-->

25 Agustus 2012

HUBUNGAN ANTARA RAKYAT DAN PENGUASA DAN PEMBERONTAKAN TERHADAP PENGUASA DAN BATASAN-BATASAN SYAR’INYA

Oleh : Samahatusy Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz.

Pertanyaan :
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Diantara permasalahan yang sedang ramai dibicarakan ialah masalah hubungan antara rakyat dengan penguasa serta batasan-batasan syar’i, berkenaan dengan hubungan ini. Syaikh yang mulia, ada sekelompok orang yang berpendapat bahwa perbuatan maksiat dan dosa besar yang dilakukan oleh para penguasa merupakan alasan dibolehkannya melakukan pemberontakan terhadap mereka. Dan merupakan alasan wajibnya mengubah keadaan meskipun menimbulkan mudharat atas kaum muslimin di negeri itu. Peristiwa-peristiwa yang dialami oleh beberapa negeri Islam sangat banyak, bagaimana pendapat Anda mengenai masalah ini ?

Jawaban :
Bismillahirrahmanirrahim. Segala puji hanyalah bagi Allah semata. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada keluarga dan sahabat-sahabat beliau serta orang-orang yang mengikuti petunjuk beliau. Amma ba’du.

Sesungguhnya Allah telah berfirman dalam kitabNya.
“Artinya : Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah RasulNya, dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari Kemudian. Yang demikian itu adalah lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya” [An-Nisa : 59]

Ayat diatas menegaskan wajibnya mentaati waliyul amri, yaitu umara’ dan ulama. Dalam hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam banyak dijelaskan bahwa mentaati waliyul amri dalam perkara ma’ruf merupakan kewajiban.
Nash-nash hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan mentaati waliyul amri adalah ketaatan dalam perkara ma’ruf bukan dalam perkara maksiat. Mereka tidak boleh mentaati penguasa jika mereka diperintahkan berbuat maksiat. Akan tetapi mereka tidak boleh memberontak penguasa karenanya. Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Artinya : Barangsiapa melihat sebuah perkara maksiat pada diri-diri pemimpinnya, maka hendaknya ia membenci kemaksiatan yang dilakukannya dan janganlah ia membangkang pemimpinnnya. Sebab barangsiapa melepaskan diri dari jama’ah lalu mati, maka ia mati secara jahiliyah”
Dan sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“Artinya : Seorang muslim wajib patuh dan taat (kepada umara’) dalam saat lapang maupun sempit, pada perkara yang disukainya ataupun dibencinya selama tidak diperintah berbuat maksiat, jika diperintah berbuat maksiat, maka tidak boleh patuh dan taat”.
Sorang sahabat pernah bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau menyebutkan bahwa akan ada penguasa yang didapati padanya perkara ma’ruf dan kemungkaran :”Wahai Rasulullah, apa yang engkau perintahkan kepada kami ?” Beliau menjawab : “Tunaikanlah hak-hak mereka dan mintalah kepada Allah hak-hak kamu”.
Ubadah bin Shamit Radhiyallahu ‘anhu menuturkan : “Kami memba’iat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam agar kami tidak merampas kekuasaan dari pemiliknya” Beliau melanjutkan : “Kecuali kalian lihat pada diri penguasa itu kekufuran yang nyata dan kamu memiliki hujjah atas kekufurannya dari Allah [Al-Qur'an dan As-Sunnah]“
Hal itu menunjukkan larangan merampas kekuasaan waliyul amri dan larangan memberontak mereka kecuali terlihat pada diri penguasa itu kekufuran yang nyata dan terdapat hujjah atas kekufurannya dari Allah (Al-Qur’an dan As-Sunnah). Karena pemberontakan terhadap penguasa akan menimbulkan kerusakan yang lebih parah dan kejahatan yang lebih besar. Sehingga stabilitas keamanan akan terguncang, hak-hak akan tersia-siakan, pelaku kejahatan tidak dapat ditindak, orang-orang terzhalimi tidak dapat tertolong dan jalur-jalur transportasi akan kacau. Jelaslah bahwa memberontak penguasa akan menimbulkan kerusakan yang lebih besar. Kecuali jika kaum muslimin melihat kekafiran yang nyata pada diri penguasa tersebut dan terdapat hujjah atas kekufurannya dari Allah (Al-Qur’an dan As-Sunnah), mereka dibolehkan memberontak penguasa tersebut dan menggantikannya jika mereka mempunyai kemampuan. Akan tetapi, jika mereka tidak memiki kemampuan, mereka tidak boleh mengadakan pemberontakan. Atau jika pemberontakan akan menimbulkan kerusakan yang lebih besar, mereka tidak boleh melakukannya demi menjaga kemaslahatan umum. Kaidah syar’i yang disepakati bersama menyebutkan : Tidak boleh menghilangkan kejahatan dengan kejahatan yang lebih besar dari sebelumnya, akan tetapi wajib menolak kejahatan dengan cara yang dapat menghilangkannya atau meminimalkannya. Adapun menolak kejahatan dengan mendatangkan kejahatan yang lebih parah lagi tentu saja dilarang berdasarkan kesepakatan kaum muslimin.
Apabila kelompok yang ingin menurunkan penguasa yang telah melakukan kekufuran itu memiliki kemampuan dan mampu menggantikannya dengan pemimpin yang shalih dan baik tanpa menimbulkan kerusakan yang lebih besar terhadap kaum muslimin akibat kemarahan penguasa itu, maka mereka boleh melakukannya.
Adapun jika pemberontakan tersebut malah menimbulkan kerusakan yang lebih besar, keamanan menjadi tidak menentu, rakyat banyak teraniaya, terbunuhnya orang-orang yang tidak berhak dibunuh dan kerusakan-kerusakan lainnya, sudah barang tentu pemberontakan terhadap penguasa hukumnya dilarang.
Dalam kondisi demikian rakyat dituntut banyak bersabar, patuh dan taat dalam perkara ma’ruf serta senantiasa menasihati penguasa dan mendo’akan kebaikan bagi mereka. Serta sungguh-sungguh menekan tingkat kejahatan dan menyebar nilai-nilai kebaikan. Itulah sikap yang benar yang wajib ditempuh. Karena cara seperti itulah yang dapat mendatangkan maslahat bagi segenap kaum muslimin. Dan cara seperti itu juga dapat menekan tingkat kejahatan dan meningkatkan kuantitas kebaikan. Dan dengan cara seperti itu jugalah keamanan dapat terpelihara, keselamatan kaum muslimin dapat terjaga dari kejahatan yang lebih besar lagi. Kita memohon taufiq dan hidayah kepada Allah bagi segenap kaum muslimin.
[Disalin dari kitab Muraja'att fi fiqhil waqi' as-siyasi wal fikri 'ala dhauil kitabi wa sunnah, edisi Indonesia Koreksi Total Masalah Politik & Pemikiran Dalam Perspektif Al-Qur'an & As-Sunnah, hal 24-29 Terbitan Darul Haq, penerjemah Abu Ihsan Al-Atsari]
_________
Foote Note.
[1] Diringkas secara bebas dengan sedikit perubahan dan tambahan dari Mukadimmah buku Muraja’att fi fiqhil waqi’ as-sunnah wal fikri ‘ala dhauil kitabi wa sunnah, edisi Indonesia Koreksi Total Masalah Politik & Pemikiran Dalam Perspektif Al-Qur’an & As-Sunnah oleh Dr. Anwar Majid Asyqi [penyalin]

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.