Di antara masalah yang penting dan
perlu diingatkan adalah berkaitan dengan kapan seseorang itu dianggap
keluar dari lingkup ahlus sunnah wal jama’ah. Apakah kaidahnya, misalnya
ia salah sedikit langsung segera dikeluarkan dari ahlus sunnah?
Sebab ada sebagian orang mengatakan,
“Siapa yang salah atau menyelisihi jalan ahlus sunnah 0,01 % maka ia
bukan lagi ahlus sunnah.”
Maka di sini butuh kita merinci, sebenarnya bagaimana dan kapan seseorang itu dikatakan keluar dari ahlus sunnah wal jama’ah.
Imam Asy Syathibi rahimahullâh dalam Al I’tishâm menyebutkan bahwa seseorang itu dikeluarkan dari ahlus sunnah dengan 2 perkara:
Pertama, kalau ia menyelisihi menyelisihi pokok, landasan, dasar, prinsip pokok dari prinsip ahlus sunnah.
Contoh perkara yang merupakan prinsip pokok:
- mengatakan bahwa Al Qur’an itu makhluk, bukan Kalam Allah;
- mencerca Abu Bakar dan ‘Umar bin Khaththâb radhiyallâhu ‘anhum;
- mengingkari bahwa Allah subhânahu wa ta’âlâ dilihat pada hari kiamat;
- mengingkari adanya adzab kubur.
Jika ada orang yang berkata dengan perkataan di atas, maka ia adalah mubtadi’, bukan ahlus sunnah, karena menyelisihi ushul (prinsip pokok) dari ushûlis sunnah. Maka, pentingnya mengetahui ushul di situ. Sebab kalau seseorang tidak mengetahui ushul
ahlus sunnah, maka ia tidak bisa mengetahui bahwa orang yang melakukan
suatu kesalahan keluar dari ahlus sunnah atau tidak. Akibatnya, orang
yang tidak memahami ushul, kemudian sibuk dengan tahdzir-tahdzir-an, ia adalah orang yang sedang terbuai di dalam mimpi. Sebab berada di atas sesuatu yang sifatnya hayalan.
Sedangkan ahlus sunnah tidak seperti itu.
Mereka mempunyai pijakan yang kokoh. Dan itu ciri umum ahlus sunnah.
Tidak ada dalam prinsip ahlus sunnah, men-tahdzir, memvonis mubtadi’ atau menjatuhkan vonis takfir dengan hukum percobaan, atau hukumnya dikira-kira.
Kedua, ia
dikeluarkan dari ahlus sunnah kalau menyelisihi dalam masalah cabang dan
memperbanyak penyelisihan dalam masalah cabang tersebut.
Contoh: melakukan peringatan maulid. Ini
satu. Yang seperti ini, kalau yang lainnya di atas sunnah, maka kita
katakan, ia ini salah, melakukan bid’ah. Tapi kalau ia berbuat
peringatan maulid, peringatan isra’ mi’raj, peringatan 1 Muharram, dan
seterusnya, lalu ia meyakini hal tersebut, maka orang ini adalah mubtadi’. Walaupun masalahnya masalah cabang namun ia memperbanyak, menunjukkan bahwa memang orang ini senang dengan hal seperti itu.
Syaikh Muqbil bin Hadi Al Wadi’i rahimahullâh
juga kita tanya dengan pertanyaan yang sama, kapan seseorang
dikeluarkan dari ahlus sunnah wal jamâ’ah atau dari lingkup salafiyah?
Maka beliau menjawab, “Kalau ia berbuat
perkara-perkara seperti melakukan demonstrasi atau masuk ke parlemen
atau yang semisal dengan itu, maka ia bukan ahlus sunnah.”
Ini fatwa beliau. Sebab ini
masalah-masalah prinsip, bukan masalah-masalah yang sifatnya cabang.
Kalau berkaitan dengan cabang, tidak dikeluarkan dari ahlus sunnah
kecuali kalau ia memperbanyak.
Semakna dengan itu jawaban Syaikh Rabi’ bin Hadi Al Madkhali hafizhahullâh ketika kita tanya di rumah beliau di Madinah waktu itu. Jawabannya mirip dengan tafshil (rincian) yang disebut Imam Asy Syathibi.
