KATA PENGANTAR
Oleh : Al Ustadz Arif Fathul Ulum bin Ahmad Saifulloh
إن الحمد لله ، نحمده ونستعينه ونستغفره ونعوذ بالله من شرور أنفسنا ومن سيئات أعمالنا .
من يهده الله فلا مضل له ، ومن يضلل فلا هادي له ، وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له ، وأشهد أن محمداً عبده ورسوله.
{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ}(آل عمران:102)
{يَا
أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ
وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً
كَثِيراً وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ
وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيباً}(النساء:1)
{يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلاً سَدِيداً
. يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ
يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزاً عَظِيماً}
(الأحزاب:70-71) .
وبعد
Segala puji bagi Allah pemilik nama Ar-Rahman Ar-Rahim, Dialah yang memiliki rahmat yang luas meliputi semua makhluknya :
] وَرَحْمَتِي وَسِعَتْ كُلَّ شَيْءٍ [
“Dan rahmatKu meliputi segala sesuatu “ ( QS. Al-A'raf : 156).
Di
antara rahmat Allah terhadap manusia bahwa Dia telah menyempurnakan
Islam dan menjadikannya sebagai satu-satunya agama yang diridhaiNya
sebagaimana dalam firmanNya :
] الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا[
“Pada
hari ini telah Kusempurnakan untuk kalian agama kalian, dan telah
Ku-cukupkan kepada kalian ni`mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi
agama bagi kalian “ (QS. Al-Maidah : 3 ).
Adalah umat ini
dalam keadaan dirahmati oleh Allah pada generasi awalnya, Allah jaga
mereka dari berbagai macam hawa nafsu dan penyelewengan, mereka selalu
istiqomah dalam ketaatan kepada Allah dan RasulNya, mereka adalah para
sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang tidak dikenal diri mereka kecuali ittiba’ kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kepada Kitab yang diturunkan oleh Allah kepadanya.
Demikian
juga jejak mereka diikuti oleh generasi penerus mereka dari para
tabi’in dan para imam yang berada di atas petunjuk – semoga Allah
meridhai mereka semuanya -.
Kemudian datanglah sesudah mereka
generasi-generasi belakangan yang tidak merasa cukup dengan syari’at
Islam yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
mereka gunakan akal mereka untuk mengada-adakan perkara-perkara baru
di dalam agama, seakan-akan mereka mengatakan bahwa agama Islam ini
masih belum sempurna hingga perlu dilengkapi, dan seakan-akan mereka
katakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, telah berkhianat kepada Allah sehingga belum lengkap di dalam menyampaikan risalah Allah kepada umatnya !!.
Akan
tetapi Allah dengan rahmatNya telah menjadikan di setiap zaman sebuah
kelompok yang tetap berjalan di atas agama yang haq, agama yang dibawa
oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan yang ditempuh oleh para sahabatnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
لن تزال طائفة من أمتي منصورين لا يضرهم من خذلهم حتى تقوم الساعة
“Tidak
henti-hentinya sekelompok dari umatku yang mendapat pertolongan ( dari
Alloh ) tidak ada yang bisa membahayakan mereka siapapun yang
menelantarkan mereka hingga tegaknya kiamat “ ( Diriwayatkan oleh
Ahmad dalam Musnadnya 5/34, Tirmidzi dalam Sunannya 4/485 , dan Ibnu
Majah dalam Sunannya 1/5 dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albany dalam Shahih Sunan Ibnu Majah ).
Ath-Thoifah
Al-Manshuroh ini adalah Ahli Sunnah wal Jama’ah sebagaimana dinashkan
oleh para imam seperti Al-Imam Bukhari , Al-Imam Ahmad bin Hanbal, dan
Qadhi ‘Iyadh ( Lihat Syarah Nawawi atas Muslim 13/66-67 dan Fathul Bari 1/164 ).
Ahli Sunnah wal Jama’ah adalah orang-orang yang berpegang teguh dengan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan apa yang disepakati oleh As-Sabiqunal Awwalun dari kalangan Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik
Di antara karakteristik Ahli Sunnah wal Jam’ah bahwa mereka selalu melaksanakan perintah yang tegas dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
agar selalu berpegang teguh kepada Sunnahnya dan agar selalu menjauhi
segala kebid’ahan yang datang sesudahnya sebagaimana dalam hadits
‘Irbadh bin Sariyah :
عليكم بسنتي وسنة الخلفاء الراشدين المهديين من بعدي عضوا عليها بالنواجذ وإياكم ومحدثات الأمور فإن كل محدثة بدعة و كل بدعة ضلالة
“ Wajib
atas kalian berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah Khulafaur
Rasyidin yang mendapat petunjuk sepeninggalku, dan awaslah kalian dari
perkara-perkara yang baru, karena setiap perkara yang yang baru adalah
bid’ah dan setiap bid’ah adalah kesesatan “ ( Hadits Shahih Riwayat Ahmad dan Ashabus Sunan ).
Di
antara keraktersitik Ahli Sunnah bahwa mereka menebar kasih sayang
kepada manusia sebagaimana Alloh jadikan Rasulullah e sebagaimana
rahmat bagi semesta alam :
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ
“Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (QS. Al Anbiyaa’ : 107)
Maka
Ahli Sunnah adalah orang-orang yang paling mengetahui al-haq lagi
paling penyayang terhadap manusia. Dakwah Ahli Sunnah wal Jama’ah
adalah dakwah yang penuh kasih sayang terhadap manusia, dan bukanlah
dakwah yang ekstrim dan menyeramkan.
Banyak sekali bentuk-bentuk
kasih sayang Ahli Sunnah wal Jama’ah didalam Dakwahnya kepada manusia
sebagaimana dijelaskan oleh Saudara kami yang mulia Al-Ustadz Muhammad
bin Badr Al Umari – Hafizhohullah – yang telah memaparkan hal tersebut
dengan bagus dan rinci di dalam risalahnya yang berjudul Kasih Sayang Manhaj Salaf.
Maka
kami dapati risalah ini penting sekali dibaca oleh setiap muslim yang
ingin menempuh jalan yang haq yang diridhai oleh Alloh Subhanahu wa
Ta’ala.
Semoga risalah tersebut bisa memberikan manfaat khususnya kepada penulisnya, pembacanya dan kepada kaum muslimin semuanya. Amin.
و صلى الله عليه وسلم تسليما كثيرا و آخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين .
(Kediri, 26 Dzul Qa’dah 1430 H,13 Nopember 2009 M)
MUQODDIMAH
إن
الحمد لله نحمده ونستعينه ونستغفره ونعوذ بالله من شرور أنفسنا وسيئات
أعمالنا، من يهده الله فلا مضل له، ومن يضلل فلا هادي له، وأشهد أن لا إله
إلا الله وحده لا شريك له، وأشهد أن محمدا عبده ورسوله
Segala puji
hanya milik Allah, kita memuji-Nya, memohon pertolongan, serta memohon
ampunan kepada-Nya. Dan kita berlindung kepada-Nya dari keburukan diri
kita, kejelekan perbuatan kita. Barangsiapa diberi petunjuk oleh Nya,
maka tidak ada yang sanggup menyesatkannya. Namun barangsiapa yang
disesatkan oleh Nya, maka tidak ada yang dapat memberinya petunjuk.
Saya
bersaksi bahwa tiada sesembahan yang berhak untuk disembah melainkan
Dia. Dan saya bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba sekaligus rasul-Nya.
Allah berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلا تَمُوتُنَّ إِلا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ
“Hai
orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa
kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam
keadaan beragama Islam.” (QS. Ali Imron : 102)
يَا أَيُّهَا
النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ
وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالا كَثِيرًا وَنِسَاءً
وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالأرْحَامَ إِنَّ
اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا
“Hai sekalian manusia,
bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari diri yang
satu, dan daripadanya Allah menciptakan istrinya; dan daripada keduanya
Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan
bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu
saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahmi.
Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.” (QS. An Nisaa’ : 1)
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلا سَدِيدًا.
يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ
يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا
“Hai
orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah
perkataan yang benar, niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu
dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. Dan barang siapa menaati Allah dan
Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar.” (QS. Al Ahzab : 70-71)
Tulisan
ini merupakan penjelasan seputar pokok dan ciri dakwah salafiyyah
ahlus sunnah wal jama’ah yang pada akhir-akhir ini dicela dan dihujat,
baik karena tuduhan dusta dari orang-orang yang dengki terhadap dakwah
yang diberkahi ini, maupun karena sikap sebagian person yang menyimpang
dari pokok dan ciri dakwah ini. Sehingga banyak orang menghukumi
dakwah salafiyyah secara tidak benar, yaitu menghukumi menurut
perbuatan sebagian personnya.
Maka di sini perlu kami jelaskan
kepada semua pihak, bahwa dakwah salafiyyah merupakan dakwah yang penuh
kasih sayang, sangat jauh dari yang dituduhkan oleh sebagian kalangan
bahwa dakwah ini ekstrim, sesat, merasa paling benar sendiri, dan
sebagainya. Dan tulisan ini kami tujukan kepada tiga pihak :
Pertama,
kepada orang-orang yang membenci salafiyyun, kami haturkan kepada
kalian, bagaimanapun kalian membenci kami -dimana kami hanyalah
sebatas orang-orang yang bersemangat meniti jejak salaf-, yang kami
harapkan dari kalian hanyalah agar kalian mau bersemangat meniti jejak
salaf yang sholih. Silakan membenci kami, silakan mencela person kami,
tapi jangan jadikan kebencian tersebut sebagai pendorong untuk menolak
manhaj salaf, karena manhaj salaf adalah kebenaran. Amalkanlah pokok dan
ciri manhaj salaf dengan sebenar-benarnya, niscaya persatuan haqiqi
akan terwujud.
Kedua, kepada orang-orang yang mengaku bersemangat
meniti manhaj salaf, marilah kita memperbaiki kualitas dalam
mengamalkan pokok dan ciri manhaj salaf tersebut. Agar keindahan manhaj
salaf ini semakin menyeruak, membuktikan kepada dunia bahwa manhaj
salaf adalah manhaj yang penuh kasih.
Ketiga, kepada manusia
secara umum, inilah manhaj salaf yang penuh kasih, yang menghantarkan
kepada ajaran islam yang murni, serta keselamatan di dunia dan akherat.
Semoga
usaha yang sedikit ini dinilai dengan pahala yang melimpah disisi-Nya,
pada hari yang tiada bermanfaat harta dan anak keturunan, kecuali bagi
orang yang datang kepada Allah dengan hati yang selamat dari noda-noda
dosa.
يَوْمَ لا يَنْفَعُ مَالٌ وَلا بَنُونَ. إِلا مَنْ أَتَى اللَّهَ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ
“(Yaitu) di hari harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih.” (QS. Asy Syu’araa’ : 88-89)
Tak lupa kami ucapkan jazakumuLLOH khoiro
kepada Ustadzuna Al Fadhil Al Ustadz Arif Fathul Ulum bin Ahmad
Saifulloh –hafizhohuLloh-, yang berkenan mengoreksi tulisan ini serta
memberikan pengantar yang begitu berharga. Semoga Allah membalas beliau
dengan karunia yang banyak, serta semoga Dia mencurahkan barokah ilmu
beliau kepada kami, serta kaum muslimin semuanya. Amin…
18 Rabi’ Tsani 1430 H/14 April 2009
Hamba yang senantiasa mengaharap ampunan-Nya,
Muhammad bin Badr al ‘Umari
Semoga Allah mengampuninya, kedua orang tuanya,
para gurunya, serta kaum muslimin semuanya.
MANHAJ SALAF
Manhaj
merupakan sebuah jalan atau metode dalam beragama. Dimana setiap
kelompok yang terpecah dari umat Islam ini pasti memilki manhaj/metode,
yang mereka jadikan sebagai patokan dalam menjalani kehidupan.
Sudah
menjadi sunnatulloh, umat Islam terpecah menjadi tujuh puluh tiga
golongan, sebagaimana pula Yahudi dan Nasrani terpecah menjadi tujuh
puluh golongan lebih. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
((افترقت
اليهود على إحدى وسبعين فرقة. فواحدة في الجنة. وسبعون في النار, وافترقت
النصارى على ثنتين وسبعين فرقة. فإحدى وسبعون في النار، وواحدة في الجنة.
والذي نفس محمد بيده! لتفترقن أمتي على ثلاث وسبعين فرقة. واحدة في الجنة
و ثنتان سبعون في النار)). قيل: يا رسول الله! من هم؟ قال ((الجماعة)).
“Yahudi
telah terpecah menjadi 71 golongan, satu golongan masuk surga dan 70
lainnya ke neraka. Nasrani terpecah menjadi 72 golongan, 71 golongan ke
neraka, hanya satu yang masuk surga. Dan demi Dzat Yang jiwaku ada
ditangan-Nya, sungguh umatku akan terpecah menjadi 73 golongan, satu
golongan akan masuk surga dan 72 lainnya ke neraka.”
Rasulullah ditanya : “Siapa golongan yang selamat itu wahai Rasulullah?”
Beliau menjawab : “Al Jama’ah.” (HR. Ibnu Majah no. 3992, Ibnu Abi ‘Ashim dalam As Sunnah no.63, Al Lalika’i dalam Syarh Ushul I’tiqod Ahlus Sunnah wal Jama’ah no.149, Al Ashbahani dalam Al Hujjah (19-20). Dinyatakan hasan oleh Syaikh Salim bin Ied Al Hilali dalam Bashoir Dzawisy Syarof hal. 92-93)
Umat Islam terpecah menjadi 73 golongan. Setiap golongan saling membanggakan manhaj yang ada pada dirinya masing-masing,
كُلُّ حِزْبٍ بِمَا لَدَيْهِمْ فَرِحُونَ
“Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka.” (QS. Ar Ruum : 32)
Akan
tetapi mereka semua bangga di atas kesesatan, segala macam kebanggaan
itu akan hilang dan lenyap, karena ujung kebanggaan mereka akan
berakhir kepada neraka. Kecuali satu golongan, yang berada di atas
jalan terang benderang. Mereka bangga memegang teguh kebenaran tersebut,
kebenaran manhaj/jalan ahlus sunnah wal jama’ah. Sebagaimana sabda
Rasulullah tatkala ditanya siapa golongan yang akan masuk surga
tersebut, Beliau menjawab : “Al Jama’ah.”, dan dalam riwayat lain Beliau menjelaskan siapa itu ahlus sunnah wal jama’ah dengan sabdanya :
ما أنا عليه وأصحابي
“(Yaitu) golongan yang menempuh jalanku dan jalan para sahabatku.” (HR. At Tirmidzi 2641, Al Hakim 1/128-129, Ibnu Wadh-dhoh dalam Al Bida’ wan Nahyu ‘Anha 15-16, Al Ajurri dalam Asy Syari’ah 16. Dihasankan oleh Syaikh Salim Al Hilali dalam Al Bashoir hal. 74-75)
Ya,
ahlus sunnah wal jama’ah ialah golongan yang berpegang teguh dengan
manhaj Rasulullah dan para sahabat Beliau. Perlu diketahui, seluruh
golongan sesat yang ada, mereka mengatakan bahwa manhaj mereka
berlandaskan Al Qur’an dan As Sunnah. Akan tetapi mereka menyetir
dalil-dalil Al Qur’an dan As Sunnah sesuai hawa nafsu dan kepentingan
kelompok.
Adapun Ahlus sunnah wal jama’ah, dalam memahami Al
Qur’an dan As Sunnah, mereka merujuk kepada pemahaman para sahabat,
sebagaimana sabda Rasul di atas : “(Yaitu) golongan yang menempuh jalanku dan jalan para sahabatku.”
