Kesesatan ya7889ng keenam dari Wahdah Islamiyah yaitu tentang masalah Al Walâ’ wal Barâ’ menurut mereka dan yang ada pada mereka. Di sini ada beberapa perkara penting yang harus diperhatikan dalam Al Walâ’ wal Barâ’
di kalangan mereka. Dari kaset-kaset yang ada dan yang kami dengarkan
berasal dari suara-suara mereka, seperti suara Muhammad Zaitun Rasmin,
Lc atau Muhammad Yusran Anshar, Lc dan lain-lainnya, itu menunjukkan
kecintaan yang sangat berat terhadap ahlul bid’ah seperti Salman Al
‘Audah, Safar Al Hawali, kemudian pembelaannya terhadap Sayyid Quthb[1], Yusuf Al Qaradhawi[2] dan orang-orang yang seperti mereka.
Kemudian pembagian-pembagian yang ada di tengah mereka dan yang ada di kalangan mereka, seperti pembagian Al Mansyuroh karya ‘Abdurrazzaq Asy Syaiji As Safihul Kadzdzab
(tukang dusta yang bodoh), orang ini berdusta atas nama dakwah
Salafiyah dan mengatakan bahwa Ahlus Sunnah itu dengan pensifatan:
مرجعة مع الحكام, خوارج مع الدعاة, قدرية مع اليهود روافض مع الجماعة
“Murji’ah bersama penguasa, Khawarij bersama para da’i, Qadariyah bersama Yahudi, Rafidhah bersama Al Jama’ah.”
Mengapa dinamakan Murji’ah? Karena ia (ahlul bid’ah) ini senang mengkafirkan pemerintah, mencounter
pemerintah, sedangkan Ahlus Sunnah melihat sesuatu pada penguasa dengan
tenang sebab ini adalah masalah yang besar dan solusinya bukan dengan
cara yang brutal seperti itu, makanya mereka dituduh sebagai Murji’ah.
Murji’ah itu artinya kelompok yang mengatakan bahwa tidak berbahaya
maksiat setelah ia beriman, kalau ia sudah mengucapkan لا إله إلا الله
tidak membahayakan imannya walaupun ia berbuat maksiat.
Khawarij bersama para da’i, maksudnya
mencerca, mengkritik sana-sini. Ini adalah perkataan ‘Abdur Razzaq Asy
Syaiji—yang dikatakan oleh para ulama bahwa orang ini adalah Safihun Kadzdzab dan juga dikatakan bahwa orang ini adalah orang yang tidak takut kepada Allah subhânahu wa ta’âlâ—yang Mansyuroh ini dibagikan dan diajarkan.
Kemudian juga banyaknya mereka i’timad (bersandar) kepada kitab Ma’alim Al Inthilaqatil Kubra’
karangan ‘Abdul Hadi Al Mishri. Kitab ini dikenal di kalangan para
ulama bahwa siapa yang mengajarkan kitab ini maka dia adalah As
Sururiyyun Al Quthbiyyun. Demikianlah ciri-ciri Sururi, Quthbi, pengikut
manhaj Sayyid Quthb dan Muhammad Surur adalah orang-orang yang
mengajarkan kitab ini.
Kemudian memberikan talkhis terhadap kitab Manhaj Ahlis Sunnah wal Jama’ah fin Naqd wal Hukmi ‘alal Akharin. Kemudian tamkin mereka kepada beberapa orang untuk memberikan muhadharah,
orang-orang Sururiyyin yang dikenal dengan kerusakan manhaj di Madinah
seperti Shalih Fa’iz, yang sudah beberapa kali mengunjungi mereka.
Kemudian Ibrahim Ad Duwaisy (yang diberi gelar Salman Al ‘Audah kedua)
menurut keterangan salah seorang dari mereka yang memberitahu saya
secara langsung, di Qosim ia menelepon dan memberitahu saya bahwa ia
pernah hadir di muhadharah yang dibawakan oleh Ibrahim Ad Duwaisy sekitar satu pekan.
Berikutnya, mereka mempunyai toko buku
yang dijual di dalamnya termasuk buku-buku ahlul bid’ah. Andaikata
mereka punya kecemburuan dan pembelaan terhadap Islam, mereka tidak akan
membolehkan masuknya buku-buku ahlul bid’ah seperti ini. Dan ini nyata
dan disaksikan. Ini secara global, dan saya masih punya data-data yang
lain berupa tamyi’ dan kerancuan mereka dalam masalah Al Walâ’ wal Barâ’ menyikapi ahlul bid’ah.
Ini menunjukkan penyimpangan mereka dalam Al Walâ’ wal Barâ’.
Mereka mempunyai bentuk kekacauan dan kerancuan dalam masalah loyalitas
kepada kaum muslimin, kepada Islam, kepada manhaj Islam, kepada dalil
Al Qur’an dan As Sunnah serta kebencian yang harus ditanamkan kepada
orang-orang kafir, ahlul bid’ah dan orang-orang yang menyeleweng dari
agama. Mereka kacau dan rancu di dalamnya dengan semua bukti-bukti
tersebut. Dan satu perkara ini saja sudah menyelisihi pokok dalam
syari’at Islam yang para ulama Ahlus Sunnah sepakat akan wajibnya mentahdzir dari ahlul bid’ah, menjauhi ahlul bid’ah, dan menerangkan tentang apa yang ada pada mereka.
Nash Para Ulama Menyikapi Ahlul Bid’ah:
Pertama:
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullâh:
“… dan perumpamaannya seperti perumpamaan ahlul bid’ah adalah
orang-orang yang mengucapkan perkataan yang menyelisihi Al Qur’an dan
Sunnah atau ada ibadah-ibadah yang menyelisihi Al Qur’an dan As Sunnah,
sesungguhnya menjelaskan keadaan mereka—bahwa mereka menyelisihi Al
Qur’an dan As Sunnah dan mentahdzir
umat dari mereka adalah wajib menurut kesepakatan kaum muslimin.
Sampai-sampai dikatakan kepada Imam Ahmad bin Hanbal: “Ada orang yang
puasa, sholat dan i’tikaf, yang mana yang paling kamu senangi, mereka
atau orang-orang yang mengkritik ahlul bid’ah?” kata beliau: “Kalau ia
puasa, sholat dan i’tikaf maka itu untuk dirinya sendiri tapi kalau ia
berbicara tentang ahlul bid’ah maka ini untuk kaum muslimin supaya
jangan jatuh ke dalam kesesatan. maka ini (mengkritik ahlul bid’ah)
adalah lebih utama.” Ini adalah pemahaman Islam yang disepakati oleh
para ulama.