Dan Syaikh Zaid bin Muhammad bin Hadi hafizhahullâh dalam muhadharah juga kita tanya dengan pertanyaan yang sama, “Kapan seseorang dikeluarkan dari lingkup salafiyah?”
Kata beliau hafizhahullâh,
seorang itu keluar dari lingkup salafiyah, kadang keluar sebagian, dan
kadang keluar keseluruhan. Ini jawaban beliau, kembalinya juga kepada
apa yang kita sebutkan.
Syaikh ‘Ubaid Al Jabiri hafizhahullâh dari kaset berjudul Janayatut Tamayyu’ ‘ala Manhajus Salafi beliau ditanya, “Kapan seseorang dikeluarkan dari manhaj salafi dan dihukumi bahwa dia ini bukan salafi?”
Kata beliau, “Ini diterangkan oleh ahlul
ilmi. Dan disebutkan di dalam buku-buku mereka dan nasihat-nasihat
mereka dan disebutkan dalam bagian dari manhaj mereka, bahwa seseorang
dikatakan keluar dari salafiyah kalau ia menyelisihi suatu prinsip dasar
dari prinsip ahlus sunnah, dan telah tegak hujjah kepadanya, dan tidak
mau lagi kembali. Maka ini dikeluarkan.”
Kemudian kata Syaikh, kalau ia
menyelisihi dalam perkara cabang namun di dalam perkara cabang ini dia
memasang loyalitas dan permusuhan karena itu, maka ia dikeluarkan dari
as salafiyah. Ini juga syarat lain disebutkan oleh Syaikh ‘Ubaid Al
Jabiri hafizhahullâh, yang kembali kepada dua perkara sebenarnya, tetapi beliau lebih merinci dan mendetailkan.
Kadang seseorang melakukan kesalahan
dalam masalah cabang, tapi pada masalah cabang ini ia membangun
loyalitas dan permusuhan di atasnya—siapa yang setuju dengannya maka ia
adalah orang yang dicintainya, siapa yang menyelisihnya maka ia adalah
orang yang dibencinya—maka orang ini juga dianggap mubtadi’, keluar dari as salafiyah menurut beliau.
Ini rincian para ulama kita dalam masalah
ini. Untuk mengetahui yang seperti ini, bukanlah pekerjaan setiap
orang. Dan juga butuh pengetahuan. Bukan orang yang baru datang, hadir
di majelis ta’lim beberapa kali, kemudian setelah itu langsung bertindak
laksana seorang Abu Zur’ah, Abu Hatim, Imam Al Bukhâri, langsung men-jarh “Si fulan mubtadi’”, “Si fulan kadz-dzab”, dan seterusnya. Ini juga adalah perkara yang tidak pantas.
Siapa yang Berhak Men-tahdzir dan Memvonis Ahlul Bid’ah?
Siapa yang berhak men-tahdzir atau men-tabdi’?
Pertanyaan ini kami ajukan kepada Syaikh Muqbil bin Hadi Al Wadi’i rahimahullâh dan terekam dalam kaset.
Kata beliau, “Kesalahan itu perlu
dirinci. Ada kesalahan yang sifatnya jelas, gamblang, maka yang seperti
ini, siapa pun berhak men-tahdzir,”
Beliau memberi contoh, ada orang yang
mencerca Abu Bakar dan ‘Umar bin Khaththâb. Ini adalah kesalahan yang
sangat jelas. Kata beliau, orang awam pun boleh menyatakan “Ini rafidhi, mubtadi’”.
Tapi kalau masalahnya detail, samar-samar, maka perkaranya dikembalikan kepada ahlul ‘ilmi dan orang-orang yang rajih (kokoh) dalam ilmu.
Maka merupakan suatu kesalahan, ada orang yang mengatakan, “Semuanya boleh men-tahdzir”. Dan salah juga yang membatasi bahwa, “Men-Tahdzir itu hanya ulama saja yang berhak melakukannya.” Tapi rincian yang benar, seperti yang dirinci oleh Syaikh Muqbil rahimahullâh.
(Sumber: Pelajaran Al Ustadz Dzulqarnain bin Muhammad Sunusi hafizhahullah dari CD-04 Tasjilat Al Atsariyyah, ditranskrip dengan perbaikan redaksi)
0 komentar:
Posting Komentar