Itulah manhaj salaf, manhaj ahlus sunnah wal jama’ah, yang merupakan manhaj para sahabat, para salafush sholih (para
pendahulu yang sholih). Barangsiapa memegang teguh manhaj tersebut,
niscaya ia akan berjumpa dengan Rabbnya dalam keadaan ridho, Allah ridho
kepadanya dan ia ridho kepada Allah.
وَالسَّابِقُونَ الأوَّلُونَ
مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالأنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ
بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ
جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الأنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ذَلِكَ
الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
“Orang-orang yang terdahulu lagi yang
pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Ansar
dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridho kepada
mereka dan mereka pun ridho kepada Allah, dan Allah menyediakan bagi
mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka
kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.” (QS. At Taubah : 100)
Orang-orang
yang memegang teguh manhaj salaf, ialah mereka yang menjadikan
perikehidupan para salaf sebagai pedoman, baik dalam masalah aqidah
(keyakinan), amal, akhlak, serta sendi-sendi kehidupan lainnya.
Mereka
adalah orang-orang yang paling giat mencari ilmu dari sumbernya, yaitu
Al Qur’an dan As Sunnah sesuai yang dipahami para salaf. Sehingga
dengan itu, mereka menjadi orang-orang yang paing berilmu, paling
hikmah, selamat sampai tujuan, serta menebar kasih sayang kepada
seluruh alam,
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ
“Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (QS. Al Anbiyaa’ : 107)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah ketika menjelaskan siapa itu ahlus sunnah, beliau berkata :
هُمْ أَعْلَمُ بِالْحَق وَأرحم بِالْخَلْقِ
“Mereka adalah orang-orang yang paling tahu akan kebenaran lagi paling sayang terhadap makhluk.” (Minhajus Sunnah An Nabawiyah 5/158)
Berikut
ini merupakan di antara pokok dan ciri manhaj salaf ahlus sunnah wal
jama’ah, di mana itu semua merupakan wujud kasih sayang mereka terhadap
makhluk. Sebagian orang menganggap dakwah salaf sebagai dakwah
ekstrim, penuh kejahatan dan keburukan. Maka dari itu kami hadirkan
tulisan ini sebagai bukti kasih sayang manhaj salaf, bahwa manhaj salaf
bukanlah manhaj yang ekstrim, namun penuh ilmu, hikmah, dan kasih
sayang.
Pertama, Menyeru Kepada Tauhid dan Mencegah dari Syirik.
Salafiyyun
–orang-orang yang berpegang teguh dengan manhaj salaf- senantiasa
menyeru kepada tauhid[1] dan mencegah dari perbuatan syirik[2]. Inilah
salah satu bentuk kasih sayang terbesar mereka terhadap umat manusia.
Sebagaimana pula Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
diutus dalam rangka memberantas kesyirikan dan mendakwahkan ketauhidan,
Beliau mengeluarkan manusia dari gelapnya syirik menuju cahaya tauhid,
menggiring jiwa-jiwa yang hendak tergelincir ke lembah jurang
kebinasaan menuju kampung keselamatan. Allah befirman,
وَكُنْتُمْ عَلَى شَفَا حُفْرَةٍ مِنَ النَّارِ فَأَنْقَذَكُمْ مِنْهَا
“Dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu daripadanya.” (QS. Ali Imron : 103)
Dakwah
tauhid merupakan prioritas yang paling diutamakan dalam manhaj salaf,
karena merupakan dakwah yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahkan oleh semua rasul,
وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ
“Dan
sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk
menyerukan): ‘Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu’ .” (QS. An Nahl : 36)
Thaghut
merupakan segala yang disembah selain Allah. Syaikh Sholih Al Fauzan
berkata, “Seluruh apa yang disembah selain Allah –sedangkan dia ridho
untuk disembah- maka dia adalah thaghut.”
Kemudian
beliau menambahkan, “(Ayat di atas menunjukkan) bahwa dakwah kepada
tauhid serta mencegah dari perbuatan syirik merupakan prioritas utama
seluruh rasul dan para pengikut mereka.” (Al Mulakh-khosh fi Syarhi Kitabit Tauhid hal. 11)
Salafiyyun
tergerak rasa kasih sayang mereka di kala melihat fenomena umat
manusia yang bergelimang dengan kesyirikan. Mereka sadar betul bahwa
syirik merupakan dosa yang paling besar. Bila pelakunya mati sedangkan
ia belum betaubat dari kesyirikannya itu, maka tidak akan diampuni dosa
syiriknya, dan ia pun kekal di neraka selamanya,
إِنَّ اللَّهَ لا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ
“Sesungguhnya
Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala
dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya.” (QS. An Nisaa’ : 48)
إِنَّهُ
مَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ
وَمَأْوَاهُ النَّارُ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنْصَارٍ
“Sesungguhnya
orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah
mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada
bagi orang-orang lalim itu seorang penolong pun.” (QS. Al Maidah : 72)
Karena
itulah, para ulama’ ahlus sunnah pengibar panji tauhid bermunculan,
mereka bangkit berjuang mendakwahkan tauhid dan memberantas syirik.
Semisal Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab,
Syaikh Abdul Aziz bin Baz, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani,
Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin, dan lainnya.
Mereka
menyeru manusia agar memurnikan ibadah hanya kepada Allah serta
menjauhi kesyirikan. Mereka adalah imam-imam dakwah salafiyah, penerus
estafet perjuangan dakwah tauhid yang diemban oleh para rasul. Siang
dan malam mereka lalui demi tugas mulia ini, tidak bergeming sedikitpun
meski orang-orang jahil berusaha merintangi dakwah yang diberkahi ini,
يُرِيدُونَ لِيُطْفِئُوا نُورَ اللَّهِ بِأَفْوَاهِهِمْ وَاللَّهُ مُتِمُّ نُورِهِ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ
“Mereka
ingin hendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut
(ucapan-ucapan) mereka, dan Allah tetap menyempurnakan cahaya-Nya
meskipun orang-orang kafir benci.” (QS. Ash Shaff : 8)
Kedua, Menyeru Kepada Sunnah, Serta Melarang dari Bid’ah.
Salafiyyun
melarang dari perbuatan bid’ah, serta menyeru kepada sunnah yang
merupakan lawan dari bid’ah. Berkata Al Imam Asy Syathibi dalam
menjelaskan makna bid’ah, “Setiap amal ibadah yang tidak ada dasarnya
dari syari’at (Islam), maka ia dinamakan bid’ah.” (Al I’tishom hal. 27)[3]
Sedangkan sunnah, ia merupakan jalan yang telah ditempuh oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam beserta para sahabat beliau, jalan yang diterangi oleh lentera-lentera bashiroh (dalil yang nyata), sebagaimana firman Allah,
قُلْ هَذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللَّهِ عَلَى بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي
“Katakanlah:
‘Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku
mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujah yang nyata’ .” (QS. Yusuf : 108)
Orang-orang
yang berjalan di atas sunnah ini disebut ahlus sunnah wal jama’ah.
Mereka menapakinya dengan penuh keyakinan, karena mereka sedang
menempuh jalan yang diterangi oleh hujjah/dalil yang jelas.
Berkebalikan
dengan ahlul bid’ah, mereka ibarat orang buta, berjalan di malam gelap
gulita, di samping kanan dan kirinya terbentang jurang yang
membinasakan. Itu dikarenakan mereka menjalankan agama ini tanpa dalil,
sehingga amalan mereka tertolak, dan pada akhirnya mereka menghadap
Allah dengan tangan hampa. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa mengada-adakan hal baru dalam perkara kami ini (perkara agama)[4] maka ia tertolak.” (HR. Bukhori 2697, Muslim 1718)
Dalam riwayat Imam Muslim,
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa mengamalkan suatu amalan yang tidak ada perintahnya dari kami maka ia tertolak.”