Kedua:
Berkata Imam Ibnu Muflih rahimahullâh—salah seorang imam besar dari kalangan madzhab Hanbaliyah—dalam kitab beliau Al Adab Asy Syar’iyah beliau menukil dari Imam Muwaffaqaddin Ibnu Qudamah rahimahullâh bahwa beliau melarang membaca buku-buku ahlul bid’ah. Ibnu Qudamah berkata:
وكان السلف ينهون عن مجالسة أهل البدع والنظر في كتبهم والإستماع إلى كلمهم
“Adalah para ulama Salaf melarang duduk di majelis ahlul bid’ah, melihat ke buku-buku mereka, dan mendengar pembicaraan mereka.”
Sedangkan para da’i Wahdah Islamiyah
malah memberikan kesempatan, memberikan ceramah kemudian menjualkan
buku-buku dan selebarannya, berada di podium bersama, bermesraan dengan
tokoh-tokoh Ikhwanul Muslimin. Dan ini kita saksikan perkara yang zhahir dan nampak.
Ketiga:
Al Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullâh—beliau
adalah ahli ibadah dan ‘alim di negeri Haramain Makkah dan Madinah,
sezaman dengan Ibnul Mubarak, dari ulama abad ke-2 Hijriyah, termasuk tabi’in, termasuk khairul qurun—beliau berkata:
أدركت خيار الناس كلهم أصحاب السنة ينهون عن أصحاب البدع
“Saya mendapati manusia-manusia yang paling baik dan mereka semuanya adalah Ahlus Sunnah mereka melarang dari ahlul bid’ah.”
Keempat:
Al Qadhi Abu Ya’la rahimahullâh sebagaimana yang dinukil oleh Syaikh Bakr Abu Zaid rahimahullâh dalam kitab Hajrul Mubtadi’ kata beliau:
وأجمع الصحابة والتابعون على مقاطعة المبتدعة
“Telah sepakat para sahabat dan tabi’un untuk memutuskan ahlul bid’ah.”
Kelima:
Imam Al Baghawi rahimahullâh—beliau adalah ulama Syafi’iyah sekitar abad ke-5 atau ke-6 Hijriyah—beliau berkata dalam kitab Syarhus Sunnah jilid 1 halaman 227:
“Dan telah berlalu para sahabat dan para
tabi’in, dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, dan para
ulama sunnah di atas ini. Mereka bersepakat, ijma’ untuk memusuhi ahlul
bid’ah dan meninggalkan mereka.”
Imam Adz Dzahabi rahimahullâh
ketika menukil perkataan Sufyan Ibnu ‘Uyainah: “Tidak boleh mendengar
dari ahlul bid’ah, siapa yang mendengar akan diserahkan kepada dirinya,”
kata beliau:
أكثر السلف على هذا التحذير, يرون أن القلوب ضعيف والشبهات خطافة
“Kebanyakan para ulama salaf mentahdzir seperti ini. Mereka berpendapat bahwa hati itu lemah, sedangkan syubuhât itu menyambar-nyambar.”
Seseorang yang mendengarkan syubuhât sedikit dan ia tidak bisa menolaknya, akan memusingkan pikirannya. Ada juga yang mendapat satu kalimat syubuhât kemudian tidak bisa keluar lagi dari pengaruhnya—wal iyadzu billâh—ini
bahayanya duduk dengan ahlul bid’ah. Bahkan kadang ada orang yang
berniat baik merasa dirinya mampu kemudian menasihati ahlul bid’ah namun
akhirnya ia yang terjatuh ke dalam bid’ah.
Kita ambil ibrah dari orang-orang yang
seperti ini, lihat Abdurrahman bin Muljim, orang yang membunuh ‘Ali bin
Abi Thalib. Asalnya adalah Ahlus Sunnah, dari anak-anaknya para sahabat,
tapi bisa berpemikiran Khawarij karena ia duduk dengan orang-orang
Khawarij.
Kemudian lihat ‘Imran bin Hiththan, dari rawi Taqrib At Tahdzib,
ia menikah dengan seorang perempuan di atas manhaj Khawarij. Kata
‘Imran bin Hiththan: “Saya menikahinya tapi akan saya dakwahi.” Setelah
menikah apa yang terjadi? Ia berbalik dan berubah menjadi Khawarij
bahkan lebih getol daripada istrinya. Ini menunjukkan bahayanya duduk
dengan ahlul bid’ah. Karena itulah wajar para ulama As Salaf dengan
sangat keras memperingatkan sebagai nasihat kepada umat jangan sampai
ada orang yang jatuh ke dalam bid’ah sebagaimana telah terjerembabnya
orang-orang sebelumnya.
Keenam:
Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullâh, beliau berkata dalam Ushûlus Sunnah:
أصول السنة عندنا التمسك بما كان عليه أصحاب
رسول الله صلى الله عليه وسلم والإتباع بهم وترك البدع وإن كل بدعة ضلالة
وترك الخصومات والجلوس مع أصحاب الأهواء وترك المرار والجدال والخصومات في
الدين
“Pokok Sunnah menurut kami adalah berpegang teguh kepada perkara yang dahulu diamalkan oleh para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
dan meneladani mereka, meninggalkan bid’ah karena semua bid’ah sesat,
meninggalkan perdebatan dan duduk bersama pengikut hawa nafsu serta
meninggalkan pertengkaran, perdebatan, dan berbantah-bantahan dalam
agama.”
Jadi, menurut Imam Ahmad meninggalkan pengikut hawa nafsu (ash-hâbul ahwâ’)
merupakan pokok sunnah sehingga siapa yang menyelisihinya maka keluar
dari lingkup Ahlus Sunnah. Tetapi keadaannya Wahdah Islamiyah
sebaliknya, terhadap orang-orang yang menyimpang, orang-orang yang
mempunyai penyelewengan yang besar malah diberikan kesempatan untuk
ceramah dan bermesraan dengan mereka. Seharusnya ditegakkan al amru bil ma’ruf wa nahyi ‘anil mungkar.
