghar yang tidak mengeluarkan seseorang dari Islam.
0 komentar:
Posting Komentar