Bukan
hanya itu, mereka akan menanggung beban dosa akibat kelancangan
mengada-adakan atau mengamalkan amalan yang tidak ada dasarnya, karena
pada hakekatnya mereka telah menuduh bahwa Rasulullah mengkhianati tugas
kerasulannya, yaitu tugas mengajarkan kepada umat semua amalan yang
dapat mendekatkan kepada surga dan menjauhkan dari neraka. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إنه لم يكن نبي قبلي إلا كان حقا عليه أن يدل أمته على خير ما يعلمه لهم، وينذرهم شر ما يعلمه لهم
“Sesungguhnya
tidak ada seorang Nabi pun sebelumku, melainkan wajib baginya untuk
menunjukkan kepada umatnya kebaikan yang ia ketahui untuk mereka, serta
memperingatkan mereka dari keburukan yang diketahui bagi mereka.” (HR. Muslim 1844)
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
مابقي شيء يقرب منْ الْجَنَّة ويباعد منْ النَّار إلا وقد بين لكم
“Tidak
tersisa suatu (amalan) pun yang dapat mendekatkan kepada surga dan
menjauhkan dari neraka, kecuali sudah dijelaskan semuanya kepada
kalian.” (HR. Thobroni dalam Al Mu’jamul Kabir 1647, dishohihkan oleh Syaikh Ali Hasan Al Halabi dalam Ilmu Ushulil Bida’ hal. 19)
Para ahlul bid’ah pada hakekatnya –sadar atau tidak sadar- telah menuduh bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak
mengajarkan amalan-amalan tersebut secara keseluruhan, dan mereka
beranggapan bahwa di sana masih banyak amalan-amalan yang beliau
sembunyikan. Alangkah kejinya tuduhan ini!
Imam Malik berkata,
“Barangsiapa membuat ajaran baru dalam agama Islam, kemudian ia anggap
sebagai bid’ah hasanah (bid’ah yang baik), maka ia telah menuduh bahwa
Muhammad (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) telah mengkhianati tugas kerasulan. Hal itu karena Allah berfirman,
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu.” (QS. Al Maidah : 3)
Maka
perkara apa pun yang bukan termasuk bagian dari agama pada hari
(diturunkannya ayat) ini, maka pada hari ini bukan termasuk bagian dari
agama pula.” (Al I’tishom hal. 37. Imam Asy Syathibi menukilnya dari Ibnu Majisyun yang mendengar langsung ucapan tersebut dari Imam Malik)
Salafiyyun
tidak sampai hati melihat saudaranya bergelimang dengan bid’ah, yang
kelak menghadap Rabbnya dengan tangan hampa bahkan memikul dosa besar.
Maka sebagai wujud kasih sayang, mereka menyeru kepada sunnah dan
melarang dari bid’ah.
Ketiga, Mengajak Kepada Persatuan dan Mencegah dari Perpecahan.
Telah
dijelaskan di muka bahwa perpecahan merupakan sunnatulloh yang sudah
pasti terjadi. Namun usaha untuk menghindari perpecahan serta mengajak
kepada persatuan merupakan sebuah keharusan dan kewajiban. Allah Ta’ala
berfirman ,
وَلا تَكُونُوا كَالَّذِينَ تَفَرَّقُوا وَاخْتَلَفُوا مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَهُمُ الْبَيِّنَاتُ وَأُولَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ
“Dan
janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan
berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka
itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat.” (QS. Ali Imron : 105)
Mu’tazilah
memiliki manhaj tersendiri, begitu pula dengan Syi’ah, Qodariyah,
Jahmiyah, Shufiyah, Khowarij, serta seluruh kelompok yang ada. Semuanya
memiliki manhaj tersendiri dan membanggakan manhajnya masing-masing.
Tatkala mereka ditanya, “Apa landasan manhaj kalian?”
Niscaya mereka akan menjawab, “Landasan manhaj kami adalah Al Qur’an dan As Sunnah/Al Hadits.”
Semua
kelompok akan mengatakan hal yang sama. Lalu, bagaimana bisa mereka
berpecah belah, padahal landasan mereka sama?? Jawabnya : Karena
tatkala berdalil dengan Al Qur’an dan As Sunnah, mereka memahami
keduanya dengan pemahaman mereka sendiri, akal mereka sendiri, hawa
nafsu mereka sendiri. Sehingga Al Qur’an dan As Sunnah yang sebenarnya
menunjukkan kepada kebenaran, mereka tafsirkan sekehendak hawa nafsu
agar dalil-dalil tersebut mendukung pemahaman mereka yang sesat.
Inilah
yang menjadi penyebab perpecahan, sebab pemahaman setiap orang itu
berbeda. Bila Al Qur’an dan As Sunnah dipahami menurut pemahaman
masing-masing orang, niscaya akan muncul bermacam tafsiran sebanyak
jumlah manusia di muka bumi ini, serta akan terjadi perpecahan sebanyak
itu pula.
Adapun Salafiyyun, maka mereka menawarkan kepada umat
satu-satunya jalan menuju persatuan, yaitu dengan cara mengajak umat
untuk memahami Al Qur’an dan As Sunnah sesuai yang dipahami oleh para
sahabat. Inilah yang diperintahkan oleh Rasulullah tatkala umat
menghadapi perpecahan dan perselisihan. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ
يَعِشْ مِنْكُمْ فَسيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا وَإِيَّاكُمْ
وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّهَا ضَلَالَةٌ فَمَنْ أَدْرَكَ ذَلِكَ
مِنْكُمْ فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ
عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ
“Siapa saja yang hidup
diantara kalian (setelahku), niscaya ia akan melihat perselisihan yang
banyak. Dan jauhilah perkara-perkara baru (bid’ah dalam agama), karena
ia adalah kesesatan. Jika kalian menjumpai hal itu (perselisihan dan
bid’ah), maka pegang teguhlah sunnahku serta sunnah para khulafa’ur
rasyidin, gigitlah sunnah tersebut dengan gigi geraham kalian.” (HR. Abu Daud 4607, At Tirmidzi 2676, Ibnu Majah 43&44. Dishohihkan oleh Syaikh Salim Al Hilali dalam Limadza Ikhtartu Al Manhaj As Salafi hal. 70)
Telah jelas dari hadits di atas, tatkala umat menghadapi perselisihan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak hanya menyuruh mereka untuk berpegang dengan sunnah Beliau saja, tetapi juga menyuruh untuk berpegang kepada sunnah para khulafa’ur rasyidin.
Yaitu dengan merujuk pemahaman Al Qur’an dan As Sunnah kepada
pemahaman mereka, juga pemahaman seluruh sahabat rasul, sebagaimana
sabda Beliau tatkala menjelaskan siapa itu ahlus sunnah wal jama’ah,
ما أنا عليه وأصحابي
“(Yaitu) golongan yang menempuh jalanku dan jalan para sahabatku.”[5]
Bila umat Islam mau berpegang dengan pemahaman para sahabat (salafush sholih), niscaya tidak akan ada lagi perselisihan kecuali hanya dalam masalah furu’ (cabang ilmu fiqih) yang tidak membahayakan persatuan umat.
Inilah
Salafiyyun, rasa kasih sayang membuat mereka bersemangat mempersatukan
umat di atas tali agama Allah, di atas aqidah dan manhaj yang benar,
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلا تَفَرَّقُوا
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai.” (QS. Ali Imron : 103)
Ya,
persatuan di atas agama yang lurus, bukan persatuan yang
dipaksa-paksakan antara kelompok-kelompok yang masih berseberangan
aqidah mereka, alias persatuan ala Yahudi, persatuan sebatas zhohirnya
saja, namun aqidah/keyakinan mereka bercerai-berai,
تَحْسَبُهُمْ جَمِيعًا وَقُلُوبُهُمْ شَتَّى
“Kamu kira mereka itu bersatu sedang hati mereka berpecah belah.” (QS. Al Hasyr : 14)
Bukan pula persatuan yang diusung oleh para penyampai hadits palsu,
اختلاف أمتي رحمة
“Perselisihan umatku adalah rahmat.”