Sesungguhnya orang-orang yang tidak
menjelaskan tentang keadaan ahlul bid’ah atau bermesraan dengan mereka
ini adalah orang-orang yang berbahaya. Dikatakan dalam Al Qur’an:
لاَ تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللهِ
وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ
كَانُو آبَاءهُمْ أَوْ أَبْنَاءهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ
“Kamu tak akan mendapati kaum yang
beriman pada Allah dan hari akhirat, saling berkasih-sayang dengan
orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, Sekalipun orang-orang
itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga
mereka.” (QS Al Mujâdilah: 22)
Dan duduk bersama mereka adalah sangat berbahaya dan bisa menyebabkan terjerumus dalam sesuatu yang sangat membahayakan. Allah subhânahu wa ta’âlâ berfirman:
وَلاَ تَرْكَنُواْ إِلَى الَّذِينَ ظَلَمُواْ فَتَمَسَّكُمُ النَّار
“Dan janganlah kamu condong kepada orang-orang yang zhalim yang menyebabkan kamu disentuh api neraka. (QS Hûd: 113)
Termasuk dari orang-orang yang zhalim
adalah para ahlul bid’ah sebagaimana yang ditafsirkan oleh beberapa
orang ulama. Ini bukanlah masalah biasa, memberikan loyalitas dan
seterusnya dalam masalah-masalah yang seperti ini. Maka di sini saya
perlu menjelaskan, setelah mengetahui bahayanya duduk dengan ahlul
bid’ah dan bahwa hal ini menyelisihi pokok Ahlus Sunnah wal Jama’ah dan
pokok Ahlus Sunnah itu kalau diselisihi, itu bisa mengeluarkan pelakunya
dari lingkup Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
Kemudian tentang bermesraan dengan ahlul bid’ah, menurut Syaikh Rabi’ bin Hadi Al Madkhali hafizhahullâh tingkatan yang seperti ini bisa masuk ke dalam tingkatan Al Irja’ Al Ghali (Murji’ah ekstrim), sebab melihat kemungkaran tetapi tidak ia ingkari. Seandainya punya semangat (ghirah)
terhadap agama seharusnya ia ingkari hal-hal yang seperti ini. Bukan
justru membela orang-orang yang memberikan kerancuan kepada umat.
Ada beberapa orang yang sering dibela
oleh mereka di antaranya Salman Al ‘Audah, Safar Al Hawali dan
orang-orang yang semacam mereka. Walaupun Muhammad Zaitun Rasmin, Lc
dalam Tabligh Akbarnya dua tahun yang lalu (terhitung sebelum tahun
2002, ed) mengatakan: “Kami tidak pernah berguru kepada
Muhammad Surur, membaca buku-bukunya bahkan berguru kepada
murid-muridnya pun kami tidak pernah,” ini hanya sekadar ucapan.
Berikut ini komentar para ulama tentang
manhaj Salman Al ‘Audah supaya diketahui bahwa bukan kami yang
mengkritiknya tetapi para ulama dan memang kesalahannya sangat
berbahaya. Perkataan Salman Al ‘Audah menghinakan para ulama, ia berkata
dalam kaset yang berjudul Waqafât ma’a Imâm Dâril Hijrah, dinukil dari kitab Al Quthbiyyah Hiya Al Fitnah Fa’rifuha karya Syaikh Abu Ibrahim bin Sulthan Al ‘Adnani [3]:
“Di negara alam Islam pada hari ini
terdapat instansi-instansi yang sangat banyak yang tidak ada perkara
agama yang tertinggal padanya, padahal kadang ia bertanggung jawab
tentang fatwa dan kadang tentang urusan keislaman, tidaklah tertinggal
padanya kecuali hanya mengumumkan masuk dan keluarnya bulan Ramadhan…”
Na’ûdzu billâh, sekian banyak
zuhudnya para ulama kemudian dikatakan kerjanya hanya itu!? Hampir habis
suaranya para ulama mengajar ta’lim pagi sampai malam, memberi fatwa,
menjawab permasalahan umat kemudian dikatakan bahwa kerjanya hanya
megurus masuknya dan keluarnya bulan Ramadhan!?
Kemudian dalam salah satu tulisan yang ditulis dalam majalah Al Ishlâh dicetak di Imarot nomor 223 halaman 11, dinukil dari kitab Al Quthbiyyah,
Salman Al ‘Audah berkomentar ketika terjadi Perang Teluk menjelekkan
para ulama, sehingga terbuka bagaimana sebenarnya hakikat mereka. Di
perang Teluk ini, ketika para ulama membolehkan minta bantuan kepada
Amerika, mereka mengatakan itu tidak boleh. Padahal masalah minta
bantuan kepada orang kafir adalah pembahasan yang telah dibahas sejak
dahulu di kalangan para ulama dan hukumnya adalah boleh apabila dalam
keadaan darurat dan merasa aman dari makarnya orang kafir ini, dan ini
diterangkan dalam banyak hadits. Seperti Nabi shallallâhu ‘alaihi wasallam mengatakan dalam suatu hadits dari Dzi Mikhbar radhiyâllahu ‘anhu:
سَتُصَا لِحُكُمُ الرُّوْمَ صُلْحًا آمِنًا ثُمَّ تَغْزُوْنَ وَهُمْ عَدُوًّا مِنْ وَرَائِكُمْ…
“Kalian nanti akan berdamai dengan
orang-orang Rum dengan perdamaian yang sangat terpercaya. Kemudian
kalian dan mereka akan sama-sama memerangi musuh sedang mereka adalah
musuh di belakang kalian…” (HR Nu’aim bin Hammad dalam kitab Al Fitan
no. 1262, Ibnu Abi Syaibah 4/218, Ahmad 4/91, 5/371, 409, Abu Dawud no.
2767, 4292-4293, Ibnu Majah no. 4089, Ibnu Abi ‘Ashim dalam Al Âhâd wal Matsâni no. 2658-2663, Ibnu Sa’ad dalam Ath Thabaqât
7/425, Ath Thabarani 4/4229-4233, Ibnu Hibban no. 1708, Al Hakim 4/421,
daan Al Baihaqi 9/223. Dishahihkan oleh Syaikh Muqbil dalam Al Jâmi’ Ash Shahîh 3/201-202)
Berdamai dengan orang-orang Rum, apa
maknanya?! Jelas minta bantuan kepada orang-orang kafir. Berhubung
mereka kaum muslimin merasa aman untuk tidak dikhianati maka
diperbolehkan, dan ini yang tidak bisa dipahami oleh mereka.
Jadi ketika muncul hal yang seperti ini,
Salman Al ‘Audah langsung memberikan komentar, katanya:
“Kejadian-kejadian yang terjadi di Teluk ini hanyalah membuka tirai
untuk menampakkan penyakit-penyakit yang tersembunyi yang kaum muslimin
menderita dengan penyakit ini. Dan saya menekankan bahwa mereka tidak
berada di tingkatan yang pantas untuk menghadapi masalah-masalah yang
seperti ini. Dan tersingkap pula akan tidak adanya rujukan ilmiah yang
benar dan terpercaya bagi kaum muslimin…”
Demikian pula Safar Al Hawali punya kitab yang khusus berbicara masalah ini, di antaranya Kasyful Gummah ‘an ‘Ulama’il Ummah dan Haqa’iq Haula Azhimmatil Khalij, serta Wa’du Kissinger.[4]
Kemudian Salman Al ‘Audah dalam kasetnya yang lain ia berkata mencela Hai’ah Kibâril ‘Ulamâ’:
“Sesungguhnya kedudukan-kedudukan resmi sekarang itu sudah menjadi
wakaf pada kebanyakan negeri Islam kepada kelompok-kelompok tertentu
yang kelompok-kelompok tertentu ini hanya pandai menjilat dan
mengabur-ngaburkan. Dan orang yang duduk di posisi itu sekarang,
sangkaan pemerintah itu adalah pembicara resmi dengan nama Islam dan
kaum muslimin. Mereka itu tidak mempunyai pekerjaan kecuali 2 perkara:
menentukan masuknya hilal bulan Ramadhan, perkara yang kedua adalah
menyerang orang-orang yang dikatakan ekstrem.”
