Membahas Hizbut Tahrir haruslah mengetahui tentang Mu’tazilah. Hal ini penting karena firqoh ini tidak segan-segan untuk berdusta dan berlaku keji dengan menisbatkan diri bahwa manhaj yang mereka tempuh adalah manhaj jumhur ahlul ilmi sebagaimana perkataannya: “Jumhur kaum muslimin baik dari kalangan sahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’in, serta ulama-ulama setelah mereka baik dari kalangan muhadditsin, fuqaha serta ulama ushul sepakat bahwa hadits ahad hanya menghasilkan dzan (dugaan) saja, tidak menghasilkan keyakinan”. (Syamsudin Ramadhan, Absahkah? Berdalil dengan Hadits Ahad dalam Masalah Aqidah dan Siksa Kubur, hal …., 2001).
Padahal
kenyataannya, pernyataan para Imam justru sebaliknya. Azas yang paling
menonjol dari Mu’tazilah yaitu dalam memahami dan melaksanakan Islam
mereka menjadikan akal sebagai hakim/tolak ukur kebenaran. Kedua (akibat
dari prinsip pertama tersebut) adalah menolak hadits ahad (menurut akal
filsafat Mu’tazilah) tidak bisa memberikan faedah apa-apa kecuali dzan
(dugaan) belaka. Sementara Hizbut Tahrir menyatakan bahwa: “Hadits ahad
tidak bisa memberikan faedah ilmu dan yakin, hal ini telah disepakati
oleh orang-orang yang berakal” (Syamsudin dalam Masalah Aqidah dan
Sikqsa Kubur, hal , 2001).
Sedangkan
iman yang dibangun di atas dzan adalah kekufuran (naudzubillah)!
Berikut ucapan Abdurarahman Al Baghdadi (gembong Hizbut Tahrir di
Bogor): “Sesungguhnya mengambil khabar ahad dalam masalah aqidah sama
artinya telah mengambil dzan dan telah memperturutkan hawa nafsu.
Tentunya, hal semacam ini adalah perbuatan haram. Mengambil khabar ahad
dalam masalah aqidah sama artinya dengan membangun aqidah di atas szan.
Iman yang dibangun di atas dzan tentu di dalamnya akan dipenuhi oleh
keraguan dan kontradiksi. Padahal ini adalah sebuah kekufuran..”
“Akhir
kata, kegigihan untuk tetap mengambil khabar ahad dalam masalah aqidah,
serta terus komitmen pada pendapat tersebut merupakan sikap kepala
batu”. (Syamsudin Ramadhan, Absahkah? Berdalil dengan Hadits Ahad dalam
Masalah Aqidah dan Siksa Kubur, hal 2001)
Ucapan
Abdurrahman yang keji di atas mengandung takfir (pengkafiran) terhadap
Salafush Shalih dan kaum muslimin Ahlus Sunnah wa Jamaah. Lihat betapa
jahatnya penentangan dan permusuhan Hizbut Tahrir terhadap manhaj
Salafus Shalih yang menyatakan wajibnya mengimani dan membenarkan
hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang perawinya
terpercaya dan sampai kepada kita dengan sanad shahih, baik itu berupa
hadits ahad maupun mutawatir. Jadi dasar pijakan kaum Mu’tazilah yang
telah menyimpang dari pemahaman Salafush Shalih. Maka janganlah tertipu
dengan pengakuan-pengakuan mereka yang dusta. Mu’tazilah nenek moyang
dan pendahulu mereka.
Para
Ulama Ahlus Sunnah baik yang dahulu maupun pada masa sekarang telah
banyak menulis kitab yang memperingatkan kesesatan pemahaman Mu’tazilah
dengan dalil-dalil dan keterangan-keterangan tentang wajibnya berpegang
dengan hadits ahad (yang shahih) baik dalam masalah hokum maupun aqidah.
Salah satu dalil yang dibawakan oleh Syaikh Albani adalah hadits yang
diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim dengan sanand shahih oleh
Anas bin Malik bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika
mengutus Muadz ke negeri Yaman, beliau bersabda kepadanya: “Jadikanlah
yang pertama engkau dakwahkan kepada mereka adalah Syahadat Laa ilaaha
ilallah (tidak ada yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Allah)”.
Siapakah
muslim yang ragu bahwa Syahadat ini merupakan azaz/pokok Islam yang
pertama kali? Artinya sebagai aqidah pertama yang diatasnya dibangun
keimanan kepada Allah, Malaikat-malaikat Nya, Kitab-kitab Nya, dan
Rasul-rasul Nya? Sesungguhnya Muadz telah pergi sendirian saja sebagai
penyampai dan juru dakwah yang menyeru kaum musyrikin agar me reka
beriman kepada Dinul Islam.
Maka datanglah kaum filsafat ini dengan bukunya yang penuh kedustaan dan pengkafiran terhadap Ahlus Sunnah yang berjudul Absahkah ? Berdalil dengan Hadits Ahad Dalam Masalah Aqidah dan Siksa Kubur,
(berapa banyak pemuda yang tertipu dengan buku ini) untuk membantah
syaikh Albani (menurut dzan mereka). Mereka dating membawa kilahnya
orang yang sedang kebingungan dengan perkataannya: “Hal-hal di atas
sama sekali tidak menunjukkan bolehnya mengambil khabar ahad untuk
membangun pokok aqidah, akan tetapi hanya menunjukkan bolehnya menerima
Tabligh Islam (baik tablig dalam masalah hokum maupun aqidah) dengan
khabar ahad. Penerimaan terhadap tabligh Islam tidaklah berarti menerima
khabar ahad untuk menetapkan aqidah. Thanlig (penyampaian) berbeda
dengan Istbat (penetapan). Seseorang boleh menolak tabligh khabar
seseorang, buktinya Umar bin Khattab menolak khabar yang disampaikan
oleh Hufshah tentang Al Qur’an (?). Umar menolak tabligh, sebab dari
sisi itsbat berita riwayat itu tidak didasarkan pada buku yang qath’iy…
Al Qur’an dari sisi istbatnya adalah mutawatir… Meskipun Al Qur’an
didakwahkan seorang diri kepada penduduk Jepang, tidak otomatis bahwa Al
Qur’an menjadi riwayat ahad”. (Absahkah ? Berdalil dengan hadits ahad, Syamsudin Ramadhan, hal. 49-50, 2001)
Maka benarlah apa yang dikatakan oleh Syaikh Albani: “Mengapa
mereka jadi begini? Sesungguhnya mereka telah datang dengan membawa
filsafat, kemudian mereka terperangkap secara sambung-menyambung kedalam
banyak filsafat. Akhirnya dengan filsafat tersebut mereka keluar dari
jalan lurus yang pernah ditempuh para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam. Ucapan mereka yang bingung itu tidaklah menggugurkan
kenyataan bahwa Muadz adalah dai Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di
negeri Yaman; Aqidah Islamiyah diajarkan dengan khabar ahad Muadz,
sehingga Muadz (dan para sahabat lainnya) menerima khabar tersebut dari
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam”.
Allohu a’lam bish showab
:
[Disali
dari Buku Hizbut Tahrir Mu’tazilah Gaya Baru, oleh Syaikh Muhamad
Nashiruddin Al-Albani. Penerbit Cahaya Tauhid Press, Malang]
0 komentar:
Posting Komentar