Hadits ini laa ashla lahu (tidak
ada asal-usulnya), tidak ditemukan sanadnya sama sekali, bahkan sanad
yang palsu sekalipun. Bahkan bertentangan dengan banyak ayat dan hadits
yang memerintahkan kepada persatuan dan menjaui perselisihan.
Maka yang benar adalah : perselisihan umat merupakan sebuah adzab yang diakibatkan tidak maunya mereka merujuk kepada pemahaman salafush sholih dalam memahami Al Qur’an dan As Sunnah. Sehingga perpecahan tersebut melemahkan kekuatan mereka,
وَلا تَنَازَعُوا فَتَفْشَلُوا وَتَذْهَبَ رِيحُكُمْ
“Dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu.” (QS. Al Anfaal : 36)
Keempat, Dakwah Salafiyah Mengajak Kepada Kejayaan Islam
Allah Ta’ala berfirman,
وَعَدَ
اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ
لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الأرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِنْ
قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَى لَهُمْ
وَلَيُبَدِّلَنَّهُمْ مِنْ بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا يَعْبُدُونَنِي لا
يُشْرِكُونَ بِي شَيْئًا
“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh
bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi,
sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka
berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah
diridai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan)
mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apa pun dengan Aku.” (QS. An Nuur : 55)
Dalam ayat ini dijelaskan, bahwa kekuasaan Islam (khilafah Islamiyah) akan tegak di muka bumi bila umat Islam mau memperbaiki iman dan amal sholih, serta menegakkan tauhid dan menjauhi kesyirikan.
Perbaikan iman
tidak akan tegak kecuali dengan meluruskan aqidah, yaitu dengan cara
merujuk pemahaman Al Qur’an dan As Sunnah sesuai pemahaman salafush sholih, karena aqidah para salaf merupakan aqidah yang lurus, murni, belum tercampur dengan noda-noda penyimpangan. Perbaikan amal sholih
tidak akan terwujud kecuali dengan mengajak manusia kepada sunnah dan
menjauhi bid’ah, karena suatu amalan tidak dapat dikatakan “sholih”
kecuali bila dilandasi dengan dalil yang jelas, dan bila suatu amalan
tidak dilandasi dengan dalil maka itu bukanlah amal sholih melainkan
amal bid’ah. Kemudian penegakan tauhid dan pemberantasan syirik tidak akan terwujud kecuali dengan cara mendakwahkannya.
Dan perbaikan iman yang merujuk kepada pemahaman salaf, perbaikan amal sholih dengan merujuk kepada sunnah, serta penegakan tauhid dengan mendakwahkannya, ketiganya merupakan pokok-pokok manhaj salaf sebagaimana telah diterangkan pada bab-bab sebelumnya.
Maka
dari sini telah jelas, dakwah salafiyah merupakan satu-satunya jalan
menuju kejayaan umat Islam. Ini merupakan bentuk kasih sayang manhaj
salaf kepada umat, yang mengajak mereka menuju kejayaan setelah sekian
lama terpuruk dan dihinakan oleh musuh-musuhnya.
Penulis: Ustadz Muhammad bin Badr Al Umari
Kata Pengantar: Ustadz Arif Fathul Ulum (Pengasuh Majalah Al Furqon Gresik)
Artikel www.muslim.or.id
[1] Tauhid : meng-esakan Allah dalam rububiyah (perbuatan Allah), uluhiyah (ibadah kepada Allah), serta asma’ wa sifat (nama dan sifat Allah)
[2] Syirik : menyekutukan atau membuat tandingan bagi Allah baik dalam hal rububiyah, uluhiyah, atau asma’ wa sifat.
[3] Kami pilihkan pengertian yang lebih ringkas agar lebih mudah dipahami, wallahu a’lam.
[4]
Ditegaskan oleh Nabi bahwa bid’ah yang dilarang hanyalah bid’ah dalam
masalah agama. Adapun bid’ah dalam masalah dunia seperti pembuatan
pesawat, mobil, senjata canggih, serta perkembangan teknologi lainnya,
maka bukanlah bid’ah yang terlarang, selama tidak digunakan untuk
hal-hal yang diharamkan.
[5] Takhrij hadits ini telah disebutkan di muka.
Kelima, Kasih Sayang dalam Amar Ma’ruf Nahi Mungkar.
Allah Ta’ala berfirman,
كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ
“Kamu
adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh
kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada
Allah.” (QS. Ali Imron : 110)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
berkata, “Amar ma’ruf (mengajak kepada yang ma’ruf) dan nahi mungkar
(mencegah dari kemungkaran) merupakan sebab Allah menurunkan
kitab-kitabNya dan mengutus para rasul-Nya. Dan dia (amar ma’ruf nahi
mungkar) merupakan bagian dari agama.” (Al Amru bil Ma’ruf wan Nahyu ‘anil Mungkar hal. 9. Sebagaimana dalam Haqiqotul Amri bil Ma’ruf wan Nahyi ‘anil Mungkar, Syaikh Dr. Hamd Al ‘Ammar hal. 34-35)
Amar
ma’ruf nahi mungkar termasuk asas terpenting dalam Islam karena
hakekat Islam adalah melaksanakan kema’rufan (kebaikan) dan meninggalkan
kemungkaran, dan itu semua tidak akan tegak bila tidak ada yang
memerintahkan kepada yang ma’ruf dan melarang dari kemungkaran.
Bila
tidak ada amar ma’ruf, manusia akan meninggalkan kewajiban agama yang
dibebankan kepada mereka. Bila tidak ada nahi mungkar, mereka akan
bebas berbuat kemungkaran, baik kesyirikan , kebid’ahan, maupun
kemaksiatan, sebab tidak ada yang melarang mereka.
Maka kami
wasiatkan kepada setiap orang yang masih memiliki semangat menjalankan
agamanya, hendaknya mereka memperhatikan asas ini serta menerapkannya,
tentu diharuskan berbekal ilmu syar’i terlebih dahulu. Hendaknya kita
tidak hanya beramar ma’ruf saja, namun kemudian meninggalkan nahi
mungkar dengan alasan yang dibuat-buat, semisal takut akan membuat umat
lari, perpecahan, pertikaian, dan sebagainya.
Hendaknya pula
berbekal dengan ilmu syar’i sebelum melakukannya. Janganlah seperti
orang yang tidak tahu jalan tetapi memberanikan diri menunjukkan jalan
kepada orang lain, sehingga menyesatkannya. Tidak mungkin orang yang
tidak tahu dapat memberi tahu orang lain.
Inilah kasih sayang
manhaj salaf, mereka menunjukkan umat kepada kebaikan, mencegah dari
kemungkaran, dan itu semua dilandasi dengan ilmu. Mereka tidak rela
melihat saudara mereka terjerumus ke dalam kebinasaan,
ما من رجلٍ يكون في قومٍ يعمل فيهم بالمعاصي يقدرون على أن يغيروا عليه فلا يغيروا إلا أصابهم اللّه بعذابٍ من قبل أن يموتوا
“Tidaklah
seseorang berada di tengah kaum yang melakukan kemaksiatan, di mana
mereka mampu untuk merubah kemaksiatan tersebut, namun tidak mau
merubahnya, kecuali pasti Allah akan menimpakan adzab kepada mereka
sebelum mereka mati.” (HR. Abu Daud, kitab Al Malahim. Dishohihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shohih Sunan Abu Daud 3/819 no. 4339)
Keenam, Kasih Sayang Mereka Terhadap Ahlu Bid’ah.
Sebagian
kalangan menganggap bahwa bantahan dan nasehat salafiyyun kepada para
pelaku kebid’ahan dan kesesatan merupakan bentuk kekerasan, kebiadaban,
serta merasa paling benar sendiri.