Di kaset yang lain ia mengatakan: “Apa harganya seorang ‘alim kalau ia tidak menjelaskan kepada manusia perkara-perkara siyasah (politik) mereka yang perkara siyasah
ini adalah dari perkara yang sangat penting yang dibutuhkan oleh
manusia yang perkara-perkara ini menyangkut maslahat umat secara umum.
Apakah engkau menginginkan ada seorang ‘alim untuk diam begitu saja,
terkungkung di dalam hukum-hukum seputar menyembelih saja atau
hukum-hukum seputar hewan buruan, haji, haid dan nifas, mandi junub,
mengusap di atas khuffain dan meninggalkan masalah-masalah umat kepada orang lain?”
Dia menganggap para ulama hanya berbicara
tentang masalah-masalah ini saja, menyembelih, haid dan nifas.
Komentar-komentarnya ini yang menjelekkan para ulama dipertanyakan
kepada Syaikh ‘Abdurrahman bin Jibrin rahimahullâh—salah seorang ulama Ahlus Sunnah—beliau berkata dalam satu kaset terekam.
Ditanyakan kepada beliau: “Apa pendapat
Antum terhadap orang yang mengatakan bahwa ulama umat ini adalah ulama
haid dan nifas dan mengatakan kerjanya para ulama itu hanya menentukan
masuknya hilal bulan Ramadhan saja, apakah orang yang seperti ini
digolongkan ke dalam orang yang dikatakan oleh Imam Asy Syafi’i termasuk
tanda-tanda ahlul bid’ah?”
Kata Syaikh Ibn Jibrin: “Ya, digolongkan
dan tidak diberikan kemuliaan. Ini yang Antum ucapkan tentang ulama
umat, ini artinya telah menuduh umat ini bahwa mereka tidak mengetahui
hakikat perkara-perkara.”
Ini adalah tuduhan yang besar kepada ulama yang dikatakan dalam Al Qur’an:
إِنَّمَا يَخْشَى اللهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاء
“Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama” (QS Fâthir: 28)
Dan para ulama yang menjadi rujukan ketika terjadi masalah yang kontemporer pada umat ini yang Allah subhânahu wa ta’âlâ memerintahkan kita untuk merujuk kepada mereka.
Kemudian Salman Al ‘Audah juga mengatakan tentang masalah mengajarkan aqidah dalam kitabnya yang berjudul Hakadza ‘Allamanâ Al Anbiya’,
katanya: “Dari bagian yang ringan ini, dan ini sangat ringan yaitu
masalah aqidah yaitu engkau bisa menjelaskan tentang aqidah kepada siapa
pun sepuluh menit saja.”
Bayangkan, sepuluh menit saja! Padahal Nabi shallallâhu ‘alaihi wasallam 13 tahun di Makkah masalah akidah kemudian sampai di Madinah tahap penyempurnaan sampai di akhir hayat beliau aqidah lagi:
لَعَنَ اللهُ الْيَهُوْدَ وَالنَّصَارَى اتَّخَذُوا قُبُوْرَ أَنْبِياَئِهِمْ مَسَاجِدَ
“Allah melaknat Yahudi dan Nashara dikarenakan mereka menjadikan kuburan nabi-nabi mereka sebagai masjid.” (HR Al Bukhari no. 435 dan Muslim no. 529)
Kemudian perlu diketahui bahwa tentang
masalah Wahdah Islamiyah, sebelumnya kami telah melihat kesalahan dan
penyimpangan mereka, akan tetapi untuk menghukumi mereka sebagai ahlul
bid’ah, kelompok yang sesat itu kami belum berani. Karena orang yang
mempunyai kesesatan belum tentu sesat. Sama kalau kita katakan ia punya
bid’ah tetapi belum tentu mubtadi’. Oleh karena itu kami ajukan
pertanyaan kepada para ulama besar di Saudi Arabia, kami khususkan para
ulama di Madinah sebab para ustadz Wahdah Islamiyah mengaku juga
belajar di Madinah.
Waktu itu ditanyakan kepada Syaikh Ibrahim Ar Ruhaili hafizhahullâh, beliau enggan untuk menjawab karena ada Syaikh ‘Abdul Muhsin bin Hamd Al ‘Abbad Al Badr hafizhahullâh.
Dibacakan kepada Syaikh ‘Abdul Muhsin kesesatan-kesesatan Wahdah
Islamiyah ini yang disebutkan tadi beberapa kesesatannya dan beberapa
lagi yang lainnya. Syaikh ‘Abdul Muhsin baru mendengar satu atau dua
kesesatan beliau berkata: “Cukup, cukup.” Beliau langsung memberikan
komentar bahwa mereka ini menyimpang, menyeleweng dan lain-lainnya.
Hanya saja beliau itu pembicaraanya tidak mau direkam bila pertemuan di
rumahnya. Dan saksi yang hadir di majelis itu ada banyak orang: Al
Ustadz Mustamin, Muhammad Arifin dan beberapa mahasiswa Madinah yang
lainnya dan juga ada dari orang-orang Imarot, Kuwait, banyak yang
menyaksikan pertemuan itu.
Kemudian kami kirimkan kepada Syaikh Rabi’ bin Hadi Al Madkhali hafizhahullâh
dan beliau ini juga termasuk ulama yang sangat dituakan di Madinah
(kebanyakan pengajar di Universitas Islam Madinah itu murid-muridnya
Syaikh Rabi’). Maka Syaikh Rabi’ menjawab dengan satu nash jawaban yang telah kami terjemah. [5]
Catatan Kaki:
[1] Fatwa Asy Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz tentang Sayyid Quthb:
وقال سيد قطب في كتابه “التصوير الفني في القرآن” عن موسى عليه السلام: (لنأخذ موسى إنه نموذج للزعيم المندفع العصبي المزاج…
{ودخل المدينة على حين غفلة من أهلها فوجد
فيها رجلين يقتتلان هذا من شيعته وهذا من عدوه فاستغاثه الذي من شيعته على
الذي من عدوه فوكزه موسى فقضى عليه}
وهنا يبدوا التعصب القومي كما يبدو الانفعال العصبي وسرعان ما تذهب هذه الدفعة العصبية فيثوب إلى نفسه شأن العصبيين.)