Padahal demi Allah tidaklah
demikian. Bantahan mereka terhadap ahlul bid’ah merupakan wujud kasih
sayang, dengan beberapa alasan :
- Agar mereka mau bertaubat, sehingga tidak mati dalam keadaan membawa dosa bid’ah yang membinasakan.
- Agar manusia mengetahui kebid’ahan mereka dan menjauhinya, sehingga jumlah orang yang mengikuti mereka di dalam kesesatan dapat terminimalisir. Karena bila tidak, maka akan bertambah banyak dosa mereka. Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Barangsiapa yang menyeru kepada kesesatan, maka ia memikul dosa semisal dosa orang-orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi dosa mereka sedikitpun.” (HR. Muslim 2674, Abu Daud 4609, At Tirmidzi 2676, Ibnu Majah 206)
Bahkan di dalam bantahan ahlus sunnah terhadap ahlul bid’ah sebenarnya terdapat kasih sayang terhadap seluruh kaum muslimin, agar mereka tidak mengikuti ahlul bid’ah dalam kesesatan. (Kasyfusy Syubuhat Al ‘Ashriyah hal. 102-103, dengan perubahan)
Ketujuh, Kasih Sayang Mereka Terhadap Waliyyul Amr.
Wujud kasih sayang salafiyyun kepada waliyyul amr (penguasa atau pemerintah) adalah ketaatan mereka terhadap penguasa, baik ia seorang yang adil maupun lalim, serta mendo’akan kebaikan bagi mereka.
Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الأمْرِ مِنْكُمْ
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu.” (QS. An Nisaa’ : 59)
Imam Ahmad berkata, “(Diantara pokok-pokok sunnah ialah) mendengar dan taat kepada para pemimpin dan amirul mukminin baik ia seorang yang baik maupun lalim.” (Ushulus Sunnah hal. 64)
Berkata Imam Abu Utsman Ash Shobuni, “Ahlussunnah menganjurkan untuk mendoakan penguasa agar mereka mampu melakukan perbaikan, mendapatkan taufiq dari Allah, kesholihan, serta menebarkan keadilan kepada rakyat.” (Aqidah As Salaf Ash-habul Hadits hal. 106)
Mereka tidak mencabut ketaatan terhadap penguasa meskipun ia seorang yang lalim, karena seratus tahun dipimpin oleh penguasa yang lalim lebih baik daripada satu hari tanpa penguasa. Bila tidak ada penguasa, manusia akan berbuat seenaknya, saling menjatuhkan satu sama lain, saling memakan harta satu sama lain secara zholim, saling membunuh, saling berebut kekuasaan. Maka kerusakan yang diakibatkan sehari tanpa pemimpin, itu lebih parah daripada kerusakan yang diakibatkan seratus tahun dipimpin oleh seorang yang lalim.
Mereka tidak mencabut ketaatan selama pemimpin masih menegakkan sholat. Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
)يكون أمراء تشمئز منهم القلوب وتقشعر منهم الجلود (فقال رجل : أفلا نقاتلهُمْ؟ قال) : لا ما أَقَاموا الصَّلاةَ(
“Akan ada para pemimpin yang membuat hati takut, membuat bulu kulit merinding[1].” Seseorang bertanya,”Apakah kami boleh memerangi mereka?” Beliau menjawab : “Tidak boleh, selama mereka masih menegakkan sholat.” (HR. Ibnu Abi ‘Ashim dalam As Sunnah 1077. Dishohihkan oleh Syaikh Al Albani tatkala mengomentari hadits tersebut)
Mereka tidak mencabut ketaatan kecuali bila melihat kekufuran yang jelas dari pemimpin, serta memiliki kemampuan untuk mencabut kekuasaan. Ubadah bin Shomit mengatakan,
دعانا رسول الله صلى الله عليه وسلم فبايعناه. فكان فيما أخذ علينا، أن بايعنا على السمع والطاعة، في منشطنا ومكرهنا، وعسرنا ويسرنا، وأثرة علينا. وأن لا ننازع الأمر أهله. قال (إلا أن تروا كفرا بواحا عندكم من الله فيه برهان)
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyeru kami, kemudian kami membaiat (mengucapkan janji setia) kepada beliau. Di antara isi baiat yang Beliau perintahkan kepada kami ialah : ‘Kami berbaiat untuk mendengar dan taat (kepada pemimpin), baik di saat susah maupun senang, di saat sempit maupun lapang, meskipun pemimpin menahan hak kami[2]. Dan kami tidak boleh menggugat kekuasaan (berontak), Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,” kecuali bila kalian melihat kekufuran yang jelas, dimana kalian memiliki bukti yang nyata di sisi Allah”.” (HR. Bukhori Kitabul Fitan/6 no. 6647, Muslim Kitabul Imaroh/42 no. 1709)
Bila melihat kekufuran yang jelas pada diri penguasa, namun tidak memiliki kemampuan untuk mencabut kekuasaan, maka tidak boleh memberontak, terlebih lagi bila dengan pemberontakan itu malah mengakibatkan kerusakan yang lebih besar. Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin berkata, “Akan tetapi dengan syarat kita harus memiliki kemampuan. Bila kita tidak memiliki kemampuan, maka tidak boleh memberontak.” (Syarh Riyadhush Sholihin 4/515)
Ahlus sunnah juga memandang diharamkannya mengumbar kesalahan pemimpin di depan umum, baik di atas mimbar, podium, media massa, terlebih lagi dengan demonstrasi, karena hal itu akan menyebabkan tidak dihargai dan ditaatinya pemimpin. Bila pemimpin sudah tidak dihargai dan ditaati, maka kerusakan yang terjadi tidak dapat dibayangkan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
من أهان سلطان الله في الدُّنْيَا أهانه الله يَوْم الْقِيَامَةِ
“Barangsiapa menghinakan pemimpin yang Allah pilih di dunia, maka Allah akan membuat dia terhina pada hari kiamat.” (HR. At Tirmidzi Al Fitan no. 2325, Ahmad 5/42,49. Dishohihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Silsilah Ash Shohihah no. 2297)
Bila pemimpin memerintahkan kemaksiatan, maka tidak boleh ditaati dalam hal ini, karena tidak diperbolehkan ketaatan dalam hal maksiat. Namun tetap tidak boleh menggugat kekuasaan kecuali bila melihat kekufuran yang jelas, sebagaimana diterangkan pada hadits di muka. Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
فإذا أمر بمعصية فلا سمع ولا طاعة
“Bila (seorang muslim) diperintahkan untuk melakukan kemaksiatan, maka tidak boleh mendengar dan taat.” (HR. Bukhori Kitabul Ahkam 6725, Muslim Kitabul Imaroh 1839)
Kedelapan, Tidak Serampangan dalam Menuduh Orang Lain dengan Kekafiran.