ثم يقول عند قوله تعالى: {فأصبح في المدينة خائفاً يترقب}،
قال: (وهو تعبير مصور لهيئة معروفة، هيئة
المتفزع المتلفت المتوقع للشر في كل حركة وتلك سمة العصبيين) ”التصوير
الفني” (٢٠٠،٢٠١، ٢٠٣) ط ۱۳، دار الشروق)
قال سماحة الشيخ عبد العزيز بن باز – رحمه الله – لما قرىء عليه مثل هذا الكلام: (الاستهزاء بالأنبياء ردة مستقلة)
المرجع: (درس لسماحته في منزله بالرياض سنة ۱۴۱۳ – تسجيلات منهاج السنة بالرياض.)
Berkata Sayyid Quthb di dalam kitabnya, “At Tashwîr Al Fannî fil Qur`ân” tentang Musa ‘alaihis salâm: “Coba kita ambil Nabi Musa, sesungguhnya ia adalah contoh untuk seorang pemimpin yang tergesa-gesa, ta’ashshub (fanatik) dan mazzâj (lelaki perusak, pendusta, berperangai buruk) …
“Dan Musa masuk ke kota (Memphis)
ketika penduduknya sedang lengah, Maka didapatinya di dalam kota itu dua
orang laki-laki yang berkelahi, yang seorang dari golongannya (Bani
Israil) dan seorang (lagi) dari musuhnya (kaum Fir’aun). Maka orang yang
dari golongannya meminta pertolongan kepadanya, untuk mengalahkan orang
yang dari musuhnya lalu Musa meninjunya, dan matilah musuhnya itu.” [QS Al Qashshash: 15]
Di sini, tampak fanatisme kesukuannya
(Nabi Musa) sebagaimana tampak pula sentimen kesukuan dan betapa
cepatnya pembelaan fanatisme beliau bergolak, sehingga terbalas atas
diri beliau urusan dendam orang-orang yang fanatik.”
Kemudian (Sayyid Quthb) berkata tentang firman Allah Ta’âlâ: “Karena itu jadilah Musa di kota itu merasa takut menunggu-nunggu dengan rasa khawatir.”
Berkata Sayyid Quthb: “Dan ia merupakan ta’bir
(penggambaran) suatu kondisi yang telah diketahui, yaitu kondisi orang
yang khawatir ketakutan dan merasa was-was dengan keburukan dari tiap
gerak-geriknya, dan itulah ciri orang-orang yang fanatik.” [At Tashwîrul Fannî (200, 201, 203), cetakan ke-13, Dârul Masyrûq]
Berkata Samâhatusy Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullâh ketika dibacakan kepada beliau ucapan ini: “Mencerca para Nabi merupakan perbuatan murtad yang tersendiri.”
[Sumber: Pelajaran ٍSamahatus Syaikh Ibnu Baz di kediaman beliau di Riyadh tahun 1413 H, Tasjilat Minhâjus Sunnah Riyadh]
Fatwa Asy Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani tentang Sayyid Quthb:
قال العلامة المحدث محمد ناصر الدين الألباني – رحمه الله – معلقاً على خاتمة كتاب “العواصم مما في كتب سيد قطب من القواصم:
“كل ما رددته على سيد قطب حقٌ صوابٌ، ومنه
يتبين لكل قارئ على شيء من الثقافة الإسلامية أن سيد قطب لم يكن على معرفة
بالإسلام بأصوله وفروعه. فجزاك الله خير الجزاء أيها الأخ (الربيع) على
قيامك بواجب البيان والكشف عن جهله وانحرافه عن الإسلام.”
المرجع: (من ورقة بخط الشيخ الألباني رحمه الله كتبها في آخر حياته.)
Berkata Al ‘Allâmah Al Muhaddits Muhammad Nashiruddin Al Albani rahimahullâh mengomentari penutup kitab Al ‘Awâshim Mimmâ fî Sayyid Quthb minal Qawâshim:
“Semua apa yang Anda bantah atas Sayyid Quthb adalah haq dan benar. Dan darinya akan menjadi penjelasan bagi setiap pembaca sebagai suatu tsaqafah (wawasan) Islamiyyah bahwa Sayyid Quthb tidaklah mengetahui secara baik Islam pada ushul (pokok) maupun furu’ (cabang)nya.
Maka semoga Allah memberikan balasan kepada Anda dengan kebaikan yang
banyak wahai Saudara Rabi’ atas upaya Anda dalam menunaikan kewajiban
menjelaskan dan menyingkap kejahilan dan penyimpangannya [Sayyiq Quthb]
terhadap Islam.”
[Sumber: Dari sebuah kertas dengan tulisan tangan Syaikh Al Albani rahimahullâh yang ditulis beliau pada akhir hayatnya]
Fatwa Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin tentang Sayyid Quthb:
سئل فضيلة الشيخ العلامة محمد بن صالح
العثيمين: (- أثابكم الله – أرجو إجابتي على هذا السؤال: إننا نعلم الكثير
من تجاوزات سيد قطب لكن الشيء الوحيد الذي لم أسمعه عنه، وقد سمعته من أحد
طلبة العلم مؤخراً ولم أقتنع بذلك ؛ فقد قال: إن سيد قطب ممن يقولون بوحدة
الوجود. وطبعاً هذا كفر صريح، فهل كان سيد قطب ممن يقولون بوحدة الوجود ؟
أرجو الإجابة جزاكم الله خيراً.
قال الشيخ محمد: (مطالعتي لكتب سيد قطب قليلة
ولا أعلم عن حال الرجل، لكن قد كتب العلماء فيما يتعلق بمؤلفه في التفسير
“ظلال القرآن”، كتبوا ملاحظات عليه، مثـل ما كتبـه الشيـخ عبد الله الدويش –
رحمه الله – وكتب أخونا الشيخ ربيع المدخلي ملاحظات عليه ؛ على سيد قطب في
التفسير وفي غيره. فمن أحب أن يراجعها فليراجعها.)
المرجع (من شريط “اللقاء المفتوح الثاني بين الشيخين العثيمين والمدخلي بجده”، ثم وَقَّعَ عليها الشيخ محمد بتاريخ ۲۴/۲/۱۴۲۱)
Pertanyaan kepada Fadhîlatusy Syaikh
Al ‘Allâmah Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin: “Semoga Allah memberikan
pahala kepada Anda, saya ingin jawaban atas pertanyaan ini: sesungguhnya
kita banyak mengetahui tentang penyelewengan Sayyid Quthb, akan tetapi
ada suatu hal yang aku belum pernah mendengar darinya. Namun akhirnya
aku telah mendengar dari salah seorang penuntut ilmu tetapi aku belum
merasa puas dengannya. Ia (penuntut ilmu itu) berkata: “Sesungguhnya
Sayyid Quthb itu termasuk orang yang berkata dengan Wihdatul Wujûd.” Tentu saja ini merupakan kekufuran yang nyata. Apakah Sayyid Quthb termasuk orang yang berkata dengan Wihdatul Wujûd? Saya mengharapkan jawaban Anda, semoga Allah memberikan balasan kepada Anda dengan kebaikan.