Diantara kasih sayang manhaj salaf ialah kehati-hatian mereka dalam menuduh orang lain dengan tuduhan “kafir”. Mereka tidak tergesa-gesa menvonis orang yang berbuat kekufuran dengan vonis “kamu telah kafir” sebelum terpenuhi syarat-syarat serta hilangnya penghalang-penghalang vonis tersebut. Mereka takut kepada ancaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
لا يرمي رجل رجلاً بالفسوق، ولا يرميه بالكفر، إلا ارتدت عليه، إن لم يكن صاحبه كذلك
“Tidaklah seseorang menuduh saudaranya dengan tuduhan ‘fasik’ atau ‘kafir’, kecuali tuduhan itu akan kembali kepadanya bila saudaranya tidak seperti yang ia tuduhkan.” (HR. Bukhori Kitabul Adab bab 44 no. 5698, Ahmad 5/181)
Para ulama’ salaf sangat berhati-hati dalam masalah ini. Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab berkata tatkala membantah tuduhan dusta bahwa beliau mudah mengkafirkan, serta tuduhan bahwa beliau mengkafirkan orang yang tidak mau bergabung dan berperang bersama beliau, dengan perkataanya, “Bila kami tidak mengkafirkan para penyembah berhala yang ada di kuburan Abdul Qodir, Ahmad Badawi, dan yang semisalnya, dikarenakan kebodohan mereka dan tidak adanya orang yang menegur mereka; maka bagaimana mungkin kami mengkafirkan orang yang tidak berbuat syirik kepada Allah hanya karena ia tidak mau ikut-ikut mengkafirkan dan berperang (bersama kami)??! Maha Suci Engkau ya Allah, ini adalah kedustaan yang keji.” (Ad Duror As Saniyah 1/104)
Ahlus sunnah meyakini bahwa hanya para ulama’-lah yang berhak dalam urusan mengkafirkan seorang muslim yang melakukan kufur akbar (besar). Hal ini ditinjau dari beberapa sisi :
Pertama, dalam masalah kufur dan iman, pembahasannya adalah mengenai ada dan tidaknya ashlul iman (pokok penentu ada tidaknya iman itu sendiri), dan masalah keimanan ini adalah masalah ushul. Sedangkan dalam masalah halal dan haram, pembahasannya adalah mengenai cabang-cabang dan bagian-bagian iman, serta ibadah-ibadah yang dihukumi sah tidaknya dengan acuan ada tidaknya ashlul iman, dan ini merupakan masalah furu’ (cabang). Apabila dalam masalah furu’ yang berhak terjun (ijtihad) di dalamnya hanyalah para ulama’, maka bagaimana lagi dalam masalah ushul? Tentu hanya mereka yang berhak.
Kedua, Pengkafiran seorang muslim menghantarkan kepada perkara-perkara besar dalam masalah hukum, seperti keyakinan bahwa orang yang divonis kafir tersebut telah murtad (keluar dari islam), wajibnya dia untuk dibunuh, jatuhnya hak kewaliannya, haramnya untuk menikah dengannya dan memakan sembelihannya, larangan untuk waris-mewarisi, larangan mensholati jenazahnya, larangan mendo’akan rahmat dan ampunan untuknya, serta anggapan bahwa bila ia mati –dalam keadaan belum bertaubat- maka Allah tidak akan mengampuninya dan ia kekal selamanya di neraka, tidak bermanfaat baginya do’a dan syafa’at. Maka kesalahan dalam masalah pengkafiran akibatnya lebih berbahaya daripada kesalahan dalam masalah furu’ lainnya, serta akan mengakibatkan mafsadah-mafsadah yang sangat banyak. Karena itulah, lebih berhak untuk kita katakan bahwa masalah pengkafiran hanyalah para ulama’ yang berhak terjun di dalamnya.
Ketiga, Masalah pengkafiran termasuk masalah besar yang rumit bagi kebanyakan manusia, bahkan bagi sebagian ulama’. Ini disebabkan karena sebagian mereka salah dengan tidak membedakan antara pengkafiran secara mutlak dan secara ta’yin (kepada orang tertentu). Serta sebab-sebab lain yang sangat rumit dalam masalah ini (At Takfir wa Dhowabithuhu hal. 300-301 –dengan sedikit perubahan)
Keempat, Dalam masalah pengkafiran, harus diketahui terlebih dahulu apakah perbuatan yang dilakukan oleh seorang muslim tersebut termasuk kufur akbar (besar) yang dapat mengeluarkannya dari Islam ataukah tidak. Dan masalah ini tidak diketahui pula oleh kebanyakan manusia.
Kelima, Harus diketahui syarat-syarat yang harus dipenuhi serta hilangnya penghalang-penghalang dalam masalah pengkafiran. Sedangkan pada setiap orang, bisa jadi penghalangnya berbeda-beda, dan ini merupakan masalah yang sangat rumit dimana hanya para ulma’-lah yang berhak berijtihad di dalamnya. (Tahdzib Tas-hil al Aqidah al Islamiyah hal. 103 –dengan sedikit perubahan)
Kesimpulannya, masalah mengkafirkan seorang muslim pelaku kufur akbar adalah masalah besar yang tidak boleh terjun di dalamnya kecuai para ulama’ yang telah kokoh ilmunya.
Kesembilan, Kasih Sayang Mereka Terhadap Para Sahabat.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Dan di antara pokok ahlus sunnah wal jama’ah ialah selamatnya hati dan lisan mereka dari (menjelekkan) para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam , sebagaimana Allah mensifati mereka (ahlus sunnah) dalam firmannya,
وَالَّذِينَ جَاءُوا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلإخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالإيمَانِ وَلا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلا لِلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ
“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Ansar), mereka berdoa: ‘Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang’.” (QS. Al Hasyr : 10)
Dan mereka mentaati sabda Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam,
لا تسبوا أصحابي. لا تسبوا أصحابي. فوالذي نفسي بيده! لو أن أحدكم أنفق مثل أحد ذهبا، ما أدرك مد أحدهم، ولا نصيفه
“Janganlah kalian mencela sahabatku, janganlah kalian mencela sahabatku. Demi Dzat Yang jiwaku ada ditangan-Nya! Seandainya salah seorang dari kalian berinfaq sebesar Gunung Uhud berupa emas, maka tidak akan dapat menyamai infaq satu atau setengah mud[3] dari mereka.”[4] (Al ‘Aqidah Al Wasithiyah hal. 32)
Kesepuluh, Kasih Sayang Mereka Kepada Ahlu Bait.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Dan mereka (ahlus sunnah) mencintai ahlul bait (keluarga dan keturunan) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam , mengasihi mereka, serta menjaga wasiat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang memerintahkan untuk berbuat baik kepada mereka, dimana Beliau bersabda pada hari Ghodir Khum[5] :
أذكركم الله في أهل بيتي
“Aku ingatkan kalian akan perintah Allah untuk berbuat baik terhadap ahlu bait-ku.”[6] (Al Aqidah Al Wasithiyah hal. 34)
Beliau menambahkan, “Dan mereka (ahlus sunnah) mencintai istri-istri Rasulullah, yaitu para ibunda kaum yang beriman. Dan ahlus sunnah meyakini bahwa mereka adalah para istri Rasulullah di akherat kelak.” (Al Aqidah Al Wasithiyah hal. 34)
Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin berkata,“Di antara pokok-pokok (aqidah) ahlus sunnah wal jama’ah ialah mereka mencintai ahlul bait Rasulullah, cinta karena dua hal : keimanan (ahlul bait)[7] dan kekerabatan mereka dengan Rasulullah. Ahlus sunnah tidak membenci mereka selamanya.” (Syarh Al’Aqidah Al Wasithiyyah hal.608)
Kesebelas, Kasih Sayang Mereka Kepada Para Ulama’ Ahlus Sunnah.
Salafiyyun mencintai para ulama’ ahlus sunnah baik dari kalangan pendahulu maupun belakangan. Mereka mengamalkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
ليس منا من لم يجل كبيرنا ويرحم صغيرنا ويعرف لعالمنا حقه
“Bukan termasuk golongan kami orang yang tidak memuliakan orang tua kalangan kami (Islam), tidak menyayangi anak kecil, serta tidak mengetahui hak-hak ulama’ kami (Islam).” (HR. Ahmad dan selainnya. Dihasankan oleh Al Mundziri, juga Al Albani dalam Shohih At Targhib wat Tarhib 95)
Imam Ath Thohawi berkata, “Dan para ulama’ salaf dari kalangan terdahulu, dan orang-orang setelah mereka yang mengikuti mereka dengan baik –yaitu ahlul khoir dan atsar, ahli fiqih dan nazhor- maka mereka semua tidak boleh disebut kecuali dengan pujian. Barangsiapa yang menyebut mereka dengan kejelekan, maka ia tidak berada di atas jalan yang lurus.” (Al Aqidah Ath Thohawiyah hal. 30)
Keduabelas, Kasih Sayang Mereka Terhadap Manusia Secara Umum.