Berkata Asy Syaikh Muhammad:
“Penelaahan saya terhadap buku-buku Sayyid Quthb amatlah minim dan saya
tidak begitu mengetahui keadaan orang ini. Tetapi ada ulama yang telah
menulis yang berkaitan dengan karya tulis Sayyid Quthb dalam Tafsir “Zhilâlil Qur’an”. Mereka menulis beberapa koreksi kekeliruan terhadap tafsirnya, seperti apa yang ditulis oleh Asy Syaikh ‘Abdullah Ad Duwaisy rahimahullâh dan apa yang ditulis oleh Akhûna
(Saudara kami) Rabi’ Al Madkhali berupa koreksi kekeliruan terhadapnya,
atas Sayyid Quthb dalam Tafsirnya dan selainnya. Maka barangsiapa yang
mau menyimaknya maka hendaklah menyimaknya.”
[Sumber: Dari Kaset “Al Liqâ’ul Maftûh Ats Tsânî baina Asy Syaikhaini Al ‘Utsaimîn wal Madkhâlî bi Jiddah”. Kemudian ditandatangani oleh Syaikh Muhammad pada tanggal 24/2/1421] (ed)
[2]
Yusuf Qaradhawi dilahirkan pada tahun 1926 M, menimba ilmu di Al
Makatib, Madrasah Ibtidaiyah dan Ma’had Dini di Al Azhar. Pemahaman
aqidahnya bersumber dari faham Asy’ariyah. Semenjak kecil sudah dijejali
dengan kitab-kitab sufi, seperti kitabnya Al Ghazali, Ibnu Ujaibah dan
sebagainya. Oleh karena itu, ia tidak menentang faham tasawwuf, sebagaimana pengakuannya.
Ketika masih remaja di bangku Ibtidaiyah,
Qaradhawi bergabung dengan Ikhwanul Muslimin dan sangat terpengaruh
oleh pemikiran Hasan Al Banna, Muhammad Al Ghazali, dan para pembesar
Hizbul Ikhwan lainnya. Maka tidak heran jika kemudian dia menjadi salah
satu pembesar di Hizbul Ikhwan di tahun-tahun terakhir.
Daftar Kebatilan Qaradhawi:
1. Terkontaminasi pemikiran rasionalis di
“Madrasah Hawaiyah” (madrasah yang dibangun atas dasar hawa nafsu),
sehingga terkadang menolak hadits-hadits shahih dengan alasan tidak
masuk akal, bertentangan dengan Al Qur’an, dan lain sebagainya. Hal ini
bisa dilihat dalam kitab Kaifa Nata’âmal Ma’as Sunnah yang ditulisnya.
2. Tidak merujuk kepada pemahaman Salaf
terhadap Al Qur’an, bahkan ia memahaminya menurut hawa nafsunya. Tidak
menghargai para ulama, tidak memperdulikan pendapat ulama, dan
menyelisihi ijma’ (kesepakatan) ulama, apabila bertentangan dengan hawa
nafsunya.
3. Mengajak umat Islam untuk bermawaddah
(berkasih sayang) dengan Yahudi dan Nasrani. Hal ini dituangkannya dalam
berbagai kitab, koran dan majalah.
4. Berupaya mendekatkan kaum muslimin
dengan musuh-musuh mereka (Yahudi dan Nasrani). Hal ini dibuktikan
dengan seringnya berpartisipasi dan hadir dalam berbagai muktamar Tauhidul Adyan
(penyatuan agama-agama) yang diadakan oleh Yahudi dan Nashara, kecuali
muktamar di Sudan, ia tidak bisa hadir karena alasan pribadi.
5. Berpendapat bahwa jihad hanya untuk membela diri saja, bukan untuk ekspansi ke negeri-negeri kafir.
6. Menghormati tempat ibadah orang-orang kafir.
7. Mengkampanyekan “Perdamaian Dunia”
tanpa letih dan bosan. (Maksudnya, kaum muslimin dibelenggu kebebasannya
untuk berjihad dan membela harga dirinya dari penindasan orang-orang
kafir dengan dalih perdamaian dunia, pent.)
8. Mempropagandakan positifnya keberagaman agama.
9. Mengadopsi pemikiran-pemikiran yang
berasal dari orang-orang kafir, dan berusaha memolesnya dengan wajah
Islami, seperti demokrasi dan pemilu.
10. Memutuskan suatu perkara sesuai dengan pendapat mayoritas jika terjadi perbedaan pendapat.
11. Memecah-belah kaum muslimin menjadi bermacam-macam thaifah, firqah dan hizb, serta mengingkari nas-nas yang melarangnya.
12. Berpendapat bahwa orang yang mengkritisi para penta’wil dan pengingkar Asma’ wa Shifat Allah adalah lari dari perjuangan Islam, menolong musuh dan melemahkan barisan Islam.
13. Berusaha untuk mensalafkan Sufi dan mensufikan Salaf, serta mencampuradukkan keduanya.
14. Mencela dan merendahkan ulama Islam, serta memuji ahli bid’ah dan ahlul ahwa’.
15. Merayakan hari-hari besar bid’ah yang dia sendiri sudah tahu bahwa itu hanya taqlid kepada orang-orang Barat.
16. Membolehkan nyanyian dan mendengarkan
lagu-lagu yang didendangkan oleh artis laki-laki maupun perempuan.
Bahkan terpesona dengan suara Faizah Ahmad dan menyenangi lagunya
Fairuz.
17. Menyaksikan film sinetron di televisi dan video.
18. Berpendapat bahwa bioskop adalah sarana hiburan yang penting, halal dan baik.
19. Membolehkan penjualan beberapa barang yang haram bagi orang yang terasing di negeri kafir.
20. Berpendapat bahwa tidak masalah
(boleh-boleh saja) menghadiri acara-acara yang di dalamnya dihidangkan
khamr, jika itu dilakukan demi maslahat dakwah!!!
21. Menyatakan bolehnya mempergunakan
produk yang tercampur dengan daging, minyak dan lemak babi bila sudah
diproses secara kimia, sebagaimana ia menghalalkan sesembelihan orang
kafir selain Ahli Kitab.
22. Mengeluarkan fatwa dan makalah yang kontroversi, karena bekal ilmu haditsnya sedikit dan buruk.
Mengenai keadaan keluarga Qaradhawi,
biarlah dia sendiri yang bercerita. Majalah Sayidati no. 678, 11 Maret
1994 memuat wawancara dengannya. Sang wartawan bertanya kepadanya:
“Sehubungan dengan izin yang Anda berikan kepada putri Anda untuk
belajar di Universitas asing yang ikhtilath (bercampur-baur antara laki-laki dan perempuan), apakah alasan Anda?” Qaradhawi menjawab:
“Pertama, dia pergi bersama suami dan anaknya, dan di sana melahirkan dua orang anak. Kedua, di Dirasah Ulya
(magister) tidak ada dampak negatif yang timbul dari ikhtilath di sana,
karena ia sibuk dengan tugas-tugas, makalah, laboratorium dan
pelajarannya. Ketiga, yang paling penting ikhtilath pada dasarnya tidaklah haram. Karena yang diharamkan adalah khalwat, tabarruj, dan ikhtilath iltimas
(bersentuhan), yaitu bersentuhan dan berdekatan. Adapun bila ia seorang
murid wanita yang tergabung dalam sejumlah orang tanpa khalwat yang
memalukan dalam berpakaian serta menjaga norma-norma Islam, ini tidaklah
berbahaya.”
Kemudian Qaradhawi ditanya: “Lalu
bagaimana dengan hobi anak-anak Anda?” Dia menjawab: “Tidak ada halangan
bagi anak-anakku untuk mengembangkan bakatnya. Putraku punya hobi
olahraga judo dan telah meraih sabuk hitam. Dia juga hobi berenang dan
angkat besi. Aku juga mendukung mereka. Sementara putraku Abdurrahman,
dia mempunyai hobi sastra. Dia adalah seorang penyair, pandai membaca
syair, serta melantunkan dan mendendangkannya, (Qaradhawi tertawa).”
Kemudian sang wartawan bertanya,
“Dimanakah dia belajar mengubah lagu dan nasyid?” Qaradhawi menjawab,
“Ia belajar dari bakat dan sekolah musik. Dia punya banyak hobi.”
Lanjutnya, “Anakku, Abdurrahman, kuliah di Darul Ulum, ia
mempunyai teman-teman wanita. Dan mungkin saja, diantara teman-temannya
telah menjadi kekasih hatinya. Dan Allah mengaruniakan rasa cinta kepada
temannya. Semua ini dierbolehkan.”
Pembaca yang budiman, inilah yang bisa
penulis ringkas dari sosok Qaradhawi. Setiap poin yang disebutkan sudah
dibahas dalam bab-bab terdahulu, didukung dengan dalil-dalil dan
bukti-bukti yang nyata.
(Sumber: Raf’ul Litsâm ‘an Mukhâlâfatil Qaradhawi li Syari’atil Islâm karya Syaikh Ahmad bin Muhammad bin Manshur Al ‘Udaini Al Yamani, Penerbit Dârul Atsâr
Yaman, cetakan I tahun 1421, edisi Indonesia: Membongkar Kedok Al
Qaradhawi, Bukti-bukti Penyimpangan Yusuf Al Qaradhawi dari Syari’at
Islam) (ed)
[3] Kitab Al Quthbiyyah Hiya Al Fitnah Fa’rifuha
adalah salah satu buku yang sangat ilmiah dalam menjelaskan
kesalahan-kesalahan ideologi sejumlah tokoh pembela dan pelaris
pemikiran Sayyid Quthb. Hingga hari ini, tidak seorang pun dari mereka
yang mampu membantah kitab ini, selain suara-suara sumbang yang
meneriakkan bahwa penulisnya adalah orang yang tidak dikenal, memakai
nama samaran, dan seterusnya. Ketahuilah bahwa penulisnya adalah seorang
Doktor dan ‘alim yang sangat berakhlaq di kota Madinah serta dikenal di
kalangan para ulama. Dan juga andaikata penulisnya tidak diketahui,
maka yang menjadi ukuran adalah data dan bukti ilmiah yang sangat
autentik lagi akurat yang terdapat di dalamnya. (Catatan ini disadur
dari buku “Meraih Kemuliaan Melalui Jihad… bukan Kenistaan” karya Al
Ustadz Dzulqarnain bin Muhammad Sunusi, halaman 226, ed)
[4] Scan naskah asli dokumen Hai’ah Kibâril ‘Ulamâ’ yang diketuai oleh Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdullah bin Baz tentang penyimpangan Salman Al ‘Audah dan Safar Al Hawali:
Bismillâhirrahmânirrahîm
Kerajaan Saudi Arabia Nomor : II/951
Lembaga Fatwa Tanggal : 3/4/1414 H
Sekretaris Umum Hai’ah Kibâril ‘Ulamâ’ Lampiran : 18/fotokopi
“KITAB DOKUMEN RAHASIA”
Dari ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdullah bin Baz
kepada yang mulia Pejabat Tinggi Negara Amir yang mulia Naif bin ‘Abdul
‘Aziz Menteri Dalam Negeri semoga Allah memberi taufiq kepadanya.
Assalâmu ‘alaikum warahmatullâhi wabarakâtuh. Waba’du
Saya mengisyaratkan kepada surat Pejabat Tinggi yang mulia nomor: (M/B/4/192/MSH) tanggal (21-22/3/1414 H) berisi pengarahan Khadimul Haramain
(pelayan dua tempat suci) yang mulia semoga Allah senantiasa
memeliharanya berkaitan dengan pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan
oleh: Safar bin ‘Abdirrahman Al Hawali dan Salman bin Fahd Al ‘Audah,
dalam beberapa ceramah dan ta’limnya, untuk diajukan kepada Hai’ah Kibâril ‘Ulamâ’ dalam
pertemuan rutinnya ke-41 yang diselenggarakan di Thaif dari tanggal
18/3/1414 H, yang merupakan lanjutan dari program kerjanya.
Saya beritahukan kepada Pejabat Tinggi yang mulia bahwa Hai’ah Kibâril ‘Ulamâ’
telah memeriksa surat tersebut berikut lampirannya yang merupakan
ringkasan ceramah dan kajian kedua orang tersebut di atas tertanggal
sejak bulan Muharram tahun 1414 H serta tulisan Safar Al Hawali yang
berjudul Wa’du Kissinger. Para ulama telah mendiskusikan masalah ini dari segala sisi serta telah meneliti pula beberapa rekaman kaset keduanya.