Mereka menyeru manusia kepada kebaikan dan melarang dari kejelekan, menunjukkan kepada mereka agama yang lurus, menjelaskan jalan-jalan kebatilan agar manusia menghindar dan waspada. Itu semua diiringi dengan cara yang baik lagi lemah lembut. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إن الرفق لا يكون في شيء إلا زانه. ولا ينزع من شيء إلا شانه
“Sesungguhnya tidaklah kelembutan berada pada sesuatu kecuali akan menghiasinya. Dan tidaklah ia dicabut dari sesuatu kecuali akan merusaknya.” (HR. Muslim 2594)
Meskipun terkadang sikap keras dalam mengingkari kemungkaran itu perlu, setelah menimbang antara mashlahat dan madhorot yang ada. Rasulullah pun pernah bersikap keras tatkala melihat seorang sahabatnya (laki-laki) yang memakai cincin emas, Beliau melepas cincin tersebut dan membuangnya[8]. Dan masih banyak lagi hadits yang menunjukkan hal itu. Namun yang perlu diingat, sikap dakwah secara asal adalah dengan lemah lembut, dan semua harus dilandasi dengan pertimbangan antara mashlahat dan madhorot yang matang.
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, “Ahlus sunnah ialah orang-orang yang paling tahu akan kebenaran lagi paling sayang terhadap makhluk.” (Minhajus Sunnah 5/158)
Syaikh Al Albani berkata, “Orang yang paling berhak kita gunakan sikap hikmah ini kepadanya adalah orang yang paling keras permusuhannya terhadap kita, baik pada dasar-dasar (dakwah) kita ataupun menyelisihi aqidah kita. Sehingga kita tidak menggabungkan beratnya dakwah yang benar –yang telah Allah karuniakan kepada kita- dengan beratnya metode yang buruk dalam berdakwah kepada Allah. Oleh karenanya saya mengharap kepada semua ikhwah di seluruh negeri Islam agar mereka beradab dengan adab-adab Islami ini, kemudian mereka mengharapkan wajah Allah tatkala mengamalkan adab-adab ini, tidak mengharap balas jasa atau ucapan terima kasih.” (Lerai Pertikaian Sudahi Permusuhan, hal. 260-261)
Inilah di antara pokok dan ciri manhaj salaf yang dapat kami kumpulkan. Sebagai penutup, kami nukilkan ucapan emas Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, “Tidak ada cela bagi orang yang menampakkan madzhab salaf, mengikuti dan menisbatkan diri kepada madzhab salaf tersebut. Bahkan wajib menerima hal itu darinya. Karena sesungguhnya madzhab salaf tidaklah ia kecuali kebenaran.” (Majmu’ Al Fatawa 4/149)
Semoga Allah menjadikan kita semua orang-orang yang bangga dengan manhaj salaf, serta menjadikan kita pengikut para salafush sholih yang sebenarnya. Amin…
– Selesai -
Penulis: Ustadz Muhammad bin Badr Al Umari
Kata Pengantar: Ustadz Arif Fathul Ulum (Pengasuh Majalah Al Furqon Gresik)
Artikel www.muslim.or.id
Maroji’ :
- Al Qur’anul Karim
- Kitab-kitab hadits : Shohih Bukhori, Shohih Muslim, Sunan Abu Daud, Sunan At Tirmidzi, Sunan Ibnu majah, Sunan An Nasa’i, Musnad Ahmad, dan lainnya.
- ‘Aqidah As Salaf Ash-habul Hadits, Imam Abu Utsman Ash Shobuni (wafat 449H). Tahqiq : Syaikh Badr bin Abdillah Al Badr. Maktabah Al Ghuroba’ Al Atsariyah, Madinah An Nabawiyah.
- Al ‘Aqidah Al Wasithiyah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (wafat 721H), Cet. 1 Dar Ibnul Atsir, Riyadh, KSA.
- Al ‘Aqidah Ath Thohawiyah, Imam Abu Ja’far Ath Thohawi (wafat 321H), Cet. 1 Muassasah Ar Resalah, Beirut, Lebanon.
- Al I’tishom, Imam Asy Syathibi, Darul Kutub, Beirut, Lebanon.
- Al Mulakh-khosh fi Syarhi Kitabit Tauhid, Syaikh Dr. Sholih bin Fauzan Al Fauzan, Darul ‘Ashimah.
- Al Wajiz fi ‘Aqidatis Salafish Sholih, Syaikh Abdullah bin Abdul Hamid Al Atsari, Cet. 2, Dar Ar Royah, Riyadh, KSA.
- At Takfir wa Dhowabithuhu, Syaikh Prof. Dr. Ibrohim bin ‘Amir ar Ruhaili. Cet 2, 1428 H, Darul Imam Ahmad, Kairo.
11. Haqiqoh Al Amri bil Ma’ruf wan Nahyi ‘anil Mungkar, Syaikh Dr. Hamd bin Nashir Al ‘Ammar, Dar Isybiliya.
12. Ilmu Ushulil Bida’, Syaikh Ali bin Hasan Al Halabi, Cet. 2, Dar Royah, Riyadh, KSA.
13. Kasyfusy Syubuhat Al ‘Ashriyyah ‘anid Da’wah Al Ishlahiyyah As Salafiyyah, Syaikh Abdul Aziz bin Royyis Ar Royyis, Cet. 1, Darul Imam Ahmad, Kairo.
14. Kun Salafiyyan ‘alal Jaadah, Syaikh Dr. Abdus Salam bin Salim As Suhaimi, Cet. 1 Darul Minhaj, Kairo.
15. Lammud Durril Mantsur, Syaikh Abu Abdillah Jamal Al Haritsi, Cet. 1, Darus Salaf, Riyadh, KSA.
16. Lerai Pertikaian Sudahi Permusuhan, Abu Abdil Muhsin Firanda ibnu Abidin. Pustaka Cahaya Islam, Bogor, Indonesia.
17. Limadza Ikhtartu Al Manhaj As Salafi, Syaikh Salim bin Ied Al Hilali, Cet. 1, Markaz Ad Dirosat Al Manhajiyah As Salafiyah.
18. Nashihatun lisy Syabab, Syaikh Prof. Dr. Ibrohim bin ‘Amir Ar Ruhaili.
19. Syarh Al’Aqidah Al Wasithiyyah (Majmu’ Fatawa wa Rosa’il). Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin. Cet. 2 Dar Ats Tsurayya, Riyadh, KSA.
20. Syarh Riyadhush Sholihin, Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin, Cet. 1, Darul Wathon, KSA.
21. Syarhul ‘Aqidah Al Wasithiyyah, Syaikh Dr. Sholih bin Fauzan Al Fauzan, Cet. Th. 1418 H, Jami’ah Imam Muhammad bin Su’ud Al Islamiyah, KSA.
22. Syarhul Arba’in An Nawawi, Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin, Darul ‘Aqidah, Kairo.
23. Tahdzib Tas-hil al Aqidah al Islamiyah, Syaikh Prof. Dr. Abdulloh bin Abdul Aziz al Jibrin. Cet 1, 1425 H.
24. Taisirul Karimir Rohman (Tafsir As Sa’di), Syaikh Abdur Rohman bin Nashir As Sa’di, Cet. 1, Dar Ibnu Hazm, Beirut, Lebanon.
25. Ushulus Sunnah, Imam Ahmad bin Hanbal. Syarah dan tahqiq : Syaikh Al Walid Saifun Nashr. Cet. 1, Maktabah Ibnu Taimiyah, Kairo.
[1] Maksudnya : dikarenakan kezholiman mereka.
[2] Al Atsaroh maknanya adalah sikap pemimpin yang memberikan hak hanya kepada sebagian pihak, namun melupakan pihak lain.
[3] Mud : takaran seukuran dua telapak tangan orang Arab yang disatukan.
[4] HR. Bukhori 3362, Muslim 2541.
[5] Ghodir Khum : Sebuah tempat kumpulan air yang Rasulullah singgahi sepulang dari Haji Wada’. Di tempat tersebut Beliau berkhutbah di hadapan para sahabat, di antara isinya adalah hadits di atas.
[6] HR. Muslim no. 2408.
0 komentar:
Posting Komentar