Setelah dipelajari dan didiskusikan maka Hai’ah Kibâril ‘Ulamâ’
sepakat memutuskan: menegur kesalahan dan pelanggaran kedua orang
tersebut yang telah dilaporkan kepada Majelis serta kesalahan-kesalahan
lain yang telah dikemukakan oleh pemerintah. Melalui lajnah
yang dibentuk oleh pemerintah yang dianggotai oleh dua orang ahli ilmu
yang dipilih oleh Menteri Urusan Islam, Wakaf, Dakwah, dan Bimbingan
Umum. Jika keduanya mau mengakui kesalahannya dan bertekad untuk tidak
mengulanginya kembali, maka alhamdulillâh
itu sudah cukup. Tetapi jika keduanya tidak mau mengindahkan maka
keduanya dilarang memberi ceramah, khutbah, dilarang mengisi
kajian-kajian umum serta dilarang merekam dan menyebarkan
kaset-kasetnya. Demi melindungi masyarakat dari kesalahan-kesalahan
mereka berdua. Semoga Allah memberi hidayah kepada mereka berdua dan
menunjuki keduanya kepada jalan yang lurus.
Majelis meminta kepada saya untuk
menyampaikan ketetapan ini kepada Pejabat yang mulia, berikut saya
sertakan juga lampiran-lampirannya.
Saya memohon kepada Allah semoga memberi taufiq bagi Khadimul Haramain Asy Syarifain
dan Pejabat yang mulia kepada perkara yang diridhai dan dicintai-Nya,
dan semoga memberi pertolongan kepada seluruhnya atas setiap kebaikan,
sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Dekat.
Wassalâmu ‘alaikum warahmatullâhi wabarakâtuh.
Mufti Umum Kerajaan Saudi Arabia
Ketua Hai’ah Kibâril ‘Ulamâ’ wa Idâratil Buhûtsil ‘Ilmiyyah wal Iftâ’
(Cap stempel Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdullah bin Baz)
=================
Naskah fatwa di atas dinukil dari kitab Madârikun Nazhar fis Siyâsah, Bainat Thabbîqât Asy Syar’iyah wal Ihfiâlat Al Hamâsiyyah, karya Syaikh ‘Abdul Malik Ramadhani Al Jazairi hafizhahullâh
yang keberadaan fatwa tersebut diketahui dan tidak diingkari oleh
kalangan para ulama. Bahkan buku yang memuat fatwa ini telah diberikan tazkiyyah (rekomendasi) oleh para ulama antara lain:
- Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani rahimahullâh: menulis kata pengantar pada tanggal 25/11/1415 H
- Syaikh ‘Abdul Muhsin bin Hamd Al ‘Abbad Al Badr hafizhahullâh: menulis kata pengantar pada tanggal 25/3/1418 H
- Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullâh: menyetujui kitab Madarikun Nazhar pada tanggal 22 Rabi’uts Tsani 1416 H
- Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan hafizhahullâh (anggota Hai’ah Kibâril ‘Ulamâ’)
- Syaikh Hammad bin Muhammad Al Anshari rahimahullâh
- Syaikh Rabi’ bin Hadi Al Madkhali hafizhahullâh
- Syaikh Muhammad bin ‘Abdillah bin Subayyil rahimahullâh (pimpinan umum urusan Masjid Al Haram, merangkap imam dan khatib Masjid Al Haram, sekaligus sebagai anggota Hai’ah Kibâril ‘Ulamâ’)
- Syaikh ‘Abdullah Az Zahim rahimahullâh (pimpinan Mahkamah Syar’i di kota Madinah sekaligus imam dan khatib Masjid An Nabawi)
- Syaikh Shalih Al ‘Abud hafizhahullâh (Rektor Universitas Islam Madinah), dan lain-lain.
Adapun syubuhât dari
para pembela Salman dan Safar—seperti tertulis dalam salah satu situs
Wahdah Islamiyah—bahwa Syaikh Ibnu Baz dan Syaikh Ibnu Al ‘Utsaimin
pernah memberikan tazkiyah kepada mereka, maka itu kejadiannya
sebelum munculnya penyelewengan Salman dan Safar terhadap manhaj Ahlus
Sunnah wal Jama’ah. Dan memang para ulama yang mentahdzirnya di kemudian hari, tidak mempunyai masalah pribadi dengan Salman dan Safar sehingga tahdzir mereka murni karena membela agama Allah subhânahu wa ta’âlâ dan supaya umat terhindar dari penyimpangan mereka.
Demikian pula naskah surat fatwa yang
diatasnamakan Syaikh Ibnu Baz tertanggal 10/4/1414 H (sepekan setelah
keluarnya dokumen penyimpangan Salman dan Safar) yang berisi tazkiyyah terhadap keduanya—yang digunakan oleh Wahdah Islamiyah sebagai pemansukh
(penggugur) fatwa sebelumnya—ini merupakan tulisan palsu belaka karena
setelah diperiksa oleh Syaikh ‘Abdul ‘Aziz Ar Rayyis ternyata fatwa
tersebut tidak ada arsipnya dalam catatan arsip fatwa-fatwa Syaikh
‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdullah bin Baz dalam kantor Dârul Iftâ’. Wallahu a’lam.
Kemudian sanggahan bahwa bagaimana mungkin surat dari Menteri tertanggal 21-22/3/1414 H dapat diajukan ke pertemuan Hai’ah Kibâril ‘Ulamâ’ pada tanggal 18/3/1414 H atau beberapa hari sebelum pertemuan, maka ini suatu tadlis (tipu muslihat). Perhatikanlah dengan seksama, dalam surat Hai’ah Kibâril ‘Ulamâ’
disebutkan bahwa pertemuan tidak hanya pada tanggal 18/3/1414 H tetapi
tanggal tersebut merupakan waktu permulaan pertemuan yang berlangsung
beberapa hari (lihat bukti surat-surat fatwa Hai’ah Kibâril ‘Ulamâ pada
tahun-tahun sebelumnya, kadang pertemuan berlangsung sampai beberapa
pekan). Jadi, tidak ada masalah surat dari Menteri diterima tiga atau
empat hari setelah hari pertama pertemuan, kemudian fatwa dikeluarkan
pada dua pekan kemudian (3/4/1414 H).
Berikutnya, sanggahan bahwa surat
tersebut sifatnya rahasia, sehingga tidak mungkin bisa keluar dan
tersebar menjadi konsumsi publik, maka jawabannya adalah pihak
pemerintahlah yang menyampaikan dokumen tersebut secara terbuka sebagai
bukti adanya rekomendasi dari Hai’ah Kibâril ‘Ulamâ’ sehingga
menjadi dasar bagi pemerintah untuk mencekal serta menangkap Salman dan
Safar. Jadi, ada pertimbangan maslahat dalam penyebaran dokumen tersebut
dan yang terpenting pihak Hai’ah Kibâril ‘Ulamâ’ tidaklah berkhianat dalam membocorkan sebuah dokumen rahasia. (ed)
[5] Silahkan lihat terjemahan fatwa Syaikh Rabi’ bin Hadi Al Madkhali hafizhahullâh tentang Wahdah Islamiyah di: http://nasihatuntukwahdah.wordpress.com/fatwa-ulama-tentang-wi/
0 komentar:
Posting